Selasa, 08 Januari 2019

Hari Pertama "Sekolah" _ 050119

Kuceritakan padamu tentang cerita hari ini.
Hari ini pertama kali aku menjejakkan kaki di sekolahku dahulu. Bukan untuk mengorek kenangan, tentu saja bukan. Tapi untuk mengemban amanah yang sudah ditetapkan dan sudah menjadi pilihan.
Bismillah, aku berangkat dengan niat yang berusaha kutata.
Bicara tentang pagi, tentu saja tak indah jika tanpa diwarnai ketelatan remaja berseragam di depan sekolah. Guru BP yang berdiri di samping gerbang adalah kakak kelasku dulu. Prinsip menjaga jarak dari guru BP-pun terlupakan sudah. Aku menghampirinya.
“mbak, ini anak-anak telat atau memang masih belum aktif sepenuhnya?” kulirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 7.15 WIB. Semoga saja belum aktif sepenuhnya, jadi aku punya alasan untuk terlambat. Aku masuk jam 7 seharusnya.
“ada jam hari ini?” tanyanya.
“iya mbak, jam 7. Tapi apa anak-anak udah dateng kira-kira?”
“masuk aja, biasanya anak-anak baru masuk kalau ada gurunya.”
Benar juga. Aku baru ingat, aku dulu juga begitu. Nongkrong depan kelas, adalah kenikmatan tiada tara sembari menikmati semilir angin yang menerpa wajah. Terkadang juga membuat konser kecil-kecilan bermodal tangan dan bangku yang sudah rusak. Kalau mendengar atau melihat guru datang, barulah konser buyar dan berbondong-bondong masuk kelas. Nantilah dilanjutkan lagi.
Aku tersenyum lirih dalam hati.
Aku melangkahkan memasuki gerbang. Ada guru-guru lain yang melingkar sembari mengawasi langkah-langkah kecil anak didik mereka. Mungkin begitulah mereka memperhatikanku juga dulu. Entahlah, aku tak ingat. Aku tak pernah memperdulikan taapan mereka selain tatapan tajam keamanan penjaga gerbang sekolah.
Beliau-beliau tersenyum. Aku mendekat.
“pak, kelas 7E di sebelah mana ya?” tanyaku. Banyak tempat yang sudah direnovasi, tak seperti yang pernah kuingat. Banyak hal yang berubah, tak seperti yang masih terkenang. Kalau aku tak bertanya, barang tentu aku akan tersesat.
“kelas 7E di kelas tengah ini, nomor 2 dari belakang.”
“ooh, di situ ya pak.”
“iya. Ada jam di 7E?”
“iya pak.”
“nanti diisi perkenalan aja dulu gak papa. Materinya menyusul, soalnya anak-anak dapat buku paket.” Saran beliau, pak Abdul namanya. Guru bahasa inggris yang dulu dikelasku dikenal dengan pengucapan ‘two girls’ yang diplesetkan menjadi ‘tugel’. Aku terkekeh lagi dalam hati.
“gitu, iya pak. Kalau begitu saya masuk dulu ngge…”
“iya, silahkan…”
Selama sekolah dulu, aku tak pernah berjalan di kelas bagian tengah, karena dulu kelasnya anak cowok semua. Tapi sekarang, masa bodolah. Semakin bertambahnya tahun yang kulewati membuat sikap EGP-ku semakin bertambah juga.
Kelas pertama bagian depan sebelah kanan, dulu adalah laboratorium yang sekarang menjadi kelas unggulan. Sedangkan perpustakaan yang dulu berada di seberang laboratorium, sekarang dipindah di samping kelas unggulan. Padahal di situ dulu adalah kelas 9A, tempat seseorang yang pernah menjadi istimewaku berkumpul bersama teman-temannya ketika pagi, istirahat dan pulang sekolah. Entahlah, apa yang ia lakukan. Padahal kelasnya berjarak dua kelas dari situ. Yang jelas, tiap kali aku menaiki atau menuruni tangga hendak menuju atau dari kelas, aku sering melihatnya. Meskipun tidak jelas, aku hanya yakin ada yang mengawasiku dari sana.
Kelasku dulu berada di lantai 3 bangunan depan, jadi sebuah usaha keras menaiki tangga demi mengais ilmu untuk masa depan. Sebuah perjuangan bukan? Namun jika boleh jujur, meskipun hanya beberapa saat saja, momen naik dan turun tangga adalah momen yang selalu kunantikan di sekolah. Yah, dengan jujur kuakui, karena aku bisa ‘bertemu’ dengan dia meskipun tak selayaknya bagaimana sebuah pertemuan. Beruntung jika aku bisa mendapatinya yang sering bersembunyi dibalik teman-temannya. Ah, lucu sekali.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku berusaha menyadarkan diri. Aku harus ingat, aku tak datang ke sini untuk mengorek kenangan. Kalian percaya bukan?
Layaknya alien yang berjalan di tengah bumi, berpasang-pasang mata tampak mengawasiku lekat. Ada yang berbisik hingga terdengar telingaku,
“guru baru, ada guru baru…” Baiklah, nikmati saja mendapat panggilan guru baru, karena panggilan itu tidak akan aku dapatkan lagi nantinya.
Kuedarkan mataku mencari papan bertuliskan kelas 7E. Seingatku kelas 7E dulu kelas cewek, jadi mungkin hari pertamaku tidak akan sesulit ketika berurusan dengan siswa cowok. Setelah istirahat nanti, aku harus menyiapkan mental berhadapan dengan siswa kelas 8A. Tapi itu urusan nanti, sekarang mari sedikit bersantai dulu.
Berjalan menuju kelas nomor dua dari belakang, kenapa perasaanku jadi tidak enak? Aku jadi ragu tentang rencanaku untuk bersantai dulu di jam pertama. Kelas 7E, terpampang di atas pintu. Tapi kemana kerudung mereka? Kenapa mereka pakai celana?
“kelas 7E?” kutanya pada siswa yang sedari tadi memperhatikanku dari jauh.
“iya bu,” jawabnya.
“ya udah, ayo masuk.” Bilangku seraya mengetuk kepalaku pelan. Ternyata aku masuk kelas laki-laki.
---***---
“ayo tebak-tebakan, jangan pelajaran bu… eh, kak.” Celetuk anak yang duduk di sebelah pintu.
Yah, misi pertamaku menanamkan jiwa muda dengan dukungan anak-anak memanggilku ‘kak’ bukannya ‘bu’. Misi yang menjanjikan bukan? Bagaimanapun panggilan ‘ibu’ seakan memberikan jarak kedudukan yang terlalu tinggi, sekaligus jarak umur yang terlalu jauh juga. Dan bukankah kita harus memperkecil jarak jika ingin akrab? Baikah, itu hanya alasan.
“tebak-tebakan apa?” aku memancing, karena aku memang belum mempersipkan apapun. Aku harus tau karakter mereka terlebih dahulu, sehingga bisa memilih bagaiman cara agar bisa menyampaikan pelajaran nantinya. Mungkin karena kebanyakan dari mereka adalah siswa dan santri baru, mereka masih terlihat lucu. Kelas itu layaknya kehidupan dalam skala sangat kecil. Ada banyak anak dengan berbagai macam karakter yang bisa ditemukan. Ada pemimpin, ada yang bersikap layaknya pemimpin. Ada rakyat yang berlagak, adapula yang tertindas. Ada juga yang masa bodoh dan lebih memilih meletakkan kepala di atas bangku, terlelap dalam mimpi yang panjang mungkin.
“hewan, hewan apa yang kakinya empat??”
“ya banyaaaak!!!”
“yo akeh ndeng!”
Sorakan dan hantaman pelan ditubuh si pemilik suara tadipun berdatangan. Suara mereka memenuhi kelas, bahkan ada siswa-siswa lain yang mengintip dari balik jendela, atau mungkin mereka memang sudah di sana sejak tadi?
“heeee, kasiaan. Temennya kecil imut-imut gitu jangan di-bully.” Sahutku yang malah mengundang sorakan yang lebih keras lagi. Yang disoraki malah tertawa polos seakan tanpa dosa. Semoga saja dia bisa mempertahankan kepolosannya hingga dewasa nanti. Tapi sepertinya aku ragu. Dia yang kukenal dulu juga tampak polos, tapi berubah seperti macan tutul seiring dengan bertambahnya umur.
Lalu suara musik pergantian jam berbunyi. Pelajaran ke-3 dimulai.
---***---
Ruang guru sepi, aku masuk menghampiri guru yang dulu pernah menjadi teman seasramaku. Sebenarnya aku tidak sendiri, ada neng Rima, teman sekelasku yang baru juga mengajar di sini. Tapi kami memiliki jam mengajar di hari yang berbeda, jadi tidak ketemu meskipun sama-sama masih mendapat predikat guru baru.
Kurang satu jam pelajaran lagi, lalu aku masuk ke kelas 8. Cukuplah untuk menyiapkan mental bagaimana nantinya. Memang benar, waktu berjalan sangat cepat. Aku masih menata hatiku, tapi bel pergantian jam pelajaran sudah berbunyi saja. Mau tak mau, aku harus masuk.
Pernah kubilang, layaknya alien, aku masih bertanya dimana letak kelas yang akan kumasuki. Lagi. Ternyata, kelasnya berada di kelas pertama dari belakang, tepat di samping kelas 7E. Duh, kenapa aku tidak melihatnya tadi?
“makasih ya dek,” bilangku pada anak yang mengantarku tadi.
Di depan, anak-anak dengan tinggi yang kebanyakan lebih dariku berdiri dengan memakai baju olahraga.
“kelas 8A?”
“iya,”
“yuk masuk,” bilangku.
“bu, masuk sini aja.” Sebuah celetukan dari anak kelas 7E.
“iya, pertemuan yang akan datang.”
“yaaaah,” mereka merengek kecewa, aku terkekeh sembari memasuki kelas 8.
Beda sekali rasanya ketika memasuki kelas 7 dan 8. Badan mereka yang sudah tinggi dan membesar, membuatku tampak seperti adik mereka. Tapi aku tak boleh terintimidasi, karena cabe yang paling pedas adalah cabe yang berukuran kecil.
Kuawali kelas seperti pada umumnya, salam dan berdoa. Lalu perkenalan. Lumayanlah buat mengurangi jam pelajaran. Namun Suasana perkenalan di kelas ini lebih ricuh daripada kelas yang tadi dan muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak terpikirkan dari mereka.
“bu, eh kak, udah punya suami??”
What? Tawaku langsung meledak bersamaan dengan sorakan seluruh kelas. Tak terpikir aku akan menerima pertanyaan seperti itu dari mereka. Kukira hanya sekedar nama, alamat, hoby, cita-cita layaknya biodata yang pernah kubuat di kertas binder pas jaman-jaman sekolah dulu.
“nomor WA, nomor WA!”
“buat apa?”
“ya nanti kalau ada apa-apa biar enak bu…”
“Huuuu, modus modus!!!” teriak yang lain.
“bu, pernah naik tiger? Ayo bu tak anterin.”
Aku tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala. Aku belum mempersiapkan reaksi se-ekstrim ini ketika menghadapi mereka.
Lalu tiba-tiba ada yang mengetuk kelas, terlambat. Sekitar 5 orang yang kembali mendapat sorakan. Aku tersenyum dan menyuruh mereka masuk. Mereka mendekat dan menyodorkan tangan hendak bersalaman denganku.
Aku ragu. Bukan karena aku tak mau atau bagaimana, tapi aku ragu apakah aku sudah pantas mendapatkan jabatan tangan layaknya seorang guru? Tapi karena khawatir mengecewakan ataupun menjadikan jarak hubunganku dengan anak-anak, akhirnya kubiarkan mereka menjabat tanganku dan langsung kutarik ketika mereka hendak mendekatkan ke kening.
Begini lebih baik. Batinku.
“Ya Allah! Tau gitu aku telat aja tadi!!” histeris beberapa anak yang langsung kutangkap kalau mereka iri karena tidak bisa bersalaman denganku. Terang saja aku tertawa. Kok bisa sampai seperti itu? Mendapat bermacam-macam respon sedari tadi, berarti aku harus bersiaga dan berhati-hati. Aku sudah tak berurusan dengan anak kecil lagi. Namun bukan berarti aku tak bisa melawan balik atau meluluhkan mereka. Aku tengah mencari titik lemah mereka sehingga bisa memudahkanku nantinya. Dan aku sudah menemukannya. Aku tau cara yang membuat mereka bisa tenang, mendengarkan, tanpa perlu kekerasan.
Bagiku, mereka adalah anak-anak remaja yang baru menginjak pelajaran kehidupan pertama. Banyak hal yang masih harus mereka lewati, dan aku ingin sedikit berperan dalam mengantar mereka ke kehidupan yang lebih baik.
Kemudian ada WA masuk.
Besok jam 9 bisa ke MA? Damping anak-anak nulis buku ROMOku.
Aku memasukkan handphoneku dalam tas lagi setelah membalas,
Besok saya full pak. Habis ini jam 11 saya ke MA.
Dan aku segera mengakhir kelas setelah mendengar bel pergantian jam, lalu segera meemacu motor menuju ke MA, tempat kenanganku yang lain.
---***---


0 komentar: