Minggu, 04 September 2016

Cinta Yang Mengajarkanku


“aku gak mau pacaran.” jawabku pada seorang lelaki yang kini berdiri di depanku. Lelaki yang selama ini berhasil mengisi kekosongan hatiku. Lelaki yang membuatku tak bisa berhenti hadir dalam pikiranku. Seharusnya aku bahagia saat ternyata ia memiliki rasa yang sama padaku. Tapi entah kenapa aku masih tak mau menjalin sebuah hubungan yang lebih dari teman. Bagaimanapun juga aku dan dia masih duduk di semester pertama SMA. Menurutku, kita masih seumur jagung untuk dapat mengerti arti rasa yang sesungguhnya. Apalagi kita juga berstatus santri di pondok pesantren yang sama.
“kamu mengerti kan awal tujuan kita kesini? Kita berniat untuk mencari ilmu bukan untuk pacaran. Aku gak mau mengecewakan orang tuaku yang susah payah membiayai sekolahku. Aku takut mereka kecewa saat ternyata anak yang mereka kira tengah belajar malah pacaran. Aku juga takut pada larangan kyai yang melarang santrinya pacaran.” Jelasku pada Fatih, yang masih membisu. Aku bahkan tak tau ia tengah menatapku atau tidak karena aku tak berani sedikitpun meliriknya. Jujur, baru saat ini aku berbicara berduaan dengan seorang laki-laki. Kikuk? Jangan tanyakan lagi. Aku bahkan bisa mendengar degup jantungku.
“apa aku pernah mengajakmu pacaran?” pertanyaan fatih membuatku mengangkat kepalaku, menatapnya. Mata kami bertemu. Secepat aku mengedipkan mataku, secepat itu pula aku mengalihkan pandanganku. Entahlah, aku tak berani menatap mata tajamnya. Mata yang menyembunyikan kharisma di sana.
Oh, benar. Fatih memang tak pernah mengajakku pacaran. Ia hanya berkata kalau ia sering memperhatikanku semenjak kita sering bertemu di rapat bulanan organisasi sekolah. Kebetulan saat itu Fatih adalah ketua OSIS sedangkan aku ketua Pramuka. Jadi kita sering berinteraksi membahas perkembangan organisasi kedepannya. Dari situlah kekagumanku pada fatih mulai tumbuh. Dari caranya berbicara, caranya mengorganisir anak buahnya, hingga sopan santunnya pada para guru membuat ia menjadi orang pertama yang ingin kutemui saat aku berangkat sekolah. Karena aku dan fatih berada di kelas yang berbeda, jadi aku hanya bisa berharap pada jam istirahat dan pulang sekolah. Hanya dengan menatapnya dari atas tangga saja, aku sudah merasa lebih dari cukup.
“eh … bukannya ta-tadi kamu bi-bilang kalau kamu me-menyukaiku?” jawabku terbata-bata.
Fatih menarik dua ujung bibirnya ke atas.
“yah. Aku memang berkata kalau aku menyukaimu. Tapi aku tak pernah mengajakmu pacaran.”
Aku mengernyitkan dahiku kaku. “tapi kata teman-teman jika ada orang yang bilang kalau ia menyukai kita, itu artinya dia mengajak kita pacaran.”
Fatih tersenyum lebih lebar dari senyuman pertamanya tadi. Bahkan aku bisa melihat deretan gigirnya yang mengintip dari bibirnya. Apa ia tengah menertawakanku? Apa ada yang salah denganku?
“inilah yang membuat rasa tertarikku padamu semakin besar.”

“Nafa! Nafa!” teriak suara yang sudah tak asing ditelingaku. Risa. Aku yang masih mencoba menghafal nadzam Imrithi yang harus kuselesaikan minggu inipun tak menghiraukan Risa. Ujian pondok dua minggu lagi. Dan aku harus menyelesaikan hafalanku ini jika aku ingin naik ke kelas selanjutnya.
“Nafa! berita hot!!” Risa yang tiba-tiba berdiri didepankupun mau tak mau mengharuskanku menutup nadzamku dan mengalihkan perhatianku padanya. Aku tak mau mendengarnya merengek-rengek dan berpikir aku mengacuhkannya.
“ada apa?” tanyaku sedikit terganggu. Cepat katakan sbelum aku akan benar-benar tak mengacuhkanmu. Lanjutku dalam hati. Yah, Risa memang tak kenal waktu jika ada yang ingin ia ceritakan padaku.
“Fatih Naf! Fatih!”
“apa? fatih?? Kenapa??” tanyaku antusias saat nama Fatih disebut. Yah, tanpa kusadar hubungan aneh yang kujalani dengan fatih sudah berjalan selama dua tahun. Sejak kejadia saat itu, aku dan fatih memutuskan untuk tidak pacaran dan tetap fokus pada sekolah dan pondok masing-masing.
“aku mengatakan kalau aku menyukaimu, bukan untuk mengajakmu pacaran. Karena bagiku, pacaran bukanlah jalan satu-satunya untuk menyalurkan sebuah rasa. Bukan cinta yang mendorong untuk berpacaran, tapi nafsu. Jadi aku tak mau nafsu mengalahkan rasaku padamu. Mengetahui kalau kamu memilki rasa yang sama saja, sudah cukup bagiku. Meskipun begitu, bukan berarti aku hanya mempermainkanmu. Jika sudah waktunya nanti, aku akan membuktikan seberapa besar cinta yang selama ini kutumbuhkan dan kau pupuk tanpa kamu sadar.”
Pipiku langsung bersemu merah tiap kali mengingat perkataan Fatih. Mengingat bagaimana hubungan yang kita jalani saat ini, aku jadi tersenyum sendiri. Kita memang tidak pacaran, tapi tidak juga hanya sebatas teman. Kita tak pernah nge-date selayaknya orang pacaran, tapi sebagai gantinya saling berkirim surat. Meskipun isinya hanya sebatas menanyakan kabar dan saling memberikan motivasi belajar. Namun, hal itu tak mengurangi rasaku pada Fatih. Malah rasa ini semakin dalam hingga aku tak dapat lagi membahasakannya.
“Fatih sudah hafal nadzam alfiyah Naf! Kamu tau kan, seberapa banyak nadzam alfiyah itu? 1002 nadzam. Padahal nadzam itu seharusnya kita hafalkan saat kita hampir lulus nanti. Dan Fatih sudah lebih dulu menguasainya disbanding kakak kelas yang berada jauh diatasnya. Waah… kamu beruntung Naf!” cerita Risa antusia. Cerita yang membuatku tak henti-hentinya bersyukur dalam hati.
Fatih memang pemuda yang hebat.

“eh, tunggu.” Cegah fatih, saat aku ingin melangkahkan kakiku melewati pintu ruang rapat. Aku menghentikan langkahku dan membalikkan badanku dengan canggung. Aku sangat mengenal suara Fatih. Meskipun biasanya aku lebih sering mendengar suaranya dari tulisan tangannya.
“ini.” fatih menyodorkan sebuah buku kecil dengan sampul kain batik. Aku menerima buku itu seraya mengernyitkan keningku.
“apa ini?” tanyaku tak mengerti.
“sukses ya.” Seru fatih seraya tersenyum dan langsung berlalu dari hadapanku. Penasaran, akupun membuka buku saku kecil yang diberikan fatih. Aku terkejut saat melihat buku apa yang diberikan fatih. Atau lebih tepatnya bukan buku yang ia berikan tapi sebuah kitab nadzaman. Kitab yang telah ia hafal lebih dulu sebelum aku.
Aku hendak berterimakasih padanya. Tapi fatih telah hilang dari pandanganku. Hanya desiran angin yang menyampaikan kebahagiaan yang kini aku rasakan. Kebahagiaan karena aku tak memilih orang yang salah. Bersamanya, aku bisa menjadi lebih baik.

“jika akhirnya seperti ini, tak seharusnya kamu memulainya.” seruku pada fatih yang baru keluar dari kelasnya. Aku melirik seorang gadis yang menghindari tatapanku dan diam-diam mencuri pandang pada fatih dengan khawatir. Seakan aku adalah penyihir yang berhasil memergoki mereka berdua.
Fatih menatapku datar. “ada apa?”
“apakah begini tampang orang yang pura-pura tidak tau?” aku menyilangkan kedua lenganku.
“aku benar-benar tidak tau. Ada apa?”
Ada apa dia bilang! Saat aku melihatnya berduaan dengan seorang gadis di kelasnya, dia hanya bilang ada apa? apakah ia menganggapku gadis bodoh yang tak bisa mengerti suasana apa yang barusan terjadi antara dia dan gadis itu!
“setelah dua tahun ini, apakah kamu sudah bosan denganku?”
“apa maksudmu nafa?”
“dia,” aku menunjuk gadis yang duduk didalam kelas Fatih, “dia yang namanya salsabila kan? Seorang gadis yang pernah kamu ajak ke rumahmu.” Fatih tampak terkejut saat aku membuka keburukannya. Keburukan yang tak kan pernah bisa kumaafkan.
“iya. Lalu kenapa?”
“kenapa!! Kamu tanya kenapa?? Bukannya meminta maaf tapi kamu menanyakan kenapa?! Melihatmu seperti ini, kamu sungguh keterlaluan Fatih. Apa gunanya dulu kamu mengucapkan kata-kata manis jika pada akhirnya kamu memaksaku meminum empedu seperti ini. Selama ini, aku selalu mempercayaimu. Aku selalu sabar menunggu bukti cinta yang kamu janjikan. Awalnya aku tak percaya saat temanmu, Haris, berkata padaku kalau kamu membawa seorang gadis ke rumahmu. Bahkan ia bilang kalau kalian sering keluar bersama tiap kali liburan pesantren. Aku tetap menutupi cacat janjimu yang akan menjaga perasaanku dimanapun kamu berada. Tapi saat aku melihatmu berdua dengannya dengan mata kepalaku sendiri seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa meredakan amarahku lagi?” Tak terasa ada air yang menggenang di pelupuk mataku dan mengalir membasahi pipiku. Aku sungguh tak menyangka jika fatih akan menghianatiku seperti ini.
“bagaimanapun juga, aku mau putus.” Ujarku seraya mengusap air mataku.
“putus?” fatih mengangkat sebelah alisnya. Aku melemparkan lirikan tertajamku pada fatih dan mengangguk cepat.
“Nafa, apa kamu tau arti kata putus? Kata putus hanya ada dalam kamus pacaran. Dan, apakah kita pernah pacaran?”
Aku membelalakkan mataku mendengar pernyataan fatih. Ada gemuruh di dadaku. “jadi selama ini kamu menganggapku apa? hanya mainan? Atau pengisi waktu luangmu? Jika seperti itu, terimakasih sudah menjadikanku boneka hidup yang selalu menuruti permintaanmu. Aku rasa semuanya sudah jelas. Tak ada lagi yang harus dibicarakan. Assalamualaikum.” Sergahku dan melangkahkan kakiku meninggalkan fatih yang masih terpaku ditempatnya berdiri. Aku sudah tak bisa menyembunyikan air mataku lagi. Ia langsung mengalir deras saat aku duduk di ruang kelasku.

“ciye… kak Nafa hebat. Setelah selesai hafalan nadzam imrithi dan alfiyah, kak nafa lanjut hafalan Al-Qur’an. Salut deh.” Ujar Anisa, adik kelasku. “kasih tau tipsnya donk kak…” pinta Anisa memelas. Aku tersenyum simpul menanggapinya.
“kamu harus jatuh cinta dulu.” Jawabku.
“yaaah, masa iya harus jatuh cinta dulu.” Rengek Anisa yang langsung berlari karena mendengar jawaban tidak masuk akalku.
Setelah perseteruan antara aku dan fatih dua tahun lalu, aku tak pernah lagi bertegur sapa dengannya. Bukannya masih marah atau apa. Tapi aku terlalu malu untuk mengetahui kesalahpahamanku padanya dan salsabila. Ternyata saat itu Haris sengaja membohongiku agar aku dan Fatih bertengkar. Fatih selalu berkata kalau akulah motivasi belajarnya. Karena akulah Fatih berusaha untuk selalu melakukan usaha terbaiknya hingga pada akhirnya ia mengalahkan Haris yang selalu menjadi yang terbaik di kelasnya. Haris tidak suka ada seseorang yang mengalahkannya, sehingga ia memicu amarahku dengan cerita yang tak pernah terjadi. Dan saat aku tak sengaja memergokinya dengan salsabila dulu, mereka hanya belajar. Fatih hanya berusaha menjelaskan pelajaan yang tidak salsabila mengerti. Kebetulan saja waktunya sangat bertepatan sekali.
Berhari-berhari aku menangisi kesalahanku. Aku tak bisa membayangkan betapa kecewanya fatih padaku. Kepercayaan yang selalu ia jaga, langsung kuhancurkan tanpa ampun. Ingin rasanya aku kembali padanya seperti dulu, tapi diri ini sudah terlanjur cacat di depannya. Rasanya aku sudah tak pantas lagi bersanding dengannya. Sejak saat itulah aku berusaha semaksimal mungkin memperbaiki diriku. Biarlah. Biarlah kisah ini berjalan sebagaimana mestinya. Jika ia memang tulang rusukku, dia pasti akan kembali padaku. Dan jika tidak, mungkin dia bukanlah yang terbaik yang disiapkan Tuhan untukku. Aku harus mengambil semua resiko dari semua keputusan yang aku ambil. Jika aku tak mau terbakar, tak seharusnya aku bermain api.
Cinta. Banyak hal yang kudapatkan dari kata ‘cinta’ yang selalu diagungkan diseluruh dunia ini. Cinta mengajariku arti dari kebahagiaan, cinta mengajariku arti rasa kesedihan, dan cinta mengajariku cara untuk bangkit dari keterpurukan. Karena cinta jugalah aku bisa ada di dunia ini. Namun sejatinya, cinta yang hakiki hanyalah cinta kepada Sang Maha Cinta. Cinta yang akan membalasku dengan cinta yang berkali-kali lipat dari cinta siapapun di dunia ini. Cinta yang akan mendekatkanku pada sang pemilik rusuk ini.

#cerpen ini telah diterbitkan dalam buku antologi cerpen 'Keajaiban Cinta' oleh Vendha Media

3 komentar:

  1. Jadiin novel kak :)
    Hiks pas lagi gregetnya eh udah kelar :( kuraang kak heheh siip like

    BalasHapus
    Balasan
    1. 😄
      Insyaallah.. .
      Trimakasih udah berkunjung ya... 😊

      Hapus
  2. bagus mbak ... smoga ttp bisa berkarya dan kenali blog saya mba untuk sering

    BalasHapus