Cinta P(e)nd(e)nga(r)an Pertama
Petang itu, aku memutuskan untuk berhenti di
sebuah musholla pinggir jalan untuk sholat ashar. Bersama Raihan, teman
seperjuanganku di kampus selama ini. Kukira setelah selesai sidang skripsi,
urusanku dengan bidang akademis dan administrasi selesai, tapi ternyata masih
ada revisi-revisi yang mesti kuselesaikan sebelum diperbolehkan daftar
yudisium.
Perkara yang paling sulit ketika skripsi
menurutku bukanlah menulis skripsinya, tapi meminta tanda tangan dosen. Hanya
untuk beberapa coretan saja, terkadang aku harus menunggu berjam-jam. Belum
lagi kalau sudah janjian, eh ternyata di PHP alias pemberi harapan palsu. Aku
tau, kesibukan seorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi sebanding dengan
pangkatnya, tapi ada saat dimana aku merasa seperti lagunya Ayu Ting Ting yang
berjudul “Sakitnya tuh di sini”. Hingga tak jarang aku sering pulang telat dan
izin tidak bisa mengajar madrasah diniyah di rumah.
“kamar mandinya di mana nih Fat?” tanya Raihan
seraya meletakkan tasnya dipojok ruangan. Aku menyandarkan ranselku di samping
tas Raihan.
“gak tau juga. Sepertinya di samping deh.”
timpalku. Aku memang belum pernah berhenti di musholla ini. Biasanya aku sholat
di masjid kampus, atau masjid dekat rumah. Tapi entah kenapa hari ini aku
membelokkan motorku dan berhenti di musholla ini. MUSHOLLA BAITURRAHMAN.
Begitulah yang tertulis di dindingnya. Rumah kasih sayang. Yah, Allah pasti
akan menurunkan berjuta kasih sayangnya untuk setiap hamba yang sholat, apalagi
berjamaah di musholla. Mungkin begitulah maksud sang pemilik mushollah ini.
“Ayo anak-anak, nulis dulu. Kalau gak nulis,
tak suruh hafalan lhoh ya…”
Sebuah suara diruangan samping membuatku
tertegun. Suara yang entah kenapa mampu menghentikan detak jantungku sejenak.
Aku mengintip ruangan sebelah yang dipisahkan dengan korden berwarna biru tua.
Tampak bayang-bayang anak kecil berlarian di sana. Tubuh mungil mereka
mengingatkanku dengan murid-murid madin di rumah. Ada sebuah bayang yang duduk di depan meja panjang dan
berhadapan dengan seorang anak kecil.
“hayooo,
huruf apa ini??” suara itu terdengar sayup-sayup di tengah guyonan anak-anak. Tanpa sadar, aku melangkah hendak mengintip
siapakah pemilik suara itu. Entah kenapa seiring dengan bertambahnya langkahku,
jantungku juga semakin memompa lebih cepat. Tapi aku tak bisa menahan rasa
penasaran dengan siapakah perempuan yang berada di balik korden ini? Suaranya
lembut namun tegas. Keras namun berwibawa. Lantang dan bijaksana.
“Fatih,
kamu mau kemana? Katanya kamar mandi di sebelah sana?” tegur Raihan dan menunjuk
arah yang membelakangiku. Aku
langsung kikuk.
“eh,
iya. Ayo!” ku susul Raihan dan berjalan di depannya. Semoga saja ia tidak sadar
dengan niat ‘nakal’ ku barusan. Dia akan menertawakanku jika ia tau kalau aku
tengah mengintip seorang gadis. Namun, aku sungguh penasaran dengan
gadis itu.
Aku
melihat beberapa pasang sandal di depan mushollah yang sepertinya memang
disediakan untuk siapapun yang ingin menggunakannya untuk persiapan sholat. Kutelisik
bekas sandal yang basah itu mengarah kemana. Kamar mandi musholla ternyata
berada di sebelah kanan, yang berarti jika aku ke sana aku bisa mengintip
sekilas paras gadis itu. Kira-kira bagaimanakah rautnya? Aku yakin dari suara
dan tutur katanya ketika menasehati murid-muridnya tadi, ia memiliki
kebijaksanaan seorang guru, keluguan seorang gadis, kasih sayang seorang ibu,
dan kemanjaan seorang istri? Ah, kenapa tiba-tiba aku memikirkan hal-hal itu?
“Fatih?! kamu ngelamun apa?? Tadi buru-buru
mau sholat, sekarang malah ngelamun sendiri!”
Untuk kesekian kalinya, Raihan berhasil
membuatku salah tingkah.
#####
“walhamdulillahrabbil’alamiin. Al-Fatihah.”
Kuusap wajahku dengan kedua tangan yang baru saja menghamba pada-Nya. Raihan
menjabat tanganku dari belakang dengan bibir yang masih belum usai melafalkan
surat Al-Fatihah. Tiada harap apapun yang kuinginkan selain ‘keterlambatan’
sholatku diterima oleh Allah. Yah, padahal manusia sering kali berkeluh kesah
saat rezeki -yang sering kali maknanya disempitkan dengan uang- datang
terlambat, tapi sholat selalu diakhirkan. Bukankah itu kurang adil?
“mau kemana Han?” tanyaku saat Raihan hendak
mengangkat tubuhnya.
“pulanglah.” Jawab RaiHan yakin. Aku melirik
suara bising dibalik korden biru itu. Kukira ketika ke kamar mandi tadi, aku
bisa melirik’nya’. Tapi sepertinya bukan keberuntunganku, karena ketika lewat
di sana aku hanya bisa melihat punggung-punggung anak kecil yang
mengerubunginya. Dan rasa penasaranku masih belum terobati.
“tunggu bentarlah. Ngilangin capek dulu.” Alasan
yang rasional menurutku. Iya kan? Aku yakin Raihan tidak akan curiga. Sekarang
sudah hampir maghrib, dan sepertinya kelas TPQ akan segera berakhir. Aku akan
menunggunya pulang. Menunggu pulang?
“Ah, seharusnya aku yang menjemputnya
pulang.”
“siapa Fat?” sergah Raihan.
Aku membulatkan mataku. “eh, apa?”
“kamu tadi bilang, seharusnya kamu yang
menjemputnya pulang. Siapa?”
Aku menggaruk alisku gusar, tak bisa
memikirkan jawaban.
“ibumu?”
“eh, iya ibuku. Tadi telphon mau dijemput
pas selesai dibaan.”
“lhah, klo gitu ayo buruan pulang. Kasihan
ibumu nungguin.”
Duh. Ingin rasanya kubenturkan kepala
kosongku ke dinding mushollah. Bisa-bisanya aku jadi sebodoh ini. Mungkin benar
kata orang, jika sudah berhubungan dengan wanita, lelaki manapun bisa saja menanggalkan
otaknya. Seperti yang kualami saat ini.
Raihan mengambil tasnya di pojok ruangan
sedangkan pantatku masih menempel di lantai, dan enggan untuk kuangkat.
“ayo berdoa yok. Siapa yang mimpin doa?”
suara itu membangunkan mataku.
“ISTI’DAADAN! PERSIAPAN! SIAP! BERDOA,
MULAI!”
Allahummarhamna
bil Qur’an
Waj’al
hulanaa imaama(u) wa nuuroo(u) wa huda(u) wa rohmah
“tunggu sebentar
Han. Nunggu anak-anak ngaji pulang dulu.” Ujarku. Padahal ini cuma alasan agar
aku bisa melihat gadis itu. Ada yang pernah bilang, kata mereka cinta itu dari
mata turun ke hati. Sepertinya mereka harus munculin pepatah baru yang
menyatakan kalau bisa saja cinta itu datang dari suara turun ke hati.
Allahumma
dzakkirnaa minhumaa nasiinaa
wa
‘allilmnaa minhumaa jahilnaa war zuqnaa tilaawatahu
Raihan mengembalikan tasnya lagi dan duduk
bersila seraya mengeluarkan hape. Aku bersorak dalam hati karena berhasil
mengelabuhinya. Rasanya aku seperti mengkhianati sahabatku sendiri. Tapi tak
apalah. Bukankah ‘calon istri’ harus diutamakan?
aanaa
al laili wa athroo fan nahaar
waj’al
hulana hujjataiii yaaa robbalaalamiin
“hati-hati ya… jangan lari-lari! Belajar
lagi di rumah!” pesan suara itu menyejukkan hati. Segerombolan anak kecil mulai
memenuhi halaman mushollah. Ada yang langsung pulang, ada pula yang mapir ke
toko depan guna membeli jajanan. Ah, jadi teringat saat aku masih seumuran
mereka.
Tiba-tiba napasku langsung tercekat ketika
seorang gadis berjilbab abu-abu itu melintas di halaman musholla. Perawakannya
tidak terlalu tinggi. Dari gaya berpakainnya aku yakin ia tidak neko-neko, sederhana. Ia tampak mampir
ke toko depan. Aku bertanya-tanya,
hendak membeli apakah dia? Gadis itu membungkukkan badannya sedikit seakan
menyapa seseorang. Beberapa detik perempuan tua keluar dari sana seraya
tersenyum. Tanpa ragu, gadis itu menjabat tangannya seakan hendak berpamitan
pulang. Perempuan tua itu mengangguk seraya tersenyum, dan adegan berikutnya
berhasil membuat jantungku langsung lemas.
Aku
melihat sisa senyuman gadis itu saat berbalik menghadapku. Sekilas, sebelum ia
langsung mengalihkan pandangannya.
“subhanallah,
tatapan itu selembut suaranya.” Tanpa sadar, seulas senyum tersungging di
wajahku. Ku buntuti gadis itu hingga ia memacu motornya meninggalkan musholla.
Tak rela sedetikpun aku melewatkan geriknya.
“masyallah
Fatih! Ternyata ini alasan kamu bertindak aneh dari tadi? Pantes saja,
gara-gara cewek!”
Masa
bodo dengan kemarahan Raihan. Aku akan menghadapinya nanti. Sekarang, biarlah
dadaku merasakan rahmat terindah dari Tuhan. Cinta.
“jaga
tuh pandangan! Anak orang kok di pelototin. Ingat, pandangan kedua itu haram
hukumnya.”
“nah,
makanya itu aku gak mau ngelepas pandangan pertamaku padanya sebelum ia
benar-benar menghilang dari sana.” Balasku setelah benar-benar yakin kalau
gadis itu sudah hilang di ujung jalan.
Raihan
menggelengkan kepalanya.
“besok
sholat di sini lagi yuk Han!” ajakku.
“ogah!
Niatmu udah terkontaminasi!”
Aku
tersenyum tanpa dosa. Sepertinya aku akan lebih
sering mampir ke sini.
0 komentar: