Mereka membutuhkanmu
Hal yang paling menyenangkan saat
mencari adalah rasa yakin akan dipertemukan.
Hari itu adalah hari dimana batu
sandungan mulai menghalangi langkah tersarukku. Tapi aku juga bersyukur, karena
batu yang menyandungku itu (dengan ditemani Tuhan) mampu kukumpulkan untuk
membangun jembatanku. Semoga.
Yah. Saat mendapat telphon kalau
nengku ‘kritis’, aku tak bisa menulis laporan dengan tenang. Seandainya saja
aku punya baling-baling bambu seperti di salah satu kartun favoritku dulu, atau
mungkin sajadah terbang seperti dalam salah satu dongeng kesukaanku, tentu saja
aku akan langsung pulang. Tapi aku harus ingat, dunia ini tak seperti di dalam
cerita.
Mungkin Tuhan mendengar desiran
hatiku, hingga pada akhirnya ada seorang sahabat yang –kuminta- menawarkan
kebaikannya untuk menjadi baling-baling bambu dan sajadah terbangku. Hingga
pada akhirnya aku berhasil duduk di samping nengku yang bahkan salah
mengenaliku. Tubuh kurusnya tinggal tulang dan kulit, mata kuningnya yang
terkadang kehilangan warna hitamnya, jarum-jarum dan kabel yang memenuhi kedua
tangannya, dan bahkan ada penjepit jemuran yang sengaja dijepitkan di ujung
jarinya. Penjepit itu terhubung dengan layar komputer yang bertuliskan angka
yang tidak pasti. Kadang naik, dan tak jarang juga turun. Nengku yang wajah
cantiknya terbalut hijab, kini terlihat 3 kali lebih tua dari ibuku.
“neng pundi?” itulah pertanyaan yang
slalu kudengar.
“ayo wangsol. Kulo wangsol teng
griyane neng…” dan kalimat itu juga tidak asing diceritakan oleh ibuku. Yah,
nengku adalah adik ibuku.
Aku menghela nafas panjang saat
melihat neng menarik manja baju ibuku agar membawanya pulang ke rumah. Aku
teringat ke-empat anak-anaknya yang selalu mengharapkan kehadiran neng. Anak
pertama dan keduanya berada di penjara suci yang pernah menjadi penjaraku, satu
anak perempuannya yang di rumah, dan satu anak terakhirnya yang seakan menjadi
anak adik terakhirku. Ah, tidak. Aku masih punya satu adik lagi yang tidak
sedarah denganku. Kalian boleh menyebut rumahku adalah tempat berkumpulnya kaum
muda dan anak-anak. Karena tak jarang anak-anak dari adik-adiknya ibu dan ayah
memilih bermain di rumah saat liburan. Haruskah aku buatkan taman bermain juga?
Kembali ke nengku.
Dua hari saja aku tidak
berkomunikasi dengan ibu, rasanya seperti memikul batu bara di bahuku. Karena
bagaimanapun juga, aku selalu menceritakan hal sekecil apapun pada ibu.
Termasuk soal cinta. Teringat anak-anak neng di pondok yang tidak bertemu
ibunya sebulan lebih, tentu saja membuatku memelintir hatiku. Apalagi mereka juga
tidak diberitau tentang keadaan ibunya. Jika aku menjadi mereka, tentu saja aku
akan marah.
Aku memang bukan orang yang pandai
mengatasi masalah mengunakan pikiranku, tapi aku percaya dengan hatiku.
Meskipun suami nengku melarang untuk memberitahu anak-anaknya tentang ibunya,
aku dengan ke-keraskepalaanku mendatangi pondok mereka dengan bekal
kepercayaan. Mereka butuh ibu mereka. Dan keyakinanku pada hatiku semakin kuat
saat mereka menangis tersedu-sedu di bahuku. Padahal aku belum mengatakan
apapun tentang ibu mereka.
“lhoh, kok nangis? Kenapa ini?
masalah kamar?” tanyaku. Dia mengeleng.
“masalah sekolah?” dia juga
menggeleng.
“kangen ibu?” dia mengangguk cepat
diiringi isak yang semakin keras. Tidak ada yang bisa kulakukan selain
membiarkannya menangis dibahuku dan mengusap kepalanya pelan. Tak terasa ada
genangan di sudut mataku yang langsung kuhapus sebelum ada yang melihatnya.
Untuk menghibur orang yang menangis, aku tak boleh menunjukkan air mataku.
Mereka butuh ibu mereka. Mereka
harus tau keadaan ibu mereka.
“izin aja ya… besok dijemput pakdhe
sama budhe di sini.” Ucap ayahku yang mendapat anggukan dari mereka. Keputusan
ayah itu membuatku langsung melangkah menuju kantor pengurus dan memintakan
izin mereka keluar pondok.
Yah. Aku hanya dapat berdoa
untuknya. Meskipun orang berbaju putih yang selalu mendatanginya itu mengatakan
kesembuhannya hanya 25%, dan taruhan kehidupannya 50:50, aku tak ingin
mempercayainya. Bukan dia yang bisa menentukan kehidupan seseorang. Bukan dia
yang berhak mengklaim berapa banyak waktu yang tersisa untuk nengku menghirup
udara di dunia. Tapi Dia. Yah, Dia yang telah menggariskan perjalanan kita, Dia
yang sudah menggambarkan seberapa panjang dan seberapa banyak liku yang akan
kita tempuh dalam dunia ini.
Kalian tau apa yang paling kejam di
dunia ini?? waktu.
An161116
Khususon neng umi, alfatihah.
0 komentar: