Minggu, 18 Oktober 2020

Sesal

            “aku menyesal, kak.” Aku berkata seusai mendesah.

            “menyesal, kenapa?”

            “jika saja aku dulu memilih untuk menerima dan menjalani cinta lebih awal, mungkin saat ini sudah ada cincin yang melingkar di jariku.”

            Yah, permasalahan apalagi yang dihadapi oleh perempuan seumuranku jika bukan perihal pernikahan? ketika teman-teman yang lain bahkan adik-adik tingkat memasang foto berdua sambil memamerkan buku nikah, aku memasang foto dengan buku bacaan dan menulis caption tentang cerita.

            Kak Alfan terkekeh. “tidak masuk akal.”

            “lihat saja teman-temanku banyak yang menikah dengan pacar sendiri. Seandainya aku dulu menanggapi perasaan kak Denny atau kak Cagur, lalu pacaran dengan salah satunya. Lagipula mereka orang baik dan bersedia menunggu. Namun aku malah memberi mereka batas dengan dalih masih ingin fokus kuliah dan ingin tetap menjaga hingga waktunya. Seandainya, hanya jika bisa, aku dulu tidak sok-sokan menjaga diri demi orang yang bahkan sampai saat ini belum datang,” cerocosku dengan wajah kesal. Hatiku sudah menciut. Semangatku semakin surut.

            Namun bukannya segera menjawab, kak Alfan malah tertawa. “jadi, kamu menyesal karena tidak menyicil dosa lebih awal, gitu?”

            “ya bukan gitu. Tapi kan,” aku menggantungkan kalimatku karena memang tidak tau apa yang hendak kukatakan sebagai jawaban.

            Kak Alfan menaikkan alisnya. Ia tau aku tidak punya jawaban.

            “dengerin ya adekku yang sering goyah. Kenapa kamu harus iri dengan mereka yang memeroleh pasangan dengan jalan pacaran? Lalu kamu menyesal, karena telah memilih untuk menjaga diri hingga saat ini namun masih sendirian?”

            Aku terdiam. Mulutku hendak mengiyakan, tapi nuraniku berkata sebaliknya.

            “gini. Seperti kamu ingin melihat kebun bunga di seberang jalan. Hanya ada dua jalan untuk bisa ke sana. Jalan pertama adalah jalan lurus yang tidak memerlukanmu untuk berjalan jauh. Namun jalanannya dipenuhi lumpur se-matakaki. Jalan kedua adalah jalanan yang berliku. Jaraknya cukup jauh karena kamu harus memutar untuk bisa sampai di sana. Namun di sepanjang jalan itu ada sungai yang mengalir dan ikan-ikan yang berenang. Kamu, pilih mana?”

            Kedua? pertama? kedua? Aku berpikir memilih jalan yang mana. Namun semakin kupertimbangkan, pilihanku tetap sama. Aku mengangkat jariku menunjukkan angka dua.

            Kak Alfan tersenyum, bangga dengan jawabanku. “Begitupun dengan jalan ceritamu. Sekalipun tujuannya sama-sama melihat bunga, namun rasanya akan berbeda ketika kau melihatnya dengan kaki yang berlumpur dan bersih. Yah, perjalananmu memang lebih panjang, namun bukankah kau bisa belajar banyak hal dari perjalanan itu?”

            Untuk kesekian kalinya aku terdiam. Sesak karena menahan kesal dan tangis tadi, perlahan menghilang. Hatiku kembali tenang. (~snj)

 

Pasuruan, 17 Oktober 2020



0 komentar: