Sabtu, 19 Mei 2018

Ketika Itu


Hasil gambar untuk muslim melamar kartun          
  “ISTI’DAADAN! PERSI-APAN!” komando Nafa dengan suara lantang.
            “SIAP!” jawab serentak anak-anak yang duduk berjajar di depannya.
            “BERDOA, MULAI!”
            Allahummarhamna bil Quran. Waj’alhu lanaa imaama wa nuuro wa huda wa rohmah. Allahumma dzakkirnaa minhumaa nasiina wa ‘allimna minhuma jahilna warzuqna tilaawatahu. Aana al laili wa athro fan nahaar. Waj’alhulana hujjata yaa robbal ‘alamiin. Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadualla ilaha illa anta astaghiruka atuubu ilaih.”
            “waassalamualaikum waraohmatullahiwabaokatuh!”
            Setelah menjawab salam, tangan-tangan mungil mulai menjulur di depan wajah Nafa  berharap agar di jabat terlebih dahulu sehingga mereka bisa langsung pulang. Ada beberapa pula yang saling adu dorong tidak mau berada di belakang.
            Nafa tersenyum. Dia selalu senang melihat tingkah lucu mereka. Meskipun seharian tadi berada di kampus dan berkutat di laboratorium, lelahnya serasa dihapuskan dengan candaan murid-muridnya.
            “gentian, gak boleh rebutan. Gak usah lari-lari. Jangan lupa diulang ngajinya di rumah.” Nafa berkomat-kamit mengingatkan. Setelah anak-anak, barulah ibu-ibu yang mengantarkan anaknya berpamitan.
            “makasih ya bu. Pamit dulu. Assalamualaikum,”
            “waalaikumsalam,” jawab Nafa seraya tersenyum. Ada kelegaan tersendiri tiap kali melihat anak-anak pulang dari mengaji. Seperti ada sedikit konstribusi yang ia berikan untuk dunia yang sudah penuh dengan caruk-maruk tidak kearuan. Ia hanya berharap agar murid-muridnya tumbuh menjadi orang yang sukses dan berguna bagi bangsa dan agama. Ah, doa yang klise bukan?
            Ia tengah memberesakan bangku yang telah digunakan untuk mengaji tadi, ketika ada suara salam yang diucapkan dari pintu.
            Dua orang laki-laki berdiri dan melihat ke arahnya.
            “wa’alaikumsalam?” Nafa menghampiri dengan kepala penuh tanda tanya. Siapa mereka? Ada keperluan apa? Apakah ada undangan lomba TPQ lagi seperti dulu?
            “boleh kami masuk dulu?”
            “silahkan,”
            Sebenarnya ia merasa tidak enak menerima tamu di musholla. Tapi mau bagaimana lagi? Menerima mereka dengan berdiri bukankah lebih tidak sopan lagi? Seenggaknya dia harus tau dulu apa kepentingan mereka. Dan kemungkinan besar tentang TPQ. Apalagi?
            “jadi? Ada keperluan apa ngge?” tanya Nafa.
            “perkenalkan, saya Haidar dan ini teman saya Zidan,” laki-laki berbaju kotak-kotak itu melirik temannya yang memakai baju putih.
            “saya Nafa,” balas Nafa mencoba ramah, meskipun rasanya canggung sekali. Entah karena ia yang memang tidak terbiasa berhadapan dengan laki-laki sendirian, ataukah ada hal lain yang membuat hawa di sini tiba-tiba aneh sekali.
            “ini mbak, temen saya mau ngomong sesuatu,” Haidar menyenggol lengan Zidan.
            Nafa menemukan gelagat yang berbeda. Entahlah, tiba-tiba saja ia merinding dan takut sekaligus.
           “maaf sebelumnya kalau sudah mengganggu waktu ukhti.” Pemuda bernama Zidan itu mengangkat suara. Suara yang entah kenapa sejenak membuat Nafa tercekat. Ada karisma di sana.
            “jadi, maksud kedatangan saya ke sini ingin bertanya beberapa hal pada ukhti. Apa ukhti, maaf, sudah menikah?”
            Deg! Pertanyaan macam apa itu? dan secara tiba-tiba!
            “apa saya terlihat seperti perempuan yang sudah menikah?” Nafa mencoba menjawab dengan guyonan. Padahal hatinya dag dig dug tidak karuan.
            Pemuda itu tertawa.
            “enggak kok, malah kelihatan seperti masih SMA,” timpal pemuda itu yang langsung disikut temannya yang bernama Haidar. Zidan istighfar, seakan mencoba mengembalikan kesadarannya kembali. Ia lalu melihat Nafa.
            “kalau calon?”
            “eh?” mata Nafa membulat, dan jantungnya memukul-mukul dari balik dadanya dengan keras. Ia sangat terkejut, sungguh! Apa sebenarnya maksud kedatangan dua pemuda asing ini?
            “maaf, sebenarnya ini ada apa ya?” Nafa mencoba bertanya.
            “boleh saya jelaskan di rumah ukhti saja?”
            “rumah saya? Maksudnya?”
            Pemuda itu tersenyum lagi. “boleh saya minta alamat rumah sama nomor hapenya? Insyaallah saya mau silaturrahmi ke rumah ukhti.”
            Tunggu! Silaturrahmi? Bukankah aku dan dia baru saja bertemu? Batin Nafa.
            Pemuda itu menyodorkan kertas.
            “saya kemarin-kemarin tanya sama ibu-ibu sekitar sini alamatnya ukhti, tapi tidak ada yang tau. Katanya ukhti bukan orang sini. Makanya itu saya nekad menanyakan langsung sama ukhti.
            Jujur, Nafa speechless!! Ia tidak pernah membayangkan akan dihadapkan dengan situasi yang seperti ini. Dia kira, setelah anak-anak pulang tadi, ia bisa segera balik ke kamar dan beristirahat. Tapi???
            “insyaallah saya tidak macam-macam kok ukhti. Saya cuma berniat baik.”
            Niatnya memang baik, tapi hati Nafa yang tidak bisa menerima dengan baik! Berkali-kali Nafa menenangkan hatinya, agar bisa lebih bijak dalam berpikir dan tidak terlalu ceroboh. Jika dilihat dari penampilannya, dia tampak seperti orang baik. Dari tutur katanyapun juga tidak ada sifat jahat. Dari sorot matanya, Nafa bisa tau kalau yang dikatakan pemuda itu memang tulus. Tapi tetap saja ia bingung.
            Entah kenapa Nafa menggerakkan jari menuliskan alamat rumahnya.
            “apa akhi tidak menanyakan pendapat saya dulu? Kita baru saja bertemu.”
            “Insyaallah nanti saya jawab semua di rumah ukhti.
            akhi belum mengenal saya,”
            “kita bisa ta’aruf setelah saya minta izin ke orang tua ukhti dulu.”
            Ini apa-apaan! Horror sekali!!! Saat itu yang berada di pikiran Nafa, bagaimana caranya agar bisa keluar dari sana! Ia benar-benar tidak siap! Urusan pemuda bernama Zidan itu, bisa dipikir belakang. Tidak baik diambil serius terlebih dahulu. Toh, ia juga belum tentu akan ke rumah Nafa ataukah tidak. Jangan-jangan cuma modus. Anggap saja seperti itu.
            “maaf, jika tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, saya balik dulu.”
            “lhoh, nomornya gak ditulisin juga mbak?” Haidar berkata.
            “harus pake nomor juga?”
            “jaga-jaga kalau nanti kesasar pas ke sana,”
            Nafa mengambil kertas itu dan menulis deretan angka di sana.
085815 xxx xxx (Ayah)
            Lalu meninggalkan kedua pemuda itu setelah mengucap salam. Hatinya tidak karuan. Kepalanya bingung, tidak tau mana yang harus dicerna dan dipikirkan terlebih dahulu. Dalam perjalanan pulang ia teringat seseorang. Seseorang yang memberikan harapan masa depan bersamanya, namun tak kunjung menegaskan hubungan mereka. Berkata mengikhlaskan, tapi tak bisa melepaskan. Belum berani memastikan, namun masih mengikatnya. Dengannya yang saling menitipkan salam rindu lewat doa. Begitupun ikatan yang terlepas di bibir namun terikat dalam doa. Mungkin.
            Dalam lamuannya, ada harapan agar pemuda tadi tidak benar-benar ke rumahnya.



SNJ, 190518

0 komentar: