Anakku Berbeda
Kuceritakan pada kalian tentang sebuah
kisah. Kisah yang tidak mungkin kudapatkan jika aku hanya berdiam diri tanpa
mencoba mengecap sedikit tentang arti perjuangan, tanggung jawab dan
pengorbanan.
Sore tadi, di TPQ.
“anak saya
berbeda dengan anak yang lain,” ucap seorang ibu ketika anak-anak sudah pulang,
pun orang tua lain yang juga ikut mengantarkan. Langit sudah gelap, Qiroah dari
speaker masjid mulai terdengar. Yah, hari ini anak-anak pulang lebih sore
karena aku hanya sendirian, entah kemana temanku yang biasanya menemaniku untuk
sekedar mengajarkan Alif, Ba’, Ta’, Tsa di kota orang ini.
Aku mengusap
keringatku yang bercucuran seakan habis berlari. Pagi buta aku berangkat ke
kampus berharap bisa nge-lab hari ini, tapi ternyata Allah masih belum
merestui. Padahal aku sudah merencanakan jadwal nge-lab dari minggu kemarin. Tapi
mau bagaimana lagi? waktu dan napas yang kupunya bukan milikku. Setelah itu,
ada kondangan anak pemilik kos. Menukar kado dengan makan siang atau sarapan?
Ah, makan siang dan sarapan tidak ada bedanya bagiku. Seusai itu, langsung
meluncur ke TPQ. Kukira temanku datang, tapi ternyata tidak. Disitu aku
berharap kalau yang masuk sedikit. Lagi-lagi, aku tak berhak merencanakan
apapun. Hanya sekitar 4 anak yang tidak masuk dari 18 anak. Namun percayalah,
secapek-capeknya kalian, ketika sudah melihat senyum dan canda tawa anak-anak
pasti semua capek hilang. Tapi, keringatku tetap bercucuran. Kita berbicara
tentang ‘anak-anak kecil’, bukan anak SMA yang langsung menurut jika disuruh
diam.
“anak saya
disabilitas,” lanjut ibu tiga anak itu.
Aku terdiam, mendengarkan. Aku jadi ingat
ketika pertama kali ibu itu menghampiriku untuk menjelaskan kondisi anaknya. Laki-laki.
Secara fisik, mungkin ia memang siswa kelas 4 SD, namun tingkah laku dan (maaf)
mentalnya masih seperti anak TK. Mungkin masih lebih baik yang TK. Ia mempunyai
dua adik laki-laki, satunya TK B dan paud. Biasanya mereka berangkat bersama
meskipun kakaknya selalu telat karena harus oyok-oyokan
dulu sama ibunya kalau disuruh berangkat mengaji.
“mohon maaf ustadzah sebelumnya kalau anak
saya sering buat masalah. Di sekolah, ia juga sering dimarahin gurunya karena
jahil. Dia juga menjadi korban bully-an anak-anak yang lain sampai terkadang
gak mau kalau disuruh sekolah.”
Hatiku terenyuh. Raut wajah ibu itu
menunjukkan ketegaran yang luar biasa.
“biasanya, suka nggoda adiknya. Dijahili terus…”
Aku ingat ketika si kakak selalu mengambil
kopyah si adek, dan melemparkannya ke sana kemari bersama teman-temannya hingga
menangis. Kadang juga menyembunyikan tas adiknya, atau melemparkannya ke atas
lemari. Pernah dia mengeluarkan semua isi tasku, kemudian memasukkannya
kembali. Atau memainkan sapu musholla, untuk dijadikan akrobat. Tadi, dia
memainkan pintu lemari musholla hingga kacanya lepas dari engsel. Untung tidak
sampai jatuh lalu pecah dan mengenai yang lain. Aku langsung berlari,
meninggalkan adiknya yang masih mengaji di depanku. Ibunya juga bangkit,
membantuku mengangkat kaca itu dan mencoba untuk mengembalikannya. Syukurlah,
kaca itu bisa dikembalikan ke tempat semula. Sedangkan anak itu langsung pergi
seakan apa yang ia lakukan tidak salah.
“tadi dia marah-marah ustadzah, soalnya
adiknya dapat juara sedangkan dia tidak. Dia merasa diungguli oleh adiknya.”
Yah, adik-adiknya memang berbeda. Bahkan bisa
kubilang kalau mereka termasuk anak-anak yang cepat menangkap pelajaran.
“jadi tadi adik-adiknya dulu yang saya
berangkatkan ngaji, soalnya kakaknya masih rewel,” cerita ibu itu sambil
tertawa. Aku ikut tersenyum, seraya mengagumi beliau. Diantara orang tua yang
lain, ibu ini yang paling sering menemuiku menanyakan perkembangan anaknya
(meskipun ada yang terkadang bertanya lewat WA). Dari bagaimana ibunya
bercerita, aku bisa melihat usaha beliau untuk mendidik anaknya agar tidak
berbeda. Sebenarnya itu yang kusayangkan. Kenapa disekolahkan di sekolah biasa?
Bukan SLB (Sekolah Luar Biasa)? Bukankah nantinya dia akan mendapatkan cara
pengajaran yang lebih baik? Namun nurani seorang ibu, mungkin ingin anaknya ‘normal’.
“dulu selalu
pindah-pindah ngaji. Dua minggu, tiga minggu, gak ada yang sanggup sama anak
saya. Bukannya diajarin, malah dibiarin. Trus ada ngaji di sana, gurunya jahat.
Jadi anak saya gak mau ngaji. Ya mau gimana? Anak saya memang berbeda.
Kebetulan ada yang dekat, di sini.”
Aku tersenyum.
“di rumah,
dia gak pernah mau belajar, jadi adik-adiknya juga gak mau belajar. Kalau disuruh,
bilangnya gini ‘ibuk bukan bu guru. Ibuk gak boleh ngajarin aku!’ gitu,” ujar
ibu itu yang membuat mataku berkaca-kaca. Bayangkan saja, ketika kita sudah
mengusahakan sebaik dan sebanyak mungkin untuk seorang anak, tapi malah tidak
dianggap? Baiklah, dia memang punya disabilitas. Tapi tetap saja hati seorang
ibu akan tersakiti bukan?
“jadi
ngajinya saya serahkan ke sini ya ustadzah. Bisa gak bisanya anak saya, saya
pasrah. Dia mau ngaji saja, saya sudah bersyukur.”
“insyaallah
bu, tapi ngapunten kalau naik jilidnya lama ya bu…”
“lhoh, gak
papa. Saya juga menyadari kondisi anak saya. Dia memang berbeda sama
adik-adiknya. Sama anak-anak yang lain.”
Entah kenapa,
tiap kali mendengar kata ‘berbeda’ dari bibir ibu itu aku merasa terenyuh. Berbeda?
Memangnya berbeda itu apa sih? Bukankah kita sama-sama manusia? Kata ‘berbeda’
hanya diciptakan manusia untuk mengakui kalau dirinya lebih baik dari orang
yang mereka anggap ‘berbeda’ itu. Untuk bisa lebih sempurna. Namun bukankah
hanya Allah yang patut membedakan manusia-manusianya? Yang pernah kudengar,
yang membedakan diantara makhluk-makhluk-Nya adalah dari keimanan. Memang iman
kita lebih baik dari mereka? Memang dosa kita lebih sedikit dari mereka? Tidak
ada yang tau bukan? Seharusnya kata ‘berbeda’ dihapus saja dari kamus manusia.
Ditengah percakapan,
anak itu datang dan langsung bersandar di bahuku. Ia memain-mainkan jariku
seakan menghitungnya, lalu mendorong-dorong tubuhku dengan bahunya. Bermain.
“Fulan, gak
boleh gitu nak sama ustadzah!” ibu itu memperingatkan.
“gak mau!”
jawabnya.
“hayo, gak
nurut sama ibu?!”
Anak itu
tertunduk.
“mboten
nopoo bu….,” jawabku, karena dia memang biasa seperti ini. Lebih mending,
daripada lari-lari di musholla hingga pernah juga sampai tirai musholla lepas.
“gitu emang
kalau sudah akrab, jahil.” Ibu itu menjelaskan, aku tersenyum.
“Fulan, kalau
ngaji harus jaga adiknya. Iya kalau ibuk nganter Fulan 3 (anak yang ketiga),
kalau enggak?”
“iyyaaa.” Anak
itu menjawab sambil memainkan ujung kerudungku.
“Fulan,
inget tadi yang dibilang kak Anna apa? Kalau bertengkar terus sama adiknya,
nanti di akhirat jadi apa?” tanyaku.
“jadi
monyet,” jawabnya.
“mau, jadi
monyet?”
Dia
menggeleng, “gak mauuu.”
“ya udah,
berarti harus akur sama adik-adiknya. Kalau ibu gak ada, Fulan yang jaga adik
ya. Janji?” aku mengangkat jari kelingkingku.
“gak mau!”
dia menggelengkan kepalanya keras.
“lhoh, kok
gak mau?”
“fulan, kalau
ngaji harus nurut sama ustadzah!” ibunya berbicara. Anak itu tampak ragu,
kemudian mengikatkan jari kelingkingnya di kelingkingku sebelum kemudian
berlari keluar. Kutatap punggungnya dengan mata yang menerawang. Kadang geregetan,
kadang juga kasihan.
“pokoknya
saya bersyukur banget ada tempat ngaji di sini ustadzah. Terimakasih banyak,
anak saya pinter dari sini,” ungkap ibu itu yang langsung menusuk hatiku.
Ketika itulah aku merasakan kalau tanggung jawab itu lebih berat daripada
rindu. Seharusnya Dilan tau. Terbesit bayangan kalau aku tak bisa selamanya ada
di Malang. Aku harus pulang, yang berarti aku harus meninggalkan mereka.
Meninggalkan tanggung jawab, dan menyisihkan harapan anak-anak dan orang tua
mereka. Mungkin ini terdengar alay atau sok-sokan, tapi memang begitulah
adanya. Aku bercerita pada kalian karena ingin memberitahu, kalau ada sosok
paling tegar yang selalu mendorong kalian dari belakang, meskipun kalian tidak
tau dan jarang menyadarinya. Ibu.
Selain itu,
aku ingin menyampaikan kalau perbedaan yang didasari fisik dan material
hanyalah ciptaan manusia. Hanya karena anggota tubuh kita lengkap, otak kita
berfungsi secara normal, lantas merasa menjadi manusia paling sempurna? Dan memandang
sebelah mata mereka yang tidak sama?
Adzah maghrib
terdengar. Ibu itu berpamitan pulang. Aku juga harus pulang.
120418
0 komentar: