“Assalamualaikum.
Mau minta izin, bolehkah aku menyukaimu?”
Sebuah pesan masuk dari messenger-ku. Keningku
berkerut bertanya-tanya siapa. Biasanya kebanyakan mereka yang mengirim pesan
padaku mengucapkan salam terlebih dahulu yang belum tentu kubalas. Tergantung
apakah aku mengenalnya ataukah tidak. Karena sebagian besar dari mereka pasti
ujung-ujungnya minta nomor WA atau ingin mengenal lebih jauh. Lebih parah, ada
yang terang-terangan bilang ingin berniat serius. Ah, bosan sekali aku
menanggapi. Selain itu, aku heran saja bagaimana bisa seseorang menyukai orang
lain lewat medsos? Maksudku, media sosial adalah dunia maya. Kita tak bisa
menyimpulkan karakter seseorang dari sekedar postingan atau foto yang mereka
unggah bukan? Bagaimanapun juga, aku tak terlalu suka hubungan yang dimulai
dari dunia maya. Makanya itu, aku selalu menyeleksi ketat siapa yang hendak
kubalas. Salah satunya, stalking dulu siapa yang mengirim pesan. Sebelum
membalas, kusentuh icon profil dan melihat sekilas tentang si pengirim pesan. Aku
tak mencari terlalu jauh, aku hanya melihat kalau ia santri di pondokku dahulu.
Berada di almamater yang sama, bukankah
tak baik jika bersikap cuek dan dingin?
“Waalaikumsalam. Silahkan, itu hak anda.”
Lalu
kububuhi emoticon tangan meminta maaf. Sudah ramah kan? Bukannya aku tak mau
membuka ruang komunikasi dengan orang lain atau apa, tapi aku tengah menjaga
jarak sekaligus hatiku agar tak lagi jatuh pada rasa yang tidak semestinya. Aku
ingin jika jatuh cinta, hanyalah kepada ‘dia’ yang mengucapkan janji suci di
depan ayah.
Beberapa
saat, balasan muncul.
“terimakasih”
Aku hanya melihatnya lalu menutup gawaiku. Kurebahkan
punggungku di kasur sembari menatap langit-langit kamar. Satu persatu berbagai tanggung
jawab yang belum kuselesaikan memenuhi kepalaku. Belum lagi masalah-masalah
yang sudah atau masih dalam tahap penyelesaian. Berada di tahun akhir kuliah,
adalah masa terberat yang pernah kualami. Tak cukup dengan tekanan selama
penelitian ketika di kampus, TPQ yang aku diamanahi untuk mengelola,
siswa-siswa les yang aku dipercayai untuk membantu belajar, topik pembicaraan
orang tua yang sudah mengarah pada pernikahan, dan lain sebagainya. Aku benar-benar
bingung.
Aku
menutup mata, menikmati kepalaku yang cenat-cenut entah kenapa. Hingga akhirnya
aku terlelap. Namun masalah-masalah itu malah ikut masuk dalam mimpiku. Yah,
alam bawah sadarku membawanya serta. Ingin sekali aku berteriak,
“pergilah,
aku ingin istirahat sejenak”
Tapi mereka enggan meninggalkan.
---***---
“neng, gimana kabarnya?”
Sebuah pesan whatsapp masuk, dari seseorang
yang aku pernah menjadikannya istimewa. Sekarang? aku berharap tidak lagi.
“alhamduliah
baik,”
Balasku
lalu beralih pada tumpukan jurnal yang harus kupelajari. Penelitianku di lab
tadi gagal. Aku harus mencari alasan dan mencari solusi darinya dengan
menyusuri setiap kata pada jurnal yang sudah diverifikasi oleh dunia. Dan yah, tentu
saja semua teksnya berbahasa inggris. Semoga kalian mengerti betapa kerasnya
usaha yang diperukan untuk memahami teks berbahasa inggris.
“kangen,”
balasnya kemudian. Aku menarik napas panjang. Dalam hati aku merintih, kumohon
jangan lagi. Aku sudah bersyukur ia tak lagi menghubungiku beberapa minggu
terakhir ini setelah kutodong dengan keseriusannya kembali padaku. Dan ketika
ia masih ngalor-ngidul gak jelas, aku sudah memutuskan untuk tak lagi
percaya. Tapi masalahnya hatiku tak bisa menyerah dengan mudah. Pintu hatiku
selalu terketuk tiap kali ia datang. Lalu meninggalkan kekosongan saat pergi. Sedangkan
ia tak pernah benar-benar memutuskan akan tinggal atau pergi dengan tegas. Ia datang
lalu kembali dengan seenaknya sendiri. Logikaku menolak, lalu mengusirnya
pergi. Tapi bukankah kita harus menjaga hubungan baik dengan saudara sesama kita?
“iya,”
jawabku sesingkat mungkin.
“aku
masih belum berani ke orang tuamu.”
Yang
benar saja? Dia kira orang tuaku singa kelaparan yang akan menerkam jika ada
yang mendekat? Sungguh, aku tak suka dengan sifat mudah menyerahnya sebelum
berusaha. Tak hanya soal ini. Lalu sifat plin-plannya yang sulit sekali memberi
keputusan. Tapi jangan bertanya kenapa hatiku tertaut padanya, karena yah,
cinta memang buta. Dulu, aku memang pernah mencintai dengan buta. Tapi umurku
beertambah, dan aku tak mencari cinta yang buta, tapi cinta yang berkah.
“ya
udah,”
Selesai.
Aku tak mau lagi terperangkap dalam labirin yang tidak ada ujungnya. Aku menuntut
penyelesaian, ia selalu berputar-putar. Dan ini bukan kisah yang bisa
diperjuangkan oleh satu orang. Jadi, aku menyerah. Aku masih punya hal-hal lain
yang harus kuselesaikan sendiri, dan bisa kuselesaikan sendiri.
---***---
Jangan bilang
cinta kepadaku, tapi bilanglah pada orang tuaku lalu bertanyalah pada Allah.
Aku
menulis snapgram dan membagikannya. Beberapa saat kemudian ada yang membalas.
“terlalu
jauuuuuh”
Dari
orang yang kemarin minta izin menyukaiku. Keningku berkerut. Apa maksudnya ia
membalas seperti itu? Satu perasaan yang kurasakan saat itu, ia meremehkan
tulisanku. Dan aku paling sensitive jika ada orang yang menyentuh ranah
tulisanku. Entah kenapa rasanya ia tak begitu menghargai tulisanku. Tak hanya
hari ini, hari-hari selanjutnya ia juga membalas snapgramku dengan mengomentari
pemikiranku yang terlalu jauh. Sebanyak ia membalas, sebanyak itupula
kuabaikan. Bukankah yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan? Oke
fix, aku tak bisa dekat dengan orang yang tak menghargai tulisan dan
pemikiran-pemikiranku. Apalagi ketika kulihat, ternyata ia adalah salah satu teman’nya’.
Itu sudah cukup untuk menambah kecanggungan jika salah satu diantara mereka
bercerita tentangku. Bukannya aku bermain ramal-meramal, aku hanya memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nantinya. Dan setiap keputusanku, akan
berpengaruh pada apa yang terjadi selanjutnya. Jadi aku memutuskan untuk
mengabaikannya, mengabaikan semuanya.
Saat
ini aku sudah memutuskan untuk menjaga hatiku lebih ketat lagi. Memasang
perisaiku lebih tebal lagi. Memantaskan diri untuk lebih baik lagi. Karena aku
percaya, jika seseorang itu adalah yang akan menyempurnakan sebagian imanku,
maka dinding setebal apapun akan runtuh. Parit sejauh apapun akan terlewati
dengan mudah. Ayah dan ibu juga menerima dengan bahagia ketika ia datang
menawarkan cinta dengan cara yang seharusnya. Cara yang diridhoi oleh-Nya. Siapapun
itu, aku masih menantinya. ^_^
0 komentar: