Kubuat Air Matamu Mengalir, Ayah
"dungaren teko jam yamene? Biasae adek-adek dorong budal, Anna wes teko.” Ujar ibu saat ban motorku baru menginjak halaman rumah. Kumatikan mesin motor yang masih menderu dan segera menghampiri ibu.
“assalamualaikum.”
Salamku seraya tersenyum seraya menjabat tangan ibu. Tak lupa kecupan pipi
kanan dan kiri yang telah menjadi hal lumrah di keluargaku, tak terkecuali ayah
dan adik-adik. Seenggaknya, itulah hal kecil yang bisa menyalurkan kasih sayang
yang terkadang tak bisa terucapkan oleh bibir.
“waalaikumsalam.”
“wau wonten rencang nyedi sareng wangsol,
trus nginep teng kamar. Biasae jam 5 kulo ndugi Malang, tapi tasek ngentosi
larene ados kale dandane lami sampek kulo keturon. Akhire jam 6 kaet bidal.”
Aduku memberi alasan.
“oalaah, yo wes. Soale maeng ibuk ngenteni
Anna gak teko-teko. Adek-adek yo podo takon nang ndi nenge kok sek dorong teko.”
Aku tersenyum.
Yah, beberapa hari yang lalu aku mengadu
pada ibu tentang masalah-masalah di kampus dan ingin jalan-jalan sekedar melepas
penat bersama orang rumah.
“kok
gak dolen ambek koncone Anna ae?? Kan enak ndek Malang iso nang ndi-ndi.” Suruh
ibu suatu waktu.
“mboten
eco buk. Senengan dolen kale ayah, ibuk kale adek-adek.”
Bagiku, jalan-jalan
terindah itu bersama keluarga. Karena menurutku, perjalanan akan lebih indah
jika bersama dengan orang yang kita sayang. Tak peduli seberapa remehkah
perjalan itu. Maen air di sungai belakang rumah misalnya. Atau makan kerupuk
bareng di depan televisi sambil menggoda satu sama lain yang bakal berakhir
dengan teriakan adek-adek.
“ibu cuma
masak buat sarapan adek-adek saja tadi. Ayah juga belum makan. Anna mau makan
apa? Tapi ayo masak dulu.”
Nah,
termasuk masak bareng ibuk sambil gosipin
si ‘dia’. Dia yang mungkin masih mencari alamat rumah. Ceileh.
“lhoh, baru
dateng anake ayah.” Ayah tiba-tiba keluar dari pintu dengan mengucek-ngucek
matanya yang merah. Mata yang ayah korbankan dengan duduk seharian di depan computer,
mata yang ayah paksa untuk tidak tertutup demi ibu, aku dan adek-adek.
“ayah…
Assalamualaikum.” Ucapku dan mencium punggung tangan ayah. Diciumnya pipi kanan
kiriku dan berakhir dengan dekapan.
Teringat akan
sesuatu, kuajak ayah dan ibu ke ruang tamu dan membongkar isi tasku. Ada kotak
ice cream yang sengaja kubeli sebagai oleh-oleh buat adik-adik, karena jika aku
pulang dengan tangan kosong mereka akan menyindirku habis-habisan. Misalnya,
“waah, neng
jahat. Adike gak ditukokno opo-opo!”
“neng! Gowo opo?”
Kalau gak
gitu, mereka bakal obrak-abrik tasku dan meminta apapun yang sekiranya menarik
bagi mereka. Begitulah kiranya nasib seorang kakak. Hahaha
“Anna lek mole, mesti masak sembarang kaler. Sing gawe
seblak, gawe pudding, gawe es krim. Pokoke totok omah pasti nyobak-nyobak
masakan.” Timpal ibu. Padahal sebenarnya, aku tak terlalu pandai masak. Hanya
bisa mencoba-coba masak saja. Kata ibu, masak itu ilmu gampang. Ntar kalau udah
nikah, pasti bisa-bisa sendiri. Dan aku percaya penuh dengan perkataan ibu.
(Alesan aja sih sebenernya…hehe)
Aku hanya
memamerkan deretan gigiku.
Terakhir,
kukeluarkan beberapa ekslempar buku kumpulan cerpenku yang baru datang kemaren
lusa. UNDER THE WORD.
Tampak senyuman
di wajah mereka yang membuat hatiku terenyuh. Senyuman yang selalu kudambakan
untuk setiap pencapaianku.
“lhoh, cek akehe? Gawe sopoan iku?” ibu
membolak-balik bukuku.
“MA, MTs,
Madin, mas sopan blab la bla.”
“endi sing wes bukaan? Ayah kate moco.” Pinta
ayah.
Ibu tertawa
mengejek. “ayah moso seneng moco? Paling sak
lembar tok wes dideleh. Yo lek ibuk, seneng moco.”
“lhoh, ibuk iki ngenyek bojone.”
Jujur,
interaksi semacam inilah yang membuatku iri pada kedua orang tuaku. Meskipun berawal dari perjodohan yang ibuku bahkan
tidak tau apapun, akhirnya cinta yang dibangun di atas ridho Tuhan menjadi
semanis ini. Mungkinkah kisah manis mereka akan menular padaku juga? Ah, disini
bukan paragraph yang tepat untuk menyerukan harapan masa depanku. Kembali pada
ibu dan ayahku.
“sini.” Ayah
mengambil buku yang sudah terbuka dan membawanya ke teras rumah. Secara otomatis,
aku dan ibu mengekori ayah duduk di teras depan.
Ayah membetulkan
letak kacamatanya dan mulai membaca dengan keras.
“lhoh, Yahya
Shooting?” celetuk ayah memandangku. Aku dan ibu saling bertatapan sebelum
kemudian tertawa bersama dengan ayah. ‘Yahya shooting’, begitulah orang-orang
sering memanggil ayah karena pekerjaannya. Dan aku bangga dengan itu.
Ayah melanjutkan
bacaannya.
Setelah halaman
pertama, ayah beralih ke halaman terakhir.
“aku dan
tiada iku sing ndek Koran ya?” sela
ibu. Aku mengangguk. Sedangkan ayah hanya memandang kosong. Yah, seperti yang
dikatakan ibu. Ayah bukanlah orang yang suka membaca sekalipun dulu ayah pernah
menjadi penjual Koran dan majalah. Paling mentok,
ibu yang membaca sedangkan ayah yang mendengarkan sekalipun terkadang ibu harus
mengulang bacaannya berkali-kali karena ayah tidak kunjung faham dengan apa
yang dimaksud dengan tulisanku. Satu hal lagi yang membuatku iri. Hehehe
Ketika memandangi
ikan-ikan yang kejar-kejaran di kolam, aku mendapati ibu yang tiba-tiba masuk
ke dalam rumah. Ah, aku baru ingat. Ayah belum makan, dan sepertinya masih ada
cucian yang belum tersentuh di belakang. Akhirnya aku masuk ke dalam mengikuti
ibu, meninggalkan ayah sendirian di teras.
###
“Pasti nyantol disek iki maeng nang omahe budhe yo?
Kok nyele mixer ae cek suwene.” tuduh ibu saat aku baru menaruh gelas ukur
masakan di dapur. Sekaleng cucian di tangan ibu sudah siap dijemur.
Aku tersenyum
kuda. Merasa bersalah karena ibu yang mencuci saat ada aku di rumah. Meskipun sekarang
ada mesin cuci yang membantu pekerjaan ibu.
“hehehe. Engge buk. Tasek diwawancari riyen wau.” Jelasku.
“buk, ayah
lho kok tumben serius banget bacanya. Anna lewat, ayah gak noleh sama sekali.” Aduku.
Yah, sepulang dari rumah budhe barusan aku masih mendapati ayah duduk bersila
di samping kolam. Tak biasanya ayah seserius itu kecuali ketika di depan computer.
Bahkan ketika tangan jahilku iseng mengambil HP dan memotretnyapun ayah gak
sadar. Aku jadi khawatir.
“iyo ta?”
ibu tampak tak percaya.
“engge buk.”
Yakinku seraya mengambil kaleng di depan ibu hendak menggotongnya ke jemuran.
“hanger’e ndek kamar ngarep.”
Secara reflek
kakiku melangkah ke kamar depan dan menyaut semua hanger yang ada di sana. Namun langkahku terhenti ketika melihat
ayah yang masih berada pada posisinya yang tadi. Hanya saja tubuhnya saat ini
sedikit menegak.
Aku mengerutkan
kening dalam. Ada apa dengan ayah? Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan
ayah. (khawatir ayah kesambet aja…
hehe) Akhirnya aku memilih mendiamkan ayah dan menjemur pakaian. Tapi setelah
jemuran selesai ku taruh semua dan hanya tinggal kaleng kosong yang kubawa,
ayah masih terpaku dengan bukunya (bukuku maksudnya…). Penasaran, akhirnya
kudekati ayah dan menegurnya.
“ayah moco nopo se?”
Ayah langsung
menjauhkan buku-nya seakan khawatir
aku mencurinya.
“yo rahasia!”
“nopo se?” aku semakin penasaran.
“enggak wes. Rahasia. Anna ngaliho, ojok ndek
kene…”
Gubrak! Aku diusir
oleh ayahku sendiri!
Dengan bibir
manyun, akhirnya aku meninggalkan ayah dengan seribu tanya dan sedikit rasa
kesal.
###
“terus iku di freezer?” tanya ibu.
“engge buk, selama 8 jam.”
Kutaruh bakal es krim buatanku ke dalam kulkas
dengan harap-harap cemas. Semoga saja es krimnya udah jadi pas adek-adek pulang nanti. Tiba-tiba saja tanpa ada suara apapun
ada sepasang tangan besar yang mendkap erat tubuhku hingga aku kesulitan
bernapas. Ayah.
“Masyaallah,
ayah bangga sama Anna.” Ayah melepaskan pelukannya sedangkan aku masih
tertegun, begitupun dengan ibu yang tampak terkejut dengan perlakuan ayah
tiba-tiba. Tapi yang membuatku makin terkejut lagi,
“a-ayah,
nangis???!!!”
Ayah tampak
mengusap mata merahnya yang kini sudah tergenangi dengan air mata. Bahkan aku
tak yakin, merah mata ayah itu karena begadangnya tiap malam ataukah karena
menangis barusan. Yang kutau saat ini, ayah menangis!
“Subhanallah.
Buku ini gak hanya berisi cerita saja. Tapi juga fakta! Kisah nyata. Di dalamnya
selalu ada pesan-pesan yang Anna sampaikan, bahkan tentang penghambaan kepada
Tuhan juga. Buku ini, Subhanallah wes. Padahal
ayah sek moco 2 judul tok, tapi wes
nangis koyok ngene.”
Untuk kesekian
kalinya, ayah memelukku. Lagi.
“ayah sek
tas nangis, kulo mlebet griyo wau pon
nangis disikan.” Tutur ibu menambah ketertegunan dan kebingunganku. Aku tak
tau harus berkata apa dan bersikap seperti apa. Saking berkecamuknya
perasaanku, hingga tak tau mimik wajah yang semestinya kutunjukkan di depan
mereka.
Yang jelas
saat itu, aku terharu.
Nur Jannah, 211017
0 komentar: