Hari Pertama
Hari ini
adalah hari pertama aku masuk sekolah. Tapi berbeda dengan hari pertamaku
sebelumnya, karena hari ini adalah hari pertamaku masuk di sekolah yang baru.
Madrasah Tsanawiyah. Kata yang masih asing di telingaku setelah sebelumnya
hanya mengerti tentang Sekolah Dasar. Beberapa hari yang lalu, aku telah
melewati seleksi tes penerimaan di sekolah ini. Berdasarkan hasil tes yang
kurang lebih kulakukan dua kali, kata mbak-mbak yang mengantarkan, aku masuk di
kelas unggulan. Aku yang masih terngiang-ngiang bayangan ayah dan ibu di
rumahpun tak tau menahu tentang pembagian kelas atau apapun yang lainnya. Pokoknya,
aku tau letak ruang kelasku. Aku tak mau kesasar di hari pertama masuk sekolah.
Aku memasuki
ruang kelas yang terdapat tulisan kelas VII-Ugl di jendela. Sudah ada beberapa
anak di sana, tapi aku tak berani menyapa. Aku hanya mencari tempat duduk yang terpisah
dari gerumbulan di sana dan menaruh tasku. Kusandarkan punggungku pada kursi
dan melabuhkan pikiranku pada ayah dan ibu yang berada di rumah. Aku teringat
kejadian minggu kemarin saat ayah dan ibu mengantarkanku untuk berangkat ke
pondok. Kali pertama aku jauh dari orang tua, dan harus bisa mengatasi urusanku
sendiri. Meskipun mbak-mbak kamar dan asrama saling berlomba untuk membuatku kerasan,
tapi tetap saja aku merindukan pelukan hangat ibu dan ayah tiap kali aku
berangkat ke sekolah.
Satu persatu teman sekelasku memasuki kelas. Semua wajahnya asing. Ada beberapa
yang pernah kulihat dan dikenalkan mbak-mbak ketika di asrama. Kalau tidak
salah namanya Rima. Ia yang paling kuingat karena memiliki paras yang cantik
dan berkacamata. Selain itu, aku tak tau. Jam sudah menunjukkan pukul 07.05
WIB. Bel masuk seharusnya sudah berbunyi. Tapi aku tak mendengarnya. Entah karena
memang tidak berbunyi, ataukah aku yang terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.
Ketika itulah ia datang.
Ia berjalan
dengan penuh percaya diri di depan semua anak kelas. Wajahnya lurus, tapi
matanya tertunduk ke bawah seperti sedang mencari sesuatu. Aku hanya melihatnya
sekilas saat ia mengambil tempat duduk di belakang dua anak lelaki barisan
paling kiri. Kemudian beberapa perempuan yang mungkin lebih mudah berbaur,
langsung mendekatinya dan mengajak kenalan. Aku hanya berpaling acuh. Aku tak
pandai memulai percakapan.
---***---
“kamu gak
mau nanya?” suara lelaki di sampingku membuatku menatap bingung. Ia melihatku,
seakan menunggu jawaban. Tapi aku masih ragu apakah memang aku yang ia ajak
bicara?
Berdasarkan permintaan
guru gegografi, kamu diminta untuk mengatur tempat duduk membentuk lingkaran. Aku
hanya mengatur tempat duduk sekenanya dan tidak tau kalau ternyata lelaki itu
yang berada di sampingku. Namanya Haidar. Aku ingat, karena hanya ada 3
laki-laki di kelasku.
Haidar masih
menunggu jawaban.
“nanya apa?”
tanyaku dengan suara lirih. Aku tipe orang yang sulit untuk berinteraksi dengan
orang lain, apalagi lawan jenis.
“ya nanya
apa aja,” balasnya dengan nada yang bersemangat.
Aku memutar
otakku mencari-cari pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran geografi. Tapi
sungguh, nama pelajarannya saja aku baru tau. Aku tak bisa memikirkan apapun. Rasanya
pelipisku sakit karena memikirkan pertanyaan itu.
“kamu
ngapain?” tanyanya dengan kening berkerut.
“ny-nyari
pertanyaan?”
Dia langsung
tertawa. Tawa yang semakin membuatku bingung memikirkan alasan ia tertawa. Kenapa
ia tertawa?
“kamu tau
nggak?”
Aku menggeleng.
Dia tertawa lagi, membuatku semakin bingung. Bahkan teman-teman yang lain
melihat ke arah kami. Membuatku malu sendiri karena menjadi pusat perhatian. Jika
saja aku bisa melihat diriku sendiri saat itu, mungkin wajahku sudah semerah
apel. Menghindari hal itu, aku memilih untuk mengabaikannya saja. Aku tak tau
harus menanggapi bagaimana.
Beberapa saat
kemudian, ia memberi isyarat untuk mendekat padanya. Ia berbisik padaku.
“coba tanya,
kenapa bulan mengelilingi bumi?”
Aku menoleh
padanya. “kamu saja yang tanya.”
“jangan,
kamu saja,” suruhnya.
“a-aku…”
“takut?”
Aku tersenyum
kuda dan mengangguk.
“makanya
kamu yang nanya. Kan udah tak cariin pertanyaan. Kamu gak usah mikir lagi.
Tinggal ngomong.”
Baiklah. Di satu
sisi, aku benar-benar tak ingin angkat suara yang nantinya akan membuat
berpasang-pasang mata mengarah padaku. Tapi di sisi lain, aku merasa tak enak
karena Haidar sudah ‘susah payah’ mencarikanku pertanyaan –yang entah kenapa
tidak mau ia tanyakan sendiri-. Haidar menatapku seakan permintaannya adalah
sesuatu yang tidak bisa kutolak.
Akhirnya dengan
mengumpukan keberanian segunung, aku mengangkat tanganku dan bertanya. Sebisa mungkin
kuhindari kontak mata dengan teman-teman yang lain untuk mengurangi
kegugupanku. Meskipun begitu, aku bisa mendengar suaraku yang bergetar. Aku melontarkan
pertanyaan yang dikatakan haidar tadi dan disambut positif oleh sang guru. Sebagai
bentuk apresiasi, sang guru meminta tepuk tangan yang membuat jantungku
berdetak sangat kencang antara bahagia dan merasa diharga. Aku menoleh ke arah
Haidar yang tersenyum penuh arti. Aku merasa berterima kasih padanya atas apa
yang telah ia lakukan. Mungkin ini terlalu men-drama-tisir, tapi apa yang ia
lakukan mampu menumbuhkan sedikit rasa percaya diriku dan melatihku untuk
berbicara dengan orang lain. Aku tak terlalu mengenal Haidar selain ia selalu
dikelilingi oleh teman-teman perempuan yang lain selagi aku duduk di kursi
sembari menulis. Tapi aku hanya tau, ia orang baik. Interaksi yang kulakukan
dengannya hari ini, hanyalah pembuka dari interaksi-interaksi lain yang
kulakukan dengannya. Saat itu aku tak menyadari, jika ada berpasang-pasang mata
yang menatap sinis pada interaksi yang kulakukan dengan Haidar.
~240519
0 komentar: