Kamis, 25 Januari 2018

Salju di Indonesia

Hasil gambar untuk salju
Kampus.
            Seorang teman pernah berkata, jika ada mahasiswa yang berkeliaran di waktu liburan kuliah bisa ditebak kalau mereka adalah
            Mahasiswa semester akhir
Dan aku adalah salah satunya. Aku tidak tau sebenarnya ‘semester akhir itu’ sejatinya semester berapa. Apakah tergantung dengan jumlah semester? ataukah teruntuk mahasiswa yang berkutat dengan proposal dan skripsi?
Ah, entahlah. Apapun pendapat kalian.
            Liburanku dimulai sejak akhir desember kemarin hingga akhir januari nanti, tapi entah kenapa aku merasa tidak benar-benar liburan. Hanya sekitar seminggu aku di rumah dan selebihnya aku kembali ke kampus, berkencan dengan laptop dan kertas. Terkadang akan ada dakwaan dari dosen pembimbing jika aku tidak menghadap beliau atau tidak kelihatan selama dua hari di fakultas.
            Bukan nasib, ini kunamai dengan kasih sayang yang tak terhingga. Ini bukan sindiran, tapi yaaah, begitulah. Seperti petang ini aku harus berperang tanggung jawab antara ke TPQ ataukah memenuhi panggilan dosen, dan aku berakhir di fakultas di tengah hujan. Beruntung seorang teman bersedia mengisi TPQ sendiri. Aku merasa bersalah.
            Dosen-dosen masih rapat ketika aku datang, jadi aku memilih duduk di kursi diskusi yang disediakan di pojok tiap lantai. Seorang kakak tingkat yang kutau duduk di kursi seberang sembari menenteng laptop.
            “itu diluar hujan?” tanya mas Zaky (nama samaran) yang mengambil kosentrasi di bidang biokimia sedangkan aku di bidang kimia anorganik, bidang yang dikenal dengan kesulitan dan lama waktu penelitiannya. Jadi bukan hal yang tabu jika anak-anak anorganik lulus telat. Ini bukan pembelaan, aku berbicara sesuai fakta.
            “eh? Iya mas, hujan.” Jawabku sembari melihat payung di sampingku. Beruntung aku membawa payung hari ini. Sudah kapok rasanya kemarin malam-malam pulang dari kampus kehujanan.
            Mas zaky tampak mengamati langit dari tempatnya duduk.
            “lhoh!” pekiknya yang tentu saja menarik perhatianku. Ia berjalan mendekat ke jendela. Ditatapnya langit dengan lekat. “itu salju.”
            Salju? Sejak kapan di Indonesia ada salju?
            Aku hanya mengabaikan. Mungkin mas ini sedang becanda.
            “seriusan. Itu salju!” mas zaky menegaskan. Akhirnya perhatianku mengarah pada ‘salju’ yang dikatakan mas zaky.
            “masa sih mas?” kataku masih belum percaya. Ayolaaah, kita semua tau kalau Indoenesia beriklim tropis. Namun ketika kupikir-pikir lagi, bukankah iklim kita saat ini memang tengah ‘gak karuan’? Apakah ini efek pemanasan global?
            “itu salju. Bentuknya butiran.”
            Oke fix. Mas zaky berhasil membuatku berdiri dari tempat duduk dan mendekat ke bawah jendela sembari menatap langit.
            “mana mas?” tanyaku antusias. Bagaimanapun juga aku ingin tau bagaimana bentuk salju itu. Maklum, aku hanya bisa melihat keindahan salju dari drama. Aku penasaran bagaimana jika melihatnya dari jarak dekat dan bermain di sana. Membuat boneka salju, bermain lempar-lemparan, menggunakan kaos tangan tebal dan jaket berbulu-bulu. Belum lagi jika bersama seseorang yang istimewa, kesan romantis tidak pernah ketinggalan.
            “itu lhoh dek.” Mas zaky mengarahkan sebelum kemudian kembali duduk di kursi.
            Aku menelisik tiap sela-sela air hujan, mungkin saja butiran salju itu ada di sana. Rasanya aku ingin meminjam kaca pembesar di lab biologi, agar aku bisa melihat lebih besar. Tapi seberapapun aku melihat hingga mataku hampir keluar, aku tak menemukan butiran salju yang kata mas zaky barusan.
            “mana ya mas? Adanya cuma tetesan hujan.” Ucapku dengan sedikit kecewa sembari menelisik langit lagi. Mungkin saja salju itu akan turun setelahnya.
            “wahahahahah.” Mas zaky tertawa, aku mengerutkan kening.
            “ya emang tetesan air!” kata mas zaky di tengah gelak tawanya.
            “lhoh, maksdunya ini???”
            “ya mana ada salju di sini! Kamu ini kok mudah percaya. Hahaha”
            Saat itu emosiku campur aduk. Antara marah karena dibohongi dan malu karena percaya begitu saja. Jika saja ada kardus, ingin rasanya aku masuk ke sana dan bersembunyi hingga benar-benar ada salju di Indonesia.
            “salju itu ada setelah petir besar.”
            “iya a mas? Emang ada hubungannya?” mungkin ada hubungan energi di sana atau penjelasan scientist tentang pernyataan mas zaky, masih tentang salju.
            Aku duduk di kursiku lagi sambil sesekali melihat ke ruang tempat para dosen rapat.
            “ya adanya kalau ada petir besar.”
            “kiamat?”
            “ya bukan kiamat gitu juga.”
            “jadi?”
            “ya berarti gak akan pernah ada salju di Indonesia.” jawab mas zaky sebelum kemudian tertawa lagi dan membuatku seperti orang paling bodoh sedunia.
            “Ya Allah mas, tak kira beneran.” protesku.
            “makanya jangan gampang percaya. Diomongin salju di Indonesia langsung percaya. Masyaallah…”

            Kata ‘Masyaallah’ dari mas zaky terdengar seperti sindiran. Saat itu, keinginanku untuk masuk ke dalam kardus semakin besar.

SNJ, 250118

0 komentar: