Rabu, 18 Oktober 2017

Aku, Kamu dan Dapur MA

Aku masih ingat, hari itu adalah Haflah Akhirussanah di pondokku. Aku yang saat itu duduk di kelas Wustho awal, diwajibkan membantu acara wisuda Wustho Tsani. Bahasa kerennya ‘mbiodho’. Tahun depan, ketika aku yang wisuda, gentian adik kelasku yang akan membantu acara di haflahku. Begitupun seterusnya.
Setiap pagi sebelum acara haflah dimulai, akan ada lalaran alfiah bagi yang akan diwisuda dan yang sudah khatam nadzaman alfiah. 500 nadzam santri putra, 500 nadzom santri putri. Selayaknya orang ‘mbiodho’, aku berangkat pagi buta bersama teman-teman seasramaku. Aku bahkan masih ingat kalau saat itu aku belum mandi. (hehe). Kepalang tanggung, nanti di sana juga bakal keringetan lagi. Mending kerja dulu, kalau udah langsung mandi. Biar sabunnya gak sayang… (alesan aja sih sebenernya).
Memang benar. Di sana sudah banyak mbak-mbak pengurus dan santri berpakaian putih-putih –sepertiku- berkelubat dengan kardus-kardus berisi makanan dan suguhan lainnya. Akupun ikut nimbrung di sana.
Saat tanganku sibuk menata jajanan, suara tawassul terdengar dari sound system pondok dan kemun lalaran alfiah round pertamapun di mulai. Saat itu, entah kenapa aku menghentikan nafasku dan pikiranku langsung membayangkan sosoknya. Yah, .
Sejak ia dinobatkan sebagai santri termuda yang sudah khatam alfiah terlebih dahulu, bahkan mendahului cacak-cacak yang jauh di atasnya,  selalu diikutkan lalaran haflah tiap tahun. Bahkan  juga menjadi salah satu penyetor hafalan alfiah yang lain. Aku memang tidak pernah melihatnya langsung, aku hanya mendengar dari angin yang mengantarkan suara-suara bisikan tentangnya. Terkadang mulut itu memang lebih cepat.
di bagi ngge. Wonten sing ngewangi notoi sego teng asrama E, wonten sing teng ndalem, wonten sing teng dapur MA” pandu mbak-mbak pengurus yang mebuatku dan teman-teman menghentikan aktivitas mereka dan mulai saling berebut ketempat mereka ingin bertugas. Aku hanya m melihat semua teman-temanku saling unjuk diri. Yah, percaya atau enggak, aku dulu pernah jadi orang pendiam lho, tergantung mood sih.
Saat semua orang sudah memilih, akhirnya aku kebagian ke tempat yang masih kekurangan orang. Dapur MA. Sebenarnya semua tempat sama aja, tapi di dapur MA memang sepi dan sedikit tertutup. Letaknyapun bukan tempat yang strategis untuk melihat ke panggung atau keluar masuk untuk sekedar membeli jajanan di pinggir jalan. Tapi, baiklah. Tidak ada salahnya jika aku ke sana. Entah keberuntungan atau kesialan, aku kebagian dengan 3 orang teman kakak kelas, yang lebih pendiam. Untunglah aku bawa buku, jadi aku gak akan mati gaya. (saat aku nulis atau baca, aku bisa lupa sama apapun disekelilingku. Hehehe)
Aku masih mendengar lalaran di panggung yang belum selesai saat berjalan ke arah dapur. Ya iyalah, 500 nadzom satu dudukan itu lumayan banget. Aku mencoba mencuri pandang ke arah panggung, kali aja bisa melihatnya. Tapi ternyata keberanianku tidak sebesar rasaku ingin melihatnya. Aku hanya melirik sekilas, sebelum kemudian berbelok ke arah dapur MA, memenuhi tugasku. Aku sempat kecewa karena tidak bisa melihatnya. Jujur, aku masih merindukannya meskipun rindu itu sudah tidak seharusnya ada.
###
            “pon sedanten kok, engken male mawon lek kirang.” Ujar mbak-mbak yang langsung membuatku menghela nafas dalam. Akhirnya misi menata nasi sudah selesai, seenggaknya aku bisa meluruskan puggungku yang dari tadi membungkuk terus sebelum kemudian berganti dengan meletakkan ayam, bi hun, dan telur di atasnya. Ternyata masih banyak yang harus diselesaikan. Saat aku mengangkat tubuhku, aku langsung terkesiap dengan siapa yang tengah duduk di samping pintu. Yah, adalah dia. Dengan baju putih, pun kopyah putih juga, ia tampak baru selesai lalaran. Tapi kenapa ia duduk di situ? Bukankah lebih nyaman duduk di masjid belakang panggung? Bahkan ia juga bisa berbaring di sana.
            Dia melihat ke arahku. Aku tertegun.
            “anna, pendetno ulam teng mriku.” Suara mbak-mbak membuatku sadar dan langsung mengalihkan pandanganku dari dia.
            Untung saja mbak-mbak tidak membuatku menganggur, jika tidak aku gak tau deh betapa canggungnya seruangan dengan orang yang pernah punya cerita dengan kita. Dengan cekatan, aku bantu mbak-mbak meletakkan ayam kecil-kecil di atas nasi sembari berusaha untuk tidak menoleh ke arah pintu. Meskipun sebenarnya aku masih merasa di awasi dari arah sana.
            Hhh. Di saat seperti ini, aku jadi berharap andai saja aku bisa bicara langsung dengannya. Jangankan bicara, beratatapan pun kita masih canggung. Saat tak sengaja berpapasan di jalan, bukannya menyapa dengan saling melempar senyum, kita hanya saling menundukkan kepala malu. Yaah, kisah cinta di pesantren memang hanya bisa sampai seperti ini saja.
###
            “ayo segara bentuk barisan, setelah ini nasi keluar ya.” Salah satu pengurus pusat putra mengomando. Aku dan mbak-mbak membagi tugas. Ada yang mengambil nasi, ada yang memberi kuah, dan ada yang meletakkan kerupuk di atasnya sebelum dibagikan pada wali santri dan undangan haflah.
            Aku melihat dia ikut berdiri membentuk barisan. Ia mengambil posisi beberapa jarak dariku. Sebenarnya aku berharap ia berdiri di sampingku, tapi….. Aku tau itu tidak mungkin. Kami dipisah oleh beberapa pengurus putra dan pengurus putri. Jadi untuk berdiri berdampingan, seakan-akan aku mendaftar untuk menjadi daftar hitam mereka.
            “ayo cepetan!” perintah ketua pengurus putra saat romo kyai sudah mengakhiri doanya. Seakan mesin tenaga Tuhan, setiap tangan mulai mengerjakan bagian masing-masing. Karena banyaknya undangan, aku merasa tanganku sudah mati rasa. Beberapa kali kuali berisi kuah habis dan harus mengambilnya di dapur. Dan saat itu, bagian dia dan temannya yang mengambil kuah. Setiap orang melihat ke arah pintu menunggu dia dengan kuali kuahnya, sedangkan dari arah luar permintaan piring tidak ada habisnya.
            Beberapa saat, yang dinantipun akhirnya muncul juga. Dia tampak masuk dengan menggotong kuali bersama temannya. Aku bisa melihat kepulan asap yang keluar dari kuali karena saking panasnya. Dia tertatih berjalan ke depanku hendak meletakkan kuahnya. Namun temannya melepaskan pegangan kuali sebelum kuali itu tepat di lantai. Akhirnya beberapa kuah tumpah mengenai dia.
            “eh, hati-hati.” Ucapku reflek saat dia mendesis karna tanganya seperti terbakar. Aku tidak sadar kalau ternyata kuah itu tidak hanya mengenai dia saja, tapi juga mengenaiku dan beberapa orang lainnya. Tapi masa bodoh, mataku hanya melihat dia. Dan beberapa saat aku sadar, sepertinya itu adalah segelintir kata-kataku yang langsung kutujukan untuknya. Yah, kita bahkan tidak pernah benar-benar bercakap secara langsung. Berharap? Tentu saja. Tapi ada batas yang tak seharusnya kulewati.
            “ayo buruan! Ada bapak-bapak yang masih belum dapet!” seru seorang pengurus yang langsung membuat tanganku dan juga tangan-tangan yang lain bergerak lebih cepat. Saking cepatnya, hingga tanganku hafal apa yang harus ia lakukan setelahnya. Menerima piring, dan menyalurkannya ke tangan yang lain. Begitu seterusnya. Sedangkan mataku, mengekori punggung dia yang hilang di balik pintu. Entah kemana ia pergi, saat itu kekhawatiran mulai merambahi nuraniku. Ingin rasanya bertanya, ‘apakah kamu baik-baik saja?’. Tapi sehurufpun aku tak mampu mengatakannya. Hingga akhirnya, permintaan piring dari luar berhenti dan bagian kita yang mendapatkan piring masing-masing. Aku menghela nafas lega.
            “Anna, ayo makan bareng sini.” Ajak mbak-mbak yang langsung kuiyakan. Kuambil tempat duduk di sisi paling pojok membelakangi pintu. Kulahap nasiku tanpa semangat karena kepalaku masih dipenuhi pertanyaan apakah ia baik-baik saja. Saat merasa ada orang yang masuk ruangan, ku tolehkan kepalaku ke belakang. Dan langsung kecewa jika ternyata bukan dia yang ada di sana. Beberapa kali seperti itu hingga aku merasa putus asa. Akhirnya aku memilih untuk tidak memperdulikan siapapun yang menginjakkan kaki ke dalam ruangan.
            “mbak, sambalnya udah habis?” tanya sebuah suara. Aku tak terlalu kenal dengan pemilik suara ini, tapi entah kenapa ada yang aneh dengan diriku. Seakan ada dorongan agar aku menolehkan kepalaku.
            “masih ada kok, di mangkuk kecil tadi.” jawab mbak-mbak masih dengan sendok nasinya.
            “oh, iya. Ini.” Suara itu membuatku mengerutkan kening. Siapa? Tak mau penasaran, akhirnya kutolehkan kepalaku dan tertegun melihat siapa yang ada di sana. Yah, ternyata pemilik suara itu adalah dia yang  langsung mengambil tempat duduk di pojok seraya menikmati makanannya. Khawatir tertangkap basah tengah mengamatinya, aku langsung membalikkan badan dan menatap makananku yang hampir habis. Pekerjaan menata nasi dari pagi, ternyata menguras tenagaku.
            Pertama, aku bersyukur karena sepertinya tidak terjadi apa-apa padanya. Kedua, sebuah moment yang tak terduga aku bisa se ruangan dengannya. Dan ketiga, aku masih bisa menunjukkan kalau aku peduli padanya maskipun aku tak tau dia menyadarinya ataukah tidak. Jika hanya terkena kuah panas saja aku mengkhawatirkannya seperti ini, aku tak tau bagaimana jika ia mengalami ‘sakit’ yang lebih dari ini. Aku sungguh tak bisa mengontrol kekhawatiranku. Sekalipun tak ada hak untukku mengkhawatirkannya lagi, aku tak bisa memaksa diriku untuk mengabaikannya. Dan ternyata aku pernah mengkhawatirkannya hingga meneteskan air mata. Jangan bertanya kenapa bisa sampai seperti itu? Karena terkadang, tak semua kalimat mampu membahasakan sebuah rasa.
            Kita se ruangan, namun tak bisa saling menyapa. Yah, hanya berharap dan bertanya-tanya mungkinkah kiranya hati sempat bersalaman? (ceileeeh...hahaha)
            Pertanyaan yang tak akan pernah bisa terjawab, kecuali Tuhan yang mengintipkannya padaku. Atau  ia yang langsung mengatakannya padaku.

0 komentar: