Jumat, 10 Februari 2017

Tragedi Daun Seledri

            “Aruuum.” Panggilku dari depan gerbang pondok dengan ditemani oleh ‘si legend’ milik ayah, yang sudah berpindah ke tanganku setelah melewati proses perayuan dan penumbuhan kepercayaan dengan waktu yang tidak bisa dibilang sedikit. Yah, memiliki orang tua yang memiliki tingkat kekhawatiran lebih banyak daripada orang tua lain adalah seperti koin yang memiliki dua sisi. Mungkin itulah kenapa aku jarang keluar meskipun aku sudah berada di tengah-tengah kota dengan gemerlap yang tidak bisa dibantahkan lagi. Bukannya apa, hanya khawatir. Khawatir membuat mereka khawatir.
            Ceklak! Suara gerbang yang ditutup arum membuatku menarik nafas lega. Kukira aku bakalan menunggunya seharian dengan ‘si legend’.
            “belanja apa?” tanyaku saat arum sudah naik di boncenganku.
            “terserah. Apapun deh naf.” jawabnya yang langsung membuatku mengeraskan bibirku.
            “kamu kalau ditanya apapun pasti jawabannya terserah. Yang punya pendirian dikit gitu kenapa sih?” timpalku.
            “lha emang apa hubungannya pendirian sama belanja?”
            Aku membanting setirku ke kiri saat menghindari lubang di tengah jalan. “tentu saja ada. Hubungan tanpa pendirian emang ada?”
            “gubrak deh kamu naf. Gak nyambung tau gak.” Kesal arum seraya membentuk garis miring di depan dahinya. Aku yang dapat melihatnya dari kaca spionpun hanya bisa tersenyum kuda. Tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Yah, kuliah perdana di semester genap ini sudah dimulai senin besok. Itu artinya sabtu minggu ini adalah pekan terakhir kita tidak terbebani tugas dan laporan. Karena aku yakin, minggu depan kita akan langsung memulai pelajaran meskipun masih awal kuliah. Andaikan ada acara perkenalan seperti semester pertama dulu. Berada di semester enam yang bisa tergolong semester tua, tentu saja hal itu tidak berlaku lagi.
Pelan namun pasti, bisa dibilang aku adalah pengendara sepeda motor pemula yang sering membuat pengendara di belakangku membunyikan klakson mereka.
“kecepatan kamu bonceng aku pake sepeda pancal dulu sama sepeda motor sekarang lho gak ada bedanya Naf.” komentar arum suatu waktu yang hanya kutanggapi dengan komentar, ‘oh, iya ya’.
“kalau naik sepeda motor jangan cepat-cepat. Kalau mau nyebrang, tengok kanan kiri. Jangan nyebarang sebelum benar-benar sepi. Jangan berada di belakang truk. Jangan berada di samping bis. Lebih aman kalau jalanan macet, jadi gak ada kendaraan yang kebut-kebutan. Kalau ada kendaraan bunyiin klakson, jangan tegang, biasa aja.” pesan ayah setiap kali aku memegang kemudi motor ayah. Bahkan saat kita duduk-duduk di ruang tamu dan tak sengaja melihat remaja-remaja desa mengendarai motorpun, ayah mengatakan pesannya kembali. Sepertinya aku bisa menuliskan semua pesan ayah saking seringnya ayah mengatakannya.
“Nafa, berhenti di situ aja. Tempatnya sedikit luas.” Perintah arum saat kita sudah mencapai jalanan pasar. Melihat kerumuman pasar, aku jadi ingat pesan nenek pada ibu yang tidak ingin anak-anaknya bekerja di pasar. Kata nenek, di pasar itu dosa tok. Sediam-diamnya orang kalau di pasar, gak bisa menghindar dari dosa. Karena itu nenek berharap kalau anak-anaknya kelak menjadi ibu rumah tangga saja. Dan sekarang, saat ibu menjadi ibu rumah tangga yang terbaik bagi keluargaku, ibu berharap agar aku nantinya tidak hanya jadi ibu rumah tangga saja tapi juga memiliki karir. “karena seorang ibu itu adalah madrasah pertama anak-anaknya, makanya harus pintar. Dan orang tua pasti berharap anaknya lebih pintar dari orang tuanya. Nanti Nafa juga akan berfikir seperti itu.”
###
            “tempe, sayur, cabe, tomat. Sepertinya menu kita itu-itu aja dari kemarin lusa naf.” ujar arum seraya naik ke boncenganku.
            “biarinlah rum. Yang penting ada sayur sama cabe mah, aman.” Sahutku dengan mengarahkan ‘si legend’ untuk menyebrangi jalan. Sengaja memang sepeda motor ayah ini kunamai ‘si legend’. Karena bagaimanapun juga, sepeda ini yang menemani ayah mulai masih mengantarkan koran keliling perumahan hingga menjadi tukang shooting dengan diantar ‘si roda empat’ warna hijau.
            “ayahmu gak mau jual. Sepeda kenangan katanya. Nanti Nafa nyari sepeda motor sama ayah aja, buat dipake ke kampus.” Ujar ibu suatu waktu saat aku mengungkapkan keinginanku belajar sepeda motor. Bagaimanapun juga nantinya aku gak mau kemana-mana nunggu diantar, terus dijemput. Masa aku mau bikin slogan ‘suamiku ojekku’? kan gak lucu. Dan juga sepertinya absurd banget kan anak kuliahan gak bisa sepeda motor? Bahkan anak SD di rumahkupun udah kesana-kemari pake sepeda motor.
            “enggak buk. Nafa bawa sepeda ayah saja. Lagian nafa diajarinya juga pake sepedanya ayah. Kalau make yang baru, nafa harus adaptasi lagi.” ujarku.
            “anak kuliah mana yang mau pake sepeda jadul gini nak?”
            “lhoh, lha wong nafa pake sepeda pancal ke kampus biasa aja kok.” Sahutku yag dibalas dengan senyuman bijak ibu. Jadilah liburan ini akhirnya aku bisa di temani ‘si legend’.
            Akhir pekan memang waktu yang pas buat ibu-ibu belanja keperluan dapur. Sebelum mempersiapkan hari minggu yang merupakan ‘family time’, jadi jalanan pasar sedikit ramai. Aku mengendarai ‘si legend’ dengan kecepatan di bawah 30 Km/jam. Bukannya ‘si legend’ gak bisa lebih cepat, tapi bagiku kecepatan 40 Km/jam sudah seperti terbang. Jadilah paling cepatku hanya 30 Km/jam.
            Tiba-tiba saja BRAKK! Bunyi tabrakan berbarengan injakan remku yang tajam membuat dadaku terbentur kemudi. Arum yang berada di boncengankupun langsung turun dan beristighfar berkali-kali.
            “Bang*at!” umpat seorang pengemudi yang langsung melemparkan caciannya padaku. Yah, bunyi tabrakan itu adalah bunyi dari ‘si legend’ dengan motor modern yang dikendarai seorang pemuda berhelm gelap. Aku yang tersadar saat mendengar umpatan pemuda itupun langsung memastikan arum, pemuda itu dan motornya baik-baik saja kemudian mengalihkan pandanganku pada pemuda itu.
            “gimana sih mbak?” tanyanya dengan mimik yang sulit sekali ditebak.
            “maaf mas sebelumnya. Lha masnya gimana?” tanyaku balik. Sebenarnya aku memang melihat pemuda itu akan menyebrang dengan memotong jalan dan aku yakin dia juga melihatku yang melaju  dengan kecepatan yang tak kukurangi, pun juga tak kutambahi. Jika aku berada diposisinya, aku pasti tidak akan buru-buru menyebrang. Karena jarak antara aku dan pemuda itu tidak terlalu jauh, dan jika digunakan untuk menyebrang sepertinya bukan waktu yang tepat. Mungkin karena itu aku berani membalas kata-katanya meskipun aku berada di posisi yang menabrak.
            “lha kan saya sudah bilang….” Dia tampak ingin menjelaskan sesuatu untuk mengintimidasiku dengan mengunci mataku, tapi aku hanya membalasnya dengan senyuman dan aku juga tidak berniat melepas tatapanku padanya.
            “bilang apa?” tanyaku.
            Pemuda itu terdiam. Sudah pasti pemuda ini juga merasa bersalah. Batinku. Jika pemuda ini merasa tidak bersalah, tentu dia akan terus menyumpahiku atau malah meminggirkanku dan membicarakan masalah ini lebih lanjut. Jikapun demikian, aku juga tidak keberatan. Tapi dia tetap terdiam, berarti dia juga merasa melakukan kesalahan. Sepertinya dugaanku benar.
            “ya sudah, maaf mas.” Ucapku saat pemuda itu menarik gasnya dan melaju ke arah berlawanan denganku.
            “kamu gak papakan arum?” tanyaku seraya menstater motorku lagi.
            “enggak. Aku langsung lompat kok tadi. Untung kamu tadi pelan.” Ujar arum. Sebenarnya aku hanya khawatir ada yang apa-apa dengan kejadian ini, dan melihat tidak ada yang terluka, bahkan ‘si legend’ dan motor pemuda tadipun baik-baik saja, aku menarik nafas lega.
            “tadi, apa aku yang salah ya?” gumamku masih teringat kejadian barusan.
            “sebener-benernya orang yang menabrak lho ya tetep aja jadi yang salah nafa. Udahlah, gak usah dipikirin. Yang penting aku, kamu, gak papa.” Hibur arum.

###

            Suara alunan sholawat yang dinyanyikan Mas Ridwan memenuhi gendang telingaku, mungkin memenuhi gendang telinga seluruh komplek di rumahku juga. Jika dulu aku selalu diam seribu bahasa jika Mas Ridwan memamerkan suara indahnya, tapi tidak dengan sekarang. Aku melirik seseorang yang kini tengah berada di sampingku, dengan corak pakaian yang sama denganku. Sadar kalau aku tengah memakukan tatapanku padanya, dia memutar tubuhnya mengarah padaku, membelakangi teman-temannya yang tampak melirik jahil ke arah kami.
            “kenapa?” tanyanya dengan tatapan teduh.
            Sadar kalau aku telah tertangkap basah memperhatikannya, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku secepat mungkin seraya melambai-lambaikan tanganku padanya. Dan saat itu pula aku tau, kalau aku telah melakukan hal yang memalukan di depannya. Aku memanyunkan bibirku ke atas saat mendapati dia yang tersenyum mendapati tingkah anehku. Hhh, entahlah. Penyakit anehku ini emang udah kronis kayaknya. Gak ada obatnya.
            “Nafaaa!” teriak suara yang ku kenal. Arum.
            Aku yang tengah duduk di atas singgahsana seharikupun langsung berdiri menyambutnya yang berjalan ke arahku. Tanpa pikir panjang, aku langsung memeluknya saat jarak kami hanya sejengkal.
            “Waaah, selamat ya naaf. Akhirnya udah ditemuin sama yang namanya udah disiapin Tuhan buat kamu.” Aku hanya tersipu mendengar penuturan arum.
            “sholatnya udah gak sendirian lagi nih.” Goda arum lagi. Dan untuk kesekian kalinya aku hanya bisa tersipu.
            Seseorang yang telah melengkapi agamaku itu, kini berdiri disampingku dan menyapa arum juga. Namun, entah kenapa arum menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
            “Masyaallah! Mas ini!!” sentak arum yang membuat beberapa mata menoleh ke arah kita. Aku menaruh jari telunjukku di atas bibirku, mengisyaratkan arum untuk memelankan suaranya.
            Aku yang tak mengerti alasan kenapa arum sampai sehisteris itu melihat orang yang akan berjalan bersama denganku itupun mengerutkan keningku. “kenapa? Kalian pernah bertemu?”
            “ya Allah nafaa… masa kamu gak ingat? Itu lho, mas mas yang pernah kamu tabrak..”
            “bukan ku tabrak. Tapi gak sengaja ku tabarak.” Koreksiku.
            “iya. Terserah kamu saja. Nah, bukannya mas ini kan??”
            Aku memutar ingatanku kembali, begitupun dengan lelaki yang berada di sampingku saat ini.
            “ah iya. Aku ingat. Memang benar, kamu dulu pernah nabrak aku dek.” Pembenaran lelaki itu langsung membuatku mengeraskan wajahku.
            “jangan ngasal mas!” belaku.
            “haha. Aku masih ingat dengan jelas kok dek. Ketika itu di pasar kan? Pas aku mau nyebrang, tiba-tiba aja ada motor yang nabrak aku.”
            “itu kan salah mas sendiri. Nyebrang kok gak ngira-ngira. Tapi mas juga langsung pergi tanpa minta penyelesaian terlebih dahulu. Berarti mas juga ngaku salah.” Aku masih mempertahankan ketidakbersalahanku.
            “kamu dari dulu sama aja dek. Aku pergi bukan karena ngaku salah. Karena sebener-benernya orang yang nabrak, masih saja salah.”
            “terus kenapa?”
            “gak mau memperpanjang urusan dek. Apalagi sama cewek kayak kamu.”
            “kenapa emangnya cewek kayak aku?”
            “cewek langka, sulit nemuinnya.” Ujarnya diikuti dengan gelak tawanya dan arum. Sedangkan aku hanya bisa memicingkan mataku dan bersiap-siap ngerobohin terop di depanku.
            “hahaha. Dunia emang seluas daun seledri naf.” timpal arum.
###

            “naf? kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tegur arum dengan keranjang berisi bahan dapur dan sebotol minyak goreng.
            Aku yang tadinya tengah memotong tempepun tidak sadar kalau ternyata dari tadi tempeku tetap utuh tanpa goresan sedikitpun.
            “gak papa. Hanya saja aku tengah bayangin hal yang aneh Arum.” Tuturku. “tapi rum, kita tadi benar-benar tabrakan ya?” tanyaku memastikan. Karena bagaimanapun rasanya aku masih belum percaya dengan kejadian di belakang pasar tadi.
            “berdoa aja biar masnya gak ingat kamu.”
            “ingatpun gak papa.” Celetukku dengan bibir yang masih tertarik ke atas meskipun masih tersisa rasa terkejut karena kejadian tadi.
            “kamu gak papa naf?”

            “entahlah. Sepertinya ‘gila’ku kambuh.” Ujarku seraya menaiki tangga, berjalan ke arah dapur dengan tempe yang masih saja utuh.

Yah. Mungkin saja dunia memang cuma seluas daun seledri.

0 komentar: