Tentang Rokok
Aku tak tau sejak kapan aku membenci rokok. Yang jelas aku tak terbiasa dengan asap rokok. Jika terkena
asap rokok sedikit saja, aku langsung tak bisa bernafas. Kemudian batuk-batuk,
kemudian muntah-muntah. Begitulah. Seperti hari ini.
Seperti biasa, selepas tarawih ibu
mewajibkan semua keluarga di rumah harus mengaji terlebih dahulu, termasuk aku
dan adik-adik. Ayah juga. Tapi hari ini, ayah dan adik diizinkan untuk pulang
dulu karena mau ada keperluan ke rumah nenek. Jadinya tinggal aku, adikku yang
perempuan dan ibuk. Jangan tanya kenapa hanya keluarga kami saja, karena setiap
ramdhan tahun-tahun terakhir ini memang hanya kami. Entah kalau tahun depan
ketambahan satu orang anggota lagi. Kalian tau maksudku kan?
Kembali pada tadarrus selepas tarawih.
Sedikit berbeda dengan biasanya, di halaman
musholla ada bapak-bapak jagongan sembari menikmati suguhan dari orang,
lengkap dengan rokoknya masing-masing. Aku yang masih melanjutkan mengajiku
sendiri sembari menunggu adek, tiba-tiba kesulitan bernafas. Adek langsung
berhenti dan menutup hidung. Begitupun denganku. Ibu yang terkadang masih
toleran juga mulai tampak terganggu. Mau bilang ini gimana, gak bilang ini kami
tersiksa. Di tengah pergejolakan, aku langsung mulai batuk-batuk hingga air
mataku keluar. Kemudian aku mulai mual-mual. Ibu dan adek menyuruhku ke kamar
mandi untuk menghirup udara segar karena asap sudah memenuhi musholla. Namun belum
lama setelah itu, aku langsung mual-mual. Kukira saja hanya mual-mual tanpa
harus mengeluarkan cairan, tapi ternyata mual itu berlanjut ke tahap
selanjutnya, yakni muntah. Dengan sigap aku langsung berlari ke kamar mandi
melewati bapak-bapak tadi dan muntah di sana. Bahkan aku tak sadar jika
al-Quranku masih di tangan. Semoga saja Tuhan men-toleran kecerobohanku. Samar-samar
aku mendengar bapak-bapak bertanya aku kenapa pada ibu dan adek yang
mengikutiku di belakang.
“nopoo?”
“niku, ngapunten sakderenge. Kenek asap
rokok.”
Setelah aku kembali dari kamar mandi, aku
melihat bapak-bapak sudah mematikan semua rokok mereka dan asapnya sudah
berkurang. Di satu sisi, aku merasa tak enak karena seakan menghentikan mereka
melakukan hal yang mereka gemari. Sedangkan di sisi lain aku kagum, karena
mereka masih menghargai. Dan di sisi lain lagi, entah kenapa aku jadi sungkan
sendiri.
Begitulah. Aku tak membenci orang yang
merokok, tapi aku sangat tidak suka dengan rokok. Ketika sekolah dulu, aku
mungkin hanya tak suka karena bau asapnya. Tapi semenjak kuliah, aku sekilas
mempelajari bahan-bahan kimia yang terdapat dalam rokok dan efeknya terhadap
perokok aktif maupun pasif. Sehingga ke-enggananku
pada rokok semakin tinggi.
“lalu bagaimana jika suamimu nanti perokok?”
Ada yang pernah bertanya. Aku selalu
berharap kalau suamiku nanti bukanlah seorang perokok. Jikapun ia perokok, aku
akan menggunakan segala cara agar ia meminimalisir aktivitas merokoknya hingga
bisa berhenti total. Bukannya aku tak mau, tapi aku khawatir pada anak-anakku
kelak. Daripada efek positif, rokok lebih banyak memberikan efek negatif. Lalu ibu
berkata,
“jika istrinya sampe kayak gini kalau kena
asap rokok, ya masa suaminya gak bakal berhenti?”
Kemudian aku tertawa.
~snj, 1900519
0 komentar: