Krisis Identitas
Aku heran. Apakah seseorang dinilai berdasarkan dimana ia
tinggal?
Jika ia tinggal di pesantren, panggil mereka ‘anak pondok’. Kalau
tinggal di kos/kontrakan, panggilnya ‘anak kos’. Kalau di rumah, jadi ‘anak
rumah’. Kalian ngerasa gak sih kalau sebenernya kalimat-kalimat itu dapat
memberikan sekat?
Wong sapi yang
tinggal di ladang atau di kandang aja, mereka gak dapet sebutan ‘sapi ladang’
ato ‘sapi kandang’. Iya nggak?
Seperti yang kualami saat ini. Dua bulan yang lalu, aku masih
mendapat gelar ‘anak pondok’. Gegara pindah ke kos (jangan tanya kenapa aku
pindah, karena that’s my choice. Dan aku yakin ini yang terbaik), jadilah
labelku sekarang ‘anak kos’. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan, toh hanya
sebutan. Tapi, aku jadi bingung ketika ada yang bilang,
“Mbak Anna iki arek
kos, tapi koyok arek pondok. Aku sing arek pondok, malah koyok arek kos.”
Lhah, kan saya jadi krisis identitas. (hahaha)
Memang benar. Kebanyakan dari kita sering kali menilai
seseorang hanya dengan mata telanjang. Kalau anak pondok, pikirannya yang
bagus-bagus. Kalau anak kos, pikirannya yang gak bagus amat. Kalau anak
jalanan, pikirannya yang jelek-jelek deh. Apalagi kalau denger ‘anak punk’ atau
‘anak tril-trilan’, pikiran tambah jelek kuadrat deh!
Iya nggak?
Dari ini aku belajar.
Boleh jadi seseorang tinggal di tempat yang berbeda-beda. Tapi
satu yang tidak bisa berubah, “karakter”.
Misalnya seseorang tinggal di kos atau kontrakan, tapi kalau
dia memiliki ‘karakter santri’, siapa yang tau?
Atau seorang guru yang mengajar di sekolah, tapi juga giat
dalam membuka usaha. Bukankah beliau memiliki karakter pengusaha?
Atau seorang pengamen yang paginya mengamen di lampu merah
sedangkan kalau malam membantu anak kampungnya belajar membaca, bukankah ia
punya karakter pendidik?
Emang fungsinya istana sama gubuk apa sih? Sama aja buat
berlindung dari hujan dan panas kan?
Jadi, berhentilah menilai seseorang dari tempat dimana ia
tinggal. Tapi nilailah dari cerminan kehidupan yang ia lakukan.
Wong sapi aja gak
dibedakan berdasarkan mereka tinggal dimana kok. Masa manusia yang punya akal
masih mbeda-mbedain orang?
Sekian.
Salam.
Nur Jannah, S
061217
0 komentar: