Minggu, 29 April 2018

Setoran, Kamu dan Dia


            Gambar terkait
Hari ini, tidak biasanya aku mempersiapkan setoran di tangga asrama. Biasanya, aku mempersiapkan hafalanku di tangga masjid karena lebih dekat jika harus ke ndalem neng Luluk. Selain itu, mencari tempat yang udah sreg untuk ‘berkencan’ adalah hal yang sulit.
            “Mbak Nafa gak jamaah ya?” tanya Rini, anak asrama.
            Aku tersenyum kuda. Yaps! Alasan kenapa aku mempersiapkan hafalan di asrama adalah karena aku telat jamaah maghrib. Terlanjur kena ta’zir karena gak ikut jamaah, ya sekalian aja gak berangkat. Iya gak?
            “mbak, ntar kalo mau berangkat aku diajak ya mbaak, aku belum nambah sama sekali,” rengek Rini dengan wajah yang memelas.
            “santai aja Rin, aku juga belum lancar kok,” jawabku yang ditanggapi dengan sorakan Rini. Entah kenapa ketika kita belum menyelesaikan sesuatu misalnya tugas, ketika ada teman yang belum juga rasanya senang sekali, bukannya mengajak untuk menyelesaikan bersama. Perasaan menjadi tenang saja. Seakan ada teman jika nanti akan dimarahi.
            “siap mbak!” Rini mengambil tempat di seberangku, lalu tenggelam dalam Al-Qurannya. Begitupun denganku. Baru beberapa bulan kemarin aku memutuskan untuk menjalin ‘ikatan’ dan Al-Quran. Entahlah, banyak alasan dari Alif hingga Ya’ yang tidak bisa kuceritakan. Yang jelas saat itu hingga saat ini aku menyesal, kenapa tidak memulai lebih awal?
            “Lail, di neng Luluk udah ada mbak-mbak kah?” tanyaku saat melihat Lail memasuki gerbang asrama.
            “Udah mbak, lumayan banyak.”
            “oke, makasih!”
            Prinsipku, aku tidak mau maju pertama dan tidak mau maju terakhir. Jika maju pertama, aku masih belum siap. Aku tidak mau menjadi perubah mood neng Luluk karena ketidaklancaranku yang bisa saja berpengaruh pada mbak-mbak yang setoran setelahku. Jika terakhir, aku juga tidak mau. Karena setoran terakhir, waktunya terlalu mepet dengan sekolah diniyah. Tapi berbeda jika ini masalah tentang cinta. Aku ingin menjadi pertama dan terakhir. Aku tidak mau menjadi intermediet (di tengah-tengah) yang keberadaannya tidak dianggap. Hanya seperti numpang lewat saja. Yah, meskipun tidak menjadi yang pertama, aku ingin menjadi yang terakhir. Dermaga terakhir yang membuatnya berlabuh dan berhenti mencari. Hahaha. Apapula yang kubicarakan ini.
            Kembali pada setoranku.
           Kulirik Rini yang masih mengkomat-kamitkan mulutnya. Ia memintaku mengajaknya jika mau berangkat. Tapi sepertinya ia masih belum sepenuhnya siap.
            “Rini, jadi bareng?” tanyaku. Rini menatapku lalu memasang wajah sendu.
            “mbaaak, aku belum hafaaaal,”
            “kurang banyak? Mau ditungguin?”
            “jangan wes mbaak. Duluan aja gak papa, nanti aku tak berangkat sendiri.” jelasnya.
            “beneran?”
            Percayalah, ketika muroja’ah gak lancar dan nambah hafalan sulit, itu galaunya minta ampun dah! Aku pernah duduk di bawah tangga masjid setiap habis maghrib selama sekitar 3 hari berturut-turut. Bukan nambah hafalan, tapi nangis sambil ngeliat ke ndalem. Tiga hari berturut-turut itu, satu halaman yang kuhafalin gak masuk-masuk sampe rasanya frustasi! Yah, ketika itu aku memang dalam masa kepatah-hatianku yang teramat sangat dengan seseorang. Saat itu aku sadar, kalau Al-Quran memang tak mau duain. Dia adalah paling pencemburu.
            “iya mbak,” jawab Rini yang membuatku sedikit lega.
            Akhirnya aku berdiri dan menekuk pinggangku hingga mengeluarkan bunyi kretek. Ku rapikan mukenahku sekenanya, lalu berjalan ke arah gerbang. Mulutku masih menggumamkan ayat-ayat yang nanti mau kusetorkan agar tidak lupa. Ketika aku keluar dari gerbang, tiba-tiba saja aku hampir bertabrakan dengan bayangan seorang laki-laki bersarung yang mencuci kaki di kolam kecil depan asrama.
            “Astaghfirullah!” sentakku yang langsung mundur ke belakang. Keterkejutanku semakin bertambah ketika aku tau siapa laki-laki itu. Dia adalah yang membuat mas Al-ku cemburu, Fatih. Sontak, terdengar kata ‘Ciyeeeee’ yang diucapkan serentak seperti paduan suara oleh teman-temannya, sedangkan aku langsung masuk kembali ke dalam asrama. Syok!
            Jantungku berdetak keras sekali sampai aku bisa mendengarnya. Suhu tubuhku tiba-tiba memanas. Napasku tidak teratur. Rasanya masih belum percaya dengan kejadian barusan. Kok bisa?!?! 
            Setelah napasku kembali normal, aku melangkahkan kaki ke luar asrama. Fatih dan rombongannya, -entah siapa saja- sudah berjalan ke arah timur asramaku. Aku bertanya-tanya hendak kemana kiranya mereka? Namun pikiran itu buru-buru kuhapus. Aku langsung menggumamkan ayat-ayat yang tadi kuhafalkan. Setelah waktu yang lama untuk berbaikan dengan’nya’, aku tidak mau membuatnya cemburu lagi.
            Selidik punya selidik. Jantungku masih berdetak keras. Entah karena hafalanku yang tiba-tiba tidak lancar, atau karena Fatih yang barusan lewat. Saat itu yang kutau, terjadi ‘peperangan’ di batinku. Dan aku tidak tau, lebih tepatnya belum tau bagaimana cara untuk mendamaikan mereka. Mengkondisikan hatiku sendiri.

0 komentar:

Memimpikanmu


Hasil gambar untuk gambar muslim dan muslimah mengaji kartun
Ruangan itu tidak terlalu besar. Dengan seperangkat kursi dan meja yang terbuat dari ukiran kayu, membuatnya terlihat lebih natural. Beberapa foto terpampang di dinding ruangan, menyembunyikan setiap kisah di balik sebuah jepretan. Aku mengulang hafalan yang selama ini sudah kusetorkan pada seorang lelaki yang berada di depanku. Aku tak bisa memastikan siapa dia, yang aku tau, saat-saat terbaikku adalah ketika bersamanya.
Tuk tuk tuk.
Aku mendengar ketukan jarinya pada kursi yang menandakan ada yang salah dengan bacaanku. Secara reflek, akupun mengulang bacaanku kembali. Satu ayat, dua ayat, tiga ayat, aku mendengar suara ketukan itu lagi. Dan seperti sebelumnya, aku mengulang bacaanku kembali. Namun tiap kali aku mengulang bacaanku, ketukan itu tak berhenti-berhenti. Akhirnya aku mengangkat kepalaku dan ingin menyatakan aku menyerah. Biar dia kasih tau saja yang mana bacaanku yang salah. Selayaknya orang yang berkendara dan tiba-tiba terjebak macet di tengah jalan, pastilah sangat menguras emosi. Begitupun saat bacaanku tiba-tiba berhenti di tengah jalan, rasanya ngalahin orang yang tengah putus cinta. Ah, aku baru ingat. Sejatinya, bacaanku, Al-Quranku adalah pacar yang paling pencemburu.
Aku menghela nafas panjang dan ingin menatapnya saat tiba-tiba ada sebuah tangan menyentuh bahuku. Ku kira tangan itu adalah tangan besar yang memikul tanggung jawab keluargaku, namun tangan yang kurasakan dibahuku adalah tangan halus dan kecil. Seperti tangan perempuan. Perlahan aku melihat bayangnya yang mulai kabur digantikan bias-bias cahaya yang masuk ke dalam retinaku dengan paksa. Seakan terpaksa menerima bias itu masuk dalam mataku, aku memicingkan mataku saat menangkap sebuah bayangan di depanku. Langit-langit yang sangat ku kenal, dan seorang perempuan.
“Nafa, setoran yuk.” Ujarnya.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku seakan mengumpulkan nyawa. Meskipun sebenarnya aku sedikit menyesal karena membuka mata. Jika saja lebih lama, aku mungkin bisa mengetahui wajahnya.
“sekarang?” tanyaku lemah. Bagaimanapun juga kuliah dari pagi hingga sore non-stop, membuat mataku berat dan tubuhku lemah. Aku baru ingat, ternyata  tadi aku hanya berniat menaruh tubuhku di atas kasur sebelum berangkat menyetorkan hafalanku. Ternyata niatan itu berubah menjadi candu mataku untuk terpejam.
“iya. Aku tunggu ya.” Ucapnya.
Aku menghela napas panjang, dan menarik tubuhku dari rekatan kasur dengan berat.
Aku belum menambah banyak hafalanku.

0 komentar:

Kamis, 12 April 2018

Anakku Berbeda


Kuceritakan pada kalian tentang sebuah kisah. Kisah yang tidak mungkin kudapatkan jika aku hanya berdiam diri tanpa mencoba mengecap sedikit tentang arti perjuangan, tanggung jawab dan pengorbanan.

Sore tadi, di TPQ.
            “anak saya berbeda dengan anak yang lain,” ucap seorang ibu ketika anak-anak sudah pulang, pun orang tua lain yang juga ikut mengantarkan. Langit sudah gelap, Qiroah dari speaker masjid mulai terdengar. Yah, hari ini anak-anak pulang lebih sore karena aku hanya sendirian, entah kemana temanku yang biasanya menemaniku untuk sekedar mengajarkan Alif, Ba’, Ta’, Tsa di kota orang ini.
            Aku mengusap keringatku yang bercucuran seakan habis berlari. Pagi buta aku berangkat ke kampus berharap bisa nge-lab hari ini, tapi ternyata Allah masih belum merestui. Padahal aku sudah merencanakan jadwal nge-lab dari minggu kemarin. Tapi mau bagaimana lagi? waktu dan napas yang kupunya bukan milikku. Setelah itu, ada kondangan anak pemilik kos. Menukar kado dengan makan siang atau sarapan? Ah, makan siang dan sarapan tidak ada bedanya bagiku. Seusai itu, langsung meluncur ke TPQ. Kukira temanku datang, tapi ternyata tidak. Disitu aku berharap kalau yang masuk sedikit. Lagi-lagi, aku tak berhak merencanakan apapun. Hanya sekitar 4 anak yang tidak masuk dari 18 anak. Namun percayalah, secapek-capeknya kalian, ketika sudah melihat senyum dan canda tawa anak-anak pasti semua capek hilang. Tapi, keringatku tetap bercucuran. Kita berbicara tentang ‘anak-anak kecil’, bukan anak SMA yang langsung menurut jika disuruh diam.
            “anak saya disabilitas,” lanjut ibu tiga anak itu.
Aku terdiam, mendengarkan. Aku jadi ingat ketika pertama kali ibu itu menghampiriku untuk menjelaskan kondisi anaknya. Laki-laki. Secara fisik, mungkin ia memang siswa kelas 4 SD, namun tingkah laku dan (maaf) mentalnya masih seperti anak TK. Mungkin masih lebih baik yang TK. Ia mempunyai dua adik laki-laki, satunya TK B dan paud. Biasanya mereka berangkat bersama meskipun kakaknya selalu telat karena harus oyok-oyokan dulu sama ibunya kalau disuruh berangkat mengaji.
“mohon maaf ustadzah sebelumnya kalau anak saya sering buat masalah. Di sekolah, ia juga sering dimarahin gurunya karena jahil. Dia juga menjadi korban bully-an anak-anak yang lain sampai terkadang gak mau kalau disuruh sekolah.”
Hatiku terenyuh. Raut wajah ibu itu menunjukkan ketegaran yang luar biasa.
“biasanya, suka nggoda adiknya. Dijahili terus…”
Aku ingat ketika si kakak selalu mengambil kopyah si adek, dan melemparkannya ke sana kemari bersama teman-temannya hingga menangis. Kadang juga menyembunyikan tas adiknya, atau melemparkannya ke atas lemari. Pernah dia mengeluarkan semua isi tasku, kemudian memasukkannya kembali. Atau memainkan sapu musholla, untuk dijadikan akrobat. Tadi, dia memainkan pintu lemari musholla hingga kacanya lepas dari engsel. Untung tidak sampai jatuh lalu pecah dan mengenai yang lain. Aku langsung berlari, meninggalkan adiknya yang masih mengaji di depanku. Ibunya juga bangkit, membantuku mengangkat kaca itu dan mencoba untuk mengembalikannya. Syukurlah, kaca itu bisa dikembalikan ke tempat semula. Sedangkan anak itu langsung pergi seakan apa yang ia lakukan tidak salah.
“tadi dia marah-marah ustadzah, soalnya adiknya dapat juara sedangkan dia tidak. Dia merasa diungguli oleh adiknya.”
Yah, adik-adiknya memang berbeda. Bahkan bisa kubilang kalau mereka termasuk anak-anak yang cepat menangkap pelajaran.
“jadi tadi adik-adiknya dulu yang saya berangkatkan ngaji, soalnya kakaknya masih rewel,” cerita ibu itu sambil tertawa. Aku ikut tersenyum, seraya mengagumi beliau. Diantara orang tua yang lain, ibu ini yang paling sering menemuiku menanyakan perkembangan anaknya (meskipun ada yang terkadang bertanya lewat WA). Dari bagaimana ibunya bercerita, aku bisa melihat usaha beliau untuk mendidik anaknya agar tidak berbeda. Sebenarnya itu yang kusayangkan. Kenapa disekolahkan di sekolah biasa? Bukan SLB (Sekolah Luar Biasa)? Bukankah nantinya dia akan mendapatkan cara pengajaran yang lebih baik? Namun nurani seorang ibu, mungkin ingin anaknya ‘normal’.
            “dulu selalu pindah-pindah ngaji. Dua minggu, tiga minggu, gak ada yang sanggup sama anak saya. Bukannya diajarin, malah dibiarin. Trus ada ngaji di sana, gurunya jahat. Jadi anak saya gak mau ngaji. Ya mau gimana? Anak saya memang berbeda. Kebetulan ada yang dekat, di sini.”
            Aku tersenyum.
            “di rumah, dia gak pernah mau belajar, jadi adik-adiknya juga gak mau belajar. Kalau disuruh, bilangnya gini ‘ibuk bukan bu guru. Ibuk gak boleh ngajarin aku!’ gitu,” ujar ibu itu yang membuat mataku berkaca-kaca. Bayangkan saja, ketika kita sudah mengusahakan sebaik dan sebanyak mungkin untuk seorang anak, tapi malah tidak dianggap? Baiklah, dia memang punya disabilitas. Tapi tetap saja hati seorang ibu akan tersakiti bukan?
            “jadi ngajinya saya serahkan ke sini ya ustadzah. Bisa gak bisanya anak saya, saya pasrah. Dia mau ngaji saja, saya sudah bersyukur.”
            “insyaallah bu, tapi ngapunten kalau naik jilidnya lama ya bu…”
            “lhoh, gak papa. Saya juga menyadari kondisi anak saya. Dia memang berbeda sama adik-adiknya. Sama anak-anak yang lain.”
            Entah kenapa, tiap kali mendengar kata ‘berbeda’ dari bibir ibu itu aku merasa terenyuh. Berbeda? Memangnya berbeda itu apa sih? Bukankah kita sama-sama manusia? Kata ‘berbeda’ hanya diciptakan manusia untuk mengakui kalau dirinya lebih baik dari orang yang mereka anggap ‘berbeda’ itu. Untuk bisa lebih sempurna. Namun bukankah hanya Allah yang patut membedakan manusia-manusianya? Yang pernah kudengar, yang membedakan diantara makhluk-makhluk-Nya adalah dari keimanan. Memang iman kita lebih baik dari mereka? Memang dosa kita lebih sedikit dari mereka? Tidak ada yang tau bukan? Seharusnya kata ‘berbeda’ dihapus saja dari kamus manusia.
            Ditengah percakapan, anak itu datang dan langsung bersandar di bahuku. Ia memain-mainkan jariku seakan menghitungnya, lalu mendorong-dorong tubuhku dengan bahunya. Bermain.
            “Fulan, gak boleh gitu nak sama ustadzah!” ibu itu memperingatkan.
            “gak mau!” jawabnya.
            “hayo, gak nurut sama ibu?!”
            Anak itu tertunduk.
            “mboten nopoo bu….,” jawabku, karena dia memang biasa seperti ini. Lebih mending, daripada lari-lari di musholla hingga pernah juga sampai tirai musholla lepas.
            “gitu emang kalau sudah akrab, jahil.” Ibu itu menjelaskan, aku tersenyum.
            “Fulan, kalau ngaji harus jaga adiknya. Iya kalau ibuk nganter Fulan 3 (anak yang ketiga), kalau enggak?”
            “iyyaaa.” Anak itu menjawab sambil memainkan ujung kerudungku.
            “Fulan, inget tadi yang dibilang kak Anna apa? Kalau bertengkar terus sama adiknya, nanti di akhirat jadi apa?” tanyaku.
            “jadi monyet,” jawabnya.
            “mau, jadi monyet?”
            Dia menggeleng, “gak mauuu.”
            “ya udah, berarti harus akur sama adik-adiknya. Kalau ibu gak ada, Fulan yang jaga adik ya. Janji?” aku mengangkat jari kelingkingku.
            “gak mau!” dia menggelengkan kepalanya keras.
            “lhoh, kok gak mau?”
            “fulan, kalau ngaji harus nurut sama ustadzah!” ibunya berbicara. Anak itu tampak ragu, kemudian mengikatkan jari kelingkingnya di kelingkingku sebelum kemudian berlari keluar. Kutatap punggungnya dengan mata yang menerawang. Kadang geregetan, kadang juga kasihan.
            “pokoknya saya bersyukur banget ada tempat ngaji di sini ustadzah. Terimakasih banyak, anak saya pinter dari sini,” ungkap ibu itu yang langsung menusuk hatiku. Ketika itulah aku merasakan kalau tanggung jawab itu lebih berat daripada rindu. Seharusnya Dilan tau. Terbesit bayangan kalau aku tak bisa selamanya ada di Malang. Aku harus pulang, yang berarti aku harus meninggalkan mereka. Meninggalkan tanggung jawab, dan menyisihkan harapan anak-anak dan orang tua mereka. Mungkin ini terdengar alay atau sok-sokan, tapi memang begitulah adanya. Aku bercerita pada kalian karena ingin memberitahu, kalau ada sosok paling tegar yang selalu mendorong kalian dari belakang, meskipun kalian tidak tau dan jarang menyadarinya. Ibu.
            Selain itu, aku ingin menyampaikan kalau perbedaan yang didasari fisik dan material hanyalah ciptaan manusia. Hanya karena anggota tubuh kita lengkap, otak kita berfungsi secara normal, lantas merasa menjadi manusia paling sempurna? Dan memandang sebelah mata mereka yang tidak sama?
            Adzah maghrib terdengar. Ibu itu berpamitan pulang. Aku juga harus pulang.


120418

0 komentar: