Senin, 22 April 2019

Izinkan Aku Mencintaimu




“Assalamualaikum. Mau minta izin, bolehkah aku menyukaimu?”
Sebuah pesan masuk dari messenger-ku. Keningku berkerut bertanya-tanya siapa. Biasanya kebanyakan mereka yang mengirim pesan padaku mengucapkan salam terlebih dahulu yang belum tentu kubalas. Tergantung apakah aku mengenalnya ataukah tidak. Karena sebagian besar dari mereka pasti ujung-ujungnya minta nomor WA atau ingin mengenal lebih jauh. Lebih parah, ada yang terang-terangan bilang ingin berniat serius. Ah, bosan sekali aku menanggapi. Selain itu, aku heran saja bagaimana bisa seseorang menyukai orang lain lewat medsos? Maksudku, media sosial adalah dunia maya. Kita tak bisa menyimpulkan karakter seseorang dari sekedar postingan atau foto yang mereka unggah bukan? Bagaimanapun juga, aku tak terlalu suka hubungan yang dimulai dari dunia maya. Makanya itu, aku selalu menyeleksi ketat siapa yang hendak kubalas. Salah satunya, stalking dulu siapa yang mengirim pesan. Sebelum membalas, kusentuh icon profil dan melihat sekilas tentang si pengirim pesan. Aku tak mencari terlalu jauh, aku hanya melihat kalau ia santri di pondokku dahulu. Berada di almamater yang sama, bukankah  tak baik jika bersikap cuek dan dingin?
            “Waalaikumsalam. Silahkan, itu hak anda.”
            Lalu kububuhi emoticon tangan meminta maaf. Sudah ramah kan? Bukannya aku tak mau membuka ruang komunikasi dengan orang lain atau apa, tapi aku tengah menjaga jarak sekaligus hatiku agar tak lagi jatuh pada rasa yang tidak semestinya. Aku ingin jika jatuh cinta, hanyalah kepada ‘dia’ yang mengucapkan janji suci di depan ayah.
            Beberapa saat, balasan muncul.
            “terimakasih”
                Aku hanya melihatnya lalu menutup gawaiku. Kurebahkan punggungku di kasur sembari menatap langit-langit kamar. Satu persatu berbagai tanggung jawab yang belum kuselesaikan memenuhi kepalaku. Belum lagi masalah-masalah yang sudah atau masih dalam tahap penyelesaian. Berada di tahun akhir kuliah, adalah masa terberat yang pernah kualami. Tak cukup dengan tekanan selama penelitian ketika di kampus, TPQ yang aku diamanahi untuk mengelola, siswa-siswa les yang aku dipercayai untuk membantu belajar, topik pembicaraan orang tua yang sudah mengarah pada pernikahan, dan lain sebagainya. Aku benar-benar bingung.
            Aku menutup mata, menikmati kepalaku yang cenat-cenut entah kenapa. Hingga akhirnya aku terlelap. Namun masalah-masalah itu malah ikut masuk dalam mimpiku. Yah, alam bawah sadarku membawanya serta. Ingin sekali aku berteriak,
            “pergilah, aku ingin istirahat sejenak”
Tapi mereka enggan meninggalkan.
---***---
            neng, gimana kabarnya?”
            Sebuah pesan whatsapp masuk, dari seseorang yang aku pernah menjadikannya istimewa. Sekarang? aku berharap tidak lagi.
            “alhamduliah baik,”
            Balasku lalu beralih pada tumpukan jurnal yang harus kupelajari. Penelitianku di lab tadi gagal. Aku harus mencari alasan dan mencari solusi darinya dengan menyusuri setiap kata pada jurnal yang sudah diverifikasi oleh dunia. Dan yah, tentu saja semua teksnya berbahasa inggris. Semoga kalian mengerti betapa kerasnya usaha yang diperukan untuk memahami teks berbahasa inggris.
            “kangen,” balasnya kemudian. Aku menarik napas panjang. Dalam hati aku merintih, kumohon jangan lagi. Aku sudah bersyukur ia tak lagi menghubungiku beberapa minggu terakhir ini setelah kutodong dengan keseriusannya kembali padaku. Dan ketika ia masih ngalor-ngidul gak jelas, aku sudah memutuskan untuk tak lagi percaya. Tapi masalahnya hatiku tak bisa menyerah dengan mudah. Pintu hatiku selalu terketuk tiap kali ia datang. Lalu meninggalkan kekosongan saat pergi. Sedangkan ia tak pernah benar-benar memutuskan akan tinggal atau pergi dengan tegas. Ia datang lalu kembali dengan seenaknya sendiri. Logikaku menolak, lalu mengusirnya pergi. Tapi bukankah kita harus menjaga hubungan baik dengan saudara sesama kita?
            “iya,” jawabku sesingkat mungkin.
            “aku masih belum berani ke orang tuamu.”
            Yang benar saja? Dia kira orang tuaku singa kelaparan yang akan menerkam jika ada yang mendekat? Sungguh, aku tak suka dengan sifat mudah menyerahnya sebelum berusaha. Tak hanya soal ini. Lalu sifat plin-plannya yang sulit sekali memberi keputusan. Tapi jangan bertanya kenapa hatiku tertaut padanya, karena yah, cinta memang buta. Dulu, aku memang pernah mencintai dengan buta. Tapi umurku beertambah, dan aku tak mencari cinta yang buta, tapi cinta yang berkah.
            “ya udah,”
            Selesai. Aku tak mau lagi terperangkap dalam labirin yang tidak ada ujungnya. Aku menuntut penyelesaian, ia selalu berputar-putar. Dan ini bukan kisah yang bisa diperjuangkan oleh satu orang. Jadi, aku menyerah. Aku masih punya hal-hal lain yang harus kuselesaikan sendiri, dan bisa kuselesaikan sendiri.
---***---
Jangan bilang cinta kepadaku, tapi bilanglah pada orang tuaku lalu bertanyalah pada Allah.
            Aku menulis snapgram dan membagikannya. Beberapa saat kemudian ada yang membalas.
            “terlalu jauuuuuh”
            Dari orang yang kemarin minta izin menyukaiku. Keningku berkerut. Apa maksudnya ia membalas seperti itu? Satu perasaan yang kurasakan saat itu, ia meremehkan tulisanku. Dan aku paling sensitive jika ada orang yang menyentuh ranah tulisanku. Entah kenapa rasanya ia tak begitu menghargai tulisanku. Tak hanya hari ini, hari-hari selanjutnya ia juga membalas snapgramku dengan mengomentari pemikiranku yang terlalu jauh. Sebanyak ia membalas, sebanyak itupula kuabaikan. Bukankah yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan? Oke fix, aku tak bisa dekat dengan orang yang tak menghargai tulisan dan pemikiran-pemikiranku. Apalagi ketika kulihat, ternyata ia adalah salah satu teman’nya’. Itu sudah cukup untuk menambah kecanggungan jika salah satu diantara mereka bercerita tentangku. Bukannya aku bermain ramal-meramal, aku hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nantinya. Dan setiap keputusanku, akan berpengaruh pada apa yang terjadi selanjutnya. Jadi aku memutuskan untuk mengabaikannya, mengabaikan semuanya.
            Saat ini aku sudah memutuskan untuk menjaga hatiku lebih ketat lagi. Memasang perisaiku lebih tebal lagi. Memantaskan diri untuk lebih baik lagi. Karena aku percaya, jika seseorang itu adalah yang akan menyempurnakan sebagian imanku, maka dinding setebal apapun akan runtuh. Parit sejauh apapun akan terlewati dengan mudah. Ayah dan ibu juga menerima dengan bahagia ketika ia datang menawarkan cinta dengan cara yang seharusnya. Cara yang diridhoi oleh-Nya. Siapapun itu, aku masih menantinya. ^_^

0 komentar: