Jumat, 08 Desember 2017

Melepasmu

Hasil gambar untuk gambar burung merpati terbang
“akui saja, kamu terluka kan?” tanya –reka- kak Alfan yang langsung membuatku terdiam dan menghindari tatapannya yang seakan menuduhku. Ia menatapku seperti seorang pembohong.
“aku baik-baik saja kak. Ini keputusanku. Bukan, ini keputusan kami.”
Kami? Sejak kapan aku dan dia menjadi kami? Sejak pertama kali ia menitipkan salam padaku dari seorang teman, ataukah sejak hati saling berpaut tanpa menegaskan ‘kau milikku dan aku milikmu’? Aku penasaran, sejak kapankah dua orang yang saling merasa bisa menjadi kami? Jika kata kami hanya untuk mereka yang telah mengatakan ‘Aku cinta padamu, aku menyukaimu dan aku menyayangimu’, berarti aku dan dia tidak pantas menyandang kata kami. Karena aku ataupun dia tak pernah mengatakannya. Tapi kenapa dengan cerobohnya aku menggunakan kata itu?
“aku tau kamu tidak baik-baik saja. Mulutmu menghianati hatimu, dan akalmu memaksa hatimu untuk mengikuti yang kau katakan. Jika terus-terusan seperti ini, tubuhmu yang bakal menunjukkan yang sebenarnya. Kalau kamu, terluka.” Kak alfan menekankan kata ‘terluka’.
Aku tertunduk. Kak alfan benar. Sejak tadi pagi, tiba-tiba lambungku kambuh. Sakit sekali hingga aku melipat tubuhku seraya merintih. Dokter yang menyarakanku untuk tidak terlalu kelelahan dan kepikiranpun jadi teringat. Apa ini protes tubuhku?
Ku hela nafas dalam.
“terkadang, aku juga bingung kak kenapa rasa ini bisa bertahan. Selalu muncul pertanyaan kenapa dan bagaimana? Aku tidak pernah meminta agar perasaan ini tetap ada. Apa mungkin Tuhan yang menjaganya untukku? Ataukah dia yang meminta Tuhan agar perasaan ini tetap ada? Kata mereka, bertemu adalah salah satu jalan agar cinta dapat terjalin. Tapi kita bahkan tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin rasa itu tetap ada?”
“kalian bertemu. Dalam doa. Kamu masih mendoakannya kan?” Sela kak Alfan.
Doa? Mungkin saja. Kebiasaan doaku sejak dulu, membuatku sulit menghilangkan namanya meskipun dengan sadar. Jadi kubiarkan saja doa itu mengalir. Toh, tidak ada ruginya mendoakan orang. Iya kan? Tapi, apakah dia juga mendoakanku?
Kak alfan mebenarkan posisi duduknya.
“aku ingin tau. Apa sebenarnya yang membuatmu menyukainya. Jujur.”
“eh?” pertanyaan kak Alfan membuatku terkejut. Aku memutar otakku, mencari-cari aspek-aspek pada dirinya yang membuatku melabuhkan rasa. Tapi semakin mencari, aku malah tidak menemukannya. Apa yang membuatku menyukainya?
Kak alfan masih menunggu jawabanku.
“saat kamu menyukai seseorang, kamu harus punya alasan kenapa kamu menyukainya.”
Benarkah? Jika kita menyukai seseorang karena alasan, jika alasan itu hilang, bukankah hilang juga rasa itu?
“alasanku menyukainya karena tidak ada alasan. Jika aku menyukainya karena kelebihannya, jika kelebihannya tidak ada rasa suka itu akan menghilang. Dan jika aku menemukan keburukannya, rasa itu akan beralih menjadi kebencian. Selama ini, aku menemukan beberapa kelebihannya yang membuat rasaku semakin bertambah. Aku juga menemukan kekurangannya yang membuatku tidak suka. Tapi aku tidak membencinya. Tak terhitung berapa kali aku merasa tersakiti dan bahagia bergantian. Bukankah seharusnya aku lelah dengan itu? Tapi entahlah. Rasa itu tetap ada, tanpa alasan. Aku hanya percaya padanya. Hati ini, mempercayainya. Dekat dengannya dapat menambah kedekatanku dengan-Nya juga.” Pikiranku memutar kisah yang pernah ia torehkan di atas kertasku. Mengingatnya saja membuatku tersenyum sendiri jika itu kisah indah. Jika kisah yang memalukan, ingin rasanya kuputar waktu dan menggantinya dengan kisah yang lebih ‘wajar’. Dan jika teringat kisah yang membuatnya terluka, kutundukkan wajahku menyesal. Sepertinya semua lukanya adalah salahku. Aku yang telah menghilangkan senyum di wajahnya dan mengusik ketenangannya bersama Tuhan.
Kak alfan menarik satu ujung bibirnya.
“rugi sekali! Ia telah kehilangan orang yang tulus menyayanginya.”
Kuangkat wajahku. Tulus? Bagaimanakah sebenarnya perasaan yang tulus itu? Jika memang seperti yang kak Alfan duga dari setiap ceritaku, berarti…..
“tidak kak. Bukan dia saja yang kehilangan orang yang tulus menyayanginya. Tapi aku juga kehilangan orang yang tulus menyayangiku.”
“jika kalian saling kehilangan, kenapa saling melepas?”
“karena kami tau, bukan begini jalan yang diridhoi Tuhan.”
Kak alfan tersenyum.

***

Siapa tau jalan yang ditentukan oleh Tuhan?
Perkara melepaskan adalah hal yang paling sulit. Apalagi jika yang dilepaskan telah saling melekat dalam hati. Yang melepas masih tersisa tentangnya, dan yang dilepas juga tidak utuh karena masih ada bagian dari dirinya yang tertinggal di hati seberang. Jika seperti itu, basuh dengan kasih Tuhan. Ikhlaskan dirinya pergi dengan keutuhan. Jangan egois dengan mengambil sebagian dari dirinya. Biarkan ia terbang tinggi layaknya merpati yang tak pernah lupa jalan pulang. Jika memang kamulah tempat kembalinya, kalian akan bertemu kembali. Kita akan bertemu kembali.
Jika ternyata bukan aku tempat kembalimu, semoga kau menemukan tempat kembali yang jauh lebih baik. Doakan saja agar rasa tentangmu segera menghilang. Aku tak ingin menghianati ‘imamku’ kelak. Pernah menyayangimu sedalam ini, membuatku merasa bersalah padanya.
Bukan hanya aku saja yang tersakiti. Iya kan? Tapi kamu juga tersakiti. Karena itulah seharusnya sejak dulu kita melakukan hal ini. Mengikhlaskan. Mari saling percaya, jika skenario Tuhan lebih indah. Entah untuk kita atau masing-masing dari kita.

Jaga diri, dan tetap menjadi yang terbaik dan lebih baik lagi. ^_^

0 komentar: