Harapanku tidak Ikhlas karena-Nya (?)
Terkadang, aku bingung tentang apa alasan
sebenernya Tuhan meng-ada-kanku di bumi ini. Khawatir saja jika keberadaanku ternyata
hanya untuk jangkep-jangkep-an saja.
Al-Quran bilang, jika manusia dan jin
diciptakan untuk beribadah. Namun menurutku saat ini esensi ibadah sudah
semakin terkikis. Alasan ibadah hanyalah tameng untuk mengejar dunia. Yah,
karena aku merasa seperti itu. Saat ingin melakukan sesuatu, selalu
menimbang-nimbang..
“untuk siapa aku melakukan ini?”
“apakah aku melakukannya karena Allah?”
“apakah aku melakukannya untuk diakui oleh
Allah?”
Aku benar-benar bingung. Antara logika dan
spiritualku seringkali bertengkar. Ada saat dimana aku bisa mendamaikan mereka,
bekerja saling membantu sehingga hidupku serasa ada artinya. Tapi ada juga saat
dimana logika dan spiritualku berada pada posisi yang tidak seimbang. Saat
logikaku lebih tinggi, ia akan membawaku pada kenyataan kalau tidak ada yang
bisa kita dapatkan jika kita tidak berusaha. This my life, and I must go up if I want get something. Ini hidupku,
aku yang bertanggung jawab dengan hidupku. Apapun yang terjadi nantinya adalah
akibat dari apa yang telah kulakukan. Namun ketika spiritualku yang lebih
tinggi, aku akan mulai terdiam membisu. Berpikir untuk lari saja dari kebisingan
dunia dan bersembunyi ke Goa, agar hanya tersisa aku dan Tuhan.
Jujur, aku bukan perempuan sholehah yang
bisa menerima semua ketentuan dengan ikhlas, melakukan ibadah tanpa
mengharapkan apapun. Saat aku menghadap Tuhanku, aku ingin diakui kalau aku ini
hamba-Nya. It’s mean, aku hamba-Nya
yang berusaha melakukan apa yang diperintahkan, berusaha mematuhi Rasul-Nya. Aku
masih belum bisa beribadah ikhlas karena-Nya. Harapan agar kehidupanku setelah
dunia ini baik masih menjadi motivasiku melakukan rutinitas spiritual.
Aku juga bukan orang baik. Aku masih
memegang kata-kata,
“jika ingin dibaiki orang lain, kamu juga
harus baik pada orang lain.”
Aku selalu yakin, jika hari ini aku berbuat
baik akan ada balasan untukku nantinya. Entah itu balasan dari Tuhan yang
diberikan saat aku masih bernafas, ataukah balasannya nanti ketika aku berdiri
di padang mahsyar tanpa mengenal siapapun. Mungkin saat itulah kata ‘move on’ akan ada. Ah, abaikan kalimat
terakhirku.
Aku ingin menjadi seseorang yang bisa
memberikan manfaat untuk makhluk lain. Aku gak mau hidupku menjadi sampah bumi,
karena itu aku ingin menghasilkan sesuatu atau melakukan sesuatu. Aku bukan
pejabat yang setiap omongannya didengar rakyat, aku bukan milyader yang bisa
menggerakkan dunia dengan uangnya (entah pergerakan yang baik atau buruk, menurutku
uang saat ini sudah dijadikan Tuhan). Karena aku bukan siapa-siapa sebab itulah
aku menulis, seperti perkataan dari Imam Ghozali. Tapi berbicara tentang
keikhlasan, jari-jariku bakal berhenti lagi. Menimbang-nimbang, apakah benar keinginanku
menulis hanya agar bermanfaat untuk orang lain? anggap saja itu memang
prioritasku, namun bukankah ada alasan-alasan lain yang juga menjadi faktor pendukung?
Seperti saat ini, aku menulis karena ingin memberikan penjelasan pada seseorang
bukan ikhlas karena Allah. Lalu bagaimanakah seharusnya ikhlas itu?
“berserah diri pada Allah, menerima apapun
ketentuannya.” Kata orang.
Tapi hidup tidak sepasrah itu bukan? Pernah gak
sih kalian berpikir jika kita menyerahkan apapun, total kepada-Nya, seakan-akan
gini,
“ya udahlah biarin aja. Tuhan yang ngatur
kok. Aku mah tinggal hidup aja.”
Tanpa melakukan apapun, tanpa mengusahakan
apapun. Menurutku, itu terlihat ‘bodoh’. Ini hanya pendapat sih. Kalian boleh
berbeda.
Aku ingin menjadi seseorang, yang tadinya
bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa. Menjadi ibu yang anak-anaknya bangga
memiliki ibu sepertiku misalnya. Menjadi siapa-siapa bukan berarti menjadi
sosok yang memiliki kedudukan dan jabatan tinggi. Ketika ada orang lain yang
berkata kalau kita memberikan alasan pada mereka untuk menjadi lebih baik,
bukankah sebuah kebanggan tersendiri? Itu harapanku. Bukan merubah seseorang
menjadi baik, tapi bersama-sama untuk menjadi yang lebih baik.
Semakin aku berpikir tentang alasan, semakin
lama pula aku akan berjalan. Aku masih rancu dengan esensi keberadaanku, tapi
jika aku terus saja memikirkan alasan dan menunggu hingga kata ‘ikhlas karena
Tuhan’, bukankah aku akan tetap stagnan di tempatku berdiri?
Mungkin aku akan tetap berjalan. Entah alasan-alasan
apa yang kugunakan untuk berjalan, aku yakin malaikat Tuhan yang dipinjamkan
padaku bisa mencatat lebih detail alasan baik dan burukku. Alasan apa yang
lebih banyak, mana kutahu? Mungkin saat kita berkumpul di padang mahsyar nanti
bisa saling mengintipkan diary masing-masing. Setidaknya tidak seperti manusia
yang hanya mempercayai apa yang mereka lihat dan hanya meyakini apa yang mereka
yakini. Aku tidak berbicara tentang orang lain. Aku juga membicarakan diriku
sendiri. Jika ada dari kalian yang ternyata sependapat denganku, berarti kita
sama. Jika ada yang lebih mengerti, mungkin kalian bisa memberiku penjelasan.
(Aku menyindirmu).
SNJ, 170318
0 komentar: