Minggu, 18 November 2018

UIN MALANG BUTUH UANG?



Sebenarnya, bukan tipeku mengomentari tentang suatu kinerja lembaga atau pemerintah lewat tulisan seperti ini. Tapi kali ini, jika aku tidak ikut ‘action’ dan hanya menjadi ‘pengamat’ di belakang layar seperti biasanya, sepertinya aku tak ubahnya seperti patung di pinggir jalan. Tak ada gunanya. Karena itu aku menulis ini untuk meneriakkan suaraku, juga suara teman-temanku yang lain.
Ini tentang pembayaran UKT/SPP yang (sangat) dimajukan.

Semenjak aku di UIN, pembayaran UKT selalu terletak di hari akhir ujian semester hingga liburan hampir usai. Tapi gak tau kenapa, tiba-tiba aja pembayaran UKT semester ini dimajukan. Mulai tanggal 19 Nov – 21 Des. Tentu saja aku shock! Anak-anak semester bawah (kimia) saja masih belum selesai praktikum, pembayaran UKT udah dimulai saja dan ditutup pas ujian semester juga belum selesai. Sedangkan (kami) mahasiswa veteran yang berbesar harap dapat mengejar sidang skripsi semester ini, malah harus kalang kabut memikirkan cara  agar tidak ikut bayar UKT semester depan. Bayangkan saja, kami sudah habis banyak buat penelitian dan tanggungan laboratorium, malah di-pepet sama pembayaran UKT hanya untuk daftar yudisium. It’s mean, seakan kami memberikan uang pada UIN dengan percuma. Padahal kami sudah tidak ikut perkuliahan, pun tidak ikut memakai bahan-bahan kimia dan fasilitas lab yang lain. Tapi kamu harus bayar UKT penuh. It’s not fair, right?

Beberapa temanku, sudah berusaha untuk meminta keringanan ke rektorat, tapi semua hasilnya nihil. Mereka ditolak.

Sebut saja jika soal sidang memang urusan kami. Tapi yang dipermasalahkan adalah waktu pembayaran UKT yang tidak wajar. Apa UIN BUTUH UANG? Sehingga meng-eksploitasi mahasiswanya lewat pembayaran yang dimajukan. Jika bagi mereka yang termasuk keluarga kalangan atas, mau kapanpun pembayaran UKT juga tak masalah. Tapi bagi kami? Mendapatkan uang untuk pembayaran UKT tak seperti memetik daun mangga di depan rumah. Kami hanya mahasiswa yang masih bergantung pada pundak orang tua. Memikirkan bagaimana mereka memeras keringat untuk biaya makan saja, kami sudah tak tega. Bagaimana mungkin kami mendesak pembayaran UKT setelah habis-habisan dengan biaya penelitian?

Jika saja UIN dapat menjawab, ingin sekali aku bertanya, “Kamu kenapa?”

Salam.
Siti Nur Jannah
(Kimia 2014)

0 komentar:

Kamis, 15 November 2018

Untukmu yang Pengen Lulus


Ah, udah lama rasanya gak cuit-cuit di sini. Yah, kemarin-kemarin hanya bersembunyi dibalik prosa-prosa sih. Selain itu, ada rantai yang seakan menarik tanganku tiap kali ingin bercengkrama lebih banyak di sini. (Apaan ya alay gini bahasanya. Hahaha).

Baiklah. Alasan aku nulis ini, adalah untuk kalian yang ingin segera lulus atau dalam tahap akhir menuju kelulusan. Bisa dibilang ini adalah curhatan yang mengkambing hitamkan tulisan. Atau bagaimanapun kalian menganggapnya, terserah. Yang jelas, ini untuk kalian yang berada dalam fasa perjuangan sepertiku. Kita sehati kawan. (Emotion peluk sambil nangis).

Kalian pasti pernah mengalami, pas jalan dikit, ditanya “kapan lulus?”
Belok kanan dikit, ditanya “kapan sidang?”
Kiri dikit, ditanya “kapan wisuda?”
Iya nggak?
Yaaah, itu memang hak netizen untuk bertanya, dan nasib kita untuk mendapat pertanyaan. Okelah. Sah-sah saja mereka bertanya, tapi tidak semua orang berhak untuk menghakimi hidup orang lain. Right?

Society kita adalah society yang mengedepankan hasil. Orang tidak peduli seberapa keras kamu berusaha. Selagi apa yang kau hasilkan menjanjikan, mereka akan menganggapmu sebagai orang yang lebih. Meskipun keringat yang kau keluarkan lebih banyak, meski usaha yang kau kerahkan lebih besar, jika hasilnya tidak memuaskan bagi masyarakat, semua itu gak ada artinya. Seperti halnya kuliah nih. Mereka gak pernah tuh nanya apa yang kuteliti di lab. Seberapa pentingkah penelitian itu dilakukan? Kira-kira dampak apa yang bakal berpengaruh dalam masyarakat? Seberapa sulitkah? (Kecuali penguji utama, pembimbing dan konsultan. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak bertanya).

Yang mereka pedulikan hanya satu. Foto memakai toga, ditemani ayah bunda. Sama pasangan kalau yang ada. Hhh, kalau foto pake toga aja mah semua bisa. Padahal yang paling penting bukan foto pake toganya, tapi perjuangan yang dilakukan sebelum memakai toga.

Akhir-akhir ini, teman-temanku di sini mulai kalang kabut soal wisuda karena batas pembayaran UKT udah semakin dekat. Siapa coba yang gak pengen segera lulus? Siapa yang gak pengen segera sidang dan wisuda? Siapa yang pengen bayar UKT cuma buat daftar wisuda?
Akhirnya, status-status galau mulai memenuhi story-ku. Aku juga galau, tapi gak buat di story. Di twitter. (Sama aja ya? Hahaha).

Begitulah. Jadinya aku mulai adu mulut dengan pikiran dan hatiku, hingga akhirnya muncullah tulisan-tulisan ini. Boleh saja kita berencana, tapi bukankah tidak semua hal bisa dipaksakan? Tidak semua hal bisa dirancang lalu tak meleset perkiraan. Kita bukan pemilik waktu, juga bukan pemilik kehidupan. Dan lagi, “lulus” sebenarnya hanyalah duniawi kawan. Udahlah, gak papa meskipun gak lulus semester ini. Gak papa meski harus bayar UKT lagi cuma buat daftar wisuda. Gak usah terlalu mengejar tanggal, yang notabennya kita mengejar dunia. Bersyukurlah. Bersyukur karena Allah masih masih ngasih kita mata buat begadang di depan laptop ngerjain skripsi. Masih ngasih kita mulut, meskipun terkadang digunakan untuk mengeluh, gak hanya presentasi. Masih ngasih kita kaki buat kejar-kejaan sama dosen sedari pagi sampe sore hari. Masih ngasih kita akal untuk berpikir tentang kemaslahatan (mungkin) setelah kita lulus nanti. Masih ngasih kita hati, yang seringkali tersakiti saat konsultasi (ini curhat). Dan yang paling penting, masih ngasih kita napas yang seharusnya kita gunakan untuk memperbaiki diri.

Pernah bayangin gak jika tiba-tiba Allah ngehentiin langkah kita dan kita gak bisa menelusuri bumi lagi? Banyak hal yang kita hasratkan, tapi Allah bilang, “STOP!” dan semuanya akan berhenti. Tidak seperti di jalan raya. Jika lampu berwarna kuning, berarti pertanda untuk siap-siap berjalan lagi. Namun jika Allah yang memberikan kita lampu merah, dunia yang bakal kita jelajahi bakal berbeda lagi.

Subahanallah wal Hamdulillah wa Lailahaillallah Allahuakbar

Jadi temen-temen, yuk kita tata niat kembali. Yuk kita perbaiki hasrat kembali. Tidak apa-apa meskipun (dianggap) terlambat dibandingkan orang lain. Tidak apa-apa meskipun tidak seperti orang lain. Orang lain hanya penilai di dunia, tapi Sang Penilai sebenarnya adalah Allah. Buat apa jika banyak tambahan huruf dibelakang nama tapi nilainya kosong di hadapan Allah?

Yuk sama-sama berjuang.
Tahap juang itu, berjuang sendiri – diperjuangin – berjuang bareng deh. Hahaha

Salam sayang,
Siti Nur Jannah

0 komentar:

Senin, 12 November 2018

Malang, 12 November 2018


Sore tadi, aku buru-buru pulang dari kampus. Langit mendung, dan aku tak mau merelakan tubuhku terguyur hujan atau lebih parahnya laptop dalam tas dipunggungku kenapa-napa. Saat ini, laptopku adalah prioritas. Banyak hal yang tersimpan di dalamnya. Selain tulisan-tulisanku, naskah skripsi adalah penentu hidup dan matiku di bangku kuliah yang sudah mulai menyesakkan ini.
Motor kupacu, dan kuterjang kendaraan di depanku selincah yang aku bisa. Kepalaku sebenarnya penat. Sedari pagi aku menunggu dosen, yang ujung-ujungnya malah tak bisa ditemui. Apalagi kejadian menyebalkan ketika satu pesatu –yang mengaku- temanku menyerobot antrian ketika kutinggal sholat. Yah, kadang statu teman memang tidak ada artinya jika berhubungan dengan hal-hal seperti ini. Daripada adu mulut, aku memilih untuk diam saja. Dan ketika hampir giliranku maju, ternyata dosenku hendak pergi. Apalah daya? Besok aku harus ujian bahasa arab, sedangkan aku harus daftar akhir pekan ini jika ingin lulus di semester ini.
Pusing? Tentu saja. Tapi sembari berjalan, aku mulai menoba menenangkan diriku sendiri. Jika aku terus-terusan kepikiran seperti ini, bukannya memberi solusi malah membuatku semakin tersiksa. Benar bukan? Akhirnya aku mulai menat hatiku kembali lalu menyerahkan semuanya pada Allah. Waktuku memang mepet, tapi Sang Pemilik Waktu adalah Allah.
Maksud hati ingin beli makan dulu sebelum balik asrama, tapi kekhawatiran akan laptopku lebih besar. Akhirnya aku kembali dulu ke asrama, menaruh tas, lalu keluar dengan jalan. Saat itulah pikiranku mulai bercengkerama kembali. Tentang mendung.
Ah, aku lupa hendak menuliskan apa. Padahal aku sudah mewanti-wanti akan menulisnya. Tapi beginilah jika ide diterminalkan dulu, akhirnya ada yang nyangkut. Seingatku, tentang mendung yang belum tentu hujan lalu aku menghubungkan dengan perasaan. Ah, aku ingat. Tentang mendung yang kumaksud dalam perasaan ini adalah pacaran. Meskipun langit mendung, belum tentu hujan. Meskipun pacaran, belum tentu ke pelaminan. Intinya beegitulah. Padahal aku tadi merangkai dengan kata yang lebih baik, malah jadinya frontal seperti ini. Ya sudahlah cerita hari ini.

0 komentar:

Rabu, 07 November 2018

Malang, 7 November 2018


Mbak, gak ke kampus? mau minta ajarin.
Mbak Anna,ke kampus jam berapa? Mau minta anterin.
An, ke kampus gak?
Mbak Anna, dicari Pak Anton.
Mbak, disuruh ke kampus sekarang.
Mbak, disuruh konsul setengah 4.


Hhh, maksud hati ingin beristirahat sejenak, tapi panggilan berdatangan. Karena itulah aku bersyukur ada hujan deras yang tak kunjung berhenti ini. Jadi aku punya alasan untuk tidak ke kampus. Ah, seakan hujan berada di pihakku saja.

Akhir-akhir ini, aku memang seperti amplop dan perangko dengan kampus. Rasanya tiap pagi sape sore, di kampuuuus terus. Setiap orang, pastipunya titik jenuh kan ya? karena kemarin-kemarin dipaksa, akhirnya kayak kehilangan kesadaran gitu meskipun di kampus. Konsul ya konsul, revisi ya revisi. Tapi seakan ada yang hilang. Kosong. Rasanya beraaaat banget, sampe pengen nangis. Makanya hari ini niat gak ke kampus, eh malah banyak panggilan. Hhh,

Nah kan kemarin aku sempat patah hatii dry. Kirain aku bakal daftar minggu ini kan ya, eh konsultanku gak mau ngonsuli. Mintanya minggu depan aja. Kan terlanjur patah hati, ya udahlah nenangin diri dulu. Soalnya aku juga kejar-kejaran sama waktu dry... Klo gak cepet-cepet, aku musti bayar spp lagi. Dan aku gak mau. Lha kalau diundur, tentu saja waktuku semaki meepet kan?
Belum lagi harapan orang-orang di rumah yang pengennya cepert selesai. 
Kemarin-kemarin sih, orang rumah masih sering nanya-nanya gitu kapan semhas? kapan sidang?
Secara, aku kan ya di sini juga banyak yang musti dipikirin, jadinya langsung down dan nangis deh. Hingga akhirnya aku bilang, kalau aku sudah berusaha keras. Di sini aku juga bekerja keras. Jadi kalau ditanya-tanyain terus, aku kepikiran dan jadinya tekanan. 

Ya gimana, namanya juga semester akhir. Emang sih, apa yang kurasaan gak sebanding dengan mereka, tapi kan setiap individu punya batas maksimalnya sendiri. Saat menjadi seorang anak dan pelajar, batas masalahku segini. Kalau jadi orang tua, batas masalahku juga bakal beda lagi. Iya kan dry?

Ya gitu deh. Semoga aja ini hujannya sampe isya. Biar aku gak usah ngelesi juga. Hahaha
Pkoknya hari ini aku gak pengen ngapa-ngapain dulu. Baru besok, Let's start again!

Bismillah, doain ya dry....

0 komentar: