Rabu, 16 November 2016

Mereka membutuhkanmu

Hal yang paling menyenangkan saat mencari adalah rasa yakin akan dipertemukan.

Hari itu adalah hari dimana batu sandungan mulai menghalangi langkah tersarukku. Tapi aku juga bersyukur, karena batu yang menyandungku itu (dengan ditemani Tuhan) mampu kukumpulkan untuk membangun jembatanku. Semoga.

Yah. Saat mendapat telphon kalau nengku ‘kritis’, aku tak bisa menulis laporan dengan tenang. Seandainya saja aku punya baling-baling bambu seperti di salah satu kartun favoritku dulu, atau mungkin sajadah terbang seperti dalam salah satu dongeng kesukaanku, tentu saja aku akan langsung pulang. Tapi aku harus ingat, dunia ini tak seperti di dalam cerita.

Mungkin Tuhan mendengar desiran hatiku, hingga pada akhirnya ada seorang sahabat yang –kuminta- menawarkan kebaikannya untuk menjadi baling-baling bambu dan sajadah terbangku. Hingga pada akhirnya aku berhasil duduk di samping nengku yang bahkan salah mengenaliku. Tubuh kurusnya tinggal tulang dan kulit, mata kuningnya yang terkadang kehilangan warna hitamnya, jarum-jarum dan kabel yang memenuhi kedua tangannya, dan bahkan ada penjepit jemuran yang sengaja dijepitkan di ujung jarinya. Penjepit itu terhubung dengan layar komputer yang bertuliskan angka yang tidak pasti. Kadang naik, dan tak jarang juga turun. Nengku yang wajah cantiknya terbalut hijab, kini terlihat 3 kali lebih tua dari ibuku.

“neng pundi?” itulah pertanyaan yang slalu kudengar.
“ayo wangsol. Kulo wangsol teng griyane neng…” dan kalimat itu juga tidak asing diceritakan oleh ibuku. Yah, nengku adalah adik ibuku.

Aku menghela nafas panjang saat melihat neng menarik manja baju ibuku agar membawanya pulang ke rumah. Aku teringat ke-empat anak-anaknya yang selalu mengharapkan kehadiran neng. Anak pertama dan keduanya berada di penjara suci yang pernah menjadi penjaraku, satu anak perempuannya yang di rumah, dan satu anak terakhirnya yang seakan menjadi anak adik terakhirku. Ah, tidak. Aku masih punya satu adik lagi yang tidak sedarah denganku. Kalian boleh menyebut rumahku adalah tempat berkumpulnya kaum muda dan anak-anak. Karena tak jarang anak-anak dari adik-adiknya ibu dan ayah memilih bermain di rumah saat liburan. Haruskah aku buatkan taman bermain juga?

Kembali ke nengku.
Dua hari saja aku tidak berkomunikasi dengan ibu, rasanya seperti memikul batu bara di bahuku. Karena bagaimanapun juga, aku selalu menceritakan hal sekecil apapun pada ibu. Termasuk soal cinta. Teringat anak-anak neng di pondok yang tidak bertemu ibunya sebulan lebih, tentu saja membuatku memelintir hatiku. Apalagi mereka juga tidak diberitau tentang keadaan ibunya. Jika aku menjadi mereka, tentu saja aku akan marah.

Aku memang bukan orang yang pandai mengatasi masalah mengunakan pikiranku, tapi aku percaya dengan hatiku. Meskipun suami nengku melarang untuk memberitahu anak-anaknya tentang ibunya, aku dengan ke-keraskepalaanku mendatangi pondok mereka dengan bekal kepercayaan. Mereka butuh ibu mereka. Dan keyakinanku pada hatiku semakin kuat saat mereka menangis tersedu-sedu di bahuku. Padahal aku belum mengatakan apapun tentang ibu mereka.

“lhoh, kok nangis? Kenapa ini? masalah kamar?” tanyaku. Dia mengeleng.
“masalah sekolah?” dia juga menggeleng.
“kangen ibu?” dia mengangguk cepat diiringi isak yang semakin keras. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membiarkannya menangis dibahuku dan mengusap kepalanya pelan. Tak terasa ada genangan di sudut mataku yang langsung kuhapus sebelum ada yang melihatnya. Untuk menghibur orang yang menangis, aku tak boleh menunjukkan air mataku.

Mereka butuh ibu mereka. Mereka harus tau keadaan ibu mereka.

“izin aja ya… besok dijemput pakdhe sama budhe di sini.” Ucap ayahku yang mendapat anggukan dari mereka. Keputusan ayah itu membuatku langsung melangkah menuju kantor pengurus dan memintakan izin mereka keluar pondok.

Yah. Aku hanya dapat berdoa untuknya. Meskipun orang berbaju putih yang selalu mendatanginya itu mengatakan kesembuhannya hanya 25%, dan taruhan kehidupannya 50:50, aku tak ingin mempercayainya. Bukan dia yang bisa menentukan kehidupan seseorang. Bukan dia yang berhak mengklaim berapa banyak waktu yang tersisa untuk nengku menghirup udara di dunia. Tapi Dia. Yah, Dia yang telah menggariskan perjalanan kita, Dia yang sudah menggambarkan seberapa panjang dan seberapa banyak liku yang akan kita tempuh dalam dunia ini.


Kalian tau apa yang paling kejam di dunia ini?? waktu.

An161116

Khususon neng umi, alfatihah.

0 komentar: