Aku & Doa
Aku pernah menghardik Tuhan, akan ketidaksesuaian nyata dengan doa yang kupanjatkan. Apa Dia tidak mendengar doaku? Atau Dia berusaha untuk mempermainkanku? Kata-Nya aku hanya musti berdoa pada-Nya, dan Dia akan mengabulkan segalanya. Apapun itu. Tapi saat apa yang terjadi tidak seperti keinginanku, apa Tuhan membohongiku?
Seperti yang pernah terjadi.
Aku berdoa karena seseorang. Kata-Nya, aku boleh meminta asalkan ia baik agamanya. Jadi aku meminta sedalam-dalamnya, semaksa-maksanya agar aku dijodohkan dengannya. Beberapa tanda sudah kusimpulkan. Mulai dari pertemuan yang tak sengaja dan tak terduga terduga (it's mean dipertemukan), tanggapan positif dari kedua keluarga, restu orang tua yang kontan (tidak sperti yang pernah-pernah datang sebelumnya), nasab yang jelas dan baik, apalagi agamanya yang tak diragukan lagi. Ditambah lagi hasil istikhoroh yang juga baik. Pokoknya dia itu bakal jadi imam yang ‘baik’lah. Yang paling terbaik bagiku saat itu. Seakan-akan jika bersamanya, aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia. Tak kurang-kurangnya aku mendesak Allah disepertiga malam, merayu-Nya melalui doa-doa bahkan dengan percaya dirinya kujadikan ia sebagai tulisan. Keyakinanku saat itu sudah 99%, didukung dengan tanda-tanda kalau aku dan dia hanya tinggal selangkah saja, yaitu khitbah. Namun kemudian, tiba-tiba saja Allah menghentikan langkahku. Pintu yang tadi terbuka lebar, tiba-tiba saja tertutup dengan keras. Siapa yang tidak terkejut? aku melirik sinis pada Allah dan bertanya “apa-apaan ini ya Allah!” Padahal Allah yang membuatku bertemu dengannya, menyelami sejenak harum cinta sebelum pernikahan dengan indahnya masa ta’aruf, menggetarkan hatiku tiap kali berdoa untuknya, lalu BLAK!! Allah menutup pintunya. Ada apa ini? apa aku sedang dipermainkan? Jangan ditanyakan betapa kecewanya diriku. Tentu saja kecewa sekali. Setelah menghardik Tuhan, aku mulai menyalahkan diriku sendiri. Begitulah. Saat ada sesuatu yang salah, aku seringkali menyalahkan diriku sendiri. Namanya juga kaget. Kaget itu hanya awalnya saja, kemudian juga (berusaha) normal lagi. Seperti hantu yang tiba-tiba saja muncul. Kaget kan? tapi kalau lama-lama dilihat juga bakal tenang sendiri. Right? Mungkin begitulah yang kurasakan.
Sekarang, dengan pikiran jernihku akhirnya aku mulai menelisik setiap doa-doa yang kupanjatkan pada-Nya. Apa aku salah doa hingga Allah memberiku takdir ‘kegagalan’ dengan tidak berjodoh dengannya? Pikirankupun akhirnya terbuka, layaknya spongebob yang menemukan I-MA-JI-NA-SI nya.
Aku ingat doaku. Jika menikah nantinya, aku ingin sekali bisa istiqomah sholat jamaah. Entah itu wajib atau sunnah. Menghabiskan subuh dengan tadarrus al-Qur’an, lalu bekerja bersama, pulang ketika anak-anak pulang sekolah, kemudian mengantarkan anak-anak mengaji dan diniyah, tadarrus dan belajar bersama selepas maghrib hingga isya, lalu menghabiskan waktu berdua setelah anak-anak tidur. Lalu aku teringat dia yang memiliki bisnis yang mengharuskannya untuk sering ke luar kota. Jika aku bersamanya, bukankah rencanaku itu hanyalah sekedar rencana? Mungkin saja bisa, tapi tak bisa istiqomah. Belum lagi waktu liburan, adalah moment paling menjanjikan untuk bisnisnya. Lalu bagaimana dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak? Kemudian aku selalu berharap bersama sesorang yang bisa menjaga sholatnya. Sedangkan bisnisnya mengharuskan ia untuk ‘menerobos’ waktu sholat dan menggantinya dengan jamak qoshor. Memang diperbolehkan, tapi bukankah lebih utama sholat pada waktunya? Setelah itu, aku juga berharap pada seseorang yang memiliki perasaan yang sama tentang pendidikan terutama pengabdian ke romo kyai. Sedangkan ia, sepertinya lebih fokus pada bisnisnya daripada mengajarnya. Jika seperti itu, bukankah rasa cintaku pada pengabdian tak akan bisa dimengerti sepenuhnya? Ya bukannya aku berburuk sangka, tapi siapa yang tau? Dan lagi tipeku yang pencemburu dan khawatiran, tentu saja sangat ironis sekali dengan dia yang harus berinteraksi dengan banyak orang (pasti banyak perempuan-perempuan yang lebih dariku) dan menyusuri jalan hingga berhari-hari. Bagaimana mungkin aku tak banyak khawatir setiap harinya?
Lalu aku sadar. Allah tidak sedang mempermainkanku. Dia hanya mengabulkan doaku. Ia menutup pintuku dan dia karena Allah tau apa yang kuharapkan tak akan bisa kucapai jika bersamanya. Allah juga sedang menjaga hatiku dari rasa cemburu dan khawatir yang akan sering kurasakan jika bersamanya. Dan lagi, Allah benar-benar mencarikanku imam. Maksudnya imam secara dhohir dan batin. Bukan yang dhohir saja, bukan pula yang batin saja. Lalu kenapa Allah menjatuhkanku dengan mempertemukanku dengannya? Karena Allah hanya ingin tau seberapa besar aku mencintai-Nya. Seberapa besar keyakinanku pada-Nya. Mungkin kemarin aku terpuruk, tapi aku bersyukur karena Allah mengizinkanku untuk kembali menyadari bahwa setiap takdir yang ia berikan ada alasannya, yaitu doa.
Yah, Allah memang sedang mengabulkan doaku.
Jika doaku bukan dia, apakah kamu?
Bersama doa, 31 Juli 2019
0 komentar: