Rabu, 31 Juli 2019

Aku & Doa



            Aku pernah menghardik Tuhan, akan ketidaksesuaian nyata dengan doa yang kupanjatkan. Apa Dia tidak mendengar doaku? Atau Dia berusaha untuk mempermainkanku? Kata-Nya aku hanya musti berdoa pada-Nya, dan Dia akan mengabulkan segalanya. Apapun itu. Tapi saat apa yang terjadi tidak seperti keinginanku, apa Tuhan membohongiku?

            Seperti yang pernah terjadi.

            Aku berdoa karena seseorang. Kata-Nya, aku boleh meminta asalkan ia baik agamanya. Jadi aku meminta sedalam-dalamnya, semaksa-maksanya agar aku dijodohkan dengannya. Beberapa tanda sudah kusimpulkan. Mulai dari pertemuan yang tak sengaja dan tak terduga terduga (it's mean dipertemukan), tanggapan positif dari kedua keluarga, restu orang tua yang kontan (tidak sperti yang pernah-pernah datang sebelumnya), nasab yang jelas dan baik, apalagi agamanya yang tak diragukan lagi. Ditambah lagi hasil istikhoroh yang juga baik. Pokoknya dia itu bakal jadi imam yang ‘baik’lah. Yang paling terbaik bagiku saat itu. Seakan-akan jika bersamanya, aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia. Tak kurang-kurangnya aku mendesak Allah disepertiga malam, merayu-Nya melalui doa-doa bahkan dengan percaya dirinya kujadikan ia sebagai tulisan. Keyakinanku saat itu sudah 99%, didukung dengan tanda-tanda kalau aku dan dia hanya tinggal selangkah saja, yaitu khitbah. Namun kemudian, tiba-tiba saja Allah menghentikan langkahku. Pintu yang tadi terbuka lebar, tiba-tiba saja tertutup dengan keras. Siapa yang tidak terkejut? aku melirik sinis pada Allah dan bertanya “apa-apaan ini ya Allah!” Padahal Allah yang membuatku bertemu dengannya, menyelami sejenak harum cinta sebelum pernikahan dengan indahnya masa ta’aruf, menggetarkan hatiku tiap kali berdoa untuknya, lalu BLAK!! Allah menutup pintunya. Ada apa ini? apa aku sedang dipermainkan? Jangan ditanyakan betapa kecewanya diriku. Tentu saja kecewa sekali. Setelah menghardik Tuhan, aku mulai menyalahkan diriku sendiri. Begitulah. Saat ada sesuatu yang salah, aku seringkali menyalahkan diriku sendiri. Namanya juga kaget. Kaget itu hanya awalnya saja, kemudian juga (berusaha) normal lagi. Seperti hantu yang tiba-tiba saja muncul. Kaget kan? tapi kalau lama-lama dilihat juga bakal tenang sendiri. Right? Mungkin begitulah yang kurasakan.

            Sekarang, dengan pikiran jernihku akhirnya aku mulai menelisik setiap doa-doa yang kupanjatkan pada-Nya. Apa aku salah doa hingga Allah memberiku takdir ‘kegagalan’ dengan tidak berjodoh dengannya? Pikirankupun akhirnya terbuka, layaknya spongebob yang menemukan I-MA-JI-NA-SI nya.

            Aku ingat doaku. Jika menikah nantinya, aku ingin sekali bisa istiqomah sholat jamaah. Entah itu wajib atau sunnah. Menghabiskan subuh dengan tadarrus al-Qur’an, lalu bekerja bersama, pulang ketika anak-anak pulang sekolah, kemudian mengantarkan anak-anak mengaji dan diniyah, tadarrus dan belajar bersama selepas maghrib hingga isya, lalu menghabiskan waktu berdua setelah anak-anak tidur. Lalu aku teringat dia yang memiliki bisnis yang mengharuskannya untuk sering ke luar kota. Jika aku bersamanya, bukankah rencanaku itu hanyalah sekedar rencana? Mungkin saja bisa, tapi tak bisa istiqomah. Belum lagi waktu liburan, adalah moment paling menjanjikan untuk bisnisnya. Lalu bagaimana dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak? Kemudian aku selalu berharap bersama sesorang yang bisa menjaga sholatnya. Sedangkan bisnisnya mengharuskan ia untuk ‘menerobos’ waktu sholat dan menggantinya dengan jamak qoshor. Memang diperbolehkan, tapi bukankah lebih utama sholat pada waktunya? Setelah itu, aku juga berharap pada seseorang yang memiliki perasaan yang sama tentang pendidikan terutama pengabdian ke romo kyai. Sedangkan ia, sepertinya lebih fokus pada bisnisnya daripada mengajarnya. Jika seperti itu, bukankah rasa cintaku pada pengabdian tak akan bisa dimengerti sepenuhnya? Ya bukannya aku berburuk sangka, tapi siapa yang tau? Dan lagi tipeku yang pencemburu dan khawatiran, tentu saja sangat ironis sekali dengan dia yang harus berinteraksi dengan banyak orang (pasti banyak perempuan-perempuan yang lebih dariku) dan menyusuri jalan hingga berhari-hari. Bagaimana mungkin aku tak banyak khawatir setiap harinya?

Lalu aku sadar. Allah tidak sedang mempermainkanku. Dia hanya mengabulkan doaku. Ia menutup pintuku dan dia karena Allah tau apa yang kuharapkan tak akan bisa kucapai jika bersamanya. Allah juga sedang menjaga hatiku dari rasa cemburu dan khawatir yang akan sering kurasakan jika bersamanya. Dan lagi, Allah benar-benar mencarikanku imam. Maksudnya imam secara dhohir dan batin. Bukan yang dhohir saja, bukan pula yang batin saja. Lalu kenapa Allah menjatuhkanku dengan mempertemukanku dengannya? Karena Allah hanya ingin tau seberapa besar aku mencintai-Nya. Seberapa besar keyakinanku pada-Nya. Mungkin kemarin aku terpuruk, tapi aku bersyukur karena Allah mengizinkanku untuk kembali menyadari bahwa setiap takdir yang ia berikan ada alasannya, yaitu doa.

Yah, Allah memang sedang mengabulkan doaku.

Jika doaku bukan dia, apakah kamu?



Bersama doa, 31 Juli 2019


0 komentar:

Rabu, 24 Juli 2019

Menulis. Impian. Butuh


            Menulis.
            Entah masih se-istimewa apakah menulis bagiku saat ini. Aku masih menulis, hanya saja kepercayaan diriku mulai memudar. Tiba-tiba saja aku terlalu berhati-hati saat ingin menulis hingga akhirnya jari-jariku cuma berhenti di atas laptop dan tak jadi menulis. Aku ragu. Aku mulai ragu pada diriku sendiri. Aku mulai ragu kalau aku memang benar-benat suka menulis. Apa sebenarnya aku hanya pura-pura suka menulis? Atau aku menulis hanya untuk berpura-pura? Entahlah. Kadangkala aku tak memahami diriku sendiri, tapi masih saja meminta pemahaman dari orang lain.
            Impian.
            Aku mulai lupa rasanya bermimpi tinggi. Aku mulai melupakan ambisi untuk meraih setiap mimpi itu dengan tanganku sendiri. Bukan karena tak mau, tapi langkahku mulai melemah. Langkahku juga tak berjangka lebih lebar dari sebelumnya, malah cenderung mengecil. Bisa jadi aku malah tak melangkah sama sekali. Tapi bukan berarti aku tak pernah bermimpi untuk bermimpi. Aku masih bermimpi. Hanya saja mimpi itu masih mimpi.
            Butuh.
            Butuh? Apa aku menulis kata butuh? Aku juga tak tau kenapa aku menulis kata butuh. Aku menulisnya tanpa sadar. Apakah itu berarti aku sedang berkecipung dengan kata ‘butuh’? Bisa iya bisa tidak. Aku memang butuh. Butuh semangat baru, butuh motivasi baru, butuh alasan untuk tetap menulis impianku. Aku butuh seseorang yang bisa mendukung setiap impianku, bersama. Sepertinya kalimat yang terakhir adalah yang paling tegas diantara semua kalimat yang kutulis sebelumnya.

Yah, begitulah.

0 komentar:

Jumat, 12 Juli 2019

Pakaian


            

Pakaian.
            Pakaian berasal dari kata dasar pakai, yang artinya mengenakan. Sedangkan menurut KBBI, (sebentar tak carikan di google dulu), pakaian berarti barang apa yang dipakai seperti baju, celana dan sebagainya. Ooh, ternyata begitu ya artinya. Aku juga baru tau lho. Biasanya kita cuma bilang, ‘mau beli baju’ dan itu menyangkut semua jenis pakaian. Entah itu atasan, busana, gamis dan sebagainya. Tapi sebenarnya bukan itu sih inti yang ingin tak sampai-in. terlanjur bahas, ya udahlah. Kan sayang kalau misalnya harus dihapus setelah nulis kan? kalian bisa skip kok kalau males bacanya. Hehehe
            Baiklah. terserah saja mau bilang 'baju' atau 'pakaian', biar gak ribet. (Nyengir kuda).
            Oke, bicara tentang baju nih, pasti langsung kebayang toko yang terpajang baju dengan berbagai macam gaya dan mereknya, iya gak? Entah itu atasan, bawahan, rok, celana, gamis, busana, terusan, daster, baju koko, sarung daaaan lain sebagainya. Sama, aku juga. Hahaha. Apalagi jaman sekarang, model baju dari A-Z ada semua. Kalau misalnya ada huruf lagi setelah Z, pasti udah diterabas semua tuh. :D
            Memang tidak bisa dipungkiri, baju yang kita akan akan mempengaruhi cara pandang seseorang. Misalnya ada yang memakai baju polisi, ‘ah, itu pasti pak polisi’. Ada yang memakai baju dokter, ‘waah, ada pak dokter’. Ada yang berhijab, ‘pasti muslimah ini’. Baju yang kita pakai, secara tidak langsung menunjukkan identitas diri kita. Tapi coba kita telisik lagi. Saat ini, banyak sekali yang (maaf) misalnya memakai hijab atau gamis hanya karena mengikuti tren bukan karena kewajiban seorang muslimah menutup aurat. Ada model gini, langsung ganti. Keluar model baru lagi, langsung sikat. Namun semoga saja itu adalah langkah pertama saudara-saudara muslimah kita untuk menuju jalan yang lebih baik. Dan semoga kita juga. Amiin.
            Balik lagi.
Cenderungnya masyarakat kita yang hanya menilai seseorang dari pakaian yang terlihat oleh mata saja membuat miris. Bukankah sejatinya pakaian seorang muslim dan muslimah adalah Akhlakul Karimah? Anggapan inilah yang akhirnya menjadikan banyak orang lebih memilih untuk selalu mengenakan pakaian yang bagus dibandingkan berusaha memperbaiki akhlak. L Pakaian yang bagus memang baik, tapi pakaian yang disunnahkan nabi adalah pakaian yang bersih. Pakaian bersih, tidak harus baru dan bling-bling. Sedangkan akhlak, adalah pakaian yang wajib digunakan muslim dan muslimah. Jadi yuk sahabat-sahabat semua, jangan hanya pakainnya saja yang update, tapi akhlak juga harus di upgrade. Kita sama-sama belajar dan berusaha untuk menjadi muslimah yang lebih baik. Saling mengingatkan dalam kebaikan. Mungkin tidak bisa langsung baik, tapi insyaallah berangsur-angsur bisa menjadi lebih baik. ^_^

Salam,
Siti Nur Jannah

0 komentar: