Selasa, 27 Agustus 2019

Pada Kisah yang Pernah Part 2


  


          
“Jika kita menikah nanti, ayah ingin kamu di rumah saja. Tidak usah bekerja,” ucapnya sembari membenahkan letak pecinya yang tidak miring. Matanya bergerak ragu, hendak menatapku ataukah tidak. Bagiku hal itu terlihat lucu, namun apa yang baru saja ia katakan mengalahkan hasratku untuk tersenyum simpul.
            “kenapa?” aku meminta penjelasan. Ia terdiam, seakan apa yang baru saja ia katakan bukan murni keinginannya. Jika iya, tentu saja dia akan mudah membeberkan alasannya.
            “ayahku tidak ingin menantu yang bekerja.”
            “aku tidak menganggap mengajar itu sebagai pekerjaan. Bagiku pengabdian.” Aku meluruskan.
            “jadi kamu tidak mau berhenti?”
            Aku menggeleng, “aku akan berhenti jika yang kulakukan merugikan orang lain. Tapi jika yang kulakukan bermanfaat untuk orang lain, aku tidak punya alasan untuk berhenti.”
            “kamu tetap tidak mau berhenti meskipun nantinya aku, suamimu yang melarangmu?”
            “suami yang baik akan mendukung istrinya.”
            “dan istri yang baik akan menuruti suaminya.”
            Kami terdiam. Suasana membisu. Sepinya bahkan bisa membuatku mendengar dentingan jam dari arlojiku.
            “Mengajar adalah impianku sedari dulu. Ada rasa kepuasan tersendiri ketika membagikan apa yang kutahu kepada anak-anak. Aku merasa lebih berguna dibandingkan hanya diam saja di rumah. Sekalipun aku tidak bisa menghamba dengan sempurna, setidaknya aku bisa sedikit berkontribusi dalam semesta yang diciptakan Tuhan.”
“sekalipun orang tuaku ingin menantu yang diam di rumah, ngurusi rumah?”
“Kamu juga seorang guru, seharusnya kamu bisa mengerti perasaanku. Pengabdianku tidak bisa disangsikan. Kamu tau, aku bukan tipe wanita yang seperti itu.”
            “yah, karena kamu yang ‘bukan seperti itu’lah yang membuatku terpaku.”
            Hatiku berdesir. Ia tak lagi menunduk. Matanya menatap lurus padaku seakan mengisyaratkan kalau ia bersungguh-sungguh. Kurasakan wajahku mulai memanas. Jika saja ada cermin di sana, mungkin aku bisa melihat pipiku yang memerah. Tak bisa mengatasi tatapan tajamnya, aku langsung menunduk. Aku harus mengendalikan perasaanku. Aku dan dia belum pada posisi bisa saling menatap dengan bebas.
            “meskipun aku tak mengatakannya, aku tau kamu tau kalau aku berharap baik padamu. Keluargaku juga mendukungku bersamamu, kecuali ayahku. Aku berharap kisah ini bisa dilanjutkan pada jalan yang lebih hakiki. Dan aku percaya jika jalan itu adalah bersamamu. Tapi…”
            “Iya, aku tau. Tapi kau bilang, hasil istikhorohmu tidak tembus.”
            “sebenarnya ayahku yang melakukannya, bukan aku.”
            Aku tertegun. Apa yang baru saja ia katakan sungguh mengejutkanku. Terakhir kali ia bilang, ia yang melakukan istikhoroh dan Allah tidak memberikan jawaban. Kukira itu pertanda kalau ia tak benar-benar mengharapkanku. Tapi mengetahui kalau ternyata ayahnya yang memberatkan, ada berkas kecil yang mengintip dalam relungku membentuk harapan. Harapan bahwa selama ini ia tulus, padaku.
            “lalu bagaimana?” tanyanya.
            “apanya?”
            “kita. Aku ingin menghentikan pencarianku.” Matanya mengunciku, namun segera kutepis segala praduga yang bisa menggoyahkanku.
            “menikah tidak hanya tentang aku dan kamu, tapi tentang kedua keluarga. Bagaimanapun juga, ridho Allah ridho orang tua. Aku tidak mau kita tetap melanjutkan, tapi salah satu orang tua memberatkan. Mungkin karena itulah Allah tidak memberikan jawaban.”
            Kali ini, kami benar-benar saling menatap dengan nanar. Tidak ada yang berbicara kecuali hawa mendung yang semakin terasa.
            “percayalah, Allah telah menyiapkan jalan yang terbaik untuk ‘masing-masing’ kita,” ujarku dengan suara lirih. Aku khawatir jika mengucapkannya lebih keras, ia akan mengatahui bibirku yang bergetar menahan hatiku yang seakan diperas. Masih sakit, ketika akhirnya kami harus berpamitan kembali pada kisah yang baru saja dimulai.
           “jadi, kamu mau benar-benar pamit?” tanyanya.
Aku mengangguk. “tidak elok jika terus seperti ini.”
            Ia tertunduk. “baiklah. Aku mengerti.”
            “assalamualaikum ngge…”
            “waalaikumsalam, neng.”
Aku berdiri. Membalikkan badan dan berjalan menjauhi ia yang sepertinya menatap tengkukku dari belakang. Dalam hati aku berkali-kali berkata agar tak membalikkan langkahku kembali ketika ia memanggil, lagi.

0 komentar: