Jika Bukan Dia - Jika Dia Bukan - Bukan Jika Dia
“Nafa!!” panggil sebuah suara dari
kejauhan. Nafa sangat mengenal siapa pemilik suara itu, namun nafa lebih
memilih untuk berpura-pura tidak mendengarnya. Bagaimanapun juga ia masih belum
bisa menegakkan kepalanya dengan yakin. Ia khawatir kepalanya akan tertunduk
kembali jika berhadapan dengannya. Dan lagi nafa tidak benar-benar yakin bisa
memaksa air matanya untuk tidak egois mengintip di pelupuk matanya, lagi.
Nafa
mempercepat langkahnya saat merasakan pemilik suara yang memanggilnya itu
semakin mendekat. Sebisa mungkin nafa harus menghindarinya.
“Nafa!”
panggil suara itu kembali dengan intensitas suara yang lebih besar. Kalau nafa
tidak salah, orang itu sudah berada satu meter di belakangnya. Dengan langkah
kakinya yang pendek, nafa tidak yakin bisa menghindar dari seorang yang nafa
hanya sepundaknya. Jika nafa berlari…
Segala
kemungkinan bisa terjadi.
Batin
nafa. Dulu, nafa pernah menjadi pelari jarak jauh tercepat kedua di kelasnya.
Semoga saja predikat itu masih bisa nafa sandang. Tanpa pikir panjang langsung
memasang kuda-kuda untuk mengambil langkah seribu. Namun, bukannya melesat
menerabas gerombolan mahasiswa yang sudah seperti medan perang di depannya,
Nafa malah tertarik kebelakang saat sebuah tangan memegang tas ranselnya. Tak
perlu menebak lagi siapa pemilik tangan itu. Yah, pemilik tangan dan pemilik
suara tadi adalah orang yang sama. Alfan.
“mau
kemana adek kecil? Sini sama om…” ledek Alfan masih memegang ransel nafa.
“lepasin
tas aku kak!” Nafa melemparkan lirikan tersinisnya pada Alfan. Alfan
menggelengkan kepalanya pelan. Nafa tau, ia gak bakalan bisa kabur dengan mudah
jika sudah berhadapan dengan kakaknya.
“oke.
Aku gak bakalan kabur deh. Tapi lepasin donk… Malu nih dilihat orang.” rengek
Nafa saat menyadari berpasang-pasang mata yang melemparkan tatapan penasaran
padanya.
“lebih
malu mana ketimbang kamu tiba-tiba lari kalang kabut demi menghindar dariku?”
Nafa
mengangkat setengah bibirnya ke atas dan mengangkat tangan kanannya ke atas.
“oke, saya menyerah. Jadi saya mohon dengan sangat anda melepaskan tas saya.”
“dengan
satu syarat.” Sela Alfan. Alfan menunjuk sebuah gedung yang terdiri dari empat
lantai di sampingnya dengan dagunya. PERPUSTAKAAN
UTAMA.
Yah.
Bagi mereka yang peduli dengan IP, perpustakaan sudah seperti rumah kedua bagi
mereka. Bagi mereka yang tidak peduli dengan IP, mungkin perpustakaan hanya
seperti lukisan yang terpajang di dinding rumah. Dan untuk pasangan yang tengah
kasmaran, perpustakaan bisa menjadi salah satu tempat yang direkomendasikan
untuk berbincang mesra. Tapi bagi nafa yang bukan termasuk mereka yang peduli
dengan IP pun tidak peduli, dan bukan juga termasuk pasangan yang tengah
kasmaran, perpustakaan seakan pengadilan
jika ia masuk ke sana dengan Alfan. Dia selalu menjadi terdakwa tiap kali duduk
di kursi perpustakaan bersama Alfan.
“Nafa,
kamu tau kan kalau mencoba bersembunyi dariku adalah hal yang sia-sia jika kamu
lakukan?” ucap Alfan yang lagsung membuat nafa tertunduk, untuk kesekian
kalinya.
###
“Jadi,
apa yang terjadi?” tanya alfan seraya memainkan pena di tangannya. Nafa yang
duduk di depan Alfanpun hanya bisa menghela nafas dalam. Ia benar-benar merasa
seperti di dalam persidangan. Namun, tidak ada gunanya juga dia menyembunyikan
sesuatu dari Alfan. Dan lagi, nafa memang harus bercerita. Karena itu bisa
mengurangi beban hatinya.
“Aku
bilang adanya kalau dia tidak benar-benar padaku, aku akan berhenti dan akan
melepas rasaku.” Awal nafa. Alfan menghentikan putaran pena ditangannya sejenak
kemudian tersenyum samar. Saat nafa menyebut kata ‘dia’, alfan langsung tau
kalau dia yang nafa maksud pasti fatih.
“bagus.”
“kenapa
bagus? Aku serasa telah menjual harga diriku dengan bertanya pertama kali. Aku pasti
tampak seperti perempuan yang menyedihkan.” Tunduk nafa seakan menyesali apa
yang ia telah ia lakukan.
“enggak
tuh. Jika dia memang mengenalmu, dia gak akan pernah berpikiran seperti itu.
Jika aku menjadi dia, aku akan berpikir kalau kamu adalah perempuan yang
pemberani.” Sebenarnya nafa tidak ingin percaya dengan kata-kata alfan, tapi
entah kenapa apapun yang dikatakan alfan tidak ada yang serasa ganjal di
hatinya.
“perempuan
pemberani yang nekat menanyakan tentang kejelasan perasaannya pada seorang
lelaki? Kakak jangan bohong deh. Pasti kakak mengatakannya hanya untuk menghiburku.”
Elak nafa.
“coba
jelasin dimana letak bohongku?” tantang alfan.
“di…
di…” nafa tergagap menjawab pertanyaan alfan.
“sekarang
aku tanya. Sudah berapa lama kamu masih bela-belain menutup hati dari orang
lain demi orang yang gak jelas itu?” alfan sengaja menekan kata ‘orang yang gak
jelas’ untuk mendeskriminasi nafa.
“aku
gak menutup hati buat orang lain kok. Aku cuma menjaga hati.” Sahut nafa. “dan
fatih bukan orang yang gak jelas. Bukankah kakak bisa melihat kakinya dengan
jelas?” bela nafa yang di balas dengan desisan geregetan alfan.
“baiklah. Anggap saja dia seperti yang kamu
anggap. Sekarang berapa waktu yang kamu habiskan untuk ‘menjaga orang yang bisa
kulihat kakinya dengan jelas’ itu?”
Sebenarnya
nafa ingin melemparkan pembelaannya kembali. Namun ia mengabaikannya karena
sibuk menggerakkan jarinya seakan menghitung sesuatu. “jika dihitung dari
terakhir kali aku melepasnya, sekitar 5 tahun?”
“dari
lima tahun itu, kamu yakin gak dia juga menjaga hatinya untukmu?”
“sebelum
dia menceritakan padaku tentang perempuan yang dekat dengannya, aku masih
yakin. Tapi setelah itu, aku meragukan keyakinanku sendiri.”
“nah.
Itu kamu sudah tau jawabannya.” Sahut alfan.
Nafa
mengerutkan keningnya tidak mengerti. Nafa menarik bangkunya ke depan, penasaran
dengan apa yang dimaksudkan alfan.
“gini
ya adekku sayang. Menanyainya tentang kejelasan perasaannya padamu bukanlah hal
yang memalukan, tapi sebuah keharusan yang udah seharusnya kamu lakukan. Jika kamu
ragu, kenapa juga kamu harus yakin? Begitupun saat kamu yakin, kenapa juga
harus ragu. Kamu meminta kejelasan karena kamu sudah meragukannya. Jika kamu
terus-terusan diam seperti yang selama ini kamu lakukan, dan hanya modal yakin,
kamu tidak akan pernah bisa melepas belenggu yang udah kamu ciptakan sendiri.”
“tapi
dia pernah bilang, boleh jadi kita sekarang masih teman tapi tidak dengan
nanti. Dari perkataannya, cara dia memperlakukanku, dan tatapannya saat kita
terakhir kali bertemu, aku masih melihat tatapan yang sama saat kita pertama
bertemu kak. ”
“bagaimana
kamu bisa seyakin itu? orang ketemuan aja gak pernah. Telphonpun cuma beberapa
kali. Referensi kamu gak bisa diterima.” Tegas alfan. Nafa memanyunkan bibirnya
ke atas. Dia jadi berpikir, apakah selama ini dia salah?
“gini
deh. Anggap saja kalau dia masih menjaga perasaannya padamu. Trus kamu mau
ngapain?” lanjut alfan.
Nafa
menggerak-gerakkan posisi duduknya yang mulai memanas. Pertanyaan alfan adalah
mutlak untuk di jawab. Kalau tidak, ia tidak yakin bakal bisa keluar dari
perpustakaan secepat mungkin. “aku gak mau main-main lagi kak.” Jawab Nafa. “Tapi
sepertinya aku terlalu egois jika berpikiran seperti itu. Bukankah aku akan
menyakiti banyak hati jika mengharapkannya? Terlebih lagi aku akan
menyakitinya. Mungkin karena itu aku lebih memilih untuk berhenti. Seenggaknya aku
masih punya waktu untuk menyembuhkan lukaku.”
“Stop!
Kamu ini kebiasaan berpikiran seenaknya sendiri. Kalau kamu mikirin orang lain,
berarti kamu gak egois adek manis... Coba deh tenangin perasaanmu dulu, baru jawab.”
Nafa
menutup kelopak matanya pelan. Satu persatu bayangan hadir di balik matanya.
Masa-masa sekolahnya, masa-masa nyantrinya dan terakhir masa-masa kuliahnya 5
semester kemarin. Nafa menghela nafas dalam. “Aku khawatir jika kita tidak
jodoh bagaimana?” gumam nafa kemudian membuka matanya. “bagaimana jika bukan
namanya yang disandingkan dengan namaku di lauhul mahfudz? Bukankah hal itu
akan menyakitkan? Lalu bagaimana aku bisa menjelaskan pada dia yang sudah
dipersiapkan Tuhan untuk melengkapi agamaku nantinya? Aku merasa sudah mengkhianati
calon imamku. Terlebih lagi, aku seakan menuntut Tuhan dengan meminta banyak
hal.”
Alfan
menarik kedua ujung bibirnya ke atas. “Nah, itu baru adikku. Kamu sudah
menemukan sejatinya alasanmu melakukan semuanya. Dan itu adalah keputusan yang
terbaik. Jadi, apakah kamu masih menyesali keputusanmu?”
Nafa
menatap Alfan penuh arti, kemudian menggelengkan kepalanya pelan seraya
tersenyum.
“ternyata
usahaku selama ini tidak sia-sia ngajarin kamu.” Bangga alfan sembari mengacak
rambut nafa yang berada di balik jilbabnya. Nafa hanya menarik jilbabnya ke
belakang membetulkan tatanannya sebentar.
“yakin
dek. Orang yang dipersiapkan Tuhan gak mungkin salah alamat. Seperti pensil
yang tidak mungkin berisi tinta, Tuhan pasti memberikan orang yang tepat untuk
hamba-Nya.”
Perpustakaan
utama di kampus nafa terdiri dari 4 lantai dengan luas yang tidak jauh berbeda
dengan lapangan sepak bola. Saat pertama kali ke perpustakaan, bagi nafa
melewati rak-rak di tiap lantai seperti melewati labirin. Belum lagi jika
disuruh mencari salah satu buku, rasanya nafa hanya bisa melihat garis-garis
lurus di depannya. Meskipun begitu, dengan kampus dengan mahasiswa yang
kira-kira berjumlah 13.000 lebih ini, perpustakaan bisa dibilang sebagai tempat
yang sepi. Nafa melihat sebagian besar pengungjung perpus adalah bapak ibu
dosen dan mahasiswa semester akhir. Yah, karena adanya ‘syaikh google’ semuanya
jadi dimudahkan. Dengan sekali klik, makalah jadi, artikel beres, laporan tepat
waktu. Padahal semua itu adalah cara untuk membodohkan kita. Sekarang manusia
jadi malas melakukan apapun. Semuanya digantungkan pada mesin. Nafa jadi
khawatir, bisa-bisa nanti makanpun kita disuapi mesin.
“oh
iya. Selama ini kakak gak pernah cerita tentang perempuan yang kakak sukai. Jangan-jangan
kakak gak suka perempuan ya?” pertanyaan nafa yang lansung dibalas dengan pena
yang mendarat di kepala nafa.
“Auw.”
Keluh Nafa sembari mengusap kepalanya.
“ngawur
kamu!”
“lha
aku gak pernah dengar kakak deket dengan perempuan sih.”
“aku
menyukai kaum hawalah. Ada seorang perempuan yang kusukai sampai sekarang.” Alfan
tampak menatap langit di balik jendela seakan membayangkan wajah seseorang.
“oh
iya? Siapa? Kenapa gak dikenalain?” antusias nafa.
“
Berani, lamar. Gak berani, lupakan. Itu prinsip kakak. Aku gak mau dia
mengalami hal yang seperti yang kamu alami.”
Nafa
melirik sinis Alfan. Namun diam-diam ia mengagumi kakaknya itu. Andaikan saja
semua laki-laki berpikiran seperti alfan. Tapi bukankah itu seperti memaksa
semut berenang?
“sebelum
umur 30, aku akan ke Turki.” Celetuk nafa tiba-tiba yang dibalas dengan bulatan
mulut alfan.
“kenapa
Turki?”
“karena
Turki adalah negara dengan mayoritas penduduk islam di Eropa. Ingin mencari
jejak Islam di sana.” Angan Nafa.
“halaah.
Nama-nama jalan di sekitar kampus aja kamu gak tau, sok-sokan mau ke luar
negeri.” Ejek alfan.
“yheee,
aku kan nanti gak sendirian.”
“jangan
ngajak aku. Aku sibuk.” Tolak alfan dengan mengangkat tangannya ke atas.
“siapa
juga yang mau ngajak kakak? aku sama orang lain kok.”
“siapa?”
tanya alfan penasaran.
“suamiku.”
Tegas nafa seraya tersenyum manis. Untuk kesekian kalinya, alfan mengetuk
kepala nafa dengan penanya.
“otak
kecil ini gimana bisa udah mikir jauh gitu sih. Khatamin dulu Al-Qur’anmu, baru
mikir suami.”
Dan
untuk kesekian kalinya pula, nafa memanyunkan bibirnya.
An261017
0 komentar: