Jumat, 26 April 2019

26 April 2019 ~ Apa Kabar Hati?




Hai hati, bagaimana kabarmu hari ini?
Bicara tentang hati, aku juga tak terlalu mengerti. Aku pernah mencintai dengan sangat, seakan tidak ada yang selain dia. Aku juga pernah memperjuangkan dengan sangat agar kelak waktu yang kuhabiskan ketika tua nanti adalah bersama dia. Pada intinya, aku pernah menjadikan seseorang sebagai pusat duniaku. Tanpanya, duniaku tak akan lagi berputar. Yah, itu dulu sebelum aku memutuskan untuk mengakhiri perasaanku sendiri.
Bagaimana kabarku sekarang?
Jujur kuakui, layaknya singgahsana yang tadinya ada seseorang bertahta lalu tiba-tiba menghilang, bukankah terasa kosong? apalagi jika kau sendiri yang mengusirnya pergi. Jika sebelumnya jariku dengan mudah membahasakan rasa, aku jadi kesulitan merangkai kata. Namun, bukan berarti keputusanku untuk melepasnya adalah sebuah penyesalan. Sungguh tidak. Justru aku berterimakasih dengan kehadiran dan keabsenannya membuatku belajar banyak hal.
Terkadang, ada saja angin yang membawa kabar tentangnya. Aku juga penasaran sebenarnya. Ingin bertanya, tapi memulai pembicaraan adalah hal yang kurang bijak jika ingin mengikhlaskan. Berharap berjumpa, juga hal yang terbesit dalam benak untuk sekedar melepas rindu yang masih tersisa. Sekalipun aku dalam usaha untuk melepaskan, tidak serta merta ia terhapus sekaligus layaknya flashdisk yang diformat bukan? Dan yang bisa kulakukan adalah menahan dan bertahan sembari sesekali berbisik dan bertanya apakah ia masih mengingatku ataukah tidak. Wajar bukan?
Aku hanya berharap, apapun yang akan datang nantinya adalah yang terbaik dan diridhoi Tuhan. Aku dan dia adalah kisah yang pernah dijadikan kita. Hanya karena tak lagi ‘kita’, bukan berarti harapan baik tersisihkan begitu saja. Terimakasih untuk setiap kisah yang mengajarkan kehidupan, mendekatkan pada Tuhan.


~snj

0 komentar:

Senin, 22 April 2019

Izinkan Aku Mencintaimu




“Assalamualaikum. Mau minta izin, bolehkah aku menyukaimu?”
Sebuah pesan masuk dari messenger-ku. Keningku berkerut bertanya-tanya siapa. Biasanya kebanyakan mereka yang mengirim pesan padaku mengucapkan salam terlebih dahulu yang belum tentu kubalas. Tergantung apakah aku mengenalnya ataukah tidak. Karena sebagian besar dari mereka pasti ujung-ujungnya minta nomor WA atau ingin mengenal lebih jauh. Lebih parah, ada yang terang-terangan bilang ingin berniat serius. Ah, bosan sekali aku menanggapi. Selain itu, aku heran saja bagaimana bisa seseorang menyukai orang lain lewat medsos? Maksudku, media sosial adalah dunia maya. Kita tak bisa menyimpulkan karakter seseorang dari sekedar postingan atau foto yang mereka unggah bukan? Bagaimanapun juga, aku tak terlalu suka hubungan yang dimulai dari dunia maya. Makanya itu, aku selalu menyeleksi ketat siapa yang hendak kubalas. Salah satunya, stalking dulu siapa yang mengirim pesan. Sebelum membalas, kusentuh icon profil dan melihat sekilas tentang si pengirim pesan. Aku tak mencari terlalu jauh, aku hanya melihat kalau ia santri di pondokku dahulu. Berada di almamater yang sama, bukankah  tak baik jika bersikap cuek dan dingin?
            “Waalaikumsalam. Silahkan, itu hak anda.”
            Lalu kububuhi emoticon tangan meminta maaf. Sudah ramah kan? Bukannya aku tak mau membuka ruang komunikasi dengan orang lain atau apa, tapi aku tengah menjaga jarak sekaligus hatiku agar tak lagi jatuh pada rasa yang tidak semestinya. Aku ingin jika jatuh cinta, hanyalah kepada ‘dia’ yang mengucapkan janji suci di depan ayah.
            Beberapa saat, balasan muncul.
            “terimakasih”
                Aku hanya melihatnya lalu menutup gawaiku. Kurebahkan punggungku di kasur sembari menatap langit-langit kamar. Satu persatu berbagai tanggung jawab yang belum kuselesaikan memenuhi kepalaku. Belum lagi masalah-masalah yang sudah atau masih dalam tahap penyelesaian. Berada di tahun akhir kuliah, adalah masa terberat yang pernah kualami. Tak cukup dengan tekanan selama penelitian ketika di kampus, TPQ yang aku diamanahi untuk mengelola, siswa-siswa les yang aku dipercayai untuk membantu belajar, topik pembicaraan orang tua yang sudah mengarah pada pernikahan, dan lain sebagainya. Aku benar-benar bingung.
            Aku menutup mata, menikmati kepalaku yang cenat-cenut entah kenapa. Hingga akhirnya aku terlelap. Namun masalah-masalah itu malah ikut masuk dalam mimpiku. Yah, alam bawah sadarku membawanya serta. Ingin sekali aku berteriak,
            “pergilah, aku ingin istirahat sejenak”
Tapi mereka enggan meninggalkan.
---***---
            neng, gimana kabarnya?”
            Sebuah pesan whatsapp masuk, dari seseorang yang aku pernah menjadikannya istimewa. Sekarang? aku berharap tidak lagi.
            “alhamduliah baik,”
            Balasku lalu beralih pada tumpukan jurnal yang harus kupelajari. Penelitianku di lab tadi gagal. Aku harus mencari alasan dan mencari solusi darinya dengan menyusuri setiap kata pada jurnal yang sudah diverifikasi oleh dunia. Dan yah, tentu saja semua teksnya berbahasa inggris. Semoga kalian mengerti betapa kerasnya usaha yang diperukan untuk memahami teks berbahasa inggris.
            “kangen,” balasnya kemudian. Aku menarik napas panjang. Dalam hati aku merintih, kumohon jangan lagi. Aku sudah bersyukur ia tak lagi menghubungiku beberapa minggu terakhir ini setelah kutodong dengan keseriusannya kembali padaku. Dan ketika ia masih ngalor-ngidul gak jelas, aku sudah memutuskan untuk tak lagi percaya. Tapi masalahnya hatiku tak bisa menyerah dengan mudah. Pintu hatiku selalu terketuk tiap kali ia datang. Lalu meninggalkan kekosongan saat pergi. Sedangkan ia tak pernah benar-benar memutuskan akan tinggal atau pergi dengan tegas. Ia datang lalu kembali dengan seenaknya sendiri. Logikaku menolak, lalu mengusirnya pergi. Tapi bukankah kita harus menjaga hubungan baik dengan saudara sesama kita?
            “iya,” jawabku sesingkat mungkin.
            “aku masih belum berani ke orang tuamu.”
            Yang benar saja? Dia kira orang tuaku singa kelaparan yang akan menerkam jika ada yang mendekat? Sungguh, aku tak suka dengan sifat mudah menyerahnya sebelum berusaha. Tak hanya soal ini. Lalu sifat plin-plannya yang sulit sekali memberi keputusan. Tapi jangan bertanya kenapa hatiku tertaut padanya, karena yah, cinta memang buta. Dulu, aku memang pernah mencintai dengan buta. Tapi umurku beertambah, dan aku tak mencari cinta yang buta, tapi cinta yang berkah.
            “ya udah,”
            Selesai. Aku tak mau lagi terperangkap dalam labirin yang tidak ada ujungnya. Aku menuntut penyelesaian, ia selalu berputar-putar. Dan ini bukan kisah yang bisa diperjuangkan oleh satu orang. Jadi, aku menyerah. Aku masih punya hal-hal lain yang harus kuselesaikan sendiri, dan bisa kuselesaikan sendiri.
---***---
Jangan bilang cinta kepadaku, tapi bilanglah pada orang tuaku lalu bertanyalah pada Allah.
            Aku menulis snapgram dan membagikannya. Beberapa saat kemudian ada yang membalas.
            “terlalu jauuuuuh”
            Dari orang yang kemarin minta izin menyukaiku. Keningku berkerut. Apa maksudnya ia membalas seperti itu? Satu perasaan yang kurasakan saat itu, ia meremehkan tulisanku. Dan aku paling sensitive jika ada orang yang menyentuh ranah tulisanku. Entah kenapa rasanya ia tak begitu menghargai tulisanku. Tak hanya hari ini, hari-hari selanjutnya ia juga membalas snapgramku dengan mengomentari pemikiranku yang terlalu jauh. Sebanyak ia membalas, sebanyak itupula kuabaikan. Bukankah yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan? Oke fix, aku tak bisa dekat dengan orang yang tak menghargai tulisan dan pemikiran-pemikiranku. Apalagi ketika kulihat, ternyata ia adalah salah satu teman’nya’. Itu sudah cukup untuk menambah kecanggungan jika salah satu diantara mereka bercerita tentangku. Bukannya aku bermain ramal-meramal, aku hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nantinya. Dan setiap keputusanku, akan berpengaruh pada apa yang terjadi selanjutnya. Jadi aku memutuskan untuk mengabaikannya, mengabaikan semuanya.
            Saat ini aku sudah memutuskan untuk menjaga hatiku lebih ketat lagi. Memasang perisaiku lebih tebal lagi. Memantaskan diri untuk lebih baik lagi. Karena aku percaya, jika seseorang itu adalah yang akan menyempurnakan sebagian imanku, maka dinding setebal apapun akan runtuh. Parit sejauh apapun akan terlewati dengan mudah. Ayah dan ibu juga menerima dengan bahagia ketika ia datang menawarkan cinta dengan cara yang seharusnya. Cara yang diridhoi oleh-Nya. Siapapun itu, aku masih menantinya. ^_^

0 komentar:

Minggu, 14 April 2019

Aku Ingin Menulis Lagi


Aku ingin menulis lagi. Melihat jajaran naskah yang tercecer di laptopku, membuatku sedih sekaligus marah pada diriku sendiri. Aku ingin menyelesaikannya, namun entah kenapa tiap kali ingin menulis, jari-jariku langsung stagnan, males digerakin. Nyebelin banget kan? padahal sebelumnya dipikiran udah terbayang tuh gimana kronologi-kronologinya. Trus terkadang dialognyapun udah tergambar. Tapi pas ngadep laptop, byaar!!! Buyar semua.
Berdasarkan penelitian dan prasangka yang tak berdasar alias ngarang, ada beberapa alasan yang membuatku sulit untuk menulis lagi. Pertama, motivasi. Yah, aku seakan kehilangan motivasiku. Dulu, sehari gak nulis itu rasanya seperti dosa besar banget! Meskipun nulisnya manual pake tangan, ngabisin berlembar-lembar kertas dan pena. Sekarang? boro-boro dah. Masih untung-untungan cuit-cuit di twitter dan status WA.
Kedua, pengaruh milenial. Adanya gadget dan mudahnya menjelajahi dunia lewat internet, membuatku sering lalai. Buka sosmed, udah deh nelusurinya sampe berjam-jam. Yang awalnya tadi udah niat banget nulis nih, jadi kalah sama malesnya.
Ketiga, urusan rumah tangga. Eits! Maksudnya bukan rumah tangga yang itu. Wong kepala rumah tangga-ku aja belum punya. Hahaha. Percayalah, berada di rumah membuatmu dua kali lebih sibuk dibandingkan dengan kuliah dan tugas-tugasnya. Apalagi kalau kamu adalah anak pertama yang memiliki adik-adik yang masih kecil. Wah, siap-siap dah! Selain pekerjaan rumah yang skalanya lebih besar dibandingkan di kos, seperti nyapu, masak, nyuci, ngepel dan banyak lainnya, ada orang selain dirimu yang harus diurusi. Adik-adik, ayah dan ibu. Jadi pas nulis dikit, adik ngganggu. Nulis dikit, ayah manggil-manggil minta pijit. Nulis dikit, gentian yang lain. Kalau misal masang tanda kalau ‘lagi nulis, gak bisa diganggu’, besoknya langsung disindir karena gak keluar kamar seharian. Hhh.
Keempat, karena tidak ada objek tulisanku. Jujur saja kuakui, aku tak bisa menulis tanpa alasan. Jadi harus ada alasan yang membuatku merangkai kata sehingga menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dan yang paling dibutuhkan dalam menulis itu adalah ‘ke-baper-an’ tingkat dewa. Seiring bertambahnya usia, rasionalitasku semakin bertambah. Jadi tingkat kebaperanku juga semakin menurun seiring dengan menurunnya alasan menulisku. Yah, kalian tau sendirilah kalau pengarang itu metafora-nya harus meluap-luap. Nah, herannya diriku pada diriku yang sudah –mungkin- dewasa ini, masalah-masalah entah itu kehidupan atau asmara, jadinya dianggap biasa saja. Semacam, ‘ya udahlah, gak papa’. ‘ya udahlah, mau gimana’. ‘ya gak papa’. Jadi gak bisa se-alay dulu gitu. Hahaha. Entahlah, ini sebenarnya positif atau negatif. Dan lagi jika ingin menulis perihal cinta, sepertinya aku tak lagi mahir. Aku ingin sekali menulis tentang cinta, tapi aku tak sedang jatuh cinta. Aku ingin menulis tentang patah hati, tapi aku tak sedang patah hati. Rasanya aku sudah lupa bagaimana cara mencintai dengan buta. Karena sekarang aku hanya mempercayai cinta yang berkah.
Itulah beberapa dugaan kenapa aku jadi jarang sekali nulis. Mau nulis diary tiap hari seperti dulu, kok kayak alay gitu ya. Hahaha. Bahkan terkadang, aku sampai lupa impianku yang ingin merubah dunia dengan tulisanku. (Miris). I wanna change this world with my word.
Bagaimanapun nantinya, hari ini aku masih belum menyerah dan tak akan pernah menyerah. Aku hanya berserah pada-Nya dan menjalani apapun yang digariskan untukku. Harapanku nantinya, semoga kelak ada seseorang yang akan mendekatkanku pada mimpiku kembali sekaligus semakin mendekatkanku pada Tuhan.
Jika itu kamu, kapan nih dateng?
Eak! Eak! Eak!

~snj
Ahad, 14 April 2019


0 komentar: