Sabtu, 04 November 2017

Cinta P(e)nd(e)nga(r)an Pertama

Aku masih ingat kali pertama ketika aku melihatnya.
Petang itu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah musholla pinggir jalan untuk sholat ashar. Bersama Raihan, teman seperjuanganku di kampus selama ini. Kukira setelah selesai sidang skripsi, urusanku dengan bidang akademis dan administrasi selesai, tapi ternyata masih ada revisi-revisi yang mesti kuselesaikan sebelum diperbolehkan daftar yudisium.
Perkara yang paling sulit ketika skripsi menurutku bukanlah menulis skripsinya, tapi meminta tanda tangan dosen. Hanya untuk beberapa coretan saja, terkadang aku harus menunggu berjam-jam. Belum lagi kalau sudah janjian, eh ternyata di PHP alias pemberi harapan palsu. Aku tau, kesibukan seorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi sebanding dengan pangkatnya, tapi ada saat dimana aku merasa seperti lagunya Ayu Ting Ting yang berjudul “Sakitnya tuh di sini”. Hingga tak jarang aku sering pulang telat dan izin tidak bisa mengajar madrasah diniyah di rumah.
“kamar mandinya di mana nih Fat?” tanya Raihan seraya meletakkan tasnya dipojok ruangan. Aku menyandarkan ranselku di samping tas Raihan.
“gak tau juga. Sepertinya di samping deh.” timpalku. Aku memang belum pernah berhenti di musholla ini. Biasanya aku sholat di masjid kampus, atau masjid dekat rumah. Tapi entah kenapa hari ini aku membelokkan motorku dan berhenti di musholla ini. MUSHOLLA BAITURRAHMAN. Begitulah yang tertulis di dindingnya. Rumah kasih sayang. Yah, Allah pasti akan menurunkan berjuta kasih sayangnya untuk setiap hamba yang sholat, apalagi berjamaah di musholla. Mungkin begitulah maksud sang pemilik mushollah ini.
“Ayo anak-anak, nulis dulu. Kalau gak nulis, tak suruh hafalan lhoh ya…”
Sebuah suara diruangan samping membuatku tertegun. Suara yang entah kenapa mampu menghentikan detak jantungku sejenak. Aku mengintip ruangan sebelah yang dipisahkan dengan korden berwarna biru tua. Tampak bayang-bayang anak kecil berlarian di sana. Tubuh mungil mereka mengingatkanku dengan murid-murid madin di rumah. Ada sebuah bayang yang duduk di depan meja panjang dan berhadapan dengan seorang anak kecil.
“hayooo, huruf apa ini??” suara itu terdengar sayup-sayup di tengah guyonan anak-anak. Tanpa sadar, aku melangkah hendak mengintip siapakah pemilik suara itu. Entah kenapa seiring dengan bertambahnya langkahku, jantungku juga semakin memompa lebih cepat. Tapi aku tak bisa menahan rasa penasaran dengan siapakah perempuan yang berada di balik korden ini? Suaranya lembut namun tegas. Keras namun berwibawa. Lantang dan bijaksana.
“Fatih, kamu mau kemana? Katanya kamar mandi di sebelah sana?” tegur Raihan dan menunjuk arah yang membelakangiku. Aku langsung kikuk.
“eh, iya. Ayo!” ku susul Raihan dan berjalan di depannya. Semoga saja ia tidak sadar dengan niat ‘nakal’ ku barusan. Dia akan menertawakanku jika ia tau kalau aku tengah mengintip seorang gadis. Namun, aku sungguh penasaran dengan gadis itu.
Aku melihat beberapa pasang sandal di depan mushollah yang sepertinya memang disediakan untuk siapapun yang ingin menggunakannya untuk persiapan sholat. Kutelisik bekas sandal yang basah itu mengarah kemana. Kamar mandi musholla ternyata berada di sebelah kanan, yang berarti jika aku ke sana aku bisa mengintip sekilas paras gadis itu. Kira-kira bagaimanakah rautnya? Aku yakin dari suara dan tutur katanya ketika menasehati murid-muridnya tadi, ia memiliki kebijaksanaan seorang guru, keluguan seorang gadis, kasih sayang seorang ibu, dan kemanjaan seorang istri? Ah, kenapa tiba-tiba aku memikirkan hal-hal itu?
“Fatih?! kamu ngelamun apa?? Tadi buru-buru mau sholat, sekarang malah ngelamun sendiri!”
Untuk kesekian kalinya, Raihan berhasil membuatku salah tingkah.
#####
“walhamdulillahrabbil’alamiin. Al-Fatihah.” Kuusap wajahku dengan kedua tangan yang baru saja menghamba pada-Nya. Raihan menjabat tanganku dari belakang dengan bibir yang masih belum usai melafalkan surat Al-Fatihah. Tiada harap apapun yang kuinginkan selain ‘keterlambatan’ sholatku diterima oleh Allah. Yah, padahal manusia sering kali berkeluh kesah saat rezeki -yang sering kali maknanya disempitkan dengan uang- datang terlambat, tapi sholat selalu diakhirkan. Bukankah itu kurang adil?
“mau kemana Han?” tanyaku saat Raihan hendak mengangkat tubuhnya.
“pulanglah.” Jawab RaiHan yakin. Aku melirik suara bising dibalik korden biru itu. Kukira ketika ke kamar mandi tadi, aku bisa melirik’nya’. Tapi sepertinya bukan keberuntunganku, karena ketika lewat di sana aku hanya bisa melihat punggung-punggung anak kecil yang mengerubunginya. Dan rasa penasaranku masih belum terobati.
“tunggu bentarlah. Ngilangin capek dulu.” Alasan yang rasional menurutku. Iya kan? Aku yakin Raihan tidak akan curiga. Sekarang sudah hampir maghrib, dan sepertinya kelas TPQ akan segera berakhir. Aku akan menunggunya pulang. Menunggu pulang?
“Ah, seharusnya aku yang menjemputnya pulang.”
“siapa Fat?” sergah Raihan.
Aku membulatkan mataku. “eh, apa?”
“kamu tadi bilang, seharusnya kamu yang menjemputnya pulang. Siapa?”
Aku menggaruk alisku gusar, tak bisa memikirkan jawaban.
“ibumu?”
“eh, iya ibuku. Tadi telphon mau dijemput pas selesai dibaan.”
“lhah, klo gitu ayo buruan pulang. Kasihan ibumu nungguin.”
Duh. Ingin rasanya kubenturkan kepala kosongku ke dinding mushollah. Bisa-bisanya aku jadi sebodoh ini. Mungkin benar kata orang, jika sudah berhubungan dengan wanita, lelaki manapun bisa saja menanggalkan otaknya. Seperti yang kualami saat ini.
Raihan mengambil tasnya di pojok ruangan sedangkan pantatku masih menempel di lantai, dan enggan untuk kuangkat.
“ayo berdoa yok. Siapa yang mimpin doa?” suara itu membangunkan mataku.
“ISTI’DAADAN! PERSIAPAN! SIAP! BERDOA, MULAI!”
Allahummarhamna bil Qur’an
Waj’al hulanaa imaama(u) wa nuuroo(u) wa huda(u) wa rohmah
            “tunggu sebentar Han. Nunggu anak-anak ngaji pulang dulu.” Ujarku. Padahal ini cuma alasan agar aku bisa melihat gadis itu. Ada yang pernah bilang, kata mereka cinta itu dari mata turun ke hati. Sepertinya mereka harus munculin pepatah baru yang menyatakan kalau bisa saja cinta itu datang dari suara turun ke hati.
Allahumma dzakkirnaa minhumaa nasiinaa
wa ‘allilmnaa minhumaa jahilnaa war zuqnaa tilaawatahu
Raihan mengembalikan tasnya lagi dan duduk bersila seraya mengeluarkan hape. Aku bersorak dalam hati karena berhasil mengelabuhinya. Rasanya aku seperti mengkhianati sahabatku sendiri. Tapi tak apalah. Bukankah ‘calon istri’ harus diutamakan?
aanaa al laili wa athroo fan nahaar
waj’al hulana hujjataiii yaaa robbalaalamiin
“hati-hati ya… jangan lari-lari! Belajar lagi di rumah!” pesan suara itu menyejukkan hati. Segerombolan anak kecil mulai memenuhi halaman mushollah. Ada yang langsung pulang, ada pula yang mapir ke toko depan guna membeli jajanan. Ah, jadi teringat saat aku masih seumuran mereka.
Tiba-tiba napasku langsung tercekat ketika seorang gadis berjilbab abu-abu itu melintas di halaman musholla. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Dari gaya berpakainnya aku yakin ia tidak neko-neko, sederhana. Ia tampak mampir ke toko depan. Aku bertanya-tanya, hendak membeli apakah dia? Gadis itu membungkukkan badannya sedikit seakan menyapa seseorang. Beberapa detik perempuan tua keluar dari sana seraya tersenyum. Tanpa ragu, gadis itu menjabat tangannya seakan hendak berpamitan pulang. Perempuan tua itu mengangguk seraya tersenyum, dan adegan berikutnya berhasil membuat jantungku langsung lemas.
Aku melihat sisa senyuman gadis itu saat berbalik menghadapku. Sekilas, sebelum ia langsung mengalihkan pandangannya.
“subhanallah, tatapan itu selembut suaranya.” Tanpa sadar, seulas senyum tersungging di wajahku. Ku buntuti gadis itu hingga ia memacu motornya meninggalkan musholla. Tak rela sedetikpun aku melewatkan geriknya.
“masyallah Fatih! Ternyata ini alasan kamu bertindak aneh dari tadi? Pantes saja, gara-gara cewek!”
Masa bodo dengan kemarahan Raihan. Aku akan menghadapinya nanti. Sekarang, biarlah dadaku merasakan rahmat terindah dari Tuhan. Cinta.
“jaga tuh pandangan! Anak orang kok di pelototin. Ingat, pandangan kedua itu haram hukumnya.”
“nah, makanya itu aku gak mau ngelepas pandangan pertamaku padanya sebelum ia benar-benar menghilang dari sana.” Balasku setelah benar-benar yakin kalau gadis itu sudah hilang di ujung jalan.
Raihan menggelengkan kepalanya.
“besok sholat di sini lagi yuk Han!” ajakku.
“ogah! Niatmu udah terkontaminasi!”

Aku tersenyum tanpa dosa. Sepertinya aku akan lebih sering mampir ke sini.

0 komentar: