Sabtu, 17 Maret 2018

Harapanku tidak Ikhlas karena-Nya (?)


Terkadang, aku bingung tentang apa alasan sebenernya Tuhan meng-ada-kanku di bumi ini. Khawatir saja jika keberadaanku ternyata hanya untuk jangkep-jangkep­-an saja.
Al-Quran bilang, jika manusia dan jin diciptakan untuk beribadah. Namun menurutku saat ini esensi ibadah sudah semakin terkikis. Alasan ibadah hanyalah tameng untuk mengejar dunia. Yah, karena aku merasa seperti itu. Saat ingin melakukan sesuatu, selalu menimbang-nimbang..
“untuk siapa aku melakukan ini?”
“apakah aku melakukannya karena Allah?”
“apakah aku melakukannya untuk diakui oleh Allah?”
Aku benar-benar bingung. Antara logika dan spiritualku seringkali bertengkar. Ada saat dimana aku bisa mendamaikan mereka, bekerja saling membantu sehingga hidupku serasa ada artinya. Tapi ada juga saat dimana logika dan spiritualku berada pada posisi yang tidak seimbang. Saat logikaku lebih tinggi, ia akan membawaku pada kenyataan kalau tidak ada yang bisa kita dapatkan jika kita tidak berusaha. This my life, and I must go up if I want get something. Ini hidupku, aku yang bertanggung jawab dengan hidupku. Apapun yang terjadi nantinya adalah akibat dari apa yang telah kulakukan. Namun ketika spiritualku yang lebih tinggi, aku akan mulai terdiam membisu. Berpikir untuk lari saja dari kebisingan dunia dan bersembunyi ke Goa, agar hanya tersisa aku dan Tuhan.
Jujur, aku bukan perempuan sholehah yang bisa menerima semua ketentuan dengan ikhlas, melakukan ibadah tanpa mengharapkan apapun. Saat aku menghadap Tuhanku, aku ingin diakui kalau aku ini hamba-Nya. It’s mean, aku hamba-Nya yang berusaha melakukan apa yang diperintahkan, berusaha mematuhi Rasul-Nya. Aku masih belum bisa beribadah ikhlas karena-Nya. Harapan agar kehidupanku setelah dunia ini baik masih menjadi motivasiku melakukan rutinitas spiritual.
Aku juga bukan orang baik. Aku masih memegang kata-kata,
“jika ingin dibaiki orang lain, kamu juga harus baik pada orang lain.”
Aku selalu yakin, jika hari ini aku berbuat baik akan ada balasan untukku nantinya. Entah itu balasan dari Tuhan yang diberikan saat aku masih bernafas, ataukah balasannya nanti ketika aku berdiri di padang mahsyar tanpa mengenal siapapun. Mungkin saat itulah kata ‘move on’ akan ada. Ah, abaikan kalimat terakhirku.
Aku ingin menjadi seseorang yang bisa memberikan manfaat untuk makhluk lain. Aku gak mau hidupku menjadi sampah bumi, karena itu aku ingin menghasilkan sesuatu atau melakukan sesuatu. Aku bukan pejabat yang setiap omongannya didengar rakyat, aku bukan milyader yang bisa menggerakkan dunia dengan uangnya (entah pergerakan yang baik atau buruk, menurutku uang saat ini sudah dijadikan Tuhan). Karena aku bukan siapa-siapa sebab itulah aku menulis, seperti perkataan dari Imam Ghozali. Tapi berbicara tentang keikhlasan, jari-jariku bakal berhenti lagi. Menimbang-nimbang, apakah benar keinginanku menulis hanya agar bermanfaat untuk orang lain? anggap saja itu memang prioritasku, namun bukankah ada alasan-alasan lain yang juga menjadi faktor pendukung? Seperti saat ini, aku menulis karena ingin memberikan penjelasan pada seseorang bukan ikhlas karena Allah. Lalu bagaimanakah seharusnya ikhlas itu?
“berserah diri pada Allah, menerima apapun ketentuannya.” Kata orang.
Tapi hidup tidak sepasrah itu bukan? Pernah gak sih kalian berpikir jika kita menyerahkan apapun, total kepada-Nya, seakan-akan gini,
“ya udahlah biarin aja. Tuhan yang ngatur kok. Aku mah tinggal hidup aja.”
Tanpa melakukan apapun, tanpa mengusahakan apapun. Menurutku, itu terlihat ‘bodoh’. Ini hanya pendapat sih. Kalian boleh berbeda.
Aku ingin menjadi seseorang, yang tadinya bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa. Menjadi ibu yang anak-anaknya bangga memiliki ibu sepertiku misalnya. Menjadi siapa-siapa bukan berarti menjadi sosok yang memiliki kedudukan dan jabatan tinggi. Ketika ada orang lain yang berkata kalau kita memberikan alasan pada mereka untuk menjadi lebih baik, bukankah sebuah kebanggan tersendiri? Itu harapanku. Bukan merubah seseorang menjadi baik, tapi bersama-sama untuk menjadi yang lebih baik.
Semakin aku berpikir tentang alasan, semakin lama pula aku akan berjalan. Aku masih rancu dengan esensi keberadaanku, tapi jika aku terus saja memikirkan alasan dan menunggu hingga kata ‘ikhlas karena Tuhan’, bukankah aku akan tetap stagnan di tempatku berdiri?
Mungkin aku akan tetap berjalan. Entah alasan-alasan apa yang kugunakan untuk berjalan, aku yakin malaikat Tuhan yang dipinjamkan padaku bisa mencatat lebih detail alasan baik dan burukku. Alasan apa yang lebih banyak, mana kutahu? Mungkin saat kita berkumpul di padang mahsyar nanti bisa saling mengintipkan diary masing-masing. Setidaknya tidak seperti manusia yang hanya mempercayai apa yang mereka lihat dan hanya meyakini apa yang mereka yakini. Aku tidak berbicara tentang orang lain. Aku juga membicarakan diriku sendiri. Jika ada dari kalian yang ternyata sependapat denganku, berarti kita sama. Jika ada yang lebih mengerti, mungkin kalian bisa memberiku penjelasan. (Aku menyindirmu).



SNJ, 170318

0 komentar: