Pada Kisah yang Pernah Part 1
“aku istikhoroh, dan Allah tidak memberikan jawaban apa-apa,” ucapnya dengan wajah
sedikit tertunduk. Angin menerbangkan ujung jilbabku. Dinginnya tiba-tiba
menembus hatiku. Sepertinya angin itu adalah pisau, karena ia seakan menyayat
samar hatiku. Ada luka yang terbentuk dan sedikit perih yang terasa. Aku menarik
napas dalam. Berusaha mengendalikan perasaanku, lalu tersenyum.
“kenapa kamu
tersenyum?” tanyanya seakan heran dengan tanggapanku.
“aku
bersyukur karena Allah memberikan tanda akan kelanjutan kita.”
“tanda
bagaimana?”
“tidak ada
jalan. Allah tidak mengizinkan aku berjalan bersamamu.”
“kamu tidak
ingin berjalan bersamaku? Mengarungi masa depan bersamaku?”
Aku terkekeh.
“tentu saja ingin. Siapa yang tidak ingin menjadi makmum lulusan pesantren
sepertimu? Seorang pengajar dengan sifat penyayang, putra seorang kyai dan
sering diberikan amanah untuk menggantikan ayahnya, seorang laki-laki yang
sangat menghormati dan menyayangi ibunya, seorang pemimpin grup sholawat dengan
suara yang bisa menghipnotis kaum hawa, seseorang yang bertanggung jawab dan
bekerja keras serta bermimpi besar dengan usaha yang ditekuninya, seseorang
yang dia layaknya kumpulan dari doa-doa yang kupanjatkan.”
Dia tersipu.
Wajahnya memerah. Kulit putihnya adalah kelemahannya. Dan senyumannya adalah
kelemahanku. Hatiku berdesir, namun aku harus segera menetralisir.
“kamu juga
baik. Aku bisa melihatnya meskipun baru dua kali bertemu dengamu. Kamu ramah
pada setiap orang yang kau temui. Kamu sosok penyayang dan pengertian. Kamu juga
lulusan pesantren. Bahkan kamu juga selalu menjadi bintang kelas mulai sekolah
dasar hingga Aliyah. Kuliahmupun juga di bidang yang menurutku ekstrim dan uji
nyali. Kakekmu adalah teman berjuang ayahku, yang berarti darah kakekmu yang
memiliki darah kyai salaf juga ada padamu. Kamu anak berbakti yang menyandarkan
keputusan kepada ayah dan ibumu. Kamu muslimah yang baik dengan selalu menjaga
diri dan pandanganmu. Aku saja kesulitan saat mencoba mendekatimu selama masa
ta’aruf. Kamu juga menyayangi pengabdianmu dengan mengajar di sekolah
pesantrenmu dulu. Kamu juga bermimpi besar dengan melakukan banyak hal yang orang
lain belum tentu bisa. Kamu adalah calon tiang Negara yang patut diperjuangkan.”
Mendengarnya membeberkan sebanyak itu,
membuat bibirku terkunci. Mataku bergetar karena tak tau harus berkata apa.
Sepertinya sekarang ganti aku yang berada di posisinya. Akhirnya suasana hening.
Aku dan dia saling terdiam dalam sepi, tanpa bisa menebak apa yang berada di
pikiran masing-masing. Sesekali terdengar deruan angin yang ikut berbisik. Sayangnya ia tak sedang menyampaikan rindu yang biasanya kutitipkan padanya. Semoga ia juga tak membeberkan doa yang selalu kulangitkan setiap malam untuknya beberapa minggu terakhir ini.
“lalu bagaimana?” tanyanya memecah
keheningan.
“apanya?”
“tentang kita,”
“kesimpulannya sudah berada di awal
percakapan kita,”
“orang tuamu sudah setuju dan keluarga kita
sudah saling mendukung,” ucapnya.
“tapi Allah tidak. Aku memang milik orang tuaku.
Tapi segala kehidupan di dunia ini milik Allah. Kamu pasti lebih tau.”
Matanya menatap ke bawah, lalu mengangkat
suara. “yah, kamu benar. Dan karena itu aku mengatakan hasil istikhorohku
padamu.”
“iya, aku mengerti.”
Suasana hening kembali. Aku dan dia saling
tertunduk. Bagaimanapun juga, pertemuan ini akan menjadi akhir dari kisah yang
pernah kuharapkan menjadi awal. Siapa yang tau takdir Tuhan? Aku hanya bisa
memasrahkan pada-Nya.
“kamu orang baik, aku yakin dengan pasti.”
Ia mengangkat wajah, lalu tersenyum.
“begitupula denganmu,” balasku seraya menarik
dua ujung bibirku ke atas sejauh mungkin. Tapi sepertinya aku hanya bisa
mengangkatnya sedikit.
“salamkan maafku untuk kedua orang tuamu. Aku
menyesal telah mengecewakan mereka. Aku juga menyesal karena tak segera
bertanya pada Tuhan setelah pertama kita dipertemukan. Aku menyesal telah
membuatmu menunggu lama yang pada akhirnya mengecewakan. Maafkan aku.”
“Insyaallah akan kusampaikan. Mereka akan
mengerti. Mereka tau kesibukanmu serta kabar duka tentang adikmu. Maaf dariku
dan keluarga padamu dan keluarga di sana. Meskipun kita tidak disatukan dengan
ikatan pernikahan, kita tetap disatukan dengan persaudaraan Islam.”
“kamu benar.”
“kamu orang baik, semoga mendapatkan yang
terbaik.”
“begitupun denganmu.”
“aku pamit ngge. Assalamualaikum.”
Salamku, menutup akhir dari pembicaraanku dengannya. Ah, ini pembicaraan
terakhir yang akan kulakukan dengannya.
Kubalikkan badanku hendak mengambil langkah
menjauhinya sebelum aku mendengar jawaban lirih, “waalaikumsalam, neng.”
Sayatan yang tadinya samar tiba-tiba semakin
jelas dan membesar. Perihnya tak tertanggungkan. Genangan di mataku tidak bisa
terbendung lagi. Mereka jatuh satu persatu membanjiri pipiku dan membasahi
kerudungku. Angin berhembus kembali, namun ia tak mampu menyisihkan dukaku. Saat
ini aku hanya ingin mengadu pada Allah, berserah lebih pada-Nya. Menguatkan diri
dari cinta-Nya yang kali ini berbentuk ujian, lalu mencintai-Nya lagi dengan
sejatuh-jatuhnya. Agar kelak ketika aku bertemu dengan ‘ia’ yang benar-benar
digariskan untukku, ada Allah sebagai alasannya.
Pada kisah yang pernah.
0 komentar: