Jumat, 23 Oktober 2020

Bingungin Diri Sendiri


 

Aku, mungkin salah satu orang yang bingung dengan dirinya sendiri. Terkadang, aku benar-benar tak tau apa yang sebenarnya kuinginkan. Bukannya tidak ada, tapi karena banyaknya hal yang mencuat di kepalaku, malah membuatku menjadi bingung dan akhirnya tak melakukan apapun.

Seperti saat ini.

Aku selalu mengakui diriku sendiri dengan bangga, kalau aku suka membaca dan menulis. Namun anehnya, selama sebulan terakhir aku hanya merampungkan dua buku dan hanya menulis beberapa cerpen yang kebanyakan tidak selesai. Bahkan naskah novel yang kugadang-gadang harus masuk mayor, malah meringkuk dengan sadis di desktop. Pas jalan, kepikiran ceritanya. Tapi pas ngadep laptop, lha kok malah terhenti di tengah-tengah? Jadinya milih buka file yang lain, kali aja kalo ganti file bisa ganti mood juga. Eh, nasibnya malah sama. Halaman gak nambah, malah tambah pusing karena gak ada yang ditulis. Padahal pas di jalan tadi udah kepikiran tuh, gini, gini, gini, tapi? Ya sudah, akhirnya menyerah lalu meratapi diri sendiri sambil refresh youtube, klik video apa saja. Tapi ya, gitu, kosong nontonnya, pokok muter.

Aku mulai kehilangan alasan. Kenapa aku menulis? Untuk apa aku menulis? Aku jadi kagum pada diriku sendiri yang dulu. Bisa gitu rutin nulis padahal proposal dan laporan ditagih ngalor-ngidul. Yah, meskipun dulu masih kekanak-kanakan, tapi semangatnya perlu diapresiasi. Lha sekarang, pikiran –mungkin- sedikit lebih dewasa tapi nulis malah makin jarang. Terlalu banyak mikir efek tulisanku nanti gimana. Hadeeeh.

Bener emang kata di buku hasil tulisan orang-orang sukses itu. Jika ingin berbicara tentang impian, berpikirlah layaknya anak kecil. Mereka yang berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan meskipun harus menangis hingga mengudang omelan tetangga.

Padahal, hanya sepersekian kecil dari otak manusia yang berfungsi, namun bingungnya udah serasa mikirin se-dunia aja. Manusia, manusia. Terkadang jadi heran juga. Lha wong mikirin diri sendiri aja bingungnya udah kayak gini, kok ‘hebat’ sekali ya mereka yang juga mikirin hidup orang lain? Salut deh. Jempol banget!

Jadi, inti dari tulisan ini? tidak ada. Hanya perkecamukan agar aku menulis. Agar hatiku lebih lega setelah berkata, “tenang saja An. Mesipun naskahmu tidak selesai-selesai, setidaknya kau menghasilkan satu tulisan tidak jelas untuk hari ini.”

 

~snj

Minggu, 18 Oktober 2020

Sesal

            “aku menyesal, kak.” Aku berkata seusai mendesah.

            “menyesal, kenapa?”

            “jika saja aku dulu memilih untuk menerima dan menjalani cinta lebih awal, mungkin saat ini sudah ada cincin yang melingkar di jariku.”

            Yah, permasalahan apalagi yang dihadapi oleh perempuan seumuranku jika bukan perihal pernikahan? ketika teman-teman yang lain bahkan adik-adik tingkat memasang foto berdua sambil memamerkan buku nikah, aku memasang foto dengan buku bacaan dan menulis caption tentang cerita.

            Kak Alfan terkekeh. “tidak masuk akal.”

            “lihat saja teman-temanku banyak yang menikah dengan pacar sendiri. Seandainya aku dulu menanggapi perasaan kak Denny atau kak Cagur, lalu pacaran dengan salah satunya. Lagipula mereka orang baik dan bersedia menunggu. Namun aku malah memberi mereka batas dengan dalih masih ingin fokus kuliah dan ingin tetap menjaga hingga waktunya. Seandainya, hanya jika bisa, aku dulu tidak sok-sokan menjaga diri demi orang yang bahkan sampai saat ini belum datang,” cerocosku dengan wajah kesal. Hatiku sudah menciut. Semangatku semakin surut.

            Namun bukannya segera menjawab, kak Alfan malah tertawa. “jadi, kamu menyesal karena tidak menyicil dosa lebih awal, gitu?”

            “ya bukan gitu. Tapi kan,” aku menggantungkan kalimatku karena memang tidak tau apa yang hendak kukatakan sebagai jawaban.

            Kak Alfan menaikkan alisnya. Ia tau aku tidak punya jawaban.

            “dengerin ya adekku yang sering goyah. Kenapa kamu harus iri dengan mereka yang memeroleh pasangan dengan jalan pacaran? Lalu kamu menyesal, karena telah memilih untuk menjaga diri hingga saat ini namun masih sendirian?”

            Aku terdiam. Mulutku hendak mengiyakan, tapi nuraniku berkata sebaliknya.

            “gini. Seperti kamu ingin melihat kebun bunga di seberang jalan. Hanya ada dua jalan untuk bisa ke sana. Jalan pertama adalah jalan lurus yang tidak memerlukanmu untuk berjalan jauh. Namun jalanannya dipenuhi lumpur se-matakaki. Jalan kedua adalah jalanan yang berliku. Jaraknya cukup jauh karena kamu harus memutar untuk bisa sampai di sana. Namun di sepanjang jalan itu ada sungai yang mengalir dan ikan-ikan yang berenang. Kamu, pilih mana?”

            Kedua? pertama? kedua? Aku berpikir memilih jalan yang mana. Namun semakin kupertimbangkan, pilihanku tetap sama. Aku mengangkat jariku menunjukkan angka dua.

            Kak Alfan tersenyum, bangga dengan jawabanku. “Begitupun dengan jalan ceritamu. Sekalipun tujuannya sama-sama melihat bunga, namun rasanya akan berbeda ketika kau melihatnya dengan kaki yang berlumpur dan bersih. Yah, perjalananmu memang lebih panjang, namun bukankah kau bisa belajar banyak hal dari perjalanan itu?”

            Untuk kesekian kalinya aku terdiam. Sesak karena menahan kesal dan tangis tadi, perlahan menghilang. Hatiku kembali tenang. (~snj)

 

Pasuruan, 17 Oktober 2020



Senin, 21 September 2020

Kenapa Orang Berbuat ........?

 

Kenapa orang berbuat jahat?

Pertanyaan itu kini berputar di kepalaku. Selama ini aku selalu meyakini jika kita berbuat baik, maka orang lain juga akan membalas baik, begitupun sebaliknya. Tapi sepertinya, hal itu tak menjadi hukum pasti dalam kehidupan. Tak selamanya saat kita berbuat baik, maka hanya baik yang bertandang. Kita harus menerima, kalau dunia sedang tidak baik-baik saja. Namun bukan berarti ketidakbaikan itu menjadikan kita tak lagi (berusaha) baik. Justru ketidakbaikan itu harus kita baiki agar menjadi baik. Setidaknya saat ada yang tak baik, maka kebaikan lain akan menjadikannya baik. Semoga.

Sepertinya kucukupi saja pembicaraan tentang ‘baik’ yang terlalu berputar-putar ini. Sengaja memang kebalikan dari kata baik hanya kutulis sekali pada awal kalimat, agar hanya baik yang mendominasi.

Baiklah. Semoga lekas membaik, kebaikan.

 

Salam,

~snj

Sabtu, 19 September 2020

Untuk Siapa?

 


Lebih baik dikecewakan daripada mengecewakan.

 

Setidaknya itulah pilihan yang akan kuambil jika diminta untuk memilih.

 

Dibandingkan menyakiti, aku lebih memilih untuk disakiti.

 

Kenapa? Entahlah, aku juga tak tau.

 

Aku memutar kepalaku, mencari-cari alasan kenapa aku selalu memilih pilihan yang seakan menyakiti diriku. Ketika melihat orang lain merebut kursi orang lain agar bisa duduk, aku memilih untuk tetap berdiri. Ketika orang lain berpesta membicarakan cacat orang lain, aku memilih untuk berdiam diri, sekalipun yang mereka bicarakan adalah diriku. Mungkin bagi sebagian orang aku adalah tipikal perempuan bermental korban karena tak berani membela diri sendiri. Namun jika aku melontarkan pembelaan hanya demi membenarkan diriku, untuk apa? Jika aku bersaing kursi hanya agar bisa duduk nyaman setelah mendorong yang lain, untuk apa?

Kenapa, mengapa dan untuk apa. Jika jawaban pertanyaan itu tidak bermuara pada Sang Maha, untuk siapa?

 

Yang masih terus bertanya,

~snj

Jumat, 18 September 2020

Mereka yang Meneladani Rasulullah

 


        Beberapa hari terakhir ini, jagad dihebohkan dengan insiden penusukan salah satu ulama di Indonesia, Syekh Ali Jabir. Setiap media sosial berisi tentang berita beliau. Beberapa menyampaikan kebenaran, namun kebanyakan penuh dengan judul ke-metaforaan. Namun, karena aku tak terlalu mengerti masalah hukum, biarkanlah itu menjadi urusan mereka para penegak hukum. Di tulisan ini, aku hanya ingin berbagi tentang teladan yang diberikan oleh beliau. Agar sebagian dari kita tak hanya ikut-ikutan melempar praduga tentang baduk yang sengaja dimainkan di atas papan catur.

            Sebenarnya aku tak terlalu mengikuti tausiyah Syekh Ali Jabir. Aku hanya tau beliau adalah salah satu mustami’ di salah satu acara hafidz di TV. Namun saat nama beliau menjadi trending topik di twitter, tentu saja aku penasaran ada apa? Dan saat membukanya, aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Perasaan khawatir, sedih, marah, dan berbagai macam pertanyaan memenuhi pikiranku. Kenapa? Ada apa? siapa?

            Ketika aku melihat gambar beliau di salah satu video youtuber Indonesia, aku langsung meng-kliknya. Kukira gambar beliau hanya sekedar thumbnail saja layaknya video-video yang lain. Tapi ternyata di video tersebut beliau memang hadir di sana! Padahal hanya selang sehari setelah insiden penusukan. Akhirnya aku mulai menonton dan mendengarkan. Niatku tadi hanya ingin mengetahui kabar beliau, namun aku malah mendapatkan banyak hal dari beliau. Satu menit, dua menit, jariku tak menekan tombol mempercepat sekalipun. Biasanya jariku selalu stand by di tombol mempercepat, tapi berbeda dengan video itu. Aku tak mau melewatkan satu nasihatpun. Setiap uacap beliau, setiap tingkah beliau, adalah meneladani Rasulullah.

            Sebenarnya aku ingin sekalian menulisnya di sini, namun ada kewajiban yang harus kulakukan di dunia nyata. Jadi meskipun jariku ingin terus melanjutkan, aku harus mengakhirnya terlebih dahulu. Semoga saja penundaan ini, tak membuat hatiku menjadi tak ingin membaginya. Yah, apa yang bisa dilakukan jariku jika hatiku tak mau? terkadang ia memang bakhil. Tak semua rasa mau ia bagikan.

Jadi, jangan menunggu, karena aku tak pernah menyuruh.

 

Salam,

~snj

Rabu, 16 September 2020

Aku akan Menulis, Lagi


Aku akan menulis, lagi.

 

Setahun terakhir ini, tanganku menjadi lebih bisu. Padahal suara saja aku tak pandai mengeluarkan. Aku tak menyangka jika aku akan membisukan jemariku juga. Sebenarnya semua ini bukan karena tanpa alasan. Ada beberapa episode dari Tuhan yang membuatku berpikir tak semua rasa bisa kutuliskan. Tak semua kecamuk di kepala bisa dikeluarkan. Dan hal itu, membuatku lebih sering merenung untuk membaca lebih dalam.

Seakan buku yang tak pernah habis halamannya, begitulah aku menyimpulkan tentang kehidupan. Ada saat dimana halamannya begitu menarik hingga larut ke dalamnya, adakala bacaannya membosankan hingga enggan meneruskannya, adakala ketika begitu menyesakkan hingga serasa ingin menutupnya saja, dan adakala begitu membuat penasaran hingga terburu untuk menemukan jawabannya. Aku seakan lupa, sejatinya buku adalah untuk dinikmati. Syukur-syukur bisa meresapi dan menemukan maksud pesan yang disampaikan oleh sang penulis. Dan setahun terakhir ini, itulah yang sedang aku pelajari. Sekarang? tentu saja aku masih terus belajar. Semakin membaca kehidupan, semakin aku merasa tak tau apa-apa. Aku jadi teringat beberapa orang yang kutemui yang merasa tau segalanya. Yah, mungkin mereka memang tau lebih banyak.

Aku bukan pengingat yang baik. Aku pelupa, dan bisa jadi parah. Karena itu aku menulis untuk membantuku ingat. Aku tak ingin terjatuh pada perih yang sama hanya karena tak mengingat pembelajaran yang pernah kulalui sebelumnya. Pikiranku, hanya bersembunyi di balik kata-kata singkat tanpa menjelaskan panjang lebar. Tapi ternyata semakin singkat tulisanku, semakin panjang praduga tak tepat dari mereka. Sebenarnya aku tak terlalu mempedulikan, karena yang paling sulit di dunia ini memang membuat orang lain mengerti kita. Jadi aku tak memaksakan maksud mereka harus sama dengan maksudku atau sebaliknya. Namun yang paling kukhawatirkan adalah diriku.

Sifat pelupaku yang hampir menyentuh kata parah membuatku harus menulis untuk mengingatkan diriku sendiri. Tidak menulis hanya karena khawatir orang lain melemparkan praduga, adalah kesalahan yang tak bisa kuabaikan. Penyesalanku adalah menekan perasaanku sendiri, lalu memilih untuk mengunci mulut dan membisukan jemariku. Aku tak percaya dengan apa yang sudah kulakukan setahun ini pada diriku sendiri. Aku seakan membatasi ruang gerakku sendiri.

Karena itu lewat tulisan ini aku ingin mendeklarasikan  -semoga bisa meng-istiqomahkan juga- kalau aku akan menulis, lagi.

 

Bismillah, untuk setiap pilihan yang masih terus menggoyahkan.

 

-snj

Selasa, 27 Agustus 2019

Pada Kisah yang Pernah Part 2


  


          
“Jika kita menikah nanti, ayah ingin kamu di rumah saja. Tidak usah bekerja,” ucapnya sembari membenahkan letak pecinya yang tidak miring. Matanya bergerak ragu, hendak menatapku ataukah tidak. Bagiku hal itu terlihat lucu, namun apa yang baru saja ia katakan mengalahkan hasratku untuk tersenyum simpul.
            “kenapa?” aku meminta penjelasan. Ia terdiam, seakan apa yang baru saja ia katakan bukan murni keinginannya. Jika iya, tentu saja dia akan mudah membeberkan alasannya.
            “ayahku tidak ingin menantu yang bekerja.”
            “aku tidak menganggap mengajar itu sebagai pekerjaan. Bagiku pengabdian.” Aku meluruskan.
            “jadi kamu tidak mau berhenti?”
            Aku menggeleng, “aku akan berhenti jika yang kulakukan merugikan orang lain. Tapi jika yang kulakukan bermanfaat untuk orang lain, aku tidak punya alasan untuk berhenti.”
            “kamu tetap tidak mau berhenti meskipun nantinya aku, suamimu yang melarangmu?”
            “suami yang baik akan mendukung istrinya.”
            “dan istri yang baik akan menuruti suaminya.”
            Kami terdiam. Suasana membisu. Sepinya bahkan bisa membuatku mendengar dentingan jam dari arlojiku.
            “Mengajar adalah impianku sedari dulu. Ada rasa kepuasan tersendiri ketika membagikan apa yang kutahu kepada anak-anak. Aku merasa lebih berguna dibandingkan hanya diam saja di rumah. Sekalipun aku tidak bisa menghamba dengan sempurna, setidaknya aku bisa sedikit berkontribusi dalam semesta yang diciptakan Tuhan.”
“sekalipun orang tuaku ingin menantu yang diam di rumah, ngurusi rumah?”
“Kamu juga seorang guru, seharusnya kamu bisa mengerti perasaanku. Pengabdianku tidak bisa disangsikan. Kamu tau, aku bukan tipe wanita yang seperti itu.”
            “yah, karena kamu yang ‘bukan seperti itu’lah yang membuatku terpaku.”
            Hatiku berdesir. Ia tak lagi menunduk. Matanya menatap lurus padaku seakan mengisyaratkan kalau ia bersungguh-sungguh. Kurasakan wajahku mulai memanas. Jika saja ada cermin di sana, mungkin aku bisa melihat pipiku yang memerah. Tak bisa mengatasi tatapan tajamnya, aku langsung menunduk. Aku harus mengendalikan perasaanku. Aku dan dia belum pada posisi bisa saling menatap dengan bebas.
            “meskipun aku tak mengatakannya, aku tau kamu tau kalau aku berharap baik padamu. Keluargaku juga mendukungku bersamamu, kecuali ayahku. Aku berharap kisah ini bisa dilanjutkan pada jalan yang lebih hakiki. Dan aku percaya jika jalan itu adalah bersamamu. Tapi…”
            “Iya, aku tau. Tapi kau bilang, hasil istikhorohmu tidak tembus.”
            “sebenarnya ayahku yang melakukannya, bukan aku.”
            Aku tertegun. Apa yang baru saja ia katakan sungguh mengejutkanku. Terakhir kali ia bilang, ia yang melakukan istikhoroh dan Allah tidak memberikan jawaban. Kukira itu pertanda kalau ia tak benar-benar mengharapkanku. Tapi mengetahui kalau ternyata ayahnya yang memberatkan, ada berkas kecil yang mengintip dalam relungku membentuk harapan. Harapan bahwa selama ini ia tulus, padaku.
            “lalu bagaimana?” tanyanya.
            “apanya?”
            “kita. Aku ingin menghentikan pencarianku.” Matanya mengunciku, namun segera kutepis segala praduga yang bisa menggoyahkanku.
            “menikah tidak hanya tentang aku dan kamu, tapi tentang kedua keluarga. Bagaimanapun juga, ridho Allah ridho orang tua. Aku tidak mau kita tetap melanjutkan, tapi salah satu orang tua memberatkan. Mungkin karena itulah Allah tidak memberikan jawaban.”
            Kali ini, kami benar-benar saling menatap dengan nanar. Tidak ada yang berbicara kecuali hawa mendung yang semakin terasa.
            “percayalah, Allah telah menyiapkan jalan yang terbaik untuk ‘masing-masing’ kita,” ujarku dengan suara lirih. Aku khawatir jika mengucapkannya lebih keras, ia akan mengatahui bibirku yang bergetar menahan hatiku yang seakan diperas. Masih sakit, ketika akhirnya kami harus berpamitan kembali pada kisah yang baru saja dimulai.
           “jadi, kamu mau benar-benar pamit?” tanyanya.
Aku mengangguk. “tidak elok jika terus seperti ini.”
            Ia tertunduk. “baiklah. Aku mengerti.”
            “assalamualaikum ngge…”
            “waalaikumsalam, neng.”
Aku berdiri. Membalikkan badan dan berjalan menjauhi ia yang sepertinya menatap tengkukku dari belakang. Dalam hati aku berkali-kali berkata agar tak membalikkan langkahku kembali ketika ia memanggil, lagi.