Memimpikanmu
Ruangan itu
tidak terlalu besar. Dengan seperangkat kursi dan meja yang terbuat dari ukiran
kayu, membuatnya terlihat lebih natural. Beberapa foto terpampang di dinding
ruangan, menyembunyikan setiap kisah di balik sebuah jepretan. Aku mengulang
hafalan yang selama ini sudah kusetorkan pada seorang lelaki yang berada di
depanku. Aku tak bisa memastikan siapa dia, yang aku tau, saat-saat terbaikku
adalah ketika bersamanya.
Tuk tuk tuk.
Aku mendengar
ketukan jarinya pada kursi yang menandakan ada yang salah dengan bacaanku.
Secara reflek, akupun mengulang bacaanku kembali. Satu ayat, dua ayat, tiga
ayat, aku mendengar suara ketukan itu lagi. Dan seperti sebelumnya, aku
mengulang bacaanku kembali. Namun tiap kali aku mengulang bacaanku, ketukan itu
tak berhenti-berhenti. Akhirnya aku mengangkat kepalaku dan ingin menyatakan
aku menyerah. Biar dia kasih tau saja yang mana bacaanku yang salah. Selayaknya
orang yang berkendara dan tiba-tiba terjebak macet di tengah jalan, pastilah
sangat menguras emosi. Begitupun saat bacaanku tiba-tiba berhenti di tengah
jalan, rasanya ngalahin orang yang tengah putus cinta. Ah, aku baru ingat.
Sejatinya, bacaanku, Al-Quranku adalah pacar yang paling pencemburu.
Aku menghela
nafas panjang dan ingin menatapnya saat tiba-tiba ada sebuah tangan menyentuh
bahuku. Ku kira tangan itu adalah tangan besar yang memikul tanggung jawab
keluargaku, namun tangan yang kurasakan dibahuku adalah tangan halus dan kecil.
Seperti tangan perempuan. Perlahan aku melihat bayangnya yang mulai kabur
digantikan bias-bias cahaya yang masuk ke dalam retinaku dengan paksa. Seakan
terpaksa menerima bias itu masuk dalam mataku, aku memicingkan mataku saat
menangkap sebuah bayangan di depanku. Langit-langit yang sangat ku kenal, dan
seorang perempuan.
“Nafa, setoran
yuk.” Ujarnya.
Aku mengerjap-ngerjapkan
mataku seakan mengumpulkan nyawa. Meskipun sebenarnya aku sedikit menyesal
karena membuka mata. Jika saja lebih lama, aku mungkin bisa mengetahui wajahnya.
“sekarang?”
tanyaku lemah. Bagaimanapun juga kuliah dari pagi hingga sore non-stop, membuat
mataku berat dan tubuhku lemah. Aku baru ingat, ternyata tadi aku hanya berniat menaruh tubuhku di
atas kasur sebelum berangkat menyetorkan hafalanku. Ternyata niatan itu
berubah menjadi candu mataku untuk terpejam.
“iya. Aku
tunggu ya.” Ucapnya.
Aku menghela
napas panjang, dan menarik tubuhku dari rekatan kasur dengan berat.
Aku belum
menambah banyak hafalanku.
0 komentar: