Minggu, 18 Agustus 2019

Pada Kisah yang Pernah Part 1




            “aku istikhoroh, dan Allah tidak memberikan jawaban apa-apa,” ucapnya dengan wajah sedikit tertunduk. Angin menerbangkan ujung jilbabku. Dinginnya tiba-tiba menembus hatiku. Sepertinya angin itu adalah pisau, karena ia seakan menyayat samar hatiku. Ada luka yang terbentuk dan sedikit perih yang terasa. Aku menarik napas dalam. Berusaha mengendalikan perasaanku, lalu tersenyum.
            “kenapa kamu tersenyum?” tanyanya seakan heran dengan tanggapanku.
            “aku bersyukur karena Allah memberikan tanda akan kelanjutan kita.”
            “tanda bagaimana?”
            “tidak ada jalan. Allah tidak mengizinkan aku berjalan bersamamu.”
            “kamu tidak ingin berjalan bersamaku? Mengarungi masa depan bersamaku?”
            Aku terkekeh. “tentu saja ingin. Siapa yang tidak ingin menjadi makmum lulusan pesantren sepertimu? Seorang pengajar dengan sifat penyayang, putra seorang kyai dan sering diberikan amanah untuk menggantikan ayahnya, seorang laki-laki yang sangat menghormati dan menyayangi ibunya, seorang pemimpin grup sholawat dengan suara yang bisa menghipnotis kaum hawa, seseorang yang bertanggung jawab dan bekerja keras serta bermimpi besar dengan usaha yang ditekuninya, seseorang yang dia layaknya kumpulan dari doa-doa yang kupanjatkan.”
            Dia tersipu. Wajahnya memerah. Kulit putihnya adalah kelemahannya. Dan senyumannya adalah kelemahanku. Hatiku berdesir, namun aku harus segera menetralisir.
            “kamu juga baik. Aku bisa melihatnya meskipun baru dua kali bertemu dengamu. Kamu ramah pada setiap orang yang kau temui. Kamu sosok penyayang dan pengertian. Kamu juga lulusan pesantren. Bahkan kamu juga selalu menjadi bintang kelas mulai sekolah dasar hingga Aliyah. Kuliahmupun juga di bidang yang menurutku ekstrim dan uji nyali. Kakekmu adalah teman berjuang ayahku, yang berarti darah kakekmu yang memiliki darah kyai salaf juga ada padamu. Kamu anak berbakti yang menyandarkan keputusan kepada ayah dan ibumu. Kamu muslimah yang baik dengan selalu menjaga diri dan pandanganmu. Aku saja kesulitan saat mencoba mendekatimu selama masa ta’aruf. Kamu juga menyayangi pengabdianmu dengan mengajar di sekolah pesantrenmu dulu. Kamu juga bermimpi besar dengan melakukan banyak hal yang orang lain belum tentu bisa. Kamu adalah calon tiang Negara yang patut diperjuangkan.”
Mendengarnya membeberkan sebanyak itu, membuat bibirku terkunci. Mataku bergetar karena tak tau harus berkata apa. Sepertinya sekarang ganti aku yang berada di posisinya. Akhirnya suasana hening. Aku dan dia saling terdiam dalam sepi, tanpa bisa menebak apa yang berada di pikiran masing-masing. Sesekali terdengar deruan angin yang ikut berbisik. Sayangnya ia tak sedang menyampaikan rindu yang biasanya kutitipkan padanya. Semoga ia juga tak membeberkan doa yang selalu kulangitkan setiap malam untuknya beberapa minggu terakhir ini.
“lalu bagaimana?” tanyanya memecah keheningan.
“apanya?”
“tentang kita,
“kesimpulannya sudah berada di awal percakapan kita,”
“orang tuamu sudah setuju dan keluarga kita sudah saling mendukung,” ucapnya.
“tapi Allah tidak. Aku memang milik orang tuaku. Tapi segala kehidupan di dunia ini milik Allah. Kamu pasti lebih tau.”
Matanya menatap ke bawah, lalu mengangkat suara. “yah, kamu benar. Dan karena itu aku mengatakan hasil istikhorohku padamu.”
“iya, aku mengerti.”
Suasana hening kembali. Aku dan dia saling tertunduk. Bagaimanapun juga, pertemuan ini akan menjadi akhir dari kisah yang pernah kuharapkan menjadi awal. Siapa yang tau takdir Tuhan? Aku hanya bisa memasrahkan pada-Nya.
“kamu orang baik, aku yakin dengan pasti.” Ia mengangkat wajah, lalu tersenyum.
“begitupula denganmu,” balasku seraya menarik dua ujung bibirku ke atas sejauh mungkin. Tapi sepertinya aku hanya bisa mengangkatnya sedikit.
“salamkan maafku untuk kedua orang tuamu. Aku menyesal telah mengecewakan mereka. Aku juga menyesal karena tak segera bertanya pada Tuhan setelah pertama kita dipertemukan. Aku menyesal telah membuatmu menunggu lama yang pada akhirnya mengecewakan. Maafkan aku.”
“Insyaallah akan kusampaikan. Mereka akan mengerti. Mereka tau kesibukanmu serta kabar duka tentang adikmu. Maaf dariku dan keluarga padamu dan keluarga di sana. Meskipun kita tidak disatukan dengan ikatan pernikahan, kita tetap disatukan dengan persaudaraan Islam.”
“kamu benar.”
“kamu orang baik, semoga mendapatkan yang terbaik.”
“begitupun denganmu.”
“aku pamit ngge. Assalamualaikum.” Salamku, menutup akhir dari pembicaraanku dengannya. Ah, ini pembicaraan terakhir yang akan kulakukan dengannya.
Kubalikkan badanku hendak mengambil langkah menjauhinya sebelum aku mendengar jawaban lirih, “waalaikumsalam, neng.”
Sayatan yang tadinya samar tiba-tiba semakin jelas dan membesar. Perihnya tak tertanggungkan. Genangan di mataku tidak bisa terbendung lagi. Mereka jatuh satu persatu membanjiri pipiku dan membasahi kerudungku. Angin berhembus kembali, namun ia tak mampu menyisihkan dukaku. Saat ini aku hanya ingin mengadu pada Allah, berserah lebih pada-Nya. Menguatkan diri dari cinta-Nya yang kali ini berbentuk ujian, lalu mencintai-Nya lagi dengan sejatuh-jatuhnya. Agar kelak ketika aku bertemu dengan ‘ia’ yang benar-benar digariskan untukku, ada Allah sebagai alasannya.

Pada kisah yang pernah.

0 komentar: