Kamis, 12 April 2018

Anakku Berbeda


Kuceritakan pada kalian tentang sebuah kisah. Kisah yang tidak mungkin kudapatkan jika aku hanya berdiam diri tanpa mencoba mengecap sedikit tentang arti perjuangan, tanggung jawab dan pengorbanan.

Sore tadi, di TPQ.
            “anak saya berbeda dengan anak yang lain,” ucap seorang ibu ketika anak-anak sudah pulang, pun orang tua lain yang juga ikut mengantarkan. Langit sudah gelap, Qiroah dari speaker masjid mulai terdengar. Yah, hari ini anak-anak pulang lebih sore karena aku hanya sendirian, entah kemana temanku yang biasanya menemaniku untuk sekedar mengajarkan Alif, Ba’, Ta’, Tsa di kota orang ini.
            Aku mengusap keringatku yang bercucuran seakan habis berlari. Pagi buta aku berangkat ke kampus berharap bisa nge-lab hari ini, tapi ternyata Allah masih belum merestui. Padahal aku sudah merencanakan jadwal nge-lab dari minggu kemarin. Tapi mau bagaimana lagi? waktu dan napas yang kupunya bukan milikku. Setelah itu, ada kondangan anak pemilik kos. Menukar kado dengan makan siang atau sarapan? Ah, makan siang dan sarapan tidak ada bedanya bagiku. Seusai itu, langsung meluncur ke TPQ. Kukira temanku datang, tapi ternyata tidak. Disitu aku berharap kalau yang masuk sedikit. Lagi-lagi, aku tak berhak merencanakan apapun. Hanya sekitar 4 anak yang tidak masuk dari 18 anak. Namun percayalah, secapek-capeknya kalian, ketika sudah melihat senyum dan canda tawa anak-anak pasti semua capek hilang. Tapi, keringatku tetap bercucuran. Kita berbicara tentang ‘anak-anak kecil’, bukan anak SMA yang langsung menurut jika disuruh diam.
            “anak saya disabilitas,” lanjut ibu tiga anak itu.
Aku terdiam, mendengarkan. Aku jadi ingat ketika pertama kali ibu itu menghampiriku untuk menjelaskan kondisi anaknya. Laki-laki. Secara fisik, mungkin ia memang siswa kelas 4 SD, namun tingkah laku dan (maaf) mentalnya masih seperti anak TK. Mungkin masih lebih baik yang TK. Ia mempunyai dua adik laki-laki, satunya TK B dan paud. Biasanya mereka berangkat bersama meskipun kakaknya selalu telat karena harus oyok-oyokan dulu sama ibunya kalau disuruh berangkat mengaji.
“mohon maaf ustadzah sebelumnya kalau anak saya sering buat masalah. Di sekolah, ia juga sering dimarahin gurunya karena jahil. Dia juga menjadi korban bully-an anak-anak yang lain sampai terkadang gak mau kalau disuruh sekolah.”
Hatiku terenyuh. Raut wajah ibu itu menunjukkan ketegaran yang luar biasa.
“biasanya, suka nggoda adiknya. Dijahili terus…”
Aku ingat ketika si kakak selalu mengambil kopyah si adek, dan melemparkannya ke sana kemari bersama teman-temannya hingga menangis. Kadang juga menyembunyikan tas adiknya, atau melemparkannya ke atas lemari. Pernah dia mengeluarkan semua isi tasku, kemudian memasukkannya kembali. Atau memainkan sapu musholla, untuk dijadikan akrobat. Tadi, dia memainkan pintu lemari musholla hingga kacanya lepas dari engsel. Untung tidak sampai jatuh lalu pecah dan mengenai yang lain. Aku langsung berlari, meninggalkan adiknya yang masih mengaji di depanku. Ibunya juga bangkit, membantuku mengangkat kaca itu dan mencoba untuk mengembalikannya. Syukurlah, kaca itu bisa dikembalikan ke tempat semula. Sedangkan anak itu langsung pergi seakan apa yang ia lakukan tidak salah.
“tadi dia marah-marah ustadzah, soalnya adiknya dapat juara sedangkan dia tidak. Dia merasa diungguli oleh adiknya.”
Yah, adik-adiknya memang berbeda. Bahkan bisa kubilang kalau mereka termasuk anak-anak yang cepat menangkap pelajaran.
“jadi tadi adik-adiknya dulu yang saya berangkatkan ngaji, soalnya kakaknya masih rewel,” cerita ibu itu sambil tertawa. Aku ikut tersenyum, seraya mengagumi beliau. Diantara orang tua yang lain, ibu ini yang paling sering menemuiku menanyakan perkembangan anaknya (meskipun ada yang terkadang bertanya lewat WA). Dari bagaimana ibunya bercerita, aku bisa melihat usaha beliau untuk mendidik anaknya agar tidak berbeda. Sebenarnya itu yang kusayangkan. Kenapa disekolahkan di sekolah biasa? Bukan SLB (Sekolah Luar Biasa)? Bukankah nantinya dia akan mendapatkan cara pengajaran yang lebih baik? Namun nurani seorang ibu, mungkin ingin anaknya ‘normal’.
            “dulu selalu pindah-pindah ngaji. Dua minggu, tiga minggu, gak ada yang sanggup sama anak saya. Bukannya diajarin, malah dibiarin. Trus ada ngaji di sana, gurunya jahat. Jadi anak saya gak mau ngaji. Ya mau gimana? Anak saya memang berbeda. Kebetulan ada yang dekat, di sini.”
            Aku tersenyum.
            “di rumah, dia gak pernah mau belajar, jadi adik-adiknya juga gak mau belajar. Kalau disuruh, bilangnya gini ‘ibuk bukan bu guru. Ibuk gak boleh ngajarin aku!’ gitu,” ujar ibu itu yang membuat mataku berkaca-kaca. Bayangkan saja, ketika kita sudah mengusahakan sebaik dan sebanyak mungkin untuk seorang anak, tapi malah tidak dianggap? Baiklah, dia memang punya disabilitas. Tapi tetap saja hati seorang ibu akan tersakiti bukan?
            “jadi ngajinya saya serahkan ke sini ya ustadzah. Bisa gak bisanya anak saya, saya pasrah. Dia mau ngaji saja, saya sudah bersyukur.”
            “insyaallah bu, tapi ngapunten kalau naik jilidnya lama ya bu…”
            “lhoh, gak papa. Saya juga menyadari kondisi anak saya. Dia memang berbeda sama adik-adiknya. Sama anak-anak yang lain.”
            Entah kenapa, tiap kali mendengar kata ‘berbeda’ dari bibir ibu itu aku merasa terenyuh. Berbeda? Memangnya berbeda itu apa sih? Bukankah kita sama-sama manusia? Kata ‘berbeda’ hanya diciptakan manusia untuk mengakui kalau dirinya lebih baik dari orang yang mereka anggap ‘berbeda’ itu. Untuk bisa lebih sempurna. Namun bukankah hanya Allah yang patut membedakan manusia-manusianya? Yang pernah kudengar, yang membedakan diantara makhluk-makhluk-Nya adalah dari keimanan. Memang iman kita lebih baik dari mereka? Memang dosa kita lebih sedikit dari mereka? Tidak ada yang tau bukan? Seharusnya kata ‘berbeda’ dihapus saja dari kamus manusia.
            Ditengah percakapan, anak itu datang dan langsung bersandar di bahuku. Ia memain-mainkan jariku seakan menghitungnya, lalu mendorong-dorong tubuhku dengan bahunya. Bermain.
            “Fulan, gak boleh gitu nak sama ustadzah!” ibu itu memperingatkan.
            “gak mau!” jawabnya.
            “hayo, gak nurut sama ibu?!”
            Anak itu tertunduk.
            “mboten nopoo bu….,” jawabku, karena dia memang biasa seperti ini. Lebih mending, daripada lari-lari di musholla hingga pernah juga sampai tirai musholla lepas.
            “gitu emang kalau sudah akrab, jahil.” Ibu itu menjelaskan, aku tersenyum.
            “Fulan, kalau ngaji harus jaga adiknya. Iya kalau ibuk nganter Fulan 3 (anak yang ketiga), kalau enggak?”
            “iyyaaa.” Anak itu menjawab sambil memainkan ujung kerudungku.
            “Fulan, inget tadi yang dibilang kak Anna apa? Kalau bertengkar terus sama adiknya, nanti di akhirat jadi apa?” tanyaku.
            “jadi monyet,” jawabnya.
            “mau, jadi monyet?”
            Dia menggeleng, “gak mauuu.”
            “ya udah, berarti harus akur sama adik-adiknya. Kalau ibu gak ada, Fulan yang jaga adik ya. Janji?” aku mengangkat jari kelingkingku.
            “gak mau!” dia menggelengkan kepalanya keras.
            “lhoh, kok gak mau?”
            “fulan, kalau ngaji harus nurut sama ustadzah!” ibunya berbicara. Anak itu tampak ragu, kemudian mengikatkan jari kelingkingnya di kelingkingku sebelum kemudian berlari keluar. Kutatap punggungnya dengan mata yang menerawang. Kadang geregetan, kadang juga kasihan.
            “pokoknya saya bersyukur banget ada tempat ngaji di sini ustadzah. Terimakasih banyak, anak saya pinter dari sini,” ungkap ibu itu yang langsung menusuk hatiku. Ketika itulah aku merasakan kalau tanggung jawab itu lebih berat daripada rindu. Seharusnya Dilan tau. Terbesit bayangan kalau aku tak bisa selamanya ada di Malang. Aku harus pulang, yang berarti aku harus meninggalkan mereka. Meninggalkan tanggung jawab, dan menyisihkan harapan anak-anak dan orang tua mereka. Mungkin ini terdengar alay atau sok-sokan, tapi memang begitulah adanya. Aku bercerita pada kalian karena ingin memberitahu, kalau ada sosok paling tegar yang selalu mendorong kalian dari belakang, meskipun kalian tidak tau dan jarang menyadarinya. Ibu.
            Selain itu, aku ingin menyampaikan kalau perbedaan yang didasari fisik dan material hanyalah ciptaan manusia. Hanya karena anggota tubuh kita lengkap, otak kita berfungsi secara normal, lantas merasa menjadi manusia paling sempurna? Dan memandang sebelah mata mereka yang tidak sama?
            Adzah maghrib terdengar. Ibu itu berpamitan pulang. Aku juga harus pulang.


120418

0 komentar: