Kamis, 14 Desember 2017
“ndang
uruken arek-arek cek ndang mole!”
Bayangkan ketika kalian ngajar, tiba-tiba
denger teriakan itu dari luar? Aku aja sampe mastiin berkali-kali apakah memang
seperti itu kalimat yang dikatakan oleh ibu itu. Dan ternyata, memang itulah
yang dikatakan. Tiba-tiba saja hatiku miris. Bagaimana mungkin si ibu tega
mengatakan hal yang seperti itu?
Jujur kuakui, aku memang bukan orang situ. Aku
hanya pendatang yang mengemban amanah untuk mengajar anak-anak mengaji. TPQ
kita juga belum berbadan hukum karena kita masih mbabat alas. Apalagi aku juga berada di semester tua yang masih
kalang kabut dengan kuliah. Tapi, mengatakan hal seperti itu apa tidak kejam?
Yaah, tapi mau gimana lagi. Kita juga tidak
hidup sendirian. Ada yang suka, ada juga yang benci. Seandainya aku jadi ibu
itu, bukankah merasa senang jika mushollanya dijadikan tempat ngaji?
Pernahkah kalian menjumpai tempat yang
berisi anak-anak dalam keadaaan sepi? Kecuali tempat yang anak-anaknya tidur
semua. Bukankah anak-anak memang identik dengan keramaian? Malah itu yang
seringkali membuat kita merindukan mereka. Iya kan?
Nah, komentar jahat itu keluar karena anak-anak ramai. Bahkan tiap kali ngajar,
pasti diawasi terus. Kalau keliatan
ramai sedikit langsung diparani dan
anak-anak dimarahi. Bahkan kemaren anak-anak sampai nggerumbul semuanya di belakang saya. Ada yang langsung sembunyi
juga. Gak cukup puas, pas kita pulang kadang ya dihadang. Astaghfirullah…
Ibu itu memang sangat perhatian sama kita.
Kalau boleh berpikiran jahat, mungkin si ibu
tua itu tengah kesepian. Bayangkan saja dari pagi njaga toko depan musholla
sendirian. Dari yang kutau, anak-anak beliau juga sudah dewasa dan berumah tangga
semua. Makanya itu beliau mencari hiburan dengan berurusan sama anak-anak.
Aku jadi berpikir. Mungkin inilah yang
membuat anak-anak yang sudah dewasa terkadang ragu untuk melakukan sesuatu. Karena
dari kecil, ada orang dewasa yang seringkali membatasi kreatifitas mereka.
Bukankah seharusnya kita membiarkan anak-anak yang memasuki usia ‘golden age’ untuk menjelajahi dunia
mereka?
Kalau aku sih, oke oke aja mereka ramai
asalkan masih dalam ranah wajar. Wong mereka
lho gak sampai mecahin kaca musholla. Kalau mereka coret-coret tembok, mecahin
kaca musholla, ngahancurin lantai musholla, baru tuh aku bakal marah besar. Selama
mereka masih bermain dan ramai savety,
biarin aja. Biarkan mereka survive. Dan
lagi, kalau sampai bermain fisik dan berkata kotor, jangan ditanya deh.
Langsung bertindak deh. Kalau dibilangin gak mempan, disamperin, tak pegang
kedua tangan mereka, dan tak dudukin disampingku sampai ngaji selesai. Hahaha
Hukuman terberat untuk anak-anak itu bukan
pukulan atau cubitan atau ocehan. Tapi ketika mereka tidak bisa melakukan apa
yang mereka suka atau mereka inginkan. Itu adalah hukuman yang paling menyiksa.
Jadi, kalau misalnya nih anak-anak kalian atau murid kalian gak nurut sama
kalian, sita aja barang yang mereka suka. Misalnya mereka suka main tablet,
trus disuruh sholat atau ngaji gak mau. Sita aja tabletnya tiga hari atau
seminggu. Sepertinya hukuman itu lebih efektif deh, Hahaha
Lhoh. Ini tulisan kok jadi parenting ya. Padahal
niatnya tadi curhat. Hahaha
Yaaah, intinya empati aja deh. Gak perlu nyalahin
ibu itu juga. Mungkin niatnya baik, tapi kita yang masih belum tau. Terkadang saya
juga kuwalahan ngadepin anak-anak, tapi anak-anak yang ramai itu bukan nakal. Mereka
hanya berjiwa bebas. Dan kita gak bakal tau kan anak yang ‘berjiwa bebas’ itu
bakal terbang setinggi apa?
So, sabaaar, ikhlaaas. Insyaallah akan ada hasilnya
kok. Karena anak-anak lebih mengenal bahasa kasih sayang daripada
bahasa yang lainnya. ^_^
Nur Jannah, S
141217
0 komentar: