Jumat, 24 Mei 2019

Hari Pertama


            Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Tapi berbeda dengan hari pertamaku sebelumnya, karena hari ini adalah hari pertamaku masuk di sekolah yang baru. Madrasah Tsanawiyah. Kata yang masih asing di telingaku setelah sebelumnya hanya mengerti tentang Sekolah Dasar. Beberapa hari yang lalu, aku telah melewati seleksi tes penerimaan di sekolah ini. Berdasarkan hasil tes yang kurang lebih kulakukan dua kali, kata mbak-mbak yang mengantarkan, aku masuk di kelas unggulan. Aku yang masih terngiang-ngiang bayangan ayah dan ibu di rumahpun tak tau menahu tentang pembagian kelas atau apapun yang lainnya. Pokoknya, aku tau letak ruang kelasku. Aku tak mau kesasar di hari pertama masuk sekolah.
            Aku memasuki ruang kelas yang terdapat tulisan kelas VII-Ugl di jendela. Sudah ada beberapa anak di sana, tapi aku tak berani menyapa. Aku hanya mencari tempat duduk yang terpisah dari gerumbulan di sana dan menaruh tasku. Kusandarkan punggungku pada kursi dan melabuhkan pikiranku pada ayah dan ibu yang berada di rumah. Aku teringat kejadian minggu kemarin saat ayah dan ibu mengantarkanku untuk berangkat ke pondok. Kali pertama aku jauh dari orang tua, dan harus bisa mengatasi urusanku sendiri. Meskipun mbak-mbak kamar dan asrama saling berlomba untuk membuatku kerasan, tapi tetap saja aku merindukan pelukan hangat ibu dan ayah tiap kali aku berangkat ke sekolah.
            Satu  persatu teman sekelasku  memasuki kelas. Semua wajahnya asing. Ada beberapa yang pernah kulihat dan dikenalkan mbak-mbak ketika di asrama. Kalau tidak salah namanya Rima. Ia yang paling kuingat karena memiliki paras yang cantik dan berkacamata. Selain itu, aku tak tau. Jam sudah menunjukkan pukul 07.05 WIB. Bel masuk seharusnya sudah berbunyi. Tapi aku tak mendengarnya. Entah karena memang tidak berbunyi, ataukah aku yang terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Ketika itulah ia datang.
            Ia berjalan dengan penuh percaya diri di depan semua anak kelas. Wajahnya lurus, tapi matanya tertunduk ke bawah seperti sedang mencari sesuatu. Aku hanya melihatnya sekilas saat ia mengambil tempat duduk di belakang dua anak lelaki barisan paling kiri. Kemudian beberapa perempuan yang mungkin lebih mudah berbaur, langsung mendekatinya dan mengajak kenalan. Aku hanya berpaling acuh. Aku tak pandai memulai percakapan.
---***---
            “kamu gak mau nanya?” suara lelaki di sampingku membuatku menatap bingung. Ia melihatku, seakan menunggu jawaban. Tapi aku masih ragu apakah memang aku yang ia ajak bicara?
            Berdasarkan permintaan guru gegografi, kamu diminta untuk mengatur tempat duduk membentuk lingkaran. Aku hanya mengatur tempat duduk sekenanya dan tidak tau kalau ternyata lelaki itu yang berada di sampingku. Namanya Haidar. Aku ingat, karena hanya ada 3 laki-laki di kelasku.
            Haidar masih menunggu jawaban.
            “nanya apa?” tanyaku dengan suara lirih. Aku tipe orang yang sulit untuk berinteraksi dengan orang lain, apalagi lawan jenis.
            “ya nanya apa aja,” balasnya dengan nada yang bersemangat.
            Aku memutar otakku mencari-cari pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran geografi. Tapi sungguh, nama pelajarannya saja aku baru tau. Aku tak bisa memikirkan apapun. Rasanya pelipisku sakit karena memikirkan pertanyaan itu.
            “kamu ngapain?” tanyanya dengan kening berkerut.
            “ny-nyari pertanyaan?”
            Dia langsung tertawa. Tawa yang semakin membuatku bingung memikirkan alasan ia tertawa. Kenapa ia tertawa?
            “kamu tau nggak?”
            Aku menggeleng. Dia tertawa lagi, membuatku semakin bingung. Bahkan teman-teman yang lain melihat ke arah kami. Membuatku malu sendiri karena menjadi pusat perhatian. Jika saja aku bisa melihat diriku sendiri saat itu, mungkin wajahku sudah semerah apel. Menghindari hal itu, aku memilih untuk mengabaikannya saja. Aku tak tau harus menanggapi bagaimana.
            Beberapa saat kemudian, ia memberi isyarat untuk mendekat padanya. Ia berbisik padaku.
            “coba tanya, kenapa bulan mengelilingi bumi?”
            Aku menoleh padanya. “kamu saja yang tanya.”
            “jangan, kamu saja,” suruhnya.
            “a-aku…”
            “takut?”
            Aku tersenyum kuda dan mengangguk.
            “makanya kamu yang nanya. Kan udah tak cariin pertanyaan. Kamu gak usah mikir lagi. Tinggal ngomong.”
            Baiklah. Di satu sisi, aku benar-benar tak ingin angkat suara yang nantinya akan membuat berpasang-pasang mata mengarah padaku. Tapi di sisi lain, aku merasa tak enak karena Haidar sudah ‘susah payah’ mencarikanku pertanyaan –yang entah kenapa tidak mau ia tanyakan sendiri-. Haidar menatapku seakan permintaannya adalah sesuatu yang tidak bisa kutolak.
            Akhirnya dengan mengumpukan keberanian segunung, aku mengangkat tanganku dan bertanya. Sebisa mungkin kuhindari kontak mata dengan teman-teman yang lain untuk mengurangi kegugupanku. Meskipun begitu, aku bisa mendengar suaraku yang bergetar. Aku melontarkan pertanyaan yang dikatakan haidar tadi dan disambut positif oleh sang guru. Sebagai bentuk apresiasi, sang guru meminta tepuk tangan yang membuat jantungku berdetak sangat kencang antara bahagia dan merasa diharga. Aku menoleh ke arah Haidar yang tersenyum penuh arti. Aku merasa berterima kasih padanya atas apa yang telah ia lakukan. Mungkin ini terlalu men-drama-tisir, tapi apa yang ia lakukan mampu menumbuhkan sedikit rasa percaya diriku dan melatihku untuk berbicara dengan orang lain. Aku tak terlalu mengenal Haidar selain ia selalu dikelilingi oleh teman-teman perempuan yang lain selagi aku duduk di kursi sembari menulis. Tapi aku hanya tau, ia orang baik. Interaksi yang kulakukan dengannya hari ini, hanyalah pembuka dari interaksi-interaksi lain yang kulakukan dengannya. Saat itu aku tak menyadari, jika ada berpasang-pasang mata yang menatap sinis pada interaksi yang kulakukan dengan Haidar.


~240519

0 komentar: