Tragedi Daun Seledri
“Aruuum.”
Panggilku dari depan gerbang pondok dengan ditemani oleh ‘si legend’ milik
ayah, yang sudah berpindah ke tanganku setelah melewati proses perayuan dan
penumbuhan kepercayaan dengan waktu yang tidak bisa dibilang sedikit. Yah,
memiliki orang tua yang memiliki tingkat kekhawatiran lebih banyak daripada
orang tua lain adalah seperti koin yang memiliki dua sisi. Mungkin itulah
kenapa aku jarang keluar meskipun aku sudah berada di tengah-tengah kota dengan
gemerlap yang tidak bisa dibantahkan lagi. Bukannya apa, hanya khawatir.
Khawatir membuat mereka khawatir.
Ceklak!
Suara gerbang yang ditutup arum membuatku menarik nafas lega. Kukira aku
bakalan menunggunya seharian dengan ‘si legend’.
“belanja
apa?” tanyaku saat arum sudah naik di boncenganku.
“terserah.
Apapun deh naf.” jawabnya yang langsung membuatku mengeraskan bibirku.
“kamu
kalau ditanya apapun pasti jawabannya terserah. Yang punya pendirian dikit gitu
kenapa sih?” timpalku.
“lha
emang apa hubungannya pendirian sama belanja?”
Aku
membanting setirku ke kiri saat menghindari lubang di tengah jalan. “tentu saja
ada. Hubungan tanpa pendirian emang ada?”
“gubrak
deh kamu naf. Gak nyambung tau gak.” Kesal arum seraya membentuk garis miring
di depan dahinya. Aku yang dapat melihatnya dari kaca spionpun hanya bisa
tersenyum kuda. Tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Yah, kuliah
perdana di semester genap ini sudah dimulai senin besok. Itu artinya sabtu
minggu ini adalah pekan terakhir kita tidak terbebani tugas dan laporan. Karena
aku yakin, minggu depan kita akan langsung memulai pelajaran meskipun masih
awal kuliah. Andaikan ada acara perkenalan seperti semester pertama dulu.
Berada di semester enam yang bisa tergolong semester tua, tentu saja hal itu
tidak berlaku lagi.
Pelan namun
pasti, bisa dibilang aku adalah pengendara sepeda motor pemula yang sering
membuat pengendara di belakangku membunyikan klakson mereka.
“kecepatan kamu
bonceng aku pake sepeda pancal dulu sama sepeda motor sekarang lho gak ada
bedanya Naf.” komentar arum suatu waktu yang hanya kutanggapi dengan komentar,
‘oh, iya ya’.
“kalau naik
sepeda motor jangan cepat-cepat. Kalau mau nyebrang, tengok kanan kiri. Jangan
nyebarang sebelum benar-benar sepi. Jangan berada di belakang truk. Jangan
berada di samping bis. Lebih aman kalau jalanan macet, jadi gak ada kendaraan
yang kebut-kebutan. Kalau ada kendaraan bunyiin klakson, jangan tegang, biasa
aja.” pesan ayah setiap kali aku memegang
kemudi motor ayah. Bahkan saat kita duduk-duduk di ruang tamu dan tak sengaja
melihat remaja-remaja desa mengendarai motorpun, ayah mengatakan pesannya
kembali. Sepertinya aku bisa menuliskan semua pesan ayah saking seringnya ayah
mengatakannya.
“Nafa, berhenti
di situ aja. Tempatnya sedikit luas.” Perintah arum saat kita sudah mencapai
jalanan pasar. Melihat kerumuman pasar, aku jadi ingat pesan nenek pada ibu
yang tidak ingin anak-anaknya bekerja di pasar. Kata nenek, di pasar itu dosa tok.
Sediam-diamnya orang kalau di pasar, gak bisa menghindar dari dosa. Karena itu
nenek berharap kalau anak-anaknya kelak menjadi ibu rumah tangga saja. Dan
sekarang, saat ibu menjadi ibu rumah tangga yang terbaik bagi keluargaku, ibu
berharap agar aku nantinya tidak hanya jadi ibu rumah tangga saja tapi juga
memiliki karir. “karena seorang ibu itu adalah madrasah pertama
anak-anaknya, makanya harus pintar. Dan orang tua pasti berharap anaknya lebih
pintar dari orang tuanya. Nanti Nafa juga akan berfikir seperti itu.”
###
“tempe,
sayur, cabe, tomat. Sepertinya menu kita itu-itu aja dari kemarin lusa naf.”
ujar arum seraya naik ke boncenganku.
“biarinlah
rum. Yang penting ada sayur sama cabe mah, aman.” Sahutku dengan mengarahkan
‘si legend’ untuk menyebrangi jalan. Sengaja memang sepeda motor ayah ini
kunamai ‘si legend’. Karena bagaimanapun juga, sepeda ini yang menemani ayah
mulai masih mengantarkan koran keliling perumahan hingga menjadi tukang
shooting dengan diantar ‘si roda empat’ warna hijau.
“ayahmu
gak mau jual. Sepeda kenangan katanya. Nanti Nafa nyari sepeda motor sama ayah
aja, buat dipake ke kampus.” Ujar ibu suatu waktu saat aku mengungkapkan
keinginanku belajar sepeda motor. Bagaimanapun juga nantinya aku gak mau
kemana-mana nunggu diantar, terus dijemput. Masa aku mau bikin slogan ‘suamiku
ojekku’? kan gak lucu. Dan juga sepertinya absurd banget kan anak kuliahan gak
bisa sepeda motor? Bahkan anak SD di rumahkupun udah kesana-kemari pake sepeda
motor.
“enggak
buk. Nafa bawa sepeda ayah saja. Lagian nafa diajarinya juga pake sepedanya
ayah. Kalau make yang baru, nafa harus adaptasi lagi.” ujarku.
“anak
kuliah mana yang mau pake sepeda jadul gini nak?”
“lhoh,
lha wong nafa pake sepeda pancal ke kampus biasa aja kok.” Sahutku yag
dibalas dengan senyuman bijak ibu. Jadilah liburan ini akhirnya aku bisa di
temani ‘si legend’.
Akhir
pekan memang waktu yang pas buat ibu-ibu belanja keperluan dapur. Sebelum
mempersiapkan hari minggu yang merupakan ‘family time’, jadi jalanan pasar
sedikit ramai. Aku mengendarai ‘si legend’ dengan kecepatan di bawah 30 Km/jam.
Bukannya ‘si legend’ gak bisa lebih cepat, tapi bagiku kecepatan 40 Km/jam
sudah seperti terbang. Jadilah paling cepatku hanya 30 Km/jam.
Tiba-tiba
saja BRAKK! Bunyi tabrakan berbarengan injakan remku yang tajam membuat dadaku
terbentur kemudi. Arum yang berada di boncengankupun langsung turun dan
beristighfar berkali-kali.
“Bang*at!”
umpat seorang pengemudi yang langsung melemparkan caciannya padaku. Yah, bunyi
tabrakan itu adalah bunyi dari ‘si legend’ dengan motor modern yang dikendarai
seorang pemuda berhelm gelap. Aku yang tersadar saat mendengar umpatan pemuda
itupun langsung memastikan arum, pemuda itu dan motornya baik-baik saja kemudian
mengalihkan pandanganku pada pemuda itu.
“gimana
sih mbak?” tanyanya dengan mimik yang sulit sekali ditebak.
“maaf
mas sebelumnya. Lha masnya gimana?” tanyaku balik. Sebenarnya aku memang
melihat pemuda itu akan menyebrang dengan memotong jalan dan aku yakin dia juga
melihatku yang melaju dengan kecepatan
yang tak kukurangi, pun juga tak kutambahi. Jika aku berada diposisinya, aku
pasti tidak akan buru-buru menyebrang. Karena jarak antara aku dan pemuda itu
tidak terlalu jauh, dan jika digunakan untuk menyebrang sepertinya bukan waktu
yang tepat. Mungkin karena itu aku berani membalas kata-katanya meskipun aku
berada di posisi yang menabrak.
“lha
kan saya sudah bilang….” Dia tampak ingin menjelaskan sesuatu untuk
mengintimidasiku dengan mengunci mataku, tapi aku hanya membalasnya dengan
senyuman dan aku juga tidak berniat melepas tatapanku padanya.
“bilang
apa?” tanyaku.
Pemuda
itu terdiam. Sudah pasti pemuda ini juga merasa bersalah. Batinku. Jika
pemuda ini merasa tidak bersalah, tentu dia akan terus menyumpahiku atau malah
meminggirkanku dan membicarakan masalah ini lebih lanjut. Jikapun demikian, aku
juga tidak keberatan. Tapi dia tetap terdiam, berarti dia juga merasa melakukan
kesalahan. Sepertinya dugaanku benar.
“ya
sudah, maaf mas.” Ucapku saat pemuda itu menarik gasnya dan melaju ke arah
berlawanan denganku.
“kamu
gak papakan arum?” tanyaku seraya menstater motorku lagi.
“enggak.
Aku langsung lompat kok tadi. Untung kamu tadi pelan.” Ujar arum. Sebenarnya
aku hanya khawatir ada yang apa-apa dengan kejadian ini, dan melihat tidak ada
yang terluka, bahkan ‘si legend’ dan motor pemuda tadipun baik-baik saja, aku
menarik nafas lega.
“tadi,
apa aku yang salah ya?” gumamku masih teringat kejadian barusan.
“sebener-benernya
orang yang menabrak lho ya tetep aja jadi yang salah nafa. Udahlah, gak usah
dipikirin. Yang penting aku, kamu, gak papa.” Hibur arum.
###
Suara
alunan sholawat yang dinyanyikan Mas Ridwan memenuhi gendang telingaku,
mungkin memenuhi gendang telinga seluruh komplek di rumahku juga. Jika dulu aku
selalu diam seribu bahasa jika Mas Ridwan memamerkan suara indahnya,
tapi tidak dengan sekarang. Aku melirik seseorang yang kini tengah berada di
sampingku, dengan corak pakaian yang sama denganku. Sadar kalau aku tengah
memakukan tatapanku padanya, dia memutar tubuhnya mengarah padaku, membelakangi
teman-temannya yang tampak melirik jahil ke arah kami.
“kenapa?”
tanyanya dengan tatapan teduh.
Sadar
kalau aku telah tertangkap basah memperhatikannya, aku hanya bisa menggelengkan
kepalaku secepat mungkin seraya melambai-lambaikan tanganku padanya. Dan saat
itu pula aku tau, kalau aku telah melakukan hal yang memalukan di depannya. Aku
memanyunkan bibirku ke atas saat mendapati dia yang tersenyum mendapati tingkah
anehku. Hhh, entahlah. Penyakit anehku ini emang udah kronis kayaknya. Gak ada
obatnya.
“Nafaaa!”
teriak suara yang ku kenal. Arum.
Aku
yang tengah duduk di atas singgahsana seharikupun langsung berdiri menyambutnya
yang berjalan ke arahku. Tanpa pikir panjang, aku langsung memeluknya saat
jarak kami hanya sejengkal.
“Waaah,
selamat ya naaf. Akhirnya udah ditemuin sama yang namanya udah disiapin Tuhan
buat kamu.” Aku hanya tersipu mendengar penuturan arum.
“sholatnya
udah gak sendirian lagi nih.” Goda arum lagi. Dan untuk kesekian kalinya aku
hanya bisa tersipu.
Seseorang
yang telah melengkapi agamaku itu, kini berdiri disampingku dan menyapa arum
juga. Namun, entah kenapa arum menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
“Masyaallah!
Mas ini!!” sentak arum yang membuat beberapa mata menoleh ke arah kita. Aku
menaruh jari telunjukku di atas bibirku, mengisyaratkan arum untuk memelankan
suaranya.
Aku
yang tak mengerti alasan kenapa arum sampai sehisteris itu melihat orang yang
akan berjalan bersama denganku itupun mengerutkan keningku. “kenapa? Kalian pernah
bertemu?”
“ya
Allah nafaa… masa kamu gak ingat? Itu lho, mas mas yang pernah kamu tabrak..”
“bukan
ku tabrak. Tapi gak sengaja ku tabarak.” Koreksiku.
“iya.
Terserah kamu saja. Nah, bukannya mas ini kan??”
Aku
memutar ingatanku kembali, begitupun dengan lelaki yang berada di sampingku
saat ini.
“ah
iya. Aku ingat. Memang benar, kamu dulu pernah nabrak aku dek.” Pembenaran lelaki
itu langsung membuatku mengeraskan wajahku.
“jangan
ngasal mas!” belaku.
“haha.
Aku masih ingat dengan jelas kok dek. Ketika itu di pasar kan? Pas aku mau
nyebrang, tiba-tiba aja ada motor yang nabrak aku.”
“itu
kan salah mas sendiri. Nyebrang kok gak ngira-ngira. Tapi mas juga langsung
pergi tanpa minta penyelesaian terlebih dahulu. Berarti mas juga ngaku salah.” Aku
masih mempertahankan ketidakbersalahanku.
“kamu
dari dulu sama aja dek. Aku pergi bukan karena ngaku salah. Karena sebener-benernya
orang yang nabrak, masih saja salah.”
“terus
kenapa?”
“gak
mau memperpanjang urusan dek. Apalagi sama cewek kayak kamu.”
“kenapa
emangnya cewek kayak aku?”
“cewek
langka, sulit nemuinnya.” Ujarnya diikuti dengan gelak tawanya dan arum. Sedangkan
aku hanya bisa memicingkan mataku dan bersiap-siap ngerobohin terop di depanku.
“hahaha.
Dunia emang seluas daun seledri naf.” timpal arum.
###
“naf?
kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tegur arum dengan keranjang berisi bahan
dapur dan sebotol minyak goreng.
Aku
yang tadinya tengah memotong tempepun tidak sadar kalau ternyata dari tadi
tempeku tetap utuh tanpa goresan sedikitpun.
“gak
papa. Hanya saja aku tengah bayangin hal yang aneh Arum.” Tuturku. “tapi rum,
kita tadi benar-benar tabrakan ya?” tanyaku memastikan. Karena bagaimanapun
rasanya aku masih belum percaya dengan kejadian di belakang pasar tadi.
“berdoa
aja biar masnya gak ingat kamu.”
“ingatpun
gak papa.” Celetukku dengan bibir yang masih tertarik ke atas meskipun masih
tersisa rasa terkejut karena kejadian tadi.
“kamu
gak papa naf?”
“entahlah.
Sepertinya ‘gila’ku kambuh.” Ujarku seraya menaiki tangga, berjalan ke arah dapur
dengan tempe yang masih saja utuh.
Yah. Mungkin saja dunia memang cuma seluas daun seledri.
0 komentar: