Pada Kisah yang Pernah Part 2
“Jika kita
menikah nanti, ayah ingin kamu di rumah saja. Tidak usah bekerja,” ucapnya
sembari membenahkan letak pecinya yang tidak miring. Matanya bergerak ragu,
hendak menatapku ataukah tidak. Bagiku hal itu terlihat lucu, namun apa yang
baru saja ia katakan mengalahkan hasratku untuk tersenyum simpul.
“kenapa?”
aku meminta penjelasan. Ia terdiam, seakan apa yang baru saja ia katakan bukan
murni keinginannya. Jika iya, tentu saja dia akan mudah membeberkan alasannya.
“ayahku
tidak ingin menantu yang bekerja.”
“aku tidak
menganggap mengajar itu sebagai pekerjaan. Bagiku pengabdian.” Aku meluruskan.
“jadi kamu
tidak mau berhenti?”
Aku menggeleng,
“aku akan berhenti jika yang kulakukan merugikan orang lain. Tapi jika yang
kulakukan bermanfaat untuk orang lain, aku tidak punya alasan untuk berhenti.”
“kamu tetap
tidak mau berhenti meskipun nantinya aku, suamimu yang melarangmu?”
“suami yang
baik akan mendukung istrinya.”
“dan istri
yang baik akan menuruti suaminya.”
Kami terdiam.
Suasana membisu. Sepinya bahkan bisa membuatku mendengar dentingan jam dari
arlojiku.
“Mengajar
adalah impianku sedari dulu. Ada rasa kepuasan tersendiri ketika membagikan apa
yang kutahu kepada anak-anak. Aku merasa lebih berguna dibandingkan hanya diam
saja di rumah. Sekalipun aku tidak bisa menghamba dengan sempurna, setidaknya
aku bisa sedikit berkontribusi dalam semesta yang diciptakan Tuhan.”
“sekalipun orang tuaku ingin menantu yang
diam di rumah, ngurusi rumah?”
“Kamu juga seorang guru, seharusnya kamu
bisa mengerti perasaanku. Pengabdianku tidak bisa disangsikan. Kamu tau, aku
bukan tipe wanita yang seperti itu.”
“yah, karena
kamu yang ‘bukan seperti itu’lah yang membuatku terpaku.”
Hatiku berdesir.
Ia tak lagi menunduk. Matanya menatap lurus padaku seakan mengisyaratkan kalau
ia bersungguh-sungguh. Kurasakan wajahku mulai memanas. Jika saja ada cermin di
sana, mungkin aku bisa melihat pipiku yang memerah. Tak bisa mengatasi tatapan
tajamnya, aku langsung menunduk. Aku harus mengendalikan perasaanku. Aku dan
dia belum pada posisi bisa saling menatap dengan bebas.
“meskipun
aku tak mengatakannya, aku tau kamu tau kalau aku berharap baik padamu. Keluargaku
juga mendukungku bersamamu, kecuali ayahku. Aku berharap kisah ini bisa
dilanjutkan pada jalan yang lebih hakiki. Dan aku percaya jika jalan itu adalah
bersamamu. Tapi…”
“Iya, aku
tau. Tapi kau bilang, hasil istikhorohmu tidak tembus.”
“sebenarnya ayahku yang
melakukannya, bukan aku.”
Aku tertegun.
Apa yang baru saja ia katakan sungguh mengejutkanku. Terakhir kali ia bilang,
ia yang melakukan istikhoroh dan Allah tidak memberikan jawaban. Kukira itu
pertanda kalau ia tak benar-benar mengharapkanku. Tapi mengetahui kalau
ternyata ayahnya yang memberatkan, ada berkas kecil yang mengintip dalam
relungku membentuk harapan. Harapan bahwa selama ini ia tulus, padaku.
“lalu
bagaimana?” tanyanya.
“apanya?”
“kita. Aku ingin
menghentikan pencarianku.” Matanya mengunciku, namun segera kutepis segala
praduga yang bisa menggoyahkanku.
“menikah tidak
hanya tentang aku dan kamu, tapi tentang kedua keluarga. Bagaimanapun juga,
ridho Allah ridho orang tua. Aku tidak mau kita tetap melanjutkan, tapi salah
satu orang tua memberatkan. Mungkin karena itulah Allah tidak memberikan
jawaban.”
Kali ini, kami
benar-benar saling menatap dengan nanar. Tidak ada yang berbicara kecuali hawa
mendung yang semakin terasa.
“percayalah,
Allah telah menyiapkan jalan yang terbaik untuk ‘masing-masing’ kita,” ujarku
dengan suara lirih. Aku khawatir jika mengucapkannya lebih keras, ia akan
mengatahui bibirku yang bergetar menahan hatiku yang seakan diperas. Masih sakit,
ketika akhirnya kami harus berpamitan kembali pada kisah yang baru saja
dimulai.
Aku mengangguk. “tidak elok jika terus
seperti ini.”
Ia tertunduk.
“baiklah. Aku mengerti.”
“assalamualaikum
ngge…”
“waalaikumsalam,
neng.”
Aku berdiri. Membalikkan badan dan berjalan menjauhi ia yang
sepertinya menatap tengkukku dari belakang. Dalam hati aku berkali-kali berkata
agar tak membalikkan langkahku kembali ketika ia memanggil, lagi.
0 komentar: