Selasa, 05 Desember 2017

Pasir dan Langit




ISTIRAHAT
PERPUSTAKAAN

Begitulah tulisan di atas sobekan kertas yang tadi pagi diberikan Saidah. Dari siapa lagi kalau bukan Haidar? Seorang sahabat ‘gila’ yang semakin lama semakin menularkan ‘kegilaannya’ padaku.
Ku saut dua buku yang tak pernah absen di tanganku. Satu buku Diary, dan satu buku yang berisi tulisan-tulisan, baik cerpen ataupun novel yang masih OTW. Maklum, di pesantren akses dengan computer atau barang-barang elektronik lainnya terbatas. Jadi hanya pena dan kertas yang menjadi wadahku meluapkan segala emosi.
“Naf, mau kemana??” seorang teman mencolek bahuku. Aku langsung berjingkat. Jujur, sebisa mungkin aku tidak melakukan kontak fisik kecuali dengan teman sejenis dan keluargaku.
“Kebiasaan! Gak usah pegang-pegang kenapa sih!” Hardikku.
Zainal, teman seperjuangan organisasiku, memasang wajah meminta maaf. Aku luluh.
“ada apa?” tanyaku dengan alis yang hampir bertemu, masih kesal.
“temenin minta tanda tangan kesiswaan ya buat proposal acara Diklat Jurnalistik?”
Aku langsung menghela nafas.
“sendirian emang gak bisa?”
Zainal memamerkan deretan giginya layalnya iklan pasta gigi. “gak berani.”
Aku mendengus dalam hati. Jujur, zainal memang memiliki rasa tanggung jawab yang gak diragukan lagi. Tidak salah jika kakak senior memilihnya sebagai ketua KIR laki-laki. Tapi satu kelemahan zainal, ia kurang piawai ngomong dengan lawan bicaranya, apalagi di depan umum. Mungkin inilah niatan kakak senior mendampingkanku yang bisa dibilang ‘banyak kata’ dengan zainal yang ‘tanpa kata’ untuk mengatur masa depan organisasi. Tapi sepertinya akhir-akhir ini zainal sudah mulai terbiasa ‘berbicara’. Mungkin karena setiap kali kumpul hari jumat, aku selalu memaksanya bicara di depan junior-junior kita. Awalnya ia menolak, tapi sepertinya kegalakanku lebih menyeramkan dibanding melawan kekalutannya menatap mata anak-anak.
“gak mau. Berangkat aja sama Ilyas.” Ilyas sekretaris KIR.
“ilyas gak bisa. Sama kamu ya? Ayolaah.” Zainal memelas.
“gak mau, berangkat aja sendiri! Aku juga ada perlu.” Tolakku. Aku hanya ingin zainal bergantung pada dirinya sendiri dan melawan ‘phobia’nya bertemu dengan orang. Selain itu, bukankah aku memang ada perlu? Yah. Haidar mungkin telah menungguku di perpus.
***
Tidak ada satu kepalapun yang kujumpai ketika sampai di pintu perpus. Mungkin Haidar masih ke asramanya sebentar. Entah untuk mengangkat nasi yang sudah masak, atau memidahkan jemuran yang sudah kering.
Tujuan pertamaku ketika memasuki perpus adalah tumpukan Koran di atas meja. Apalagi hari ini hari minggu, selalu ada rubrik special tiap hari minggu seperti cerpen, opini dan zodiac terkadang. Namun yang menarik perhatianku hanyalah kolom cerpen. Sambil melihat kolom itu, aku selalu berharap, nanti namaku yang akan ada di sana.
“Fakhirah, apa kabar?” sapa bu Susi, penjaga perpus yang sepertinya sudah hafal denganku.
“Alhamdulillah baik bu. Baru dari ngajar?”
“iya. Dari SMK kelas otomotif, isinya cowok semua. Ramenya masyaallah deh.” cerita bu Susi. Aku tergelak. Padahal hatiku terkagum dengan sosok pejuang ilmu. Kelak, aku ingin menjadi seperti mereka.
Kualihkan pandangan pada bukuku saat bu Susi juga terpaku di depan komputer perpus.
Jam 09.55 WIB
Waktu istirahat tinggal lima menit lagi, dan Haidar belum datang. Padahal aku sudah menulis sekitar 5 halaman.
Kemana sih nih anak! Ngajak ketemu di perpus, tapi dianya gak dateng-dateng! Awas aja kalo sampe ketemu! Jadi bubur, jadi deh!
Gerutuku dalam hati. Daripada telat masuk kelas, lebih baik aku balik saja. Biarkan Haidar mendapati perpustakaan yang kosong kalau dia benar datang. Kuangkat tubuhku beranjak dari tempat duduk yang sudah seperti bangku keduaku setelah bangku kelas.
Bu susi melemparkan senyum. Kubalas dengan senyum yang sedikit terpaksa. Jujur, aku merasa kesal. Bukan karena tidak bisa bertemu dengan Haidar, tapi karena ia yang tidak menepati janji. Keningku langsung berkerut ketika sepatuku yang tadi berada di depan pintu lenyap entah kemana. Hanya ada sepasang sepatu milik bu Susi, dan sepasang sepatu lain milik Liana, teman sekelas Haidar yang barusan masuk perpus.
Kuedarkan pandanganku menyapu sekeliling, namun nihil. Sepatuku seakan dimakan angin. Tiba-tiba saja aku terpikir kejahilan seseorang. Namun, bukankah kurang baik jika menuduh tanpa bukti?
Akhirnya ku tegaskan dugaanku dengan meminta pernyataan bu Susi yang sedari tadi berada di depan meja. Pasti beliau bisa melihat siapa saja yang melewati depan atau pintu perpus.
“Kenapa Nafa?” tanya bu Susi seraya menahan senyum. Peka sekali. Beliau seakan tau kalau aku tengah mengalami ‘pencurian’.
“sepatu saya gak ada bu. Bu susi tau?”
Aneh memang menanyakan sepatu pada gurunya sendiri. Namun, bukankah bertanya lebih baik daripada tersesat?
“coba cari lagi.” Bu Susi semakin menahan senyum. Entah kenapa perasaanku berkata, kalau Bu Susi tau sesuatu.
“Haidar ya bu?”
“ya nggak tau.” Bu Susi langsung tertawa.
Apa bu Susi menertawakan ‘kesengsaraanku’? Sungguh tega sekali. Tapi aku yakin, ini pasti ulah Haidar. Akhirnya kutanyakan pada Liana, apakah melihat Haidar? Amarahku semakin memuncak ketika mendengar kalau ternyata Haidar berada di kelasnya. Tidak salah lagi, tersangka pencuri sepatuku adalah Haidar. Siapa lagi?
Kupinjam sepatu Liana untuk ‘melabrak’ Haidar. Dia akan kutangkap!
***
“balikin nggak!” teriakku di depan kelas Haidar. Ada beberapa mata yang tampak memperhatikan kami. Siapa peduli? Aku malah berarap Haidar di massa. Biar saja. Bukankah ‘pencuri’ memang harus di adili? Tidak sekali ini saja dia ‘mencuri’ barang-barangku. Tak tehitung berapa kali ia tiba-tiba mengambil diary dan buku-bukuku, secara terang-terangan di depanku.
“gak ada di aku.”
Permainan kata. Aku sudah hafal.
“iya memang gak ada di kamu, tapi kamu yang naruh di tempat lain kan?”
“bukan di aku.”
“iyya, aku tau! Cepet kasih tau dimana kamu nyembunyiin sepatuku!”
Setelah ini kelasku waktunya pak Imron, guru paling ditakuti se sekolah. Dan aku tak mau disambut ‘semburan’ pak Imron karena telat masuk kelas.
“duuuh, Nafa sama Haidar tiap hari makin lengket aja.” Celetuk sebuah suara yang aku gak tau siapa, dan disambut dengan ‘ciyeee’ dari mulut-mulut yang lain. Jika saja aku tidak dalam keadaan terdesak, aku pasti akan melakukan pembelaan. Tapi aku tidak punya waktu untuk itu. Bel istirahat usai telah berbunyi beberapa saat lalu, sedangkan Haidar masih ‘kukeuh’ dengan kejahilannya meskipun teman-teman yang lain menyuruhnya memberikan yang kuminta. Akhirnya, jurus terakhirku keluar.
Memelas.
“kumohoon. Ini sepatu Liana, aku harus segera mengembalikannya. Sekarang aku waktunya pak Imron.” Kutundukkan wajahku lesu. Cara ini berhasil.
Haidar berjalan menuju tong sampah biru depan kelasnya dan memasukkan tangan ke sana. Saat Haidar mengeluarkan sesuatu dari sana, aku langsung menaikkan suaraku satu oktaf.
“Sepatuku, kamu taruh di tempat sampah!!!”
Haidar tertawa bangga karena berhasil menjahiliku untuk kesekian kalinya.
“siapa suruh nulis sampek gak liat kalau aku dateng ke perpus tadi. Ini pembalasan dendam.”
Dasar pendendam!
Ingin rasanya kukatakan itu padanya. Tapi kejahilan akan terus berlanjut jika aku tidak mengaku kalah.
“maaf, kamu tidak menegurku. Sekarang, sepatuku?” ku tengadahkan tanganku di depannya.
“balikin dulu sepatu Liana, tak bawain sepatu ke perpus.”
“serius?”
Aku ragu.
“janji, beneran gak bohong.” Kekunci mata Haidar. Ia serius.
“baiklah. Jika kamu bohong, kakimu yang bakal jadi korban.” Bagaimanapun aku juga merasa bersalah karena tidak menyadari kedatangannya tadi. Aku memang sering lupa waktu dan tempat kalau udah megang pena dan kertas.
Aku berjalan menuju perpus dengan Haidar yang berada beberapa langkah di belakangku.
“sudah ketemu yang ngambil naf?” Sambut bu Susi sambil tersenyum. Entah kenapa aku curiga bu Susi juga berperan dalam kejahilan Haidar.
“sudah bu.”
Ku ucapkan terimakasih pada Liana lalu menghampiri Haidar yang menunggu di depan pintu. Haidar tersenyum mencurigakan.
Benar saja. Kejahilannya masih belum sampai ekornya.
“mana sepatuku? Katanya mau kamu bawain ke sini!” Aku naik pitam untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu kurang dari satu jam.
“aku bilang akan membawakanmu sepatu, bukan sepatumu.”
Tuhan, sabarkanlah hati ini.
Haidar melirik sepatunya dan melihatku padaku.
“jangan bilang…..”
“iya. Pake sepatuku.”
“yang bener aja! Sepatu kamu gedhenya dua kali kakiku!”
“kalau gitu ya gak usah pake sepatu. Orang aku berniat baik kok.”
Berniat baik apaan!!
“baiklah. Aku pake sepatumu.” Ucapku menyerah. Entah kenapa, Haidar selalu bisa memaksaku untuk menuruti kemauannya. Dan itu membuatku kesal.
Haidar melepas sepatunya dan mengeluarkan kakinya yang tidak berkaos kaki dan menginjak tanah.
“lhoh, kamu…”
“pake sepatuku, ato sepatumu gak bakal balik.”
Aku memegang kepalaku yang pening dengan tingkah Haidar. Bagaimana mungkin aku bisa bersahabat dengan orang se’gila’ ini??
Kakiku langsung tenggelam di sepatu Haidar. Saking besarnya, hingga jalanpun aku harus menyeretnya. Jangan bertanya apakah ada yang memperhatikan kami? Banyak!! Ada yang melihat aneh, ada yang tertawa dan adapula yang main ‘ciyee ciyee’. Oke fix! Hari ini, Haidar sudah mempermainkan emosiku. Namun langkahku langsung terhenti ketika melihat seseorang yang berada di antara teman sekelas Haidar, yang tengah bercengkrama di depan kelas mereka.
Fatih. Seseorang yang dengannya aku dan dia pernah menjadi ‘kita’ dan merangkai kisah bersama. Sudah sekitar dua tahun yang lalu, namun tak bisa kupungkiri kalau namanya masih memenuhi diaryku.
Tak sengaja, mata kami bertemu. Satu detik, dua detik, aku langsung mengalihkan pandanganku. Begitupun dengannya. Hatiku kalut. Antara rindu, perih dan kebimbangan yang tak berujung. Kisah kami Tarik ulur. Entah aku yang menarik, dia yang mengulur, atau dia yang menarik, aku yang mengulur. Begitupun seterusnya hingga hati ini lelah. Namun untuk menghilangkan sebuah rasa, aku tak kuasa.
Gambar terkait
Menyadari gerikku dan Fatih, Haidar mempersempit jaraknya denganku dan berbisik,
“kamu tau Naf? Kalian itu seperti langit dan pasir. Saling menatap tapi tidak bisa saling bertemu.”
Haidar benar. Aku dan Fatih hanya berkomunikasi dengan tatapan yang tak lebih dari tiga detik. Bagaimana mungkin aku bisa mengartikan tatapan yang sesingkat itu kecuali dengan dugaan-dugaan egois kalau tatapannya masih sama seperti pertama kali ia menatapku? Aku ingin tahu, namun pantaskah aku bertanya? Aku hanya ingin tau, apakah aku sudah tersapu bersih dalam ingatannya ataukah ada puing-puing kasih yang ia sembunyikan?
“Ya ampun, nafa sama Haidar! Kalian ini bikin iri aja tau gak!”
Komentar seseorang saat melihatku dan Haidar. Yah, aku yang menggunakan sepatu Haidar sedangkan Haidar bertelanjang kaki pasti berhasil memancing kata ‘so sweet’ keluar dari pikiran orang lain. Jujur kuakui, Haidar adalah ‘sahabat gila’ yang sangat baik dan paling mengerti. Tak jarang ia melakukan hal-hal sederhana yang membuatku geregetan dan terharu sekaligus.
Tidak ada yang namanya ‘persahabatan’ antara laki-laki dan perempuan.
Begitulah kata orang.
Aku memang bersama Haidar, tapi mereka tidak pernah tau jika hatiku menatap orang lain. Namun Haidar tau itu.
Yah. Layaknya pasir dan langit. Mungkin pasir memang berada di samping laut, tapi ia tengah menatap langit. Mereka tidak akan pernah bisa bertemu kecuali salah satu dari mereka bergerak. Entah pasir yang menunggu diterbangkan angin ke langit, ataukah langit yang turun dan menghampiri pasir. Jika tidak, mereka hanya akan terus menatap tanpa tau rasa dan rindu masing-masing. Selama yang mereka bisa.

Nur Jannah, S

051217

0 komentar: