Senin, 21 September 2020

Kenapa Orang Berbuat ........?

 

Kenapa orang berbuat jahat?

Pertanyaan itu kini berputar di kepalaku. Selama ini aku selalu meyakini jika kita berbuat baik, maka orang lain juga akan membalas baik, begitupun sebaliknya. Tapi sepertinya, hal itu tak menjadi hukum pasti dalam kehidupan. Tak selamanya saat kita berbuat baik, maka hanya baik yang bertandang. Kita harus menerima, kalau dunia sedang tidak baik-baik saja. Namun bukan berarti ketidakbaikan itu menjadikan kita tak lagi (berusaha) baik. Justru ketidakbaikan itu harus kita baiki agar menjadi baik. Setidaknya saat ada yang tak baik, maka kebaikan lain akan menjadikannya baik. Semoga.

Sepertinya kucukupi saja pembicaraan tentang ‘baik’ yang terlalu berputar-putar ini. Sengaja memang kebalikan dari kata baik hanya kutulis sekali pada awal kalimat, agar hanya baik yang mendominasi.

Baiklah. Semoga lekas membaik, kebaikan.

 

Salam,

~snj

0 komentar:

Sabtu, 19 September 2020

Untuk Siapa?

 


Lebih baik dikecewakan daripada mengecewakan.

 

Setidaknya itulah pilihan yang akan kuambil jika diminta untuk memilih.

 

Dibandingkan menyakiti, aku lebih memilih untuk disakiti.

 

Kenapa? Entahlah, aku juga tak tau.

 

Aku memutar kepalaku, mencari-cari alasan kenapa aku selalu memilih pilihan yang seakan menyakiti diriku. Ketika melihat orang lain merebut kursi orang lain agar bisa duduk, aku memilih untuk tetap berdiri. Ketika orang lain berpesta membicarakan cacat orang lain, aku memilih untuk berdiam diri, sekalipun yang mereka bicarakan adalah diriku. Mungkin bagi sebagian orang aku adalah tipikal perempuan bermental korban karena tak berani membela diri sendiri. Namun jika aku melontarkan pembelaan hanya demi membenarkan diriku, untuk apa? Jika aku bersaing kursi hanya agar bisa duduk nyaman setelah mendorong yang lain, untuk apa?

Kenapa, mengapa dan untuk apa. Jika jawaban pertanyaan itu tidak bermuara pada Sang Maha, untuk siapa?

 

Yang masih terus bertanya,

~snj

0 komentar:

Jumat, 18 September 2020

Mereka yang Meneladani Rasulullah

 


        Beberapa hari terakhir ini, jagad dihebohkan dengan insiden penusukan salah satu ulama di Indonesia, Syekh Ali Jabir. Setiap media sosial berisi tentang berita beliau. Beberapa menyampaikan kebenaran, namun kebanyakan penuh dengan judul ke-metaforaan. Namun, karena aku tak terlalu mengerti masalah hukum, biarkanlah itu menjadi urusan mereka para penegak hukum. Di tulisan ini, aku hanya ingin berbagi tentang teladan yang diberikan oleh beliau. Agar sebagian dari kita tak hanya ikut-ikutan melempar praduga tentang baduk yang sengaja dimainkan di atas papan catur.

            Sebenarnya aku tak terlalu mengikuti tausiyah Syekh Ali Jabir. Aku hanya tau beliau adalah salah satu mustami’ di salah satu acara hafidz di TV. Namun saat nama beliau menjadi trending topik di twitter, tentu saja aku penasaran ada apa? Dan saat membukanya, aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Perasaan khawatir, sedih, marah, dan berbagai macam pertanyaan memenuhi pikiranku. Kenapa? Ada apa? siapa?

            Ketika aku melihat gambar beliau di salah satu video youtuber Indonesia, aku langsung meng-kliknya. Kukira gambar beliau hanya sekedar thumbnail saja layaknya video-video yang lain. Tapi ternyata di video tersebut beliau memang hadir di sana! Padahal hanya selang sehari setelah insiden penusukan. Akhirnya aku mulai menonton dan mendengarkan. Niatku tadi hanya ingin mengetahui kabar beliau, namun aku malah mendapatkan banyak hal dari beliau. Satu menit, dua menit, jariku tak menekan tombol mempercepat sekalipun. Biasanya jariku selalu stand by di tombol mempercepat, tapi berbeda dengan video itu. Aku tak mau melewatkan satu nasihatpun. Setiap uacap beliau, setiap tingkah beliau, adalah meneladani Rasulullah.

            Sebenarnya aku ingin sekalian menulisnya di sini, namun ada kewajiban yang harus kulakukan di dunia nyata. Jadi meskipun jariku ingin terus melanjutkan, aku harus mengakhirnya terlebih dahulu. Semoga saja penundaan ini, tak membuat hatiku menjadi tak ingin membaginya. Yah, apa yang bisa dilakukan jariku jika hatiku tak mau? terkadang ia memang bakhil. Tak semua rasa mau ia bagikan.

Jadi, jangan menunggu, karena aku tak pernah menyuruh.

 

Salam,

~snj

0 komentar:

Rabu, 16 September 2020

Aku akan Menulis, Lagi


Aku akan menulis, lagi.

 

Setahun terakhir ini, tanganku menjadi lebih bisu. Padahal suara saja aku tak pandai mengeluarkan. Aku tak menyangka jika aku akan membisukan jemariku juga. Sebenarnya semua ini bukan karena tanpa alasan. Ada beberapa episode dari Tuhan yang membuatku berpikir tak semua rasa bisa kutuliskan. Tak semua kecamuk di kepala bisa dikeluarkan. Dan hal itu, membuatku lebih sering merenung untuk membaca lebih dalam.

Seakan buku yang tak pernah habis halamannya, begitulah aku menyimpulkan tentang kehidupan. Ada saat dimana halamannya begitu menarik hingga larut ke dalamnya, adakala bacaannya membosankan hingga enggan meneruskannya, adakala ketika begitu menyesakkan hingga serasa ingin menutupnya saja, dan adakala begitu membuat penasaran hingga terburu untuk menemukan jawabannya. Aku seakan lupa, sejatinya buku adalah untuk dinikmati. Syukur-syukur bisa meresapi dan menemukan maksud pesan yang disampaikan oleh sang penulis. Dan setahun terakhir ini, itulah yang sedang aku pelajari. Sekarang? tentu saja aku masih terus belajar. Semakin membaca kehidupan, semakin aku merasa tak tau apa-apa. Aku jadi teringat beberapa orang yang kutemui yang merasa tau segalanya. Yah, mungkin mereka memang tau lebih banyak.

Aku bukan pengingat yang baik. Aku pelupa, dan bisa jadi parah. Karena itu aku menulis untuk membantuku ingat. Aku tak ingin terjatuh pada perih yang sama hanya karena tak mengingat pembelajaran yang pernah kulalui sebelumnya. Pikiranku, hanya bersembunyi di balik kata-kata singkat tanpa menjelaskan panjang lebar. Tapi ternyata semakin singkat tulisanku, semakin panjang praduga tak tepat dari mereka. Sebenarnya aku tak terlalu mempedulikan, karena yang paling sulit di dunia ini memang membuat orang lain mengerti kita. Jadi aku tak memaksakan maksud mereka harus sama dengan maksudku atau sebaliknya. Namun yang paling kukhawatirkan adalah diriku.

Sifat pelupaku yang hampir menyentuh kata parah membuatku harus menulis untuk mengingatkan diriku sendiri. Tidak menulis hanya karena khawatir orang lain melemparkan praduga, adalah kesalahan yang tak bisa kuabaikan. Penyesalanku adalah menekan perasaanku sendiri, lalu memilih untuk mengunci mulut dan membisukan jemariku. Aku tak percaya dengan apa yang sudah kulakukan setahun ini pada diriku sendiri. Aku seakan membatasi ruang gerakku sendiri.

Karena itu lewat tulisan ini aku ingin mendeklarasikan  -semoga bisa meng-istiqomahkan juga- kalau aku akan menulis, lagi.

 

Bismillah, untuk setiap pilihan yang masih terus menggoyahkan.

 

-snj

1 komentar: