Aku, Kamu dan Dapur MA
Aku masih ingat, hari itu adalah Haflah Akhirussanah
di pondokku. Aku yang saat itu duduk di kelas Wustho awal, diwajibkan membantu
acara wisuda Wustho Tsani. Bahasa kerennya ‘mbiodho’.
Tahun depan, ketika aku yang wisuda, gentian adik kelasku yang akan membantu
acara di haflahku. Begitupun seterusnya.
Setiap pagi sebelum acara haflah dimulai, akan ada
lalaran alfiah bagi yang akan diwisuda dan yang sudah khatam nadzaman alfiah.
500 nadzam santri putra, 500 nadzom santri putri. Selayaknya orang ‘mbiodho’,
aku berangkat pagi buta bersama teman-teman seasramaku. Aku bahkan masih ingat
kalau saat itu aku belum mandi. (hehe). Kepalang tanggung, nanti di sana juga
bakal keringetan lagi. Mending kerja dulu, kalau udah langsung mandi. Biar
sabunnya gak sayang… (alesan aja sih sebenernya).
Memang benar. Di sana sudah banyak mbak-mbak
pengurus dan santri berpakaian putih-putih –sepertiku- berkelubat dengan
kardus-kardus berisi makanan dan suguhan lainnya. Akupun ikut nimbrung di sana.
Saat tanganku sibuk menata jajanan, suara tawassul terdengar dari sound system
pondok dan kemun lalaran alfiah round pertamapun di mulai. Saat itu, entah
kenapa aku menghentikan nafasku dan pikiranku langsung membayangkan sosoknya.
Yah, .
Sejak ia dinobatkan sebagai santri termuda yang
sudah khatam alfiah terlebih dahulu, bahkan mendahului cacak-cacak yang jauh di
atasnya, selalu diikutkan lalaran haflah
tiap tahun. Bahkan juga menjadi salah
satu penyetor hafalan alfiah yang lain. Aku memang tidak pernah melihatnya
langsung, aku hanya mendengar dari angin yang mengantarkan suara-suara bisikan
tentangnya. Terkadang mulut itu memang lebih cepat.
“di bagi ngge.
Wonten sing ngewangi notoi sego teng asrama E, wonten sing teng ndalem, wonten
sing teng dapur MA” pandu mbak-mbak pengurus yang mebuatku dan teman-teman
menghentikan aktivitas mereka dan mulai saling berebut ketempat mereka ingin
bertugas. Aku hanya m melihat semua teman-temanku saling unjuk diri. Yah,
percaya atau enggak, aku dulu pernah jadi orang pendiam lho, tergantung mood sih.
Saat semua orang sudah memilih, akhirnya aku kebagian
ke tempat yang masih kekurangan orang. Dapur MA. Sebenarnya semua tempat sama
aja, tapi di dapur MA memang sepi dan sedikit tertutup. Letaknyapun bukan
tempat yang strategis untuk melihat ke panggung atau keluar masuk untuk sekedar
membeli jajanan di pinggir jalan. Tapi, baiklah. Tidak ada salahnya jika aku ke
sana. Entah keberuntungan atau kesialan, aku kebagian dengan 3 orang teman
kakak kelas, yang lebih pendiam. Untunglah aku bawa buku, jadi aku gak akan mati
gaya. (saat aku nulis atau baca, aku bisa lupa sama apapun disekelilingku.
Hehehe)
Aku masih mendengar lalaran di panggung yang belum
selesai saat berjalan ke arah dapur. Ya iyalah, 500 nadzom satu dudukan itu
lumayan banget. Aku mencoba mencuri pandang ke arah panggung, kali aja bisa
melihatnya. Tapi ternyata keberanianku tidak sebesar rasaku ingin melihatnya.
Aku hanya melirik sekilas, sebelum kemudian berbelok ke arah dapur MA, memenuhi
tugasku. Aku sempat kecewa karena tidak bisa melihatnya. Jujur, aku masih
merindukannya meskipun rindu itu sudah tidak seharusnya ada.
###
“pon sedanten kok, engken male mawon lek
kirang.” Ujar mbak-mbak yang langsung membuatku menghela nafas dalam.
Akhirnya misi menata nasi sudah selesai, seenggaknya aku bisa meluruskan
puggungku yang dari tadi membungkuk terus sebelum kemudian berganti dengan
meletakkan ayam, bi hun, dan telur di atasnya. Ternyata masih banyak yang harus
diselesaikan. Saat aku mengangkat tubuhku, aku langsung terkesiap dengan siapa
yang tengah duduk di samping pintu. Yah, adalah dia. Dengan baju putih, pun kopyah
putih juga, ia tampak baru selesai lalaran. Tapi kenapa ia duduk di situ?
Bukankah lebih nyaman duduk di masjid belakang panggung? Bahkan ia juga bisa
berbaring di sana.
Dia
melihat ke arahku. Aku tertegun.
“anna,
pendetno ulam teng mriku.” Suara
mbak-mbak membuatku sadar dan langsung mengalihkan pandanganku dari dia.
Untung
saja mbak-mbak tidak membuatku menganggur, jika tidak aku gak tau deh betapa
canggungnya seruangan dengan orang yang pernah punya cerita dengan kita. Dengan
cekatan, aku bantu mbak-mbak meletakkan ayam kecil-kecil di atas nasi sembari
berusaha untuk tidak menoleh ke arah pintu. Meskipun sebenarnya aku masih
merasa di awasi dari arah sana.
Hhh.
Di saat seperti ini, aku jadi berharap andai saja aku bisa bicara langsung
dengannya. Jangankan bicara, beratatapan pun kita masih canggung. Saat tak
sengaja berpapasan di jalan, bukannya menyapa dengan saling melempar senyum,
kita hanya saling menundukkan kepala malu. Yaah, kisah cinta di pesantren
memang hanya bisa sampai seperti ini saja.
###
“ayo
segara bentuk barisan, setelah ini nasi keluar ya.” Salah satu pengurus pusat
putra mengomando. Aku dan mbak-mbak membagi tugas. Ada yang mengambil nasi, ada
yang memberi kuah, dan ada yang meletakkan kerupuk di atasnya sebelum dibagikan
pada wali santri dan undangan haflah.
Aku
melihat dia ikut berdiri membentuk barisan. Ia mengambil posisi beberapa jarak
dariku. Sebenarnya aku berharap ia berdiri di sampingku, tapi….. Aku tau itu
tidak mungkin. Kami dipisah oleh beberapa pengurus putra dan pengurus putri.
Jadi untuk berdiri berdampingan, seakan-akan aku mendaftar untuk menjadi daftar
hitam mereka.
“ayo
cepetan!” perintah ketua pengurus putra saat romo kyai sudah mengakhiri doanya.
Seakan mesin tenaga Tuhan, setiap tangan mulai mengerjakan bagian
masing-masing. Karena banyaknya undangan, aku merasa tanganku sudah mati rasa.
Beberapa kali kuali berisi kuah habis dan harus mengambilnya di dapur. Dan saat
itu, bagian dia dan temannya yang mengambil kuah. Setiap orang melihat ke arah
pintu menunggu dia dengan kuali kuahnya, sedangkan dari arah luar permintaan
piring tidak ada habisnya.
Beberapa
saat, yang dinantipun akhirnya muncul juga. Dia tampak masuk dengan menggotong
kuali bersama temannya. Aku bisa melihat kepulan asap yang keluar dari kuali
karena saking panasnya. Dia tertatih berjalan ke
depanku hendak meletakkan kuahnya. Namun temannya melepaskan pegangan kuali
sebelum kuali itu tepat di lantai. Akhirnya beberapa kuah tumpah mengenai dia.
“eh,
hati-hati.” Ucapku reflek saat dia mendesis karna tanganya seperti terbakar.
Aku tidak sadar kalau ternyata kuah itu tidak hanya mengenai dia saja, tapi
juga mengenaiku dan beberapa orang lainnya. Tapi masa bodoh, mataku hanya
melihat dia. Dan beberapa saat aku sadar, sepertinya itu adalah segelintir
kata-kataku yang langsung kutujukan untuknya. Yah, kita bahkan tidak pernah
benar-benar bercakap secara langsung. Berharap? Tentu saja. Tapi ada batas yang
tak seharusnya kulewati.
“ayo
buruan! Ada bapak-bapak yang masih belum dapet!” seru seorang pengurus yang
langsung membuat tanganku dan juga tangan-tangan yang lain bergerak lebih
cepat. Saking cepatnya, hingga tanganku hafal apa yang harus ia lakukan
setelahnya. Menerima piring, dan menyalurkannya ke tangan yang lain. Begitu
seterusnya. Sedangkan mataku, mengekori punggung dia yang hilang di balik
pintu. Entah kemana ia pergi, saat itu kekhawatiran mulai merambahi nuraniku. Ingin
rasanya bertanya, ‘apakah kamu baik-baik saja?’. Tapi sehurufpun aku tak mampu
mengatakannya. Hingga akhirnya, permintaan piring dari luar berhenti dan bagian
kita yang mendapatkan piring masing-masing. Aku menghela nafas lega.
“Anna,
ayo makan bareng sini.” Ajak mbak-mbak yang langsung kuiyakan. Kuambil tempat
duduk di sisi paling pojok membelakangi pintu. Kulahap nasiku tanpa semangat
karena kepalaku masih dipenuhi pertanyaan apakah ia baik-baik saja. Saat merasa
ada orang yang masuk ruangan, ku tolehkan kepalaku ke belakang. Dan langsung
kecewa jika ternyata bukan dia yang ada di
sana. Beberapa kali seperti itu hingga aku merasa putus asa. Akhirnya aku
memilih untuk tidak memperdulikan siapapun yang menginjakkan kaki ke dalam
ruangan.
“mbak,
sambalnya udah habis?” tanya sebuah suara. Aku tak terlalu kenal dengan pemilik
suara ini, tapi entah kenapa ada yang aneh dengan diriku. Seakan ada dorongan
agar aku menolehkan kepalaku.
“masih
ada kok, di mangkuk kecil tadi.” jawab mbak-mbak masih dengan sendok nasinya.
“oh,
iya. Ini.” Suara itu membuatku mengerutkan kening. Siapa? Tak mau penasaran,
akhirnya kutolehkan kepalaku dan tertegun melihat siapa yang ada di sana. Yah,
ternyata pemilik suara itu adalah dia yang langsung
mengambil tempat duduk di pojok seraya menikmati makanannya. Khawatir tertangkap
basah tengah mengamatinya, aku langsung membalikkan badan dan menatap makananku
yang hampir habis. Pekerjaan menata nasi dari pagi, ternyata menguras tenagaku.
Pertama,
aku bersyukur karena sepertinya tidak terjadi apa-apa padanya. Kedua, sebuah
moment yang tak terduga aku bisa se ruangan dengannya. Dan ketiga, aku masih
bisa menunjukkan kalau aku peduli padanya maskipun aku tak tau dia menyadarinya ataukah tidak. Jika hanya terkena
kuah panas saja aku mengkhawatirkannya seperti ini, aku tak tau bagaimana jika
ia mengalami ‘sakit’ yang lebih dari ini. Aku sungguh tak bisa mengontrol
kekhawatiranku. Sekalipun tak ada hak untukku mengkhawatirkannya lagi, aku tak
bisa memaksa diriku untuk mengabaikannya. Dan ternyata aku pernah
mengkhawatirkannya hingga meneteskan air mata. Jangan bertanya kenapa bisa
sampai seperti itu? Karena terkadang, tak semua kalimat mampu membahasakan
sebuah rasa.
Kita
se ruangan, namun tak bisa saling menyapa. Yah, hanya berharap dan
bertanya-tanya mungkinkah kiranya hati sempat bersalaman? (ceileeeh...hahaha)
Pertanyaan
yang tak akan pernah bisa terjawab, kecuali Tuhan yang mengintipkannya padaku. Atau ia yang langsung mengatakannya padaku.
0 komentar: