Kamis, 26 Januari 2017

Jika Bukan Dia - Jika Dia Bukan - Bukan Jika Dia

“Nafa!!” panggil sebuah suara dari kejauhan. Nafa sangat mengenal siapa pemilik suara itu, namun nafa lebih memilih untuk berpura-pura tidak mendengarnya. Bagaimanapun juga ia masih belum bisa menegakkan kepalanya dengan yakin. Ia khawatir kepalanya akan tertunduk kembali jika berhadapan dengannya. Dan lagi nafa tidak benar-benar yakin bisa memaksa air matanya untuk tidak egois mengintip di pelupuk matanya, lagi.

Nafa mempercepat langkahnya saat merasakan pemilik suara yang memanggilnya itu semakin mendekat. Sebisa mungkin nafa harus menghindarinya.

“Nafa!” panggil suara itu kembali dengan intensitas suara yang lebih besar. Kalau nafa tidak salah, orang itu sudah berada satu meter di belakangnya. Dengan langkah kakinya yang pendek, nafa tidak yakin bisa menghindar dari seorang yang nafa hanya sepundaknya. Jika nafa berlari…

            Segala kemungkinan bisa terjadi.

Batin nafa. Dulu, nafa pernah menjadi pelari jarak jauh tercepat kedua di kelasnya. Semoga saja predikat itu masih bisa nafa sandang. Tanpa pikir panjang langsung memasang kuda-kuda untuk mengambil langkah seribu. Namun, bukannya melesat menerabas gerombolan mahasiswa yang sudah seperti medan perang di depannya, Nafa malah tertarik kebelakang saat sebuah tangan memegang tas ranselnya. Tak perlu menebak lagi siapa pemilik tangan itu. Yah, pemilik tangan dan pemilik suara tadi adalah orang yang sama. Alfan.

“mau kemana adek kecil? Sini sama om…” ledek Alfan masih memegang ransel nafa.

“lepasin tas aku kak!” Nafa melemparkan lirikan tersinisnya pada Alfan. Alfan menggelengkan kepalanya pelan. Nafa tau, ia gak bakalan bisa kabur dengan mudah jika sudah berhadapan dengan kakaknya.

“oke. Aku gak bakalan kabur deh. Tapi lepasin donk… Malu nih dilihat orang.” rengek Nafa saat menyadari berpasang-pasang mata yang melemparkan tatapan penasaran padanya.

“lebih malu mana ketimbang kamu tiba-tiba lari kalang kabut demi menghindar dariku?”

Nafa mengangkat setengah bibirnya ke atas dan mengangkat tangan kanannya ke atas. “oke, saya menyerah. Jadi saya mohon dengan sangat anda melepaskan tas saya.”

“dengan satu syarat.” Sela Alfan. Alfan menunjuk sebuah gedung yang terdiri dari empat lantai di sampingnya dengan dagunya.  PERPUSTAKAAN UTAMA.

Yah. Bagi mereka yang peduli dengan IP, perpustakaan sudah seperti rumah kedua bagi mereka. Bagi mereka yang tidak peduli dengan IP, mungkin perpustakaan hanya seperti lukisan yang terpajang di dinding rumah. Dan untuk pasangan yang tengah kasmaran, perpustakaan bisa menjadi salah satu tempat yang direkomendasikan untuk berbincang mesra. Tapi bagi nafa yang bukan termasuk mereka yang peduli dengan IP pun tidak peduli, dan bukan juga termasuk pasangan yang tengah kasmaran,  perpustakaan seakan pengadilan jika ia masuk ke sana dengan Alfan. Dia selalu menjadi terdakwa tiap kali duduk di kursi perpustakaan bersama Alfan.

“Nafa, kamu tau kan kalau mencoba bersembunyi dariku adalah hal yang sia-sia jika kamu lakukan?” ucap Alfan yang lagsung membuat nafa tertunduk, untuk kesekian kalinya.

###

“Jadi, apa yang terjadi?” tanya alfan seraya memainkan pena di tangannya. Nafa yang duduk di depan Alfanpun hanya bisa menghela nafas dalam. Ia benar-benar merasa seperti di dalam persidangan. Namun, tidak ada gunanya juga dia menyembunyikan sesuatu dari Alfan. Dan lagi, nafa memang harus bercerita. Karena itu bisa mengurangi beban hatinya.

“Aku bilang adanya kalau dia tidak benar-benar padaku, aku akan berhenti dan akan melepas rasaku.” Awal nafa. Alfan menghentikan putaran pena ditangannya sejenak kemudian tersenyum samar. Saat nafa menyebut kata ‘dia’, alfan langsung tau kalau dia yang nafa maksud pasti fatih.

“bagus.”

“kenapa bagus? Aku serasa telah menjual harga diriku dengan bertanya pertama kali. Aku pasti tampak seperti perempuan yang menyedihkan.” Tunduk nafa seakan menyesali apa yang ia telah ia lakukan.

“enggak tuh. Jika dia memang mengenalmu, dia gak akan pernah berpikiran seperti itu. Jika aku menjadi dia, aku akan berpikir kalau kamu adalah perempuan yang pemberani.” Sebenarnya nafa tidak ingin percaya dengan kata-kata alfan, tapi entah kenapa apapun yang dikatakan alfan tidak ada yang serasa ganjal di hatinya.

“perempuan pemberani yang nekat menanyakan tentang kejelasan perasaannya pada seorang lelaki? Kakak jangan bohong deh. Pasti kakak mengatakannya hanya untuk menghiburku.” Elak nafa.

“coba jelasin dimana letak bohongku?” tantang alfan.

“di… di…” nafa tergagap menjawab pertanyaan alfan.

“sekarang aku tanya. Sudah berapa lama kamu masih bela-belain menutup hati dari orang lain demi orang yang gak jelas itu?” alfan sengaja menekan kata ‘orang yang gak jelas’ untuk mendeskriminasi nafa.

“aku gak menutup hati buat orang lain kok. Aku cuma menjaga hati.” Sahut nafa. “dan fatih bukan orang yang gak jelas. Bukankah kakak bisa melihat kakinya dengan jelas?” bela nafa yang di balas dengan desisan geregetan alfan.

“baiklah. Anggap saja dia seperti yang kamu anggap. Sekarang berapa waktu yang kamu habiskan untuk ‘menjaga orang yang bisa kulihat kakinya dengan jelas’ itu?”

Sebenarnya nafa ingin melemparkan pembelaannya kembali. Namun ia mengabaikannya karena sibuk menggerakkan jarinya seakan menghitung sesuatu. “jika dihitung dari terakhir kali aku melepasnya, sekitar 5 tahun?”

“dari lima tahun itu, kamu yakin gak dia juga menjaga hatinya untukmu?”

“sebelum dia menceritakan padaku tentang perempuan yang dekat dengannya, aku masih yakin. Tapi setelah itu, aku meragukan keyakinanku sendiri.”

“nah. Itu kamu sudah tau jawabannya.” Sahut alfan.

Nafa mengerutkan keningnya tidak mengerti. Nafa menarik bangkunya ke depan, penasaran dengan apa yang dimaksudkan alfan.

“gini ya adekku sayang. Menanyainya tentang kejelasan perasaannya padamu bukanlah hal yang memalukan, tapi sebuah keharusan yang udah seharusnya kamu lakukan. Jika kamu ragu, kenapa juga kamu harus yakin? Begitupun saat kamu yakin, kenapa juga harus ragu. Kamu meminta kejelasan karena kamu sudah meragukannya. Jika kamu terus-terusan diam seperti yang selama ini kamu lakukan, dan hanya modal yakin, kamu tidak akan pernah bisa melepas belenggu yang udah kamu ciptakan sendiri.”

“tapi dia pernah bilang, boleh jadi kita sekarang masih teman tapi tidak dengan nanti. Dari perkataannya, cara dia memperlakukanku, dan tatapannya saat kita terakhir kali bertemu, aku masih melihat tatapan yang sama saat kita pertama bertemu kak. ”

“bagaimana kamu bisa seyakin itu? orang ketemuan aja gak pernah. Telphonpun cuma beberapa kali. Referensi kamu gak bisa diterima.” Tegas alfan. Nafa memanyunkan bibirnya ke atas. Dia jadi berpikir, apakah selama ini dia salah?

“gini deh. Anggap saja kalau dia masih menjaga perasaannya padamu. Trus kamu mau ngapain?” lanjut alfan.

Nafa menggerak-gerakkan posisi duduknya yang mulai memanas. Pertanyaan alfan adalah mutlak untuk di jawab. Kalau tidak, ia tidak yakin bakal bisa keluar dari perpustakaan secepat mungkin. “aku gak mau main-main lagi kak.” Jawab Nafa. “Tapi sepertinya aku terlalu egois jika berpikiran seperti itu. Bukankah aku akan menyakiti banyak hati jika mengharapkannya? Terlebih lagi aku akan menyakitinya. Mungkin karena itu aku lebih memilih untuk berhenti. Seenggaknya aku masih punya waktu untuk menyembuhkan lukaku.”

“Stop! Kamu ini kebiasaan berpikiran seenaknya sendiri. Kalau kamu mikirin orang lain, berarti kamu gak egois adek manis... Coba deh tenangin perasaanmu dulu, baru jawab.”

Nafa menutup kelopak matanya pelan. Satu persatu bayangan hadir di balik matanya. Masa-masa sekolahnya, masa-masa nyantrinya dan terakhir masa-masa kuliahnya 5 semester kemarin. Nafa menghela nafas dalam. “Aku khawatir jika kita tidak jodoh bagaimana?” gumam nafa kemudian membuka matanya. “bagaimana jika bukan namanya yang disandingkan dengan namaku di lauhul mahfudz? Bukankah hal itu akan menyakitkan? Lalu bagaimana aku bisa menjelaskan pada dia yang sudah dipersiapkan Tuhan untuk melengkapi agamaku nantinya? Aku merasa sudah mengkhianati calon imamku. Terlebih lagi, aku seakan menuntut Tuhan dengan meminta banyak hal.”

Alfan menarik kedua ujung bibirnya ke atas. “Nah, itu baru adikku. Kamu sudah menemukan sejatinya alasanmu melakukan semuanya. Dan itu adalah keputusan yang terbaik. Jadi, apakah kamu masih menyesali keputusanmu?”

Nafa menatap Alfan penuh arti, kemudian menggelengkan kepalanya pelan seraya tersenyum.

“ternyata usahaku selama ini tidak sia-sia ngajarin kamu.” Bangga alfan sembari mengacak rambut nafa yang berada di balik jilbabnya. Nafa hanya menarik jilbabnya ke belakang membetulkan tatanannya sebentar.

“yakin dek. Orang yang dipersiapkan Tuhan gak mungkin salah alamat. Seperti pensil yang tidak mungkin berisi tinta, Tuhan pasti memberikan orang yang tepat untuk hamba-Nya.”

Perpustakaan utama di kampus nafa terdiri dari 4 lantai dengan luas yang tidak jauh berbeda dengan lapangan sepak bola. Saat pertama kali ke perpustakaan, bagi nafa melewati rak-rak di tiap lantai seperti melewati labirin. Belum lagi jika disuruh mencari salah satu buku, rasanya nafa hanya bisa melihat garis-garis lurus di depannya. Meskipun begitu, dengan kampus dengan mahasiswa yang kira-kira berjumlah 13.000 lebih ini, perpustakaan bisa dibilang sebagai tempat yang sepi. Nafa melihat sebagian besar pengungjung perpus adalah bapak ibu dosen dan mahasiswa semester akhir. Yah, karena adanya ‘syaikh google’ semuanya jadi dimudahkan. Dengan sekali klik, makalah jadi, artikel beres, laporan tepat waktu. Padahal semua itu adalah cara untuk membodohkan kita. Sekarang manusia jadi malas melakukan apapun. Semuanya digantungkan pada mesin. Nafa jadi khawatir, bisa-bisa nanti makanpun kita disuapi mesin.

“oh iya. Selama ini kakak gak pernah cerita tentang perempuan yang kakak sukai. Jangan-jangan kakak gak suka perempuan ya?” pertanyaan nafa yang lansung dibalas dengan pena yang mendarat di kepala nafa.

“Auw.” Keluh Nafa sembari mengusap kepalanya.

“ngawur kamu!”

“lha aku gak pernah dengar kakak deket dengan perempuan sih.”

“aku menyukai kaum hawalah. Ada seorang perempuan yang kusukai sampai sekarang.” Alfan tampak menatap langit di balik jendela seakan membayangkan wajah seseorang.

“oh iya? Siapa? Kenapa gak dikenalain?” antusias nafa.

Berani, lamar. Gak berani, lupakan. Itu prinsip kakak. Aku gak mau dia mengalami hal yang seperti yang kamu alami.”

Nafa melirik sinis Alfan. Namun diam-diam ia mengagumi kakaknya itu. Andaikan saja semua laki-laki berpikiran seperti alfan. Tapi bukankah itu seperti memaksa semut berenang?

“sebelum umur 30, aku akan ke Turki.” Celetuk nafa tiba-tiba yang dibalas dengan bulatan mulut alfan.

“kenapa Turki?”

“karena Turki adalah negara dengan mayoritas penduduk islam di Eropa. Ingin mencari jejak Islam di sana.” Angan Nafa.

“halaah. Nama-nama jalan di sekitar kampus aja kamu gak tau, sok-sokan mau ke luar negeri.” Ejek alfan.

“yheee, aku kan nanti gak sendirian.”

“jangan ngajak aku. Aku sibuk.” Tolak alfan dengan mengangkat tangannya ke atas.

“siapa juga yang mau ngajak kakak? aku sama orang lain kok.”

“siapa?” tanya alfan penasaran.

“suamiku.” Tegas nafa seraya tersenyum manis. Untuk kesekian kalinya, alfan mengetuk kepala nafa dengan penanya.

“otak kecil ini gimana bisa udah mikir jauh gitu sih. Khatamin dulu Al-Qur’anmu, baru mikir suami.”

Dan untuk kesekian kalinya pula, nafa memanyunkan bibirnya.


An261017

0 komentar: