Senin, 30 Juli 2018

Just (1)


Gadis itu menarik napas panjang lalu menatap pemuda yang berada di depannya, “lebih baik aku jauh darimu tapi bisa menjaga diriku daripada aku bersamamu namun harus menggadaikan kehormatanku.”
Pemuda itu tampak terdiam sejenak, seakan mencoba mencerna pernyataan yang baru saja ia dengar dan tidak pernah sedikitpun terbesit di hatinya.
“tapi bukankah kita memiliki rasa yang sama?” tanya pemuda itu seakan mengajukan banding.
“lalu?”
            Pemuda itu langsung membisu. Semilir angin menggerakkan poninya yang berantakkan ke arah samping. Terbesit harapan agar angin itu juga membawa kegelisahan hatinya menjauh. Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan hatinya yang campur aduk. Menatap gadis yang berdiri di depannya saat ini saja mengacaukan pikirannya. Ia tak menyangka akan pernyataan dan pertanyaan dari bibir gadisnya ini. Gadisnya? Bolehkah ia menyebutnya gadisnya?
            “apakah tidak ada pilihan lain?”
Gadis itu menggeleng, “jika rasa yang kau miliki memang tulus, kau tak akan memintaku bersamamu dengan cara seperti ini.”
“lalu dengan cara seperti apa agar kamu percaya?”
Gadis itu dan si pemuda saling memandang. Tatapan mereka bertemu.
“maksudmu, aku harus….”
Gadis itu mengangguk, “tidak ada pembuktian cinta selain dengan pernikahan.”
Suasanapun hening kembali. Terdengar pemuda itu menarik napas dalam sedangkan si gadis tampak menatap kosong ke arah langit. Entah apa yang mereka pikiran, bukankah tidak ada yang tau bagaimana hati seseorang selain Tuhan?
Yah. Mungkin mereka tengah berbicara pada Tuhan. Mencari jawaban atas segala kebimbangan maupun meminta kekuatan atas segala keputusan. Siapa yang tau?

0 komentar:

Jumat, 20 Juli 2018

Hari Libur Ibu

"Aku klo pulangan gak ngapa-ngapain mbak. Bajuku yang nyuci juga ibuk," cerita si A dulu.

Aku dulu sempat berpikir, "ah, enak banget ya." Bayangin coba klo di rumah cuma makan, tidur, nonton tv, maen hape aja. Nikmat mana yang gak menggiurkan??
Soalnya ketika pulang, aku tidak pernah seperti itu. Malah kebalikannya. Semua pekerjaan rumah, diserahin padaku kecuali masak, bareng sama ibuk. Jadi bisa dibilang, pulangku bukan buat istirahat tapi pengalihan pekerjaan lain. 😅

Kembali pada temanku tadi.
Tapi setelah dipikir-pikir, ngerasa gimana gitu gak sih klo nganggur di rumah? Pas ibuk nyuci, malah nonton tv. Pas ibuk nyapu, malah maen hape di atas kursi.
Alasannya,
"Kan aku udah capek belajar terus di sekolah, makanya pas pulang ya aku mau istirahat".

Never mind if you want to take a rest and didn't do anything. But, pernah bayangin gak sih klo ibuk yang bilang mau istirahat?
Tiba-tiba pagi buta ibuk bilang,
"Nak, hari ini ibuk libur dulu jadi ibu ya." Kocak gak? 😆

Ayolaaaah. Entah kalian jadi siswa, mahasiswa, PNS, Tani atau pekerjaan apapun pasti ada liburnya. Tapi jadi ibuk itu gak ada liburnya coy!!

Masa iya, pas di rumah bukannya bantuin ibu malah nambahin pekerjaannya?

Pulang, itu bukan hanya untuk liburan dan menghibur diri sendiri. Tapi untuk memberikan waktu pada ibuk agar istirahat barang dua hari atau tiga hari. Toh setelah itu, apa mungkin kalian bakal bantuin? Enggak kan?

Maybe, ketika kamu di kampus atau di pondok yang notabennya kamu hidup sendiri, you can do anything you want. Mau nyucinya seminggu sekali kek, pake loundry kek, mau ngelipet selimut jam 12 atau jam 12 masih selimutan, whatever! It's your life. But if you in house, you are a son. You are a daughter. Kamu adalah seorang anak yang seharusnya bersikap seperti seorang anak.

Coba bayangin klo anakmu nanti ngelakuin apa yang pernah kamu lakuin sama neneknya, kan humoris banget! Tinggal bilang,
"Rasain tuh! Udah dibilangin!"
😁

Maafkan klo ngomongnya rada kasar. Kesel aja pas inget ada yang ngomong gitu dengan bangganya. Seakan dunia berkiblat padanya saja. Trus pengen nulis deh.
Hehehe

Ya udah, gitu aja.
Salam,
Siti Nur Jannah

Pasuruan, 200718


0 komentar:

Sabtu, 14 Juli 2018

SURPRISE TERBAIK





Sekitar jam 7 WIB

.Dad

            Begitulah nama yang muncul di layar hapeku. Kuangkat,

            “Assalamualaikum?”

            “wa’alaikumsalam. Anna yo opo?” suara ibu.

            “napane buk? Hehehe”

            “penelitian,”

            Mendengar kata penelitian, langsunglah cerita mengalir lagi dengan sendirinya. Padahal kemarin aku sudah menceritakannya, tapi entah kenapa aku bercerita kembali. Ah, semoga saja ‘dia’ yang nanti bersamaku tidak akan bosan mendengarkan ceritaku meskipun sudah kuulang berkali-kali. Bukankah suatu hal yang sangat membahagiakan dan menyedihkan kerap kali kita ceritakan berulang-ulang?

            “berarti dino iki Anna lapo?” tanya ibu.

            “balas dendam buk. Kulo mboten kajenge medal kamar pokoke!

            Yaps! Hari-hari kemarin dari pagi sampe ashar di kampus, trus langsung meroket ke TPQ sampe maghrib. Jadi hari libur adalah pembalasanku untuk tidak melakukan apapun.

            Ibuk tertawa. “iyo wes, minggu mene sido mole kan?

            “engge buk,” Adikku ada acara di sekolah, aku harus pulang. Aku tak mau ketinggalan momen penting dari keluarga. Setelah itu telphon ditutup.

           

Sekitar jam 10 WIB

            .Dad

            Ibuk telphon lagi? ada apa?

            “assalamualaikum, Anna?”

            “ayah? Wonten nopo?” ternyata ayah. Memang sih, ayah dan ibu hanya menggunakan nomor ayah jika menelponku karena nomor ibu jarang sekali di isi pulsa.

            “yo opo penelitiane?”

            “kulo pon cerios teng ibuk…”

            “ayah yo pengen ngrungokno teko Anna,”

            Aku tertawa kecil. Lalu akupun bercerita kembali.

            “yo wes, suwon ya Anna. Ati-ati, Assalamualaikum,” pamit ayah.


Sekitar jam setengah 2 WIB.

            .Dad

            Telphon lagi??

            “anna?”

            “ngge ayah?”

            “opo warung sing ndek mburine UIN sing enak  murah iku? Nelongso?”

            “ngge, nopoo?”

            “ayah kangen sambele nelongso,..”

            “ngge teng mriki taaaa!!! Mbenjeng lho, kale ibuk kale adek-adek…” ada sedikit paksaan di sana. Kalian tau kan, orang yang merindu itu bisa berubah ganas jika ingin bertemu. (Hehehe)

            “ngonoa?”

            “nggeeee!!”

            “iyo wes insyaallah, mene sore ya….”

            “nggeee!!!” semangatku.

            “langsung ngguyu-ngguyu ngonoe Anna,”

            “ngge seneng ta disambangi. Ayah kan ngge lami mboten teng Malang.” Jawabku dengan bibir manyun, meskipun ayah tidak bisa melihatnya.

            “iyo wes,”

            Telphon ditutup lagi.


Sekitar jam setengah 3 WIB.

            .Dad

            Telphon lagi??

            “anna?”

            “ngge?”

            “Ayah ndek Malang, mari mbenakno handycam. Ayok nang nelongso.”

            “LHOH!! Sakiniki?”

            “iyo. Iki wes ndek taman balai kota, kate nang Anna. Tak enteni ndek nelongso wes ya,”

            “saestu ta ayah?!! Kulo dereng ados….”

            “gak usah ados wes, ayah kesusu…”

            “tapi mbenjeng teng mriki male kale ibuk kale adek-adek ngge?”

            “insyaallah, tak enteni ndek nelongso ya…”

            Ada kebahagiaan sekaligus sedikit kekecewaan karena ibu dan adek-adek tidak ikut. Padahal dari dulu aku sangat ingin makan bersama di nelongso.

            Telphon mati lagi. Aku langsung lari ke kamar mandi, mandi. Masa iya mau gak mandi? Percayalah, jadwal mandi semakin lambat jika sudah liburan. hahahah


            Di Nelongso…

            Kutelphon ayah.

            “ayah teng pundi?”

            “ayah ndek ndukor, nggolek nggen.”

            Nyari tempat? Ngapain? Cuma berdua mah bisa dimana aja.

            “kulo teng ngandap,”

            Beberapa saat kemudian, ayah turun dari tangga dalam dan menyusulku. Aku langsung mencium tangan ayah dan kedua pipi. Namun belum selesai aku bersalaman, hal yang mengejutkan terjadi!

            “DORR!!!” aku melihat adekku yang laki-laki lalu adekku yang perempuan. Menyusul kemudian ada ibuuuuk!!! Ada anaknya paman yang sering diasuh ibuk semenjak ibunya meninggal dan anaknya pamanku yang satunya.

            Satu kata, SPEECHLESS!!! Aku gak bisa ngomong apa-apa!!! Saking terkejutnya dan gak bisa definisiin bagaimana rasanya, ditulisan inipun aku juga tidak bisa membahasakannya.

            “surprise jare ayah. Maeng gak oleh kondo-kondo lek ibuk ambek adek-adek melok.”

            Aku melirik ayah yang tersenyum sambil menggerakkan kedua alisnya sedangkan adek-adek tertawa keras seakan berhasil dengan rencana mereka. Aku?? Aku tak bisa bilang apapun. Kalian bisa membayangkannya sendiri jika mau. Bertemu dengan keluarga yang sangat kalian rindukan, bagaimanakah rasanya?!?!

            Sudahlah. Aku tak perlu panjang lebar menjelaskan perasaanku. Yang jelas hari ini, malaikat telah berhasil menyampaikan kebahagian dari Tuhan padaku.


Malang, 14 Juli 2018



*maafkan kalau bahasasnya kurang tertata atau kalang kabut, karena aku hanya ingin segera menuliskannya saja.


0 komentar:

Senin, 09 Juli 2018

Pengakuanku



            Ah, sudah lama rasanya aku memendamnya tanpa berani mengungkapkan. Bukan karena tidak mau, tapi aku takut membuatmu meresahkanku lagi. Dan aku tidak mau itu. Bukankah akhir-akhir ini hari-harimu lebih tenang? Maksudku, tanpa kehadiranku.

            Baiklah. Darimana aku harus berterus terang? Atau aku katakan saja tanpa perlu memikirkan?

            Cinta? Memang satu hal yang rumit bukan? Kau adalah orang yang mengenalkanku pada kata ‘cinta’ dan membantuku menyelami perasaan itu dengan segala kerumitannya. Tunggu, aku tak mau membahas masa lalu. Karena aku khawatir akan terjaga sepanjang malam, bahkan malam-malam setelah ini juga jika harus menceritakan kisah ‘kita’ dari awal.

            Aku masih ingat, saat kali kedua kau menelponku (karena yang pertama adalah ketika aku tengah menangis di kamar karena sebuah masalah. Maaf, karena membuatmu mendengar tangisanku). Kali kedua, setelah aku dan kamu berpisah jarak dan jarang sekali memberi kabar. Lalu kamu bercerita tentang kisah yang tlah lalu, bersamaku. Kau jelaskan jawaban dari setiap pertanyaan yang tidak bisa kutanyakan langsung padamu dahulu dan hanya kutulis dalam bukuku. Kau terangkan setiap kisah yang tersembunyi dari mataku, yang tak bisa kau ceritakan dahulu. Bahkan kau beberkan rasa cemburu yang kau pendam dahulu. Terbesit dibenakku,

Kenapa kau tidak mengatakannya dari dulu? Jika kau katakan, mungkin cerita kita akan berbeda.

Sandainya kau tau, itulah pengakuan yang selama ini selalu ingin kudengar dan kunantikan. Dan ketika itulah rasa itu muncul kembali. Seperti matahari yang tertutup kabut tebal, lalu kabut itu tersingkap dan matahari bersinar lagi dengan terangnya. Ia tak pernah hilang, hanya saja kupakasakan kabut untuk menutupnya lebih tebal karena aku juga tidak bisa mengatakannya padamu.

Setelah itu, entah bagaimana kisah kita mulai terukir kembali. Bahagia? Tentu saja. Tapi aku juga menangis. Tangis penyesalan karena pernah menyakitimu. Tangis penyesalan karena kenapa aku tidak lebih terbuka? Tangis penyesalan kenapa aku selalu memendam semuanya? Tangis penyesalan kenapa aku memilih diam dan menunggu? Tangis penyesalan kenapa aku tidak berani berbicara padamu?

Mungkin karena itulah jika kau dapati diriku yang berbeda, karena aku tak mau mengulang kebodohanku kembali. Aku harus belajar bukan?

Tapi ternyata menjalani kisah ketika angka depan umurku 1 dan 2 berbeda. Dulu, asalkan dengan kamu, sudah tidak ada yang aku pikirkan lagi. Namun sekarang, menjalani hubungan yang entah  aku tak tau apa namanya ini sangat menguras pikiranku. Rasanya ada perang besar di hatiku. Di satu sisi, aku bahagia. Tapi di sisi yang lain ada yang berbisik kalau ini tidak seharusnya aku lakukan. Aku bahagia, tapi Tuhan tidak suka. Allah tidak ridho. Itulah yang membuat diriku kadang tidak seperti di dunia, tapi dunia serasa menumpuk di pikiranku.

Itu juga alasan kenapa aku selalu memaksakan kepastian padamu. Tapi ternyata, kamupun tak bisa memastikanku. Seandainya kau tau, kalau aku lebih sering menyalahkan diriku sendiri daripada mencari pembenaran dari apa yang kulakukan.

Beriring dengan waktu, aku merasakan pengabaian. Seakan tentang ‘rasa ini’ hanya aku yang peduli. Lalu, tiba-tiba aku merasa menjadi parasit dalam kehidupanmu. Aku merasa menjadi duri yang datang kembali. Dan aku menyalahkan diriku lagi.

Mungkin kau telah memiliki pilihan lain, hanya saja kedatanganku membuatmu ragu. Hingga akhirnya kau bingung, dan aku membuatmu khawatir kembali. Karena itulah, aku memilih pergi. Bukan karna rasaku sudah hilang atau kau sudah tak berarti lagi, sungguh bukan. Tapi karena aku tak mau menjadi duri yang menghalangi jalanmu. Aku tak mau menjadi batu sandungan ketika kamu melangkah.

Izinkan aku pergi, dan kembali pada Tuhan. Maafkan jika selama ini, kehadiranku telah menjarakkanmu dengan Tuhan. Maafkan, jika waktumu tersita karena kedatanganku. Akan kupatahkan hatiku sendiri, lalu berserah pada-Nya. Ku ikhlaskan dirimu, seseorang yang telah lama bersemayam di hatiku. Tak perlu lagi kau khawatirkan diriku. Melangkahlah lebih jauh, aku tak akan menghambatmu lagi. Pergilah dengan pilihanmu yang lain, aku tak akan menarikmu lagi. Harapanku sudah kutitipkan pada Tuhan. Saat ini, akan kusembuhkan hatiku bersama Tuhan hingga nanti Dia akan memberiku penyembuhan dengan perantara seseorang yang halal. Meskipun masih terbesit seorang penyembuh itu adalah kamu, namun aku akan menghapusnya seiring waktu. Semoga.

Dan, aku mendoakanmu. Kamu orang baik, dan kamu berhak dapat yang lebih baik.  Doakan yang terbaik untukku, untuk ‘kita’.

Bismillah. Aku mengikhlaskanmu. ^_^



0 komentar:

Selasa, 03 Juli 2018

(Bukan) Cinderella - Kehilangan Bross


Hasil gambar untuk cinderella islami            
Pukul 15.30 WIB.
            Kulirik jam di handphoneku dengan gusar sebelum kemudian beralih pada pintu yang masih belum terbuka.
            “kenapa mbak?” tanya Lia, teman sekelasku.
            “udah setengah empat,”
            “mau ke TPQ ya?”
            Aku mengangguk mengiyakan. Mataku sudah tidak fokus antara jam dan pintu rumah ustadz. Hatiku juga tidak tenang, khawatir anak-anak sudah datang dan menungguku.
            Yah, beberapa saat yang lalu aku memang sepakat dengan Lia untuk ke rumah ustadz sebelum ke TPQ, silaturrahmi. Tapi siapa yang menduga kalau ternyata pintu tertutup saat aku datang. Biasanya pintu rumah ustadz selalu terbuka. Jadi aku dan Lia menunggu di depan pintu setelah menekan bel. Sekitar 15 menit aku menunggu, namun tidak ada jawaban. Aku mulai curiga.
            Tanpa pikir panjang, kubungkukkan badanku agar bisa mengintip ke dalam rumah. Tidak sopan memang, tapi masa bodo lah, keburu waktu. Di dalam rumah gelap dan kosong, seperti tidak ada penghuninya.
            “ada apa mbak?” tiba-tiba suara laki-laki mengagetkanku. Sontak langsung ketegakkan tubuhku kembali. Pura-pura tidak bersalah. Lia terkekeh pelan. Kubulatkan mataku padanya.
            “maaf mas, ustadz ada?” Lia bertanya pada laki-laki yang biasanya membantu ustadz.
            “tadi sudah dihubungi?”
            Aku menepuk dahiku. Bodohnya!!!
            Aku memang sengaja tidak mengabari ustadz karena selama ini saat aku ke sana, ustadz selalu ada. Jadi aku dan Lia langsung berangkat saja.
            Aku dan Lia saling bertatapan lalu tersenyum kuda. Masnya ikut tersenyum.
            “sepertinya keluar semua mbak. Mau saya telphonkan?”
            Lia menatapku, meminta persetujuan.
            “aku harus berangkat. Aku sendirian Li…” ujarku dengan wajah memelas.
            “gak usah mas, makasih. Kapan waktu kita ke sini lagi, insyaallah.”
            “oh, iya mbak.”
            Setelah masnya masuk, aku langsung memacu motorku ke TPQ. Aku gak mau membuat anak-anak menunggu. Karena aku tau, menunggu itu melelahkan. (Lhah, jadi curhat). Namun seberapa cepat aku pake motor, masih saja dikira lambatnya teman-teman. Pernah suatu waktu aku dibonceng temanku dengen kecepatan kuda. Sudah kubilang aku takut, malah semakin di gas. Jadilah aku menutup mata selama di jalan, dan kalian tau pas turun? Yah, tanpa sadar nangis! Malu? tentu saja.
            Ada sedikit kelegaan ketika gang TPQ sudah terlihat. Agar segera sampai, jadilah kutambah sedikit gasku. Dan tanpa kuduga, tasku putus dan jatuh di jalan dengan suara berdebum!! Aku kaget dan langsung menepi, sedangkan tasku tertinggal di belakang. Beberapa orang yang berpapasan denganku tadi melihat ke arahku ketika ta situ jatuh. Duh, malunya. Memang sih, ta situ memang sudah putus. Karena tidak ada jarum di kos, jadinya aku pake bross buat ngaitin talinya. Salahku juga karena semua keperluan TPQ tak masukin disitu semua. Mulai dari absen, jilid-jilid, berkas-berkas, buku syahriyah, notaris dan lain-lain. Sangkaku biar kumpul di tas kecil itu semuanya. Jadi kalau mau berangkat, tinggal ngambil tasnya. Gak perlu bongkar-bongkar lagi. Makanya meskipun sudah putus masih tak pertahanin. (Entah kenapa pas nulis kalimat sebelumnya kok baper ya. Hahaha).
            Ketika hendak mengambil tasku, dari kejauhan ada seseorang yang membawa tasku dan berjalan ke arahku. Setelah mendekat, ia memberikannya padaku. Entah kenapa rasanya seperti di sinetron-sinetron. Hahaha
            “ini mbak, tasnya,” ucap lelaki itu dengan tersenyum.
            “iya mas, makasih,” jawabku dengan tersenyum juga. Tersenyum malu sebenarnya.
            “lain kali hati-hati,” lanjutnya.
            Ah, modus lelaki. Pikirku. Aku hanya mengangguk pelan lalu berjalan menuju motorku. Tak cukup waktu untuk membetulkan tali tasku, akhirnya ke selipkan saja tasku dengan jas hujan lalu segera memacu ke TPQ.
            Mereka pasti menunggu.
            ***
            “gak usah lari-lari kalau pulang. Nanti jatuh!” teriakku saat anak-anak berdesak-desakkan di pintu musholla demi pulang duluan. Padahal siapa yang keluar dari pintu duluan tidak menjamin akan sampai di rumah duluan. Ah, entahlah. Aku dulu mungkin juga seperti itu.
            Teringat tasku yang putus, akhirnya kuperiksa keadaan’nya’. Benar saja, talinya putus. Tapi tunggu, brossnya mana ya?
            “ah, mungkin hilang pas jatuh tadi,” simpulku dan mulai bersiap-siap pulang setelah membereskan semuanya.
            Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu musholla, seakan pintu rumah saja.
            “assalamualaikum,”
            Aku mendongakkan wajah.
            “waalaikumsalam?” jawabku dengan wajah yang bertanya-tanya. Ada apa?
            “ini bross kamu ya?”
            “eh?”
            Aku mendekat dan memicingkan mata. Bross hijau dengan bentuk daun itu, memang milikku!
            “soalnya tadi saya nemu di jalan pas tas kamu jatuh tadi.”
            “i-iya mas, itu punya saya.”
            Untuk kesekian kalinya, ingin rasanya kubungkus wajahku dengan kresek hitam.
            “kok tau saya di sini?” tanyaku penasaran.
            Lelaki itu tersenyum. Senyum yang mencurigakan. Jangan-jangan……….
            “motornya. Saya tadi liat parkir di depan.”
            “oh,” aku tertawa aneh.
            Saat itulah aku berpikir. Mungkin bukan Cinderella saja yang harus kehilangan sepatu kacanya lalu menjadi cerita. Siapa tau nanti ada selain Cinderella yang kehilangan bross lalu menjadi cerita?
            Hahaha. Imajinasi liarkupun mulai kemana-mana. Sedangkan laki-laki itu sudah pergi dari hadapanku.

Malang, 03 Juli 2018

0 komentar: