Setoran, Kamu dan Dia
Hari ini,
tidak biasanya aku mempersiapkan setoran di tangga asrama. Biasanya, aku
mempersiapkan hafalanku di tangga masjid karena lebih dekat jika harus ke ndalem neng Luluk. Selain itu, mencari
tempat yang udah sreg untuk ‘berkencan’
adalah hal yang sulit.
“Mbak Nafa
gak jamaah ya?” tanya Rini, anak asrama.
Aku tersenyum
kuda. Yaps! Alasan kenapa aku mempersiapkan hafalan di asrama adalah karena aku
telat jamaah maghrib. Terlanjur kena ta’zir
karena gak ikut jamaah, ya sekalian aja gak berangkat. Iya gak?
“mbak, ntar
kalo mau berangkat aku diajak ya mbaak, aku belum nambah sama sekali,” rengek
Rini dengan wajah yang memelas.
“santai aja
Rin, aku juga belum lancar kok,” jawabku yang ditanggapi dengan sorakan Rini.
Entah kenapa ketika kita belum menyelesaikan sesuatu misalnya tugas, ketika ada
teman yang belum juga rasanya senang sekali, bukannya mengajak untuk
menyelesaikan bersama. Perasaan menjadi tenang saja. Seakan ada teman jika
nanti akan dimarahi.
“siap mbak!”
Rini mengambil tempat di seberangku, lalu tenggelam dalam Al-Qurannya. Begitupun
denganku. Baru beberapa bulan kemarin aku memutuskan untuk menjalin ‘ikatan’
dan Al-Quran. Entahlah, banyak alasan dari Alif hingga Ya’ yang tidak bisa
kuceritakan. Yang jelas saat itu hingga saat ini aku menyesal, kenapa tidak
memulai lebih awal?
“Lail, di
neng Luluk udah ada mbak-mbak kah?” tanyaku saat melihat Lail memasuki gerbang
asrama.
“Udah mbak,
lumayan banyak.”
“oke,
makasih!”
Prinsipku,
aku tidak mau maju pertama dan tidak mau maju terakhir. Jika maju pertama, aku
masih belum siap. Aku tidak mau menjadi perubah mood neng Luluk karena
ketidaklancaranku yang bisa saja berpengaruh pada mbak-mbak yang setoran
setelahku. Jika terakhir, aku juga tidak mau. Karena setoran terakhir, waktunya
terlalu mepet dengan sekolah diniyah. Tapi berbeda jika ini masalah tentang
cinta. Aku ingin menjadi pertama dan terakhir. Aku tidak mau menjadi
intermediet (di tengah-tengah) yang keberadaannya tidak dianggap. Hanya seperti
numpang lewat saja. Yah, meskipun tidak menjadi yang pertama, aku ingin menjadi
yang terakhir. Dermaga terakhir yang membuatnya berlabuh dan berhenti mencari. Hahaha.
Apapula yang kubicarakan ini.
Kembali pada
setoranku.
Kulirik Rini
yang masih mengkomat-kamitkan mulutnya. Ia memintaku mengajaknya jika mau
berangkat. Tapi sepertinya ia masih belum sepenuhnya siap.
“Rini, jadi
bareng?” tanyaku. Rini menatapku lalu memasang wajah sendu.
“mbaaak, aku
belum hafaaaal,”
“kurang
banyak? Mau ditungguin?”
“jangan wes mbaak. Duluan aja gak papa, nanti
aku tak berangkat sendiri.” jelasnya.
“beneran?”
Percayalah,
ketika muroja’ah gak lancar dan nambah hafalan sulit, itu galaunya minta ampun
dah! Aku pernah duduk di bawah tangga masjid setiap habis maghrib selama
sekitar 3 hari berturut-turut. Bukan nambah hafalan, tapi nangis sambil ngeliat
ke ndalem. Tiga hari berturut-turut
itu, satu halaman yang kuhafalin gak masuk-masuk sampe rasanya frustasi! Yah,
ketika itu aku memang dalam masa kepatah-hatianku yang teramat sangat dengan
seseorang. Saat itu aku sadar, kalau Al-Quran memang tak mau duain. Dia adalah
paling pencemburu.
“iya mbak,”
jawab Rini yang membuatku sedikit lega.
Akhirnya aku
berdiri dan menekuk pinggangku hingga mengeluarkan bunyi kretek. Ku rapikan
mukenahku sekenanya, lalu berjalan ke arah gerbang. Mulutku masih menggumamkan
ayat-ayat yang nanti mau kusetorkan agar tidak lupa. Ketika aku keluar dari
gerbang, tiba-tiba saja aku hampir bertabrakan dengan bayangan seorang
laki-laki bersarung yang mencuci kaki di kolam kecil depan asrama.
“Astaghfirullah!”
sentakku yang langsung mundur ke belakang. Keterkejutanku semakin bertambah
ketika aku tau siapa laki-laki itu. Dia adalah yang membuat mas Al-ku cemburu,
Fatih. Sontak, terdengar kata ‘Ciyeeeee’ yang diucapkan serentak seperti paduan
suara oleh teman-temannya, sedangkan aku langsung masuk kembali ke dalam
asrama. Syok!
Jantungku berdetak
keras sekali sampai aku bisa mendengarnya. Suhu tubuhku tiba-tiba memanas. Napasku
tidak teratur. Rasanya masih belum percaya dengan kejadian barusan. Kok bisa?!?!
Setelah napasku
kembali normal, aku melangkahkan kaki ke luar asrama. Fatih dan rombongannya, -entah
siapa saja- sudah berjalan ke arah timur asramaku. Aku bertanya-tanya hendak
kemana kiranya mereka? Namun pikiran itu buru-buru kuhapus. Aku langsung menggumamkan
ayat-ayat yang tadi kuhafalkan. Setelah waktu yang lama untuk berbaikan dengan’nya’,
aku tidak mau membuatnya cemburu lagi.
Selidik punya
selidik. Jantungku masih berdetak keras. Entah karena hafalanku yang tiba-tiba
tidak lancar, atau karena Fatih yang barusan lewat. Saat itu yang kutau,
terjadi ‘peperangan’ di batinku. Dan aku tidak tau, lebih tepatnya belum tau
bagaimana cara untuk mendamaikan mereka. Mengkondisikan hatiku sendiri.
0 komentar: