Minggu, 03 Februari 2019

3 Februari 2019 ~ Keseleo


            Bel istirahat usai telah berbunyi. Biasanya, butuh sekitar sepuluh hingga limabelas menitan agar kelas terisi penuh. Maklumlah, jatah istirahat yang menurut anak-anak sedikit, mendorong mereka untuk korupsi waktu beberapa menit.
            “ada kelas ta?” tanya mbak Pipit, penjaga koperasi sekolah sekaligus teman sekelas diniyahku dulu.
            “iya mbak, aku masuk dulu ya mbak,” ujarku seraya pamit dan menyangklotkan tasku di bahu kanan. Sebelum istirahat tadi, anak-anak kuberikan tugas untuk mengerjakan tugas dan dikoreksi sehabis istirahat. Lumayan, untuk nilai mereka.
            Di luar koperasi yang tadinya bekas musholla, ada guru-guru tatib yang menegur siswa-siswi yang meng-korupsi waktu lebih banyak dibanding yang lain. Ah, jadi ingat aku dulu juga begitu. Seorang guru masuk ke dalam koperasi dan menaruh sepatunya di samping sepatuku.
            “mau masuk kelas bu?” tanyanya.
            “iya,” jawabku seraya tersenyum.
            Kulihat sepatu berwarna peach yang (dipaksa) dibelikan ibu agar kupakai ke sekolah. Biar ganti sepatu, kata ibu. Aku hanya menurut saja, karena pakai sepatu yang lamapun aku tak keberatan. Kumasukkan kaki kananku terlebih dahulu diikuti dengan kaki kiri. Namun tiba-tiba keseimbanganku terganggu. Aku oleng ketika menuruni tangga. Kugunakan kakiku sebisa mungkin agar tak terjatuh, tapi aku tak tau bagaimana persisnya hingga kakiku terkilir dan tak bisa digerakkan. Aku jatuh terduduk di teras koperasi yang sejajar dengan tinggi tangga tempat kakiku hilang kendali.
            Beribu-ribu pisau rasanya menusuk pergelangan kakiku sangat dalam. Aku tak pernah terkilir separah ini kecuali terkilir biasa, yang bisa langsung normal lagi. Ibarat pipa air, ia dipaksa bengkok dengan kerasnya hingga aliran air menjadi terganggu dan seperti hendak patah. Rasanya aku lupa kalau punya jari-jari kaki karena pergelangan kakiku sakit sekali.
            “lho, bu! Bu! Kenapa?!?!”
            “Bu Anna!”
            Teriakan anak-anak mericuhkan suasana. Guru-guru yang berada di dalam koperasipun keluar. Guru tatib yang menjadi saksi ‘tarian kakiku’-pun mendekatiku dengan tergesa. Aku tak terlalu memperhatikan, karena tanpa sadar genangan air menghalangi pandanganku. Rasa sakit yang tak kuucapkan, membuat air mataku keluar.
            Aku dipapah oleh guru perempuan ke dalam koperasi. Guru tatib, cak Dwi namanya tampak mengamati kakiku sebelum kemudian diminta untuk membenahi kakiku. Membenahi? Pikiranku sudah tak karuan. Apakah kakiku rusak?
            “ambilkan minyak, minyak!” guru-guru yang berada di sekitar situ ikut bingung.
            “bu kholifah punya. Tak ambilin.” Sahut yang lain.
            Entahlah kekacauan seperti apa yang sudah kubuat dari sikap cerobohku yang kurang berhati-hati dalam berjalan.
            Baru cak Dwi meletakkan tangannya di kakiku, rasanya seperti dihantam dengan bola beton. Seandainya saja aku tak di sekolah, mungkin aku akan berteriak. Mungkin inilah yang dinamakan kesetiaan sejati. Saat satu anggota yang sakit, rasanya seluruh tubuhku ikut merasakan sakitnya.
            nopoo? Sakit?” tanya cak Dwi. Aku tak menjawab, hanya tersenyum samar, tak mau mengakui. Di sini, aku bukan anak-anak lagi. Pantang jika aku merengek karena kesakitan bukan? Yah, mungkin aku yang terkecil dibandingkan guru-guru yang lain. Tapi, ini sekolah. Maksudku, kalian taulah.
Namun memang saat kita tak jujur, air mata akan menjawabnya. Aku malu sebenarnya, tapi air mataku tak mau tau. Ia keluar tanpa kira-kira, meskipun tanpa suara. Apalagi ketika bagian yang sakit ditekan, dan ditarik dengan kuatnya.
“ambilin tissue,” suruh cak Dwi pada mbak Pipit lalu disodorkan padaku.
“coba digerakin, diputar.”
Aku menuruti arahan cak Dwi dan mencoba melakukannya dengan pelan. Sakit sekali.
“gak papa, nanti dikompres sama air dingin. Air dingin itu memang dingin, tapi dia memberikan efek panas. Soalnya ini bakalan bengkak. Ini udah keliatan. Coba digerakin lagi.”
Aku menuruti. Kaki sudah bisa kugerakin, tidak seperti pertama tadi. Syukurlah, kakiku masih bisa diperbaiki.
“masih sakit?”
isiiiiiin,” aku melenguh layaknya seorang adik yang merengek pada kakaknya. Tissue masih ditanganku, air mata masih tersisi di pelupuk mata.
Beberapa orang yang berada di koperasi sekolah tertawa.
“hahaha. Gedhean isin gara-gara tiboe ya daripada lorone?” timpal cak Dwi yang langsung kuiyakan.
Tadi, aku tak memikirkan apapun selain rasa sakit di kakiku. Tapi kali ini, aku mulai memikirkan rasa malu karena ‘beratraksi’ di depan koperasi dan disaksikan anak-anak serta beberapa guru yang lain. Rasanya aku malu sekali. Mau bagaimana aku jika mengajar besok?
Tapi sedikit beruntung aku besok tidak akan masuk sekolah. Kakiku bengkak. Dan aku kesulitan untuk berjalan. Baiklah, setelah aku hanya bisa membahasakan keseleo dalam cerita yang kutulis, kini aku merasakannya sendiri.


-snj, 030219

0 komentar: