Sesal
“aku menyesal, kak.” Aku berkata
seusai mendesah.
“menyesal, kenapa?”
“jika saja aku dulu memilih untuk
menerima dan menjalani cinta lebih awal, mungkin saat ini sudah ada cincin yang
melingkar di jariku.”
Yah, permasalahan apalagi yang
dihadapi oleh perempuan seumuranku jika bukan perihal pernikahan? ketika
teman-teman yang lain bahkan adik-adik tingkat memasang foto berdua sambil memamerkan
buku nikah, aku memasang foto dengan buku bacaan dan menulis caption tentang
cerita.
Kak Alfan terkekeh. “tidak masuk
akal.”
“lihat saja teman-temanku banyak
yang menikah dengan pacar sendiri. Seandainya aku dulu menanggapi perasaan kak
Denny atau kak Cagur, lalu pacaran dengan salah satunya. Lagipula mereka orang
baik dan bersedia menunggu. Namun aku malah memberi mereka batas dengan dalih
masih ingin fokus kuliah dan ingin tetap menjaga hingga waktunya. Seandainya, hanya
jika bisa, aku dulu tidak sok-sokan menjaga diri demi orang yang bahkan sampai
saat ini belum datang,” cerocosku dengan wajah kesal. Hatiku sudah menciut. Semangatku
semakin surut.
Namun bukannya segera menjawab, kak
Alfan malah tertawa. “jadi, kamu menyesal karena tidak menyicil dosa lebih
awal, gitu?”
“ya bukan gitu. Tapi kan,” aku
menggantungkan kalimatku karena memang tidak tau apa yang hendak kukatakan
sebagai jawaban.
Kak Alfan menaikkan alisnya. Ia tau
aku tidak punya jawaban.
“dengerin ya adekku yang sering
goyah. Kenapa kamu harus iri dengan mereka yang memeroleh pasangan dengan jalan
pacaran? Lalu kamu menyesal, karena telah memilih untuk menjaga diri hingga
saat ini namun masih sendirian?”
Aku terdiam. Mulutku hendak
mengiyakan, tapi nuraniku berkata sebaliknya.
“gini. Seperti kamu ingin melihat kebun
bunga di seberang jalan. Hanya ada dua jalan untuk bisa ke sana. Jalan pertama
adalah jalan lurus yang tidak memerlukanmu untuk berjalan jauh. Namun
jalanannya dipenuhi lumpur se-matakaki. Jalan kedua adalah jalanan yang
berliku. Jaraknya cukup jauh karena kamu harus memutar untuk bisa sampai di
sana. Namun di sepanjang jalan itu ada sungai yang mengalir dan ikan-ikan yang
berenang. Kamu, pilih mana?”
Kedua? pertama? kedua? Aku berpikir
memilih jalan yang mana. Namun semakin kupertimbangkan, pilihanku tetap sama.
Aku mengangkat jariku menunjukkan angka dua.
Kak Alfan tersenyum, bangga dengan
jawabanku. “Begitupun dengan jalan ceritamu. Sekalipun tujuannya sama-sama
melihat bunga, namun rasanya akan berbeda ketika kau melihatnya dengan kaki
yang berlumpur dan bersih. Yah, perjalananmu memang lebih panjang, namun
bukankah kau bisa belajar banyak hal dari perjalanan itu?”
Untuk kesekian kalinya aku terdiam. Sesak
karena menahan kesal dan tangis tadi, perlahan menghilang. Hatiku kembali
tenang. (~snj)
Pasuruan,
17 Oktober 2020
0 komentar: