Sabtu, 28 Oktober 2017

Malam itu, Aku Tau Engkau Menangis

Biasanya, aku hanya punya dua alasan kalau ingin pulang ke rumah. Pertama karena memang ada acara keluarga yang gak bisa ditinggalkan. Kedua, ketika masalah-masalah di Malang yang ingin kusisihkan sejenak. Bagiku, keluarga adalah obat yang paling ampuh dibandingkan melepas penat dengan traveling menjelajahi wisata di Malang yang udah bejibun. Begitupun dengan hari itu, aku memilih untuk memacu motorku pagi-pagi sekali ke rumah. Tidak butuh waktu terlalu banyak, hanya sekitar 1 jam setengah dengan berkendara, aku bisa melihat wajah dan senyum orang-orang rumah yang kurindukan.
(kisah pagi itu, udah kutulis di judul “ku buat air matamu mengalir, ayah”.

###

Pukul 00.10 WIB
Aku terbangun dari tidur sejenak karena alarm yang kupasang. Kertas millimeter block masih berserakan di sekitarku lengkap dengan pensil, penghapus, pena dan spidol. Mataku masih berat. Hanya sekitar satu jam setengah ku biarkan kepalaku istirahat sebentar, namun karena sebelum istirahat masih ada yang dipikirkan, tidurpun jadi tidak nyaman.

Kuangkat paksa tubuhku menuju kamar mandi, menghilangkan ‘setan-setan’ yang kata adek menggelayuti mata ketika bangun tidur. Kulihat adek-adek yang tidur melengkung di depan televisi sedangkan ayah di atas kasur dengan suara ‘ngorok’ khasnya. Aku tak menjumpai ibu, yang kuduga tidur di kamar depan.

Aku menarik nafas panjang, sebelum berkelut dengan tugas ‘kristalografi’ yang hari senin harus dikumpulkan. Padahal aku sudah menyicilnya dari tadi siang, berharap malamnya aku bisa tenang. Tapi ternyata malamkupun harus tersita. Melihat seberapa sulit dan banyaknya tugas ini, sepertinya malam selanjutnyapun aku tak akan bisa bersantai. Bukannya aku terobsesi untuk menyelesaikan tugas demi mendapat sebuah angka yang tak terlalu kupikirkan, aku hanya teringat dengan dosen yang mengajar matkul ini. Dosen yang telah mendudukkanku di ruangannya, dan memarahiku habis-habisan. Tak cukup itu, beliau juga memarahiku terang-terangan di depan kelas.

“ibu tau, kamu gak ngerti dengan apa yang dibicarakan sama pak Anton.” Awal bu Aini. Aku yang saat itu berada pada titik terlemahku, hanya bisa terdiam.

“berapa IP kamu semester ini? Padahal awal semester dulu IP kamu bagus, kenpa sekarang kayak gini? Asal lulus matkul aja gitu?”

IP?? Knapa sih dengan IP? Seakan IP bagus adalah segalanya. Jujur, semester awal-awal dulu aku memang memperdulikan IP. Tapi semakin lama, bagiku IP bukan segalanya. IP bagus tak menjamin kesuksesan.

“kemaren-kemaren kamu tak biarin nak. Ya enggak mulai kemaren, tapi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun juga tak biarin. Kenapa? Karena nulis?”

Aku langsung membelalakkan mataku. Kenapa menyebut tentang ‘nulis’ku? Dia bahkan gak salah apa-apa. Entah karena beliau menyebut hal paling sensitif bagiku (tulisan) atau karena mimik wajah dan nada bicara beliau yang terkesan lain, saat itu tangisku langsung pecah. Tangis yang coba kutahan dengan mnggigit bibir bawahku.

“kamu lebih memilih menuliskan kata-kata tentang cinta dibanding proposalmu? Bahkan laporan PKL juga belum selesai. Teman-temanmu gak ada yang menghadap ke saya. Waktu kamu tinggal sedikit lagi, kamu harus bisa memprioritaskan. Kasihan orang tuamu yang berharap kamu segera lulus dengan nilai yang baik, ternyata kamu malah seperti ini.”

Jujur, aku tak pernah menyembunyikan apapun dari orang tuaku. Bahkan tentang seorang laki-laki yang mendekatiku sekalipun, apalgi tentang kuliahku? Aku selalu menceritakan kesulitan-kesulitanku di sini pada mereka, apa harapanku, nilai-nilaiku, dan bagaimana perjuanganku memperoleh nilai yang seringkali diagungkan itu. Mungkin dulu, orang tuaku masih condong dengan prestasi di atas kertas. Tapi seiring dengan waktu, akhirnya mereka lebih terbuka dengan apa arti sejati dari sebuah angka dan huruf.

“gak usah bekerja. Saya sudah tau dengan beberapa mahasiswa saya yang bekerja dan mereka yaaah, begitu.”

Bekerja? Soal inipun aku sudah membicarakannya dengan orang tuaku. Namun, kata ‘bekerja’ bukankah terlalu kasar jika tau apa yang sebenarnya kuniatkan? Selain kuliah, aku memang ‘ngelesi’ dan mengajar di TPQ. Tapi itu bukan semerta-merta untuk uang! Aku ngelesi, karena aku suka. Sesuai dengan impianku untuk menjadi seorang guru, aku ingin mencari pengalaman bagaimana sih mengajar itu? Yang kuajarpun juga materiku, kimia. Bukankah sebelum terjun ke medan, kita harus observasi dulu keadaannya? Nah, aku gak mau ketika lulus nanti dan mengajar, aku datang dengan tangan kosong tanpa tau apa yg seharusnya ku lakukan untuk menghadapi anak-anak SMA yang tingginya melebihi tinggiku. Dan lagi, selama ini aku sudah menerima ilmu dari banyak guru, bukankah sudah seharusnya gantian aku yang memberi? Mau sampai kapan ilmu yang kuterima akan kusimpan? Selama aku mampu untuk memberikannya dan bermanfaat untuk orang lain, aku ingin mencoba.

Untuk TPQ, berbeda dengan ngelesi yang diupah sesuai dengan kedatangan dan pengajaran kita tiap bulan. Di TPQ, gak ada yang namanya system penggajian yang kayak bagaimanapun. Bisa dibilang, ini murni keikhlasan. Aku berada di bawah Lembaga Pengabdian Sosial dan Dakwah, dan founder kita punya banyak program, salah satunya 1000 guru TPQ yang disebar di Indonesia, Alhamdulillah aku salah satunya. Dan penggantian buat usaha kitapun itu murni wewenangnya ustadz. Dikasih, Alhamdulillah. Tidak dikasih, juga tak masalah. Karena jujur, aku tak terlalu memperdulikan itu. Belajar dan bermain bersama anak-anak TPQ tiap hari, adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Sesuntuk apapun pas di kampus, klo udah sama mereka itu adaaa aja yang bikin ketawa. Itu yang membuatku nyaman. Karena itu, aku tak pernah mau menerima tawaran ngajar sore. Rasanya berat kalo harus nyisihin TPQ. Karena TPQ yang diamanahkan padaku adalah TPQ yang baru, jadi bahasa jawanya kita ‘mbabat alas’. Ada beberapa temen yang lain ditaruh di TPQ yg sudah ada sebelumnya, jadi mereka bantu ngajar aja, gak perlu mikir ribet-ribet. Tapi gak enaknya, mereka mesti ngikutin aturan di sana. Belum lagi klo ada masalah sama guru seniornya. Klo ditempatku, namanya juga mbabat alas, pasti perlu usaha yang lebih keras. Buat program harian buat anak-anak, PDKT sama orang tua mereka, kegiatan-kegiatan yang ngebuat mereka semangat ngaji, buku-buu prstasi, mikirin metode hafalan mereka dll. Sulit memang, tapi kita tidak terkekang dengan aturan.

Kembali ke kemarahan dosenku.
Bukankah kata ‘bekerja’ terlalu kasar? Namun, aku tak mau memberi pembelaan. Aku sudah sesenggukan. Aku sedih, karena ternyata usahaku hanya dilihat karena uang dan dinilai dengan IP. Aku ingin memberikan pembelaan, tapi buat apa? ketika seseorang melihat kita seperti itu, mau membrikan pembelaanpun juga percuma.

            Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang mulai kabur karena garis-garis dan atom-atom yang harus kugambar di atas millimeter block. Kalau cuma 1-5 posisi atompun, gak masalah. Lha ini, bahkan aku menghabiskan sekitar 4 lembar kertas dan masih belum selesai.

Pukul 02.30 WIB
Alarm ibu berbunyi. Aku mendengar suara kasur depan berdecit dan langkah kaki berat dari sana. Keluargaku, lebih suka tidur dengan lampu yang padam. Hanya aku saja yang kurang suka tidur dengan lampu yang dimatikan. Jadi, pintu kamarku selalu ditutup agar silaunya tidak mengganggu ayah di ruang tengah. Berhubung sekarang mereka tertidur pulas, jadi pintuku tak biarin terbuka.

Aku melihat ibu berjalan ke belakang dengan langkah pelan. Diam-diam, terbesit perasaan capur aduk di dadaku. Ibu memang tidak pernah absen sholat malam dan mendoakan keluarganya. Tidak sperti aku yang masih bolong-bolong. Aku kagum sama ibu. Semoga saja nantinya aku bisa se-istiqomah ibu.

Kembali ku tatap tugasku yang belum rampung. Aku akan sholat setelah ibu selesai. Namun beberapa saat kemudian, ibu mengintipku dari pintu dengan wajah yang basah sehabis wudhu. Bukan, bukan hanya karena air wudhu. Wudhu tidak akan membuat mata dan hidung ibu memerah.

dorong mari ae ta?” tanya ibu. Dan aku tersenyum.
manton ngeten.” Jawabku berbohong. Kepala bagian belakang dan frontalku cenat-cenut. Itu adalah tanda kalau darahku drop, dan tubuhku kelelahan. Tapi karena sudah terbiasa, aku sering mengabaikannya.
Ibu membalas senyumku samar dan kembali ke belakang. Sepertinya ke musholla rumah. Aku mengernyitkan dahiku. Membolak-balik pikiranku tentang apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Dan dari situ aku yakin, ibu… menangis. Entah benar ataukah tidak, ibu menangis karenaku. Melihatku masih berkutat dengan tugas sedini hari ini, pasti membuat ibu sedih. Dan tanpa sadar, air juga menggenang di pelupuk mataku. Entah karena kelelahan, ataukah karena mendapati air mata ibu. Yang jelas, saat itu aku merasa ‘ini sulit’ dan ‘aku ingin menyerah’, namun aku tak bisa dan tak mau mengatakannya.


Aku tak bisa dan tak mau berhenti. Aku berada pada titik, dimana aku tak bisa mundur, dan aku juga tak mau tetap berdiri di tempatku. Pilihanku hanya satu, maju.

Nur Jannah, S

2 komentar:

Senin, 23 Oktober 2017

Kubuat Air Matamu Mengalir, Ayah

       
 "dungaren teko jam yamene? Biasae adek-adek dorong budal, Anna wes teko.” Ujar ibu saat ban motorku baru menginjak halaman rumah. Kumatikan mesin motor yang masih menderu dan segera menghampiri ibu.

           “assalamualaikum.” Salamku seraya tersenyum seraya menjabat tangan ibu. Tak lupa kecupan pipi kanan dan kiri yang telah menjadi hal lumrah di keluargaku, tak terkecuali ayah dan adik-adik. Seenggaknya, itulah hal kecil yang bisa menyalurkan kasih sayang yang terkadang tak bisa terucapkan oleh bibir.
            “waalaikumsalam.”
            “wau wonten rencang nyedi sareng wangsol, trus nginep teng kamar. Biasae jam 5 kulo ndugi Malang, tapi tasek ngentosi larene ados kale dandane lami sampek kulo keturon. Akhire jam 6 kaet bidal.” Aduku memberi alasan.
            “oalaah, yo wes. Soale maeng ibuk ngenteni Anna gak teko-teko. Adek-adek yo podo takon nang ndi nenge kok sek dorong teko.”
            Aku tersenyum.
Yah, beberapa hari yang lalu aku mengadu pada ibu tentang masalah-masalah di kampus dan ingin jalan-jalan sekedar melepas penat bersama orang rumah.
kok gak dolen ambek koncone Anna ae?? Kan enak ndek Malang iso nang ndi-ndi.” Suruh ibu suatu waktu.
mboten eco buk. Senengan dolen kale ayah, ibuk kale adek-adek.”
            Bagiku, jalan-jalan terindah itu bersama keluarga. Karena menurutku, perjalanan akan lebih indah jika bersama dengan orang yang kita sayang. Tak peduli seberapa remehkah perjalan itu. Maen air di sungai belakang rumah misalnya. Atau makan kerupuk bareng di depan televisi sambil menggoda satu sama lain yang bakal berakhir dengan teriakan adek-adek.
            “ibu cuma masak buat sarapan adek-adek saja tadi. Ayah juga belum makan. Anna mau makan apa? Tapi ayo masak dulu.”
            Nah, termasuk masak bareng ibuk sambil gosipin si ‘dia’. Dia yang mungkin masih mencari alamat rumah. Ceileh.
            “lhoh, baru dateng anake ayah.” Ayah tiba-tiba keluar dari pintu dengan mengucek-ngucek matanya yang merah. Mata yang ayah korbankan dengan duduk seharian di depan computer, mata yang ayah paksa untuk tidak tertutup demi ibu, aku dan adek-adek.
            “ayah… Assalamualaikum.” Ucapku dan mencium punggung tangan ayah. Diciumnya pipi kanan kiriku dan berakhir dengan dekapan.
            Teringat akan sesuatu, kuajak ayah dan ibu ke ruang tamu dan membongkar isi tasku. Ada kotak ice cream yang sengaja kubeli sebagai oleh-oleh buat adik-adik, karena jika aku pulang dengan tangan kosong mereka akan menyindirku habis-habisan. Misalnya,
            “waah, neng jahat. Adike gak ditukokno opo-opo!”
            “neng! Gowo opo?”
           Kalau gak gitu, mereka bakal obrak-abrik tasku dan meminta apapun yang sekiranya menarik bagi mereka. Begitulah kiranya nasib seorang kakak. Hahaha
            “Anna lek mole, mesti masak sembarang kaler. Sing gawe seblak, gawe pudding, gawe es krim. Pokoke totok omah pasti nyobak-nyobak masakan.” Timpal ibu. Padahal sebenarnya, aku tak terlalu pandai masak. Hanya bisa mencoba-coba masak saja. Kata ibu, masak itu ilmu gampang. Ntar kalau udah nikah, pasti bisa-bisa sendiri. Dan aku percaya penuh dengan perkataan ibu. (Alesan aja sih sebenernya…hehe)
            Aku hanya memamerkan deretan gigiku.
            Terakhir, kukeluarkan beberapa ekslempar buku kumpulan cerpenku yang baru datang kemaren lusa. UNDER THE WORD.
            Tampak senyuman di wajah mereka yang membuat hatiku terenyuh. Senyuman yang selalu kudambakan untuk setiap pencapaianku.
            “lhoh, cek akehe? Gawe sopoan iku?” ibu membolak-balik bukuku.
            “MA, MTs, Madin, mas sopan blab la bla.”
            “endi sing wes bukaan? Ayah kate moco.” Pinta ayah.
            Ibu tertawa mengejek. “ayah moso seneng moco? Paling sak lembar tok wes dideleh. Yo lek ibuk, seneng moco.”
            “lhoh, ibuk iki ngenyek bojone.”
            Jujur, interaksi semacam inilah yang membuatku iri pada kedua orang tuaku. Meskipun  berawal dari perjodohan yang ibuku bahkan tidak tau apapun, akhirnya cinta yang dibangun di atas ridho Tuhan menjadi semanis ini. Mungkinkah kisah manis mereka akan menular padaku juga? Ah, disini bukan paragraph yang tepat untuk menyerukan harapan masa depanku. Kembali pada ibu dan ayahku.
            “sini.” Ayah mengambil buku yang sudah terbuka dan membawanya ke teras rumah. Secara otomatis, aku dan ibu mengekori ayah duduk di teras depan.
            Ayah membetulkan letak kacamatanya dan mulai membaca dengan keras.

            “lhoh, Yahya Shooting?” celetuk ayah memandangku. Aku dan ibu saling bertatapan sebelum kemudian tertawa bersama dengan ayah. ‘Yahya shooting’, begitulah orang-orang sering memanggil ayah karena pekerjaannya. Dan aku bangga dengan itu.
            Ayah melanjutkan bacaannya.

            Setelah halaman pertama, ayah beralih ke halaman terakhir.

            “aku dan tiada iku sing ndek Koran ya?” sela ibu. Aku mengangguk. Sedangkan ayah hanya memandang kosong. Yah, seperti yang dikatakan ibu. Ayah bukanlah orang yang suka membaca sekalipun dulu ayah pernah menjadi penjual Koran dan majalah. Paling mentok, ibu yang membaca sedangkan ayah yang mendengarkan sekalipun terkadang ibu harus mengulang bacaannya berkali-kali karena ayah tidak kunjung faham dengan apa yang dimaksud dengan tulisanku. Satu hal lagi yang membuatku iri. Hehehe
            Ketika memandangi ikan-ikan yang kejar-kejaran di kolam, aku mendapati ibu yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Ah, aku baru ingat. Ayah belum makan, dan sepertinya masih ada cucian yang belum tersentuh di belakang. Akhirnya aku masuk ke dalam mengikuti ibu, meninggalkan ayah sendirian di teras.

###

            “Pasti nyantol disek iki maeng nang omahe budhe yo? Kok nyele mixer ae cek suwene.” tuduh ibu saat aku baru menaruh gelas ukur masakan di dapur. Sekaleng cucian di tangan ibu sudah siap dijemur.
            Aku tersenyum kuda. Merasa bersalah karena ibu yang mencuci saat ada aku di rumah. Meskipun sekarang ada mesin cuci yang membantu pekerjaan ibu.
            “hehehe. Engge buk. Tasek diwawancari riyen wau.” Jelasku.


            “buk, ayah lho kok tumben serius banget bacanya. Anna lewat, ayah gak noleh sama sekali.” Aduku. Yah, sepulang dari rumah budhe barusan aku masih mendapati ayah duduk bersila di samping kolam. Tak biasanya ayah seserius itu kecuali ketika di depan computer. Bahkan ketika tangan jahilku iseng mengambil HP dan memotretnyapun ayah gak sadar. Aku jadi khawatir.
            “iyo ta?” ibu tampak tak percaya.
       “engge buk.” Yakinku seraya mengambil kaleng di depan ibu hendak menggotongnya ke jemuran.
            “hanger’e ndek kamar ngarep.”
            Secara reflek kakiku melangkah ke kamar depan dan menyaut semua hanger yang ada di sana. Namun langkahku terhenti ketika melihat ayah yang masih berada pada posisinya yang tadi. Hanya saja tubuhnya saat ini sedikit menegak.
            Aku mengerutkan kening dalam. Ada apa dengan ayah? Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan ayah. (khawatir ayah kesambet aja… hehe) Akhirnya aku memilih mendiamkan ayah dan menjemur pakaian. Tapi setelah jemuran selesai ku taruh semua dan hanya tinggal kaleng kosong yang kubawa, ayah masih terpaku dengan bukunya (bukuku maksudnya…). Penasaran, akhirnya kudekati ayah dan menegurnya.
            “ayah moco nopo se?
            Ayah langsung menjauhkan buku-nya seakan khawatir aku mencurinya.
            “yo rahasia!”
            “nopo se?” aku semakin penasaran.
            “enggak wes. Rahasia. Anna ngaliho, ojok ndek kene…”
            Gubrak! Aku diusir oleh ayahku sendiri!
            Dengan bibir manyun, akhirnya aku meninggalkan ayah dengan seribu tanya dan sedikit rasa kesal.
            ###
            “terus iku di freezer?” tanya ibu.
            “engge buk, selama 8 jam.”
            Kutaruh bakal es krim buatanku ke dalam kulkas dengan harap-harap cemas. Semoga saja es krimnya udah jadi pas adek-adek pulang nanti. Tiba-tiba saja tanpa ada suara apapun ada sepasang tangan besar yang mendkap erat tubuhku hingga aku kesulitan bernapas. Ayah.
            “Masyaallah, ayah bangga sama Anna.” Ayah melepaskan pelukannya sedangkan aku masih tertegun, begitupun dengan ibu yang tampak terkejut dengan perlakuan ayah tiba-tiba. Tapi yang membuatku makin terkejut lagi,
            “a-ayah, nangis???!!!”
            Ayah tampak mengusap mata merahnya yang kini sudah tergenangi dengan air mata. Bahkan aku tak yakin, merah mata ayah itu karena begadangnya tiap malam ataukah karena menangis barusan. Yang kutau saat ini, ayah menangis!
           “Subhanallah. Buku ini gak hanya berisi cerita saja. Tapi juga fakta! Kisah nyata. Di dalamnya selalu ada pesan-pesan yang Anna sampaikan, bahkan tentang penghambaan kepada Tuhan juga. Buku ini, Subhanallah wes. Padahal ayah sek moco 2 judul tok, tapi wes nangis koyok ngene.
            Untuk kesekian kalinya, ayah memelukku. Lagi.
            “ayah sek tas nangis, kulo mlebet griyo wau pon nangis disikan.” Tutur ibu menambah ketertegunan dan kebingunganku. Aku tak tau harus berkata apa dan bersikap seperti apa. Saking berkecamuknya perasaanku, hingga tak tau mimik wajah yang semestinya kutunjukkan di depan mereka.

            Yang jelas saat itu, aku terharu.

Nur Jannah, 211017

0 komentar:

Rabu, 18 Oktober 2017

Aku, Kamu dan Dapur MA

Aku masih ingat, hari itu adalah Haflah Akhirussanah di pondokku. Aku yang saat itu duduk di kelas Wustho awal, diwajibkan membantu acara wisuda Wustho Tsani. Bahasa kerennya ‘mbiodho’. Tahun depan, ketika aku yang wisuda, gentian adik kelasku yang akan membantu acara di haflahku. Begitupun seterusnya.
Setiap pagi sebelum acara haflah dimulai, akan ada lalaran alfiah bagi yang akan diwisuda dan yang sudah khatam nadzaman alfiah. 500 nadzam santri putra, 500 nadzom santri putri. Selayaknya orang ‘mbiodho’, aku berangkat pagi buta bersama teman-teman seasramaku. Aku bahkan masih ingat kalau saat itu aku belum mandi. (hehe). Kepalang tanggung, nanti di sana juga bakal keringetan lagi. Mending kerja dulu, kalau udah langsung mandi. Biar sabunnya gak sayang… (alesan aja sih sebenernya).
Memang benar. Di sana sudah banyak mbak-mbak pengurus dan santri berpakaian putih-putih –sepertiku- berkelubat dengan kardus-kardus berisi makanan dan suguhan lainnya. Akupun ikut nimbrung di sana.
Saat tanganku sibuk menata jajanan, suara tawassul terdengar dari sound system pondok dan kemun lalaran alfiah round pertamapun di mulai. Saat itu, entah kenapa aku menghentikan nafasku dan pikiranku langsung membayangkan sosoknya. Yah, .
Sejak ia dinobatkan sebagai santri termuda yang sudah khatam alfiah terlebih dahulu, bahkan mendahului cacak-cacak yang jauh di atasnya,  selalu diikutkan lalaran haflah tiap tahun. Bahkan  juga menjadi salah satu penyetor hafalan alfiah yang lain. Aku memang tidak pernah melihatnya langsung, aku hanya mendengar dari angin yang mengantarkan suara-suara bisikan tentangnya. Terkadang mulut itu memang lebih cepat.
di bagi ngge. Wonten sing ngewangi notoi sego teng asrama E, wonten sing teng ndalem, wonten sing teng dapur MA” pandu mbak-mbak pengurus yang mebuatku dan teman-teman menghentikan aktivitas mereka dan mulai saling berebut ketempat mereka ingin bertugas. Aku hanya m melihat semua teman-temanku saling unjuk diri. Yah, percaya atau enggak, aku dulu pernah jadi orang pendiam lho, tergantung mood sih.
Saat semua orang sudah memilih, akhirnya aku kebagian ke tempat yang masih kekurangan orang. Dapur MA. Sebenarnya semua tempat sama aja, tapi di dapur MA memang sepi dan sedikit tertutup. Letaknyapun bukan tempat yang strategis untuk melihat ke panggung atau keluar masuk untuk sekedar membeli jajanan di pinggir jalan. Tapi, baiklah. Tidak ada salahnya jika aku ke sana. Entah keberuntungan atau kesialan, aku kebagian dengan 3 orang teman kakak kelas, yang lebih pendiam. Untunglah aku bawa buku, jadi aku gak akan mati gaya. (saat aku nulis atau baca, aku bisa lupa sama apapun disekelilingku. Hehehe)
Aku masih mendengar lalaran di panggung yang belum selesai saat berjalan ke arah dapur. Ya iyalah, 500 nadzom satu dudukan itu lumayan banget. Aku mencoba mencuri pandang ke arah panggung, kali aja bisa melihatnya. Tapi ternyata keberanianku tidak sebesar rasaku ingin melihatnya. Aku hanya melirik sekilas, sebelum kemudian berbelok ke arah dapur MA, memenuhi tugasku. Aku sempat kecewa karena tidak bisa melihatnya. Jujur, aku masih merindukannya meskipun rindu itu sudah tidak seharusnya ada.
###
            “pon sedanten kok, engken male mawon lek kirang.” Ujar mbak-mbak yang langsung membuatku menghela nafas dalam. Akhirnya misi menata nasi sudah selesai, seenggaknya aku bisa meluruskan puggungku yang dari tadi membungkuk terus sebelum kemudian berganti dengan meletakkan ayam, bi hun, dan telur di atasnya. Ternyata masih banyak yang harus diselesaikan. Saat aku mengangkat tubuhku, aku langsung terkesiap dengan siapa yang tengah duduk di samping pintu. Yah, adalah dia. Dengan baju putih, pun kopyah putih juga, ia tampak baru selesai lalaran. Tapi kenapa ia duduk di situ? Bukankah lebih nyaman duduk di masjid belakang panggung? Bahkan ia juga bisa berbaring di sana.
            Dia melihat ke arahku. Aku tertegun.
            “anna, pendetno ulam teng mriku.” Suara mbak-mbak membuatku sadar dan langsung mengalihkan pandanganku dari dia.
            Untung saja mbak-mbak tidak membuatku menganggur, jika tidak aku gak tau deh betapa canggungnya seruangan dengan orang yang pernah punya cerita dengan kita. Dengan cekatan, aku bantu mbak-mbak meletakkan ayam kecil-kecil di atas nasi sembari berusaha untuk tidak menoleh ke arah pintu. Meskipun sebenarnya aku masih merasa di awasi dari arah sana.
            Hhh. Di saat seperti ini, aku jadi berharap andai saja aku bisa bicara langsung dengannya. Jangankan bicara, beratatapan pun kita masih canggung. Saat tak sengaja berpapasan di jalan, bukannya menyapa dengan saling melempar senyum, kita hanya saling menundukkan kepala malu. Yaah, kisah cinta di pesantren memang hanya bisa sampai seperti ini saja.
###
            “ayo segara bentuk barisan, setelah ini nasi keluar ya.” Salah satu pengurus pusat putra mengomando. Aku dan mbak-mbak membagi tugas. Ada yang mengambil nasi, ada yang memberi kuah, dan ada yang meletakkan kerupuk di atasnya sebelum dibagikan pada wali santri dan undangan haflah.
            Aku melihat dia ikut berdiri membentuk barisan. Ia mengambil posisi beberapa jarak dariku. Sebenarnya aku berharap ia berdiri di sampingku, tapi….. Aku tau itu tidak mungkin. Kami dipisah oleh beberapa pengurus putra dan pengurus putri. Jadi untuk berdiri berdampingan, seakan-akan aku mendaftar untuk menjadi daftar hitam mereka.
            “ayo cepetan!” perintah ketua pengurus putra saat romo kyai sudah mengakhiri doanya. Seakan mesin tenaga Tuhan, setiap tangan mulai mengerjakan bagian masing-masing. Karena banyaknya undangan, aku merasa tanganku sudah mati rasa. Beberapa kali kuali berisi kuah habis dan harus mengambilnya di dapur. Dan saat itu, bagian dia dan temannya yang mengambil kuah. Setiap orang melihat ke arah pintu menunggu dia dengan kuali kuahnya, sedangkan dari arah luar permintaan piring tidak ada habisnya.
            Beberapa saat, yang dinantipun akhirnya muncul juga. Dia tampak masuk dengan menggotong kuali bersama temannya. Aku bisa melihat kepulan asap yang keluar dari kuali karena saking panasnya. Dia tertatih berjalan ke depanku hendak meletakkan kuahnya. Namun temannya melepaskan pegangan kuali sebelum kuali itu tepat di lantai. Akhirnya beberapa kuah tumpah mengenai dia.
            “eh, hati-hati.” Ucapku reflek saat dia mendesis karna tanganya seperti terbakar. Aku tidak sadar kalau ternyata kuah itu tidak hanya mengenai dia saja, tapi juga mengenaiku dan beberapa orang lainnya. Tapi masa bodoh, mataku hanya melihat dia. Dan beberapa saat aku sadar, sepertinya itu adalah segelintir kata-kataku yang langsung kutujukan untuknya. Yah, kita bahkan tidak pernah benar-benar bercakap secara langsung. Berharap? Tentu saja. Tapi ada batas yang tak seharusnya kulewati.
            “ayo buruan! Ada bapak-bapak yang masih belum dapet!” seru seorang pengurus yang langsung membuat tanganku dan juga tangan-tangan yang lain bergerak lebih cepat. Saking cepatnya, hingga tanganku hafal apa yang harus ia lakukan setelahnya. Menerima piring, dan menyalurkannya ke tangan yang lain. Begitu seterusnya. Sedangkan mataku, mengekori punggung dia yang hilang di balik pintu. Entah kemana ia pergi, saat itu kekhawatiran mulai merambahi nuraniku. Ingin rasanya bertanya, ‘apakah kamu baik-baik saja?’. Tapi sehurufpun aku tak mampu mengatakannya. Hingga akhirnya, permintaan piring dari luar berhenti dan bagian kita yang mendapatkan piring masing-masing. Aku menghela nafas lega.
            “Anna, ayo makan bareng sini.” Ajak mbak-mbak yang langsung kuiyakan. Kuambil tempat duduk di sisi paling pojok membelakangi pintu. Kulahap nasiku tanpa semangat karena kepalaku masih dipenuhi pertanyaan apakah ia baik-baik saja. Saat merasa ada orang yang masuk ruangan, ku tolehkan kepalaku ke belakang. Dan langsung kecewa jika ternyata bukan dia yang ada di sana. Beberapa kali seperti itu hingga aku merasa putus asa. Akhirnya aku memilih untuk tidak memperdulikan siapapun yang menginjakkan kaki ke dalam ruangan.
            “mbak, sambalnya udah habis?” tanya sebuah suara. Aku tak terlalu kenal dengan pemilik suara ini, tapi entah kenapa ada yang aneh dengan diriku. Seakan ada dorongan agar aku menolehkan kepalaku.
            “masih ada kok, di mangkuk kecil tadi.” jawab mbak-mbak masih dengan sendok nasinya.
            “oh, iya. Ini.” Suara itu membuatku mengerutkan kening. Siapa? Tak mau penasaran, akhirnya kutolehkan kepalaku dan tertegun melihat siapa yang ada di sana. Yah, ternyata pemilik suara itu adalah dia yang  langsung mengambil tempat duduk di pojok seraya menikmati makanannya. Khawatir tertangkap basah tengah mengamatinya, aku langsung membalikkan badan dan menatap makananku yang hampir habis. Pekerjaan menata nasi dari pagi, ternyata menguras tenagaku.
            Pertama, aku bersyukur karena sepertinya tidak terjadi apa-apa padanya. Kedua, sebuah moment yang tak terduga aku bisa se ruangan dengannya. Dan ketiga, aku masih bisa menunjukkan kalau aku peduli padanya maskipun aku tak tau dia menyadarinya ataukah tidak. Jika hanya terkena kuah panas saja aku mengkhawatirkannya seperti ini, aku tak tau bagaimana jika ia mengalami ‘sakit’ yang lebih dari ini. Aku sungguh tak bisa mengontrol kekhawatiranku. Sekalipun tak ada hak untukku mengkhawatirkannya lagi, aku tak bisa memaksa diriku untuk mengabaikannya. Dan ternyata aku pernah mengkhawatirkannya hingga meneteskan air mata. Jangan bertanya kenapa bisa sampai seperti itu? Karena terkadang, tak semua kalimat mampu membahasakan sebuah rasa.
            Kita se ruangan, namun tak bisa saling menyapa. Yah, hanya berharap dan bertanya-tanya mungkinkah kiranya hati sempat bersalaman? (ceileeeh...hahaha)
            Pertanyaan yang tak akan pernah bisa terjawab, kecuali Tuhan yang mengintipkannya padaku. Atau  ia yang langsung mengatakannya padaku.

0 komentar: