Mei19
Ketika Itu

“ISTI’DAADAN!
PERSI-APAN!” komando Nafa dengan suara lantang.
“SIAP!”
jawab serentak anak-anak yang duduk berjajar di depannya.
“BERDOA,
MULAI!”
“Allahummarhamna bil Quran. Waj’alhu lanaa
imaama wa nuuro wa huda wa rohmah. Allahumma dzakkirnaa minhumaa nasiina wa ‘allimna
minhuma jahilna warzuqna tilaawatahu. Aana al laili wa athro fan nahaar. Waj’alhulana
hujjata yaa robbal ‘alamiin. Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadualla ilaha
illa anta astaghiruka atuubu ilaih.”
“waassalamualaikum waraohmatullahiwabaokatuh!”
Setelah menjawab
salam, tangan-tangan mungil mulai menjulur di depan wajah Nafa berharap agar di jabat terlebih dahulu sehingga
mereka bisa langsung pulang. Ada beberapa pula yang saling adu dorong tidak mau
berada di belakang.
Nafa tersenyum.
Dia selalu senang melihat tingkah lucu mereka. Meskipun seharian tadi berada di
kampus dan berkutat di laboratorium, lelahnya serasa dihapuskan dengan candaan
murid-muridnya.
“gentian,
gak boleh rebutan. Gak usah lari-lari. Jangan lupa diulang ngajinya di rumah.” Nafa
berkomat-kamit mengingatkan. Setelah anak-anak, barulah ibu-ibu yang
mengantarkan anaknya berpamitan.
“makasih ya
bu. Pamit dulu. Assalamualaikum,”
“waalaikumsalam,”
jawab Nafa seraya tersenyum. Ada kelegaan tersendiri tiap kali melihat
anak-anak pulang dari mengaji. Seperti ada sedikit konstribusi yang ia berikan
untuk dunia yang sudah penuh dengan caruk-maruk tidak kearuan. Ia hanya
berharap agar murid-muridnya tumbuh menjadi orang yang sukses dan berguna bagi
bangsa dan agama. Ah, doa yang klise bukan?
Ia tengah
memberesakan bangku yang telah digunakan untuk mengaji tadi, ketika ada suara
salam yang diucapkan dari pintu.
Dua orang
laki-laki berdiri dan melihat ke arahnya.
“wa’alaikumsalam?”
Nafa menghampiri dengan kepala penuh tanda tanya. Siapa mereka? Ada keperluan
apa? Apakah ada undangan lomba TPQ lagi seperti dulu?
“boleh kami
masuk dulu?”
“silahkan,”
Sebenarnya ia
merasa tidak enak menerima tamu di musholla. Tapi mau bagaimana lagi? Menerima
mereka dengan berdiri bukankah lebih tidak sopan lagi? Seenggaknya dia harus
tau dulu apa kepentingan mereka. Dan kemungkinan besar tentang TPQ. Apalagi?
“jadi? Ada keperluan
apa ngge?” tanya Nafa.
“perkenalkan,
saya Haidar dan ini teman saya Zidan,” laki-laki berbaju kotak-kotak itu
melirik temannya yang memakai baju putih.
“saya Nafa,”
balas Nafa mencoba ramah, meskipun rasanya canggung sekali. Entah karena ia
yang memang tidak terbiasa berhadapan dengan laki-laki sendirian, ataukah ada
hal lain yang membuat hawa di sini tiba-tiba aneh sekali.
“ini mbak,
temen saya mau ngomong sesuatu,” Haidar menyenggol lengan Zidan.
Nafa menemukan
gelagat yang berbeda. Entahlah, tiba-tiba saja ia merinding dan takut
sekaligus.
“maaf
sebelumnya kalau sudah mengganggu waktu ukhti.”
Pemuda bernama Zidan itu mengangkat suara. Suara yang entah kenapa sejenak
membuat Nafa tercekat. Ada karisma di sana.
“jadi,
maksud kedatangan saya ke sini ingin bertanya beberapa hal pada ukhti. Apa ukhti, maaf, sudah menikah?”
Deg! Pertanyaan
macam apa itu? dan secara tiba-tiba!
“apa saya
terlihat seperti perempuan yang sudah menikah?” Nafa mencoba menjawab dengan
guyonan. Padahal hatinya dag dig dug tidak karuan.
Pemuda itu
tertawa.
“enggak kok,
malah kelihatan seperti masih SMA,” timpal pemuda itu yang langsung disikut
temannya yang bernama Haidar. Zidan istighfar, seakan mencoba mengembalikan
kesadarannya kembali. Ia lalu melihat Nafa.
“kalau
calon?”
“eh?” mata
Nafa membulat, dan jantungnya memukul-mukul dari balik dadanya dengan keras. Ia
sangat terkejut, sungguh! Apa sebenarnya maksud kedatangan dua pemuda asing
ini?
“maaf,
sebenarnya ini ada apa ya?” Nafa mencoba bertanya.
“boleh saya
jelaskan di rumah ukhti saja?”
“rumah saya?
Maksudnya?”
Pemuda itu
tersenyum lagi. “boleh saya minta alamat rumah sama nomor hapenya? Insyaallah
saya mau silaturrahmi ke rumah ukhti.”
Tunggu! Silaturrahmi? Bukankah aku dan dia
baru saja bertemu? Batin Nafa.
Pemuda itu
menyodorkan kertas.
“saya
kemarin-kemarin tanya sama ibu-ibu sekitar sini alamatnya ukhti, tapi tidak ada yang tau. Katanya ukhti bukan orang sini. Makanya itu saya nekad menanyakan langsung
sama ukhti.”
Jujur, Nafa speechless!!
Ia tidak pernah membayangkan akan dihadapkan dengan situasi yang seperti ini.
Dia kira, setelah anak-anak pulang tadi, ia bisa segera balik ke kamar dan
beristirahat. Tapi???
“insyaallah
saya tidak macam-macam kok ukhti.
Saya cuma berniat baik.”
Niatnya memang
baik, tapi hati Nafa yang tidak bisa menerima dengan baik! Berkali-kali Nafa
menenangkan hatinya, agar bisa lebih bijak dalam berpikir dan tidak terlalu
ceroboh. Jika dilihat dari penampilannya, dia tampak seperti orang baik. Dari
tutur katanyapun juga tidak ada sifat jahat. Dari sorot matanya, Nafa bisa tau
kalau yang dikatakan pemuda itu memang tulus. Tapi tetap saja ia bingung.
Entah kenapa
Nafa menggerakkan jari menuliskan alamat rumahnya.
“apa akhi tidak menanyakan pendapat saya
dulu? Kita baru saja bertemu.”
“Insyaallah
nanti saya jawab semua di rumah ukhti.”
“akhi belum mengenal saya,”
“kita bisa
ta’aruf setelah saya minta izin ke orang tua ukhti dulu.”
Ini apa-apaan!
Horror sekali!!! Saat itu yang berada di pikiran Nafa, bagaimana caranya agar
bisa keluar dari sana! Ia benar-benar tidak siap! Urusan pemuda bernama Zidan
itu, bisa dipikir belakang. Tidak baik diambil serius terlebih dahulu. Toh, ia
juga belum tentu akan ke rumah Nafa ataukah tidak. Jangan-jangan cuma modus. Anggap
saja seperti itu.
“maaf, jika
tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, saya balik dulu.”
“lhoh,
nomornya gak ditulisin juga mbak?” Haidar berkata.
“harus pake
nomor juga?”
“jaga-jaga
kalau nanti kesasar pas ke sana,”
Nafa mengambil
kertas itu dan menulis deretan angka di sana.
085815 xxx xxx (Ayah)
Lalu meninggalkan
kedua pemuda itu setelah mengucap salam. Hatinya tidak karuan. Kepalanya bingung,
tidak tau mana yang harus dicerna dan dipikirkan terlebih dahulu. Dalam perjalanan
pulang ia teringat seseorang. Seseorang yang memberikan harapan masa depan
bersamanya, namun tak kunjung menegaskan hubungan mereka. Berkata
mengikhlaskan, tapi tak bisa melepaskan. Belum berani memastikan, namun masih
mengikatnya. Dengannya yang saling menitipkan salam rindu lewat doa. Begitupun ikatan yang terlepas di bibir namun terikat dalam doa. Mungkin.
Dalam lamuannya, ada harapan agar pemuda tadi tidak benar-benar ke rumahnya.
SNJ, 190518
0 komentar: