Jul03
(Bukan) Cinderella - Kehilangan Bross

Pukul 15.30
WIB.
Kulirik jam
di handphoneku dengan gusar sebelum kemudian beralih pada pintu yang masih
belum terbuka.
“kenapa
mbak?” tanya Lia, teman sekelasku.
“udah
setengah empat,”
“mau ke TPQ
ya?”
Aku mengangguk
mengiyakan. Mataku sudah tidak fokus antara jam dan pintu rumah ustadz. Hatiku juga
tidak tenang, khawatir anak-anak sudah datang dan menungguku.
Yah,
beberapa saat yang lalu aku memang sepakat dengan Lia untuk ke rumah ustadz
sebelum ke TPQ, silaturrahmi. Tapi siapa yang menduga kalau ternyata pintu
tertutup saat aku datang. Biasanya pintu rumah ustadz selalu terbuka. Jadi aku
dan Lia menunggu di depan pintu setelah menekan bel. Sekitar 15 menit aku
menunggu, namun tidak ada jawaban. Aku mulai curiga.
Tanpa pikir
panjang, kubungkukkan badanku agar bisa mengintip ke dalam rumah. Tidak sopan
memang, tapi masa bodo lah, keburu waktu. Di dalam rumah gelap dan kosong,
seperti tidak ada penghuninya.
“ada apa
mbak?” tiba-tiba suara laki-laki mengagetkanku. Sontak langsung ketegakkan
tubuhku kembali. Pura-pura tidak bersalah. Lia terkekeh pelan. Kubulatkan mataku
padanya.
“maaf mas,
ustadz ada?” Lia bertanya pada laki-laki yang biasanya membantu ustadz.
“tadi sudah
dihubungi?”
Aku menepuk
dahiku. Bodohnya!!!
Aku memang
sengaja tidak mengabari ustadz karena selama ini saat aku ke sana, ustadz
selalu ada. Jadi aku dan Lia langsung berangkat saja.
Aku dan Lia
saling bertatapan lalu tersenyum kuda. Masnya ikut tersenyum.
“sepertinya
keluar semua mbak. Mau saya telphonkan?”
Lia menatapku,
meminta persetujuan.
“aku harus
berangkat. Aku sendirian Li…” ujarku dengan wajah memelas.
“gak usah
mas, makasih. Kapan waktu kita ke sini lagi, insyaallah.”
“oh, iya
mbak.”
Setelah
masnya masuk, aku langsung memacu motorku ke TPQ. Aku gak mau membuat anak-anak
menunggu. Karena aku tau, menunggu itu melelahkan. (Lhah, jadi curhat). Namun seberapa
cepat aku pake motor, masih saja dikira lambatnya teman-teman. Pernah suatu
waktu aku dibonceng temanku dengen kecepatan kuda. Sudah kubilang aku takut,
malah semakin di gas. Jadilah aku menutup mata selama di jalan, dan kalian tau
pas turun? Yah, tanpa sadar nangis! Malu? tentu saja.
Ada sedikit
kelegaan ketika gang TPQ sudah terlihat. Agar segera sampai, jadilah kutambah
sedikit gasku. Dan tanpa kuduga, tasku putus dan jatuh di jalan dengan suara
berdebum!! Aku kaget dan langsung menepi, sedangkan tasku tertinggal di
belakang. Beberapa orang yang berpapasan denganku tadi melihat ke arahku ketika
ta situ jatuh. Duh, malunya. Memang sih, ta situ memang sudah putus. Karena tidak
ada jarum di kos, jadinya aku pake bross buat ngaitin talinya. Salahku juga
karena semua keperluan TPQ tak masukin disitu semua. Mulai dari absen,
jilid-jilid, berkas-berkas, buku syahriyah, notaris dan lain-lain. Sangkaku
biar kumpul di tas kecil itu semuanya. Jadi kalau mau berangkat, tinggal
ngambil tasnya. Gak perlu bongkar-bongkar lagi. Makanya meskipun sudah putus
masih tak pertahanin. (Entah kenapa pas nulis kalimat sebelumnya kok baper ya.
Hahaha).
Ketika hendak
mengambil tasku, dari kejauhan ada seseorang yang membawa tasku dan berjalan ke
arahku. Setelah mendekat, ia memberikannya padaku. Entah kenapa rasanya seperti
di sinetron-sinetron. Hahaha
“ini mbak,
tasnya,” ucap lelaki itu dengan tersenyum.
“iya mas,
makasih,” jawabku dengan tersenyum juga. Tersenyum malu sebenarnya.
“lain kali
hati-hati,” lanjutnya.
Ah, modus lelaki. Pikirku. Aku hanya
mengangguk pelan lalu berjalan menuju motorku. Tak cukup waktu untuk
membetulkan tali tasku, akhirnya ke selipkan saja tasku dengan jas hujan lalu
segera memacu ke TPQ.
Mereka pasti
menunggu.
***
“gak usah
lari-lari kalau pulang. Nanti jatuh!” teriakku saat anak-anak berdesak-desakkan
di pintu musholla demi pulang duluan. Padahal siapa yang keluar dari pintu
duluan tidak menjamin akan sampai di rumah duluan. Ah, entahlah. Aku dulu
mungkin juga seperti itu.
Teringat tasku
yang putus, akhirnya kuperiksa keadaan’nya’. Benar saja, talinya putus. Tapi
tunggu, brossnya mana ya?
“ah, mungkin
hilang pas jatuh tadi,” simpulku dan mulai bersiap-siap pulang setelah
membereskan semuanya.
Tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu musholla, seakan pintu rumah saja.
“assalamualaikum,”
Aku mendongakkan
wajah.
“waalaikumsalam?”
jawabku dengan wajah yang bertanya-tanya. Ada apa?
“ini bross
kamu ya?”
“eh?”
Aku mendekat
dan memicingkan mata. Bross hijau dengan bentuk daun itu, memang milikku!
“soalnya
tadi saya nemu di jalan pas tas kamu jatuh tadi.”
“i-iya mas,
itu punya saya.”
Untuk kesekian
kalinya, ingin rasanya kubungkus wajahku dengan kresek hitam.
“kok tau
saya di sini?” tanyaku penasaran.
Lelaki itu
tersenyum. Senyum yang mencurigakan. Jangan-jangan……….
“motornya. Saya
tadi liat parkir di depan.”
“oh,” aku
tertawa aneh.
Saat itulah
aku berpikir. Mungkin bukan Cinderella saja yang harus kehilangan sepatu
kacanya lalu menjadi cerita. Siapa tau nanti ada selain Cinderella yang kehilangan
bross lalu menjadi cerita?
Hahaha. Imajinasi
liarkupun mulai kemana-mana. Sedangkan laki-laki itu sudah pergi dari
hadapanku.
Malang, 03 Juli 2018
0 komentar: