Just (1)
Gadis itu menarik napas panjang lalu menatap
pemuda yang berada di depannya, “lebih baik aku jauh darimu tapi bisa menjaga
diriku daripada aku bersamamu namun harus menggadaikan kehormatanku.”
Pemuda itu tampak terdiam sejenak, seakan
mencoba mencerna pernyataan yang baru saja ia dengar dan tidak pernah
sedikitpun terbesit di hatinya.
“tapi bukankah kita memiliki rasa yang sama?”
tanya pemuda itu seakan mengajukan banding.
“lalu?”
Pemuda itu
langsung membisu. Semilir angin menggerakkan poninya yang berantakkan ke arah
samping. Terbesit harapan agar angin itu juga membawa kegelisahan hatinya
menjauh. Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan hatinya yang campur aduk. Menatap
gadis yang berdiri di depannya saat ini saja mengacaukan pikirannya. Ia tak
menyangka akan pernyataan dan pertanyaan dari bibir gadisnya ini. Gadisnya? Bolehkah
ia menyebutnya gadisnya?
“apakah
tidak ada pilihan lain?”
Gadis itu menggeleng, “jika rasa yang kau
miliki memang tulus, kau tak akan memintaku bersamamu dengan cara seperti ini.”
“lalu dengan cara seperti apa agar kamu
percaya?”
Gadis itu dan si pemuda saling memandang. Tatapan
mereka bertemu.
“maksudmu, aku harus….”
Gadis itu mengangguk, “tidak ada pembuktian
cinta selain dengan pernikahan.”
Suasanapun hening kembali. Terdengar pemuda
itu menarik napas dalam sedangkan si gadis tampak menatap kosong ke arah
langit. Entah apa yang mereka pikiran, bukankah tidak ada yang tau bagaimana
hati seseorang selain Tuhan?
Yah. Mungkin mereka tengah berbicara pada
Tuhan. Mencari jawaban atas segala kebimbangan maupun meminta kekuatan atas
segala keputusan. Siapa yang tau?
0 komentar: