Sabtu, 28 Oktober 2017

Malam itu, Aku Tau Engkau Menangis

Biasanya, aku hanya punya dua alasan kalau ingin pulang ke rumah. Pertama karena memang ada acara keluarga yang gak bisa ditinggalkan. Kedua, ketika masalah-masalah di Malang yang ingin kusisihkan sejenak. Bagiku, keluarga adalah obat yang paling ampuh dibandingkan melepas penat dengan traveling menjelajahi wisata di Malang yang udah bejibun. Begitupun dengan hari itu, aku memilih untuk memacu motorku pagi-pagi sekali ke rumah. Tidak butuh waktu terlalu banyak, hanya sekitar 1 jam setengah dengan berkendara, aku bisa melihat wajah dan senyum orang-orang rumah yang kurindukan.
(kisah pagi itu, udah kutulis di judul “ku buat air matamu mengalir, ayah”.

###

Pukul 00.10 WIB
Aku terbangun dari tidur sejenak karena alarm yang kupasang. Kertas millimeter block masih berserakan di sekitarku lengkap dengan pensil, penghapus, pena dan spidol. Mataku masih berat. Hanya sekitar satu jam setengah ku biarkan kepalaku istirahat sebentar, namun karena sebelum istirahat masih ada yang dipikirkan, tidurpun jadi tidak nyaman.

Kuangkat paksa tubuhku menuju kamar mandi, menghilangkan ‘setan-setan’ yang kata adek menggelayuti mata ketika bangun tidur. Kulihat adek-adek yang tidur melengkung di depan televisi sedangkan ayah di atas kasur dengan suara ‘ngorok’ khasnya. Aku tak menjumpai ibu, yang kuduga tidur di kamar depan.

Aku menarik nafas panjang, sebelum berkelut dengan tugas ‘kristalografi’ yang hari senin harus dikumpulkan. Padahal aku sudah menyicilnya dari tadi siang, berharap malamnya aku bisa tenang. Tapi ternyata malamkupun harus tersita. Melihat seberapa sulit dan banyaknya tugas ini, sepertinya malam selanjutnyapun aku tak akan bisa bersantai. Bukannya aku terobsesi untuk menyelesaikan tugas demi mendapat sebuah angka yang tak terlalu kupikirkan, aku hanya teringat dengan dosen yang mengajar matkul ini. Dosen yang telah mendudukkanku di ruangannya, dan memarahiku habis-habisan. Tak cukup itu, beliau juga memarahiku terang-terangan di depan kelas.

“ibu tau, kamu gak ngerti dengan apa yang dibicarakan sama pak Anton.” Awal bu Aini. Aku yang saat itu berada pada titik terlemahku, hanya bisa terdiam.

“berapa IP kamu semester ini? Padahal awal semester dulu IP kamu bagus, kenpa sekarang kayak gini? Asal lulus matkul aja gitu?”

IP?? Knapa sih dengan IP? Seakan IP bagus adalah segalanya. Jujur, semester awal-awal dulu aku memang memperdulikan IP. Tapi semakin lama, bagiku IP bukan segalanya. IP bagus tak menjamin kesuksesan.

“kemaren-kemaren kamu tak biarin nak. Ya enggak mulai kemaren, tapi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun juga tak biarin. Kenapa? Karena nulis?”

Aku langsung membelalakkan mataku. Kenapa menyebut tentang ‘nulis’ku? Dia bahkan gak salah apa-apa. Entah karena beliau menyebut hal paling sensitif bagiku (tulisan) atau karena mimik wajah dan nada bicara beliau yang terkesan lain, saat itu tangisku langsung pecah. Tangis yang coba kutahan dengan mnggigit bibir bawahku.

“kamu lebih memilih menuliskan kata-kata tentang cinta dibanding proposalmu? Bahkan laporan PKL juga belum selesai. Teman-temanmu gak ada yang menghadap ke saya. Waktu kamu tinggal sedikit lagi, kamu harus bisa memprioritaskan. Kasihan orang tuamu yang berharap kamu segera lulus dengan nilai yang baik, ternyata kamu malah seperti ini.”

Jujur, aku tak pernah menyembunyikan apapun dari orang tuaku. Bahkan tentang seorang laki-laki yang mendekatiku sekalipun, apalgi tentang kuliahku? Aku selalu menceritakan kesulitan-kesulitanku di sini pada mereka, apa harapanku, nilai-nilaiku, dan bagaimana perjuanganku memperoleh nilai yang seringkali diagungkan itu. Mungkin dulu, orang tuaku masih condong dengan prestasi di atas kertas. Tapi seiring dengan waktu, akhirnya mereka lebih terbuka dengan apa arti sejati dari sebuah angka dan huruf.

“gak usah bekerja. Saya sudah tau dengan beberapa mahasiswa saya yang bekerja dan mereka yaaah, begitu.”

Bekerja? Soal inipun aku sudah membicarakannya dengan orang tuaku. Namun, kata ‘bekerja’ bukankah terlalu kasar jika tau apa yang sebenarnya kuniatkan? Selain kuliah, aku memang ‘ngelesi’ dan mengajar di TPQ. Tapi itu bukan semerta-merta untuk uang! Aku ngelesi, karena aku suka. Sesuai dengan impianku untuk menjadi seorang guru, aku ingin mencari pengalaman bagaimana sih mengajar itu? Yang kuajarpun juga materiku, kimia. Bukankah sebelum terjun ke medan, kita harus observasi dulu keadaannya? Nah, aku gak mau ketika lulus nanti dan mengajar, aku datang dengan tangan kosong tanpa tau apa yg seharusnya ku lakukan untuk menghadapi anak-anak SMA yang tingginya melebihi tinggiku. Dan lagi, selama ini aku sudah menerima ilmu dari banyak guru, bukankah sudah seharusnya gantian aku yang memberi? Mau sampai kapan ilmu yang kuterima akan kusimpan? Selama aku mampu untuk memberikannya dan bermanfaat untuk orang lain, aku ingin mencoba.

Untuk TPQ, berbeda dengan ngelesi yang diupah sesuai dengan kedatangan dan pengajaran kita tiap bulan. Di TPQ, gak ada yang namanya system penggajian yang kayak bagaimanapun. Bisa dibilang, ini murni keikhlasan. Aku berada di bawah Lembaga Pengabdian Sosial dan Dakwah, dan founder kita punya banyak program, salah satunya 1000 guru TPQ yang disebar di Indonesia, Alhamdulillah aku salah satunya. Dan penggantian buat usaha kitapun itu murni wewenangnya ustadz. Dikasih, Alhamdulillah. Tidak dikasih, juga tak masalah. Karena jujur, aku tak terlalu memperdulikan itu. Belajar dan bermain bersama anak-anak TPQ tiap hari, adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Sesuntuk apapun pas di kampus, klo udah sama mereka itu adaaa aja yang bikin ketawa. Itu yang membuatku nyaman. Karena itu, aku tak pernah mau menerima tawaran ngajar sore. Rasanya berat kalo harus nyisihin TPQ. Karena TPQ yang diamanahkan padaku adalah TPQ yang baru, jadi bahasa jawanya kita ‘mbabat alas’. Ada beberapa temen yang lain ditaruh di TPQ yg sudah ada sebelumnya, jadi mereka bantu ngajar aja, gak perlu mikir ribet-ribet. Tapi gak enaknya, mereka mesti ngikutin aturan di sana. Belum lagi klo ada masalah sama guru seniornya. Klo ditempatku, namanya juga mbabat alas, pasti perlu usaha yang lebih keras. Buat program harian buat anak-anak, PDKT sama orang tua mereka, kegiatan-kegiatan yang ngebuat mereka semangat ngaji, buku-buu prstasi, mikirin metode hafalan mereka dll. Sulit memang, tapi kita tidak terkekang dengan aturan.

Kembali ke kemarahan dosenku.
Bukankah kata ‘bekerja’ terlalu kasar? Namun, aku tak mau memberi pembelaan. Aku sudah sesenggukan. Aku sedih, karena ternyata usahaku hanya dilihat karena uang dan dinilai dengan IP. Aku ingin memberikan pembelaan, tapi buat apa? ketika seseorang melihat kita seperti itu, mau membrikan pembelaanpun juga percuma.

            Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang mulai kabur karena garis-garis dan atom-atom yang harus kugambar di atas millimeter block. Kalau cuma 1-5 posisi atompun, gak masalah. Lha ini, bahkan aku menghabiskan sekitar 4 lembar kertas dan masih belum selesai.

Pukul 02.30 WIB
Alarm ibu berbunyi. Aku mendengar suara kasur depan berdecit dan langkah kaki berat dari sana. Keluargaku, lebih suka tidur dengan lampu yang padam. Hanya aku saja yang kurang suka tidur dengan lampu yang dimatikan. Jadi, pintu kamarku selalu ditutup agar silaunya tidak mengganggu ayah di ruang tengah. Berhubung sekarang mereka tertidur pulas, jadi pintuku tak biarin terbuka.

Aku melihat ibu berjalan ke belakang dengan langkah pelan. Diam-diam, terbesit perasaan capur aduk di dadaku. Ibu memang tidak pernah absen sholat malam dan mendoakan keluarganya. Tidak sperti aku yang masih bolong-bolong. Aku kagum sama ibu. Semoga saja nantinya aku bisa se-istiqomah ibu.

Kembali ku tatap tugasku yang belum rampung. Aku akan sholat setelah ibu selesai. Namun beberapa saat kemudian, ibu mengintipku dari pintu dengan wajah yang basah sehabis wudhu. Bukan, bukan hanya karena air wudhu. Wudhu tidak akan membuat mata dan hidung ibu memerah.

dorong mari ae ta?” tanya ibu. Dan aku tersenyum.
manton ngeten.” Jawabku berbohong. Kepala bagian belakang dan frontalku cenat-cenut. Itu adalah tanda kalau darahku drop, dan tubuhku kelelahan. Tapi karena sudah terbiasa, aku sering mengabaikannya.
Ibu membalas senyumku samar dan kembali ke belakang. Sepertinya ke musholla rumah. Aku mengernyitkan dahiku. Membolak-balik pikiranku tentang apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Dan dari situ aku yakin, ibu… menangis. Entah benar ataukah tidak, ibu menangis karenaku. Melihatku masih berkutat dengan tugas sedini hari ini, pasti membuat ibu sedih. Dan tanpa sadar, air juga menggenang di pelupuk mataku. Entah karena kelelahan, ataukah karena mendapati air mata ibu. Yang jelas, saat itu aku merasa ‘ini sulit’ dan ‘aku ingin menyerah’, namun aku tak bisa dan tak mau mengatakannya.


Aku tak bisa dan tak mau berhenti. Aku berada pada titik, dimana aku tak bisa mundur, dan aku juga tak mau tetap berdiri di tempatku. Pilihanku hanya satu, maju.

Nur Jannah, S

2 komentar:

  1. Tetep semangat mbak ana...
    Allah tidak akan membebani hambanya di luar batas kemampuannya... :) ;)

    BalasHapus