Senin, 23 Oktober 2017

Kubuat Air Matamu Mengalir, Ayah

       
 "dungaren teko jam yamene? Biasae adek-adek dorong budal, Anna wes teko.” Ujar ibu saat ban motorku baru menginjak halaman rumah. Kumatikan mesin motor yang masih menderu dan segera menghampiri ibu.

           “assalamualaikum.” Salamku seraya tersenyum seraya menjabat tangan ibu. Tak lupa kecupan pipi kanan dan kiri yang telah menjadi hal lumrah di keluargaku, tak terkecuali ayah dan adik-adik. Seenggaknya, itulah hal kecil yang bisa menyalurkan kasih sayang yang terkadang tak bisa terucapkan oleh bibir.
            “waalaikumsalam.”
            “wau wonten rencang nyedi sareng wangsol, trus nginep teng kamar. Biasae jam 5 kulo ndugi Malang, tapi tasek ngentosi larene ados kale dandane lami sampek kulo keturon. Akhire jam 6 kaet bidal.” Aduku memberi alasan.
            “oalaah, yo wes. Soale maeng ibuk ngenteni Anna gak teko-teko. Adek-adek yo podo takon nang ndi nenge kok sek dorong teko.”
            Aku tersenyum.
Yah, beberapa hari yang lalu aku mengadu pada ibu tentang masalah-masalah di kampus dan ingin jalan-jalan sekedar melepas penat bersama orang rumah.
kok gak dolen ambek koncone Anna ae?? Kan enak ndek Malang iso nang ndi-ndi.” Suruh ibu suatu waktu.
mboten eco buk. Senengan dolen kale ayah, ibuk kale adek-adek.”
            Bagiku, jalan-jalan terindah itu bersama keluarga. Karena menurutku, perjalanan akan lebih indah jika bersama dengan orang yang kita sayang. Tak peduli seberapa remehkah perjalan itu. Maen air di sungai belakang rumah misalnya. Atau makan kerupuk bareng di depan televisi sambil menggoda satu sama lain yang bakal berakhir dengan teriakan adek-adek.
            “ibu cuma masak buat sarapan adek-adek saja tadi. Ayah juga belum makan. Anna mau makan apa? Tapi ayo masak dulu.”
            Nah, termasuk masak bareng ibuk sambil gosipin si ‘dia’. Dia yang mungkin masih mencari alamat rumah. Ceileh.
            “lhoh, baru dateng anake ayah.” Ayah tiba-tiba keluar dari pintu dengan mengucek-ngucek matanya yang merah. Mata yang ayah korbankan dengan duduk seharian di depan computer, mata yang ayah paksa untuk tidak tertutup demi ibu, aku dan adek-adek.
            “ayah… Assalamualaikum.” Ucapku dan mencium punggung tangan ayah. Diciumnya pipi kanan kiriku dan berakhir dengan dekapan.
            Teringat akan sesuatu, kuajak ayah dan ibu ke ruang tamu dan membongkar isi tasku. Ada kotak ice cream yang sengaja kubeli sebagai oleh-oleh buat adik-adik, karena jika aku pulang dengan tangan kosong mereka akan menyindirku habis-habisan. Misalnya,
            “waah, neng jahat. Adike gak ditukokno opo-opo!”
            “neng! Gowo opo?”
           Kalau gak gitu, mereka bakal obrak-abrik tasku dan meminta apapun yang sekiranya menarik bagi mereka. Begitulah kiranya nasib seorang kakak. Hahaha
            “Anna lek mole, mesti masak sembarang kaler. Sing gawe seblak, gawe pudding, gawe es krim. Pokoke totok omah pasti nyobak-nyobak masakan.” Timpal ibu. Padahal sebenarnya, aku tak terlalu pandai masak. Hanya bisa mencoba-coba masak saja. Kata ibu, masak itu ilmu gampang. Ntar kalau udah nikah, pasti bisa-bisa sendiri. Dan aku percaya penuh dengan perkataan ibu. (Alesan aja sih sebenernya…hehe)
            Aku hanya memamerkan deretan gigiku.
            Terakhir, kukeluarkan beberapa ekslempar buku kumpulan cerpenku yang baru datang kemaren lusa. UNDER THE WORD.
            Tampak senyuman di wajah mereka yang membuat hatiku terenyuh. Senyuman yang selalu kudambakan untuk setiap pencapaianku.
            “lhoh, cek akehe? Gawe sopoan iku?” ibu membolak-balik bukuku.
            “MA, MTs, Madin, mas sopan blab la bla.”
            “endi sing wes bukaan? Ayah kate moco.” Pinta ayah.
            Ibu tertawa mengejek. “ayah moso seneng moco? Paling sak lembar tok wes dideleh. Yo lek ibuk, seneng moco.”
            “lhoh, ibuk iki ngenyek bojone.”
            Jujur, interaksi semacam inilah yang membuatku iri pada kedua orang tuaku. Meskipun  berawal dari perjodohan yang ibuku bahkan tidak tau apapun, akhirnya cinta yang dibangun di atas ridho Tuhan menjadi semanis ini. Mungkinkah kisah manis mereka akan menular padaku juga? Ah, disini bukan paragraph yang tepat untuk menyerukan harapan masa depanku. Kembali pada ibu dan ayahku.
            “sini.” Ayah mengambil buku yang sudah terbuka dan membawanya ke teras rumah. Secara otomatis, aku dan ibu mengekori ayah duduk di teras depan.
            Ayah membetulkan letak kacamatanya dan mulai membaca dengan keras.

            “lhoh, Yahya Shooting?” celetuk ayah memandangku. Aku dan ibu saling bertatapan sebelum kemudian tertawa bersama dengan ayah. ‘Yahya shooting’, begitulah orang-orang sering memanggil ayah karena pekerjaannya. Dan aku bangga dengan itu.
            Ayah melanjutkan bacaannya.

            Setelah halaman pertama, ayah beralih ke halaman terakhir.

            “aku dan tiada iku sing ndek Koran ya?” sela ibu. Aku mengangguk. Sedangkan ayah hanya memandang kosong. Yah, seperti yang dikatakan ibu. Ayah bukanlah orang yang suka membaca sekalipun dulu ayah pernah menjadi penjual Koran dan majalah. Paling mentok, ibu yang membaca sedangkan ayah yang mendengarkan sekalipun terkadang ibu harus mengulang bacaannya berkali-kali karena ayah tidak kunjung faham dengan apa yang dimaksud dengan tulisanku. Satu hal lagi yang membuatku iri. Hehehe
            Ketika memandangi ikan-ikan yang kejar-kejaran di kolam, aku mendapati ibu yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Ah, aku baru ingat. Ayah belum makan, dan sepertinya masih ada cucian yang belum tersentuh di belakang. Akhirnya aku masuk ke dalam mengikuti ibu, meninggalkan ayah sendirian di teras.

###

            “Pasti nyantol disek iki maeng nang omahe budhe yo? Kok nyele mixer ae cek suwene.” tuduh ibu saat aku baru menaruh gelas ukur masakan di dapur. Sekaleng cucian di tangan ibu sudah siap dijemur.
            Aku tersenyum kuda. Merasa bersalah karena ibu yang mencuci saat ada aku di rumah. Meskipun sekarang ada mesin cuci yang membantu pekerjaan ibu.
            “hehehe. Engge buk. Tasek diwawancari riyen wau.” Jelasku.


            “buk, ayah lho kok tumben serius banget bacanya. Anna lewat, ayah gak noleh sama sekali.” Aduku. Yah, sepulang dari rumah budhe barusan aku masih mendapati ayah duduk bersila di samping kolam. Tak biasanya ayah seserius itu kecuali ketika di depan computer. Bahkan ketika tangan jahilku iseng mengambil HP dan memotretnyapun ayah gak sadar. Aku jadi khawatir.
            “iyo ta?” ibu tampak tak percaya.
       “engge buk.” Yakinku seraya mengambil kaleng di depan ibu hendak menggotongnya ke jemuran.
            “hanger’e ndek kamar ngarep.”
            Secara reflek kakiku melangkah ke kamar depan dan menyaut semua hanger yang ada di sana. Namun langkahku terhenti ketika melihat ayah yang masih berada pada posisinya yang tadi. Hanya saja tubuhnya saat ini sedikit menegak.
            Aku mengerutkan kening dalam. Ada apa dengan ayah? Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan ayah. (khawatir ayah kesambet aja… hehe) Akhirnya aku memilih mendiamkan ayah dan menjemur pakaian. Tapi setelah jemuran selesai ku taruh semua dan hanya tinggal kaleng kosong yang kubawa, ayah masih terpaku dengan bukunya (bukuku maksudnya…). Penasaran, akhirnya kudekati ayah dan menegurnya.
            “ayah moco nopo se?
            Ayah langsung menjauhkan buku-nya seakan khawatir aku mencurinya.
            “yo rahasia!”
            “nopo se?” aku semakin penasaran.
            “enggak wes. Rahasia. Anna ngaliho, ojok ndek kene…”
            Gubrak! Aku diusir oleh ayahku sendiri!
            Dengan bibir manyun, akhirnya aku meninggalkan ayah dengan seribu tanya dan sedikit rasa kesal.
            ###
            “terus iku di freezer?” tanya ibu.
            “engge buk, selama 8 jam.”
            Kutaruh bakal es krim buatanku ke dalam kulkas dengan harap-harap cemas. Semoga saja es krimnya udah jadi pas adek-adek pulang nanti. Tiba-tiba saja tanpa ada suara apapun ada sepasang tangan besar yang mendkap erat tubuhku hingga aku kesulitan bernapas. Ayah.
            “Masyaallah, ayah bangga sama Anna.” Ayah melepaskan pelukannya sedangkan aku masih tertegun, begitupun dengan ibu yang tampak terkejut dengan perlakuan ayah tiba-tiba. Tapi yang membuatku makin terkejut lagi,
            “a-ayah, nangis???!!!”
            Ayah tampak mengusap mata merahnya yang kini sudah tergenangi dengan air mata. Bahkan aku tak yakin, merah mata ayah itu karena begadangnya tiap malam ataukah karena menangis barusan. Yang kutau saat ini, ayah menangis!
           “Subhanallah. Buku ini gak hanya berisi cerita saja. Tapi juga fakta! Kisah nyata. Di dalamnya selalu ada pesan-pesan yang Anna sampaikan, bahkan tentang penghambaan kepada Tuhan juga. Buku ini, Subhanallah wes. Padahal ayah sek moco 2 judul tok, tapi wes nangis koyok ngene.
            Untuk kesekian kalinya, ayah memelukku. Lagi.
            “ayah sek tas nangis, kulo mlebet griyo wau pon nangis disikan.” Tutur ibu menambah ketertegunan dan kebingunganku. Aku tak tau harus berkata apa dan bersikap seperti apa. Saking berkecamuknya perasaanku, hingga tak tau mimik wajah yang semestinya kutunjukkan di depan mereka.

            Yang jelas saat itu, aku terharu.

Nur Jannah, 211017

0 komentar: