Melepasmu
“akui saja, kamu terluka kan?” tanya –reka-
kak Alfan yang langsung membuatku terdiam dan menghindari tatapannya yang
seakan menuduhku. Ia menatapku seperti seorang pembohong.
“aku baik-baik saja kak. Ini keputusanku. Bukan,
ini keputusan kami.”
Kami? Sejak kapan aku dan dia menjadi kami? Sejak
pertama kali ia menitipkan salam padaku dari seorang teman, ataukah sejak hati
saling berpaut tanpa menegaskan ‘kau milikku dan aku milikmu’? Aku penasaran,
sejak kapankah dua orang yang saling merasa bisa menjadi kami? Jika kata kami hanya
untuk mereka yang telah mengatakan ‘Aku cinta padamu, aku menyukaimu dan aku
menyayangimu’, berarti aku dan dia tidak pantas menyandang kata kami. Karena aku ataupun dia tak pernah
mengatakannya. Tapi kenapa dengan cerobohnya aku menggunakan kata itu?
“aku tau kamu tidak baik-baik saja. Mulutmu menghianati
hatimu, dan akalmu memaksa hatimu untuk mengikuti yang kau katakan. Jika terus-terusan
seperti ini, tubuhmu yang bakal menunjukkan yang sebenarnya. Kalau kamu, terluka.” Kak alfan menekankan kata ‘terluka’.
Aku tertunduk. Kak alfan benar. Sejak tadi
pagi, tiba-tiba lambungku kambuh. Sakit sekali hingga aku melipat tubuhku
seraya merintih. Dokter yang menyarakanku untuk tidak terlalu kelelahan dan
kepikiranpun jadi teringat. Apa ini protes tubuhku?
Ku hela nafas dalam.
“terkadang, aku juga bingung kak kenapa rasa
ini bisa bertahan. Selalu muncul pertanyaan kenapa dan bagaimana? Aku tidak
pernah meminta agar perasaan ini tetap ada. Apa mungkin Tuhan yang menjaganya
untukku? Ataukah dia yang meminta Tuhan agar perasaan ini tetap ada? Kata mereka,
bertemu adalah salah satu jalan agar cinta dapat terjalin. Tapi kita bahkan
tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin rasa itu tetap ada?”
“kalian bertemu. Dalam doa. Kamu masih
mendoakannya kan?” Sela kak Alfan.
Doa? Mungkin saja. Kebiasaan doaku sejak
dulu, membuatku sulit menghilangkan namanya meskipun dengan sadar. Jadi kubiarkan
saja doa itu mengalir. Toh, tidak ada ruginya mendoakan orang. Iya kan? Tapi,
apakah dia juga mendoakanku?
Kak alfan mebenarkan posisi duduknya.
“aku ingin tau. Apa sebenarnya yang
membuatmu menyukainya. Jujur.”
“eh?” pertanyaan kak Alfan membuatku
terkejut. Aku memutar otakku, mencari-cari aspek-aspek pada dirinya yang
membuatku melabuhkan rasa. Tapi semakin mencari, aku malah tidak menemukannya. Apa
yang membuatku menyukainya?
Kak alfan masih menunggu jawabanku.
“saat kamu menyukai seseorang, kamu harus
punya alasan kenapa kamu menyukainya.”
Benarkah? Jika kita menyukai seseorang
karena alasan, jika alasan itu hilang, bukankah hilang juga rasa itu?
“alasanku menyukainya karena tidak ada
alasan. Jika aku menyukainya karena kelebihannya, jika kelebihannya tidak ada
rasa suka itu akan menghilang. Dan jika aku menemukan keburukannya, rasa itu
akan beralih menjadi kebencian. Selama ini, aku menemukan beberapa kelebihannya
yang membuat rasaku semakin bertambah. Aku juga menemukan kekurangannya yang
membuatku tidak suka. Tapi aku tidak membencinya. Tak terhitung berapa kali aku
merasa tersakiti dan bahagia bergantian. Bukankah seharusnya aku lelah dengan
itu? Tapi entahlah. Rasa itu tetap ada, tanpa alasan. Aku hanya percaya
padanya. Hati ini, mempercayainya. Dekat dengannya dapat menambah kedekatanku
dengan-Nya juga.” Pikiranku memutar kisah yang pernah ia torehkan di atas
kertasku. Mengingatnya saja membuatku tersenyum sendiri jika itu kisah indah. Jika
kisah yang memalukan, ingin rasanya kuputar waktu dan menggantinya dengan kisah
yang lebih ‘wajar’. Dan jika teringat kisah yang membuatnya terluka,
kutundukkan wajahku menyesal. Sepertinya semua lukanya adalah salahku. Aku yang
telah menghilangkan senyum di wajahnya dan mengusik ketenangannya bersama
Tuhan.
Kak alfan menarik satu ujung bibirnya.
“rugi sekali! Ia telah kehilangan orang yang
tulus menyayanginya.”
Kuangkat wajahku. Tulus? Bagaimanakah sebenarnya
perasaan yang tulus itu? Jika memang seperti yang kak Alfan duga dari setiap
ceritaku, berarti…..
“tidak kak. Bukan dia saja yang kehilangan
orang yang tulus menyayanginya. Tapi aku juga kehilangan orang yang tulus
menyayangiku.”
“jika kalian saling kehilangan, kenapa
saling melepas?”
“karena kami
tau, bukan begini jalan yang diridhoi Tuhan.”
Kak alfan tersenyum.
***
Siapa tau jalan yang ditentukan oleh Tuhan?
Perkara melepaskan adalah hal yang paling
sulit. Apalagi jika yang dilepaskan telah saling melekat dalam hati. Yang melepas
masih tersisa tentangnya, dan yang dilepas juga tidak utuh karena masih ada
bagian dari dirinya yang tertinggal di hati seberang. Jika seperti itu, basuh
dengan kasih Tuhan. Ikhlaskan dirinya pergi dengan keutuhan. Jangan egois
dengan mengambil sebagian dari dirinya. Biarkan ia terbang tinggi layaknya
merpati yang tak pernah lupa jalan pulang. Jika memang kamulah tempat
kembalinya, kalian akan bertemu kembali. Kita akan bertemu kembali.
Jika ternyata bukan aku tempat kembalimu,
semoga kau menemukan tempat kembali yang jauh lebih baik. Doakan saja agar rasa
tentangmu segera menghilang. Aku tak ingin menghianati ‘imamku’ kelak. Pernah menyayangimu
sedalam ini, membuatku merasa bersalah padanya.
Bukan hanya aku saja yang tersakiti. Iya kan?
Tapi kamu juga tersakiti. Karena itulah seharusnya sejak dulu kita melakukan
hal ini. Mengikhlaskan. Mari saling percaya, jika skenario Tuhan lebih indah. Entah
untuk kita atau masing-masing dari kita.
Jaga diri, dan tetap menjadi yang terbaik
dan lebih baik lagi. ^_^
0 komentar: