Senin, 09 Juli 2018

Pengakuanku



            Ah, sudah lama rasanya aku memendamnya tanpa berani mengungkapkan. Bukan karena tidak mau, tapi aku takut membuatmu meresahkanku lagi. Dan aku tidak mau itu. Bukankah akhir-akhir ini hari-harimu lebih tenang? Maksudku, tanpa kehadiranku.

            Baiklah. Darimana aku harus berterus terang? Atau aku katakan saja tanpa perlu memikirkan?

            Cinta? Memang satu hal yang rumit bukan? Kau adalah orang yang mengenalkanku pada kata ‘cinta’ dan membantuku menyelami perasaan itu dengan segala kerumitannya. Tunggu, aku tak mau membahas masa lalu. Karena aku khawatir akan terjaga sepanjang malam, bahkan malam-malam setelah ini juga jika harus menceritakan kisah ‘kita’ dari awal.

            Aku masih ingat, saat kali kedua kau menelponku (karena yang pertama adalah ketika aku tengah menangis di kamar karena sebuah masalah. Maaf, karena membuatmu mendengar tangisanku). Kali kedua, setelah aku dan kamu berpisah jarak dan jarang sekali memberi kabar. Lalu kamu bercerita tentang kisah yang tlah lalu, bersamaku. Kau jelaskan jawaban dari setiap pertanyaan yang tidak bisa kutanyakan langsung padamu dahulu dan hanya kutulis dalam bukuku. Kau terangkan setiap kisah yang tersembunyi dari mataku, yang tak bisa kau ceritakan dahulu. Bahkan kau beberkan rasa cemburu yang kau pendam dahulu. Terbesit dibenakku,

Kenapa kau tidak mengatakannya dari dulu? Jika kau katakan, mungkin cerita kita akan berbeda.

Sandainya kau tau, itulah pengakuan yang selama ini selalu ingin kudengar dan kunantikan. Dan ketika itulah rasa itu muncul kembali. Seperti matahari yang tertutup kabut tebal, lalu kabut itu tersingkap dan matahari bersinar lagi dengan terangnya. Ia tak pernah hilang, hanya saja kupakasakan kabut untuk menutupnya lebih tebal karena aku juga tidak bisa mengatakannya padamu.

Setelah itu, entah bagaimana kisah kita mulai terukir kembali. Bahagia? Tentu saja. Tapi aku juga menangis. Tangis penyesalan karena pernah menyakitimu. Tangis penyesalan karena kenapa aku tidak lebih terbuka? Tangis penyesalan kenapa aku selalu memendam semuanya? Tangis penyesalan kenapa aku memilih diam dan menunggu? Tangis penyesalan kenapa aku tidak berani berbicara padamu?

Mungkin karena itulah jika kau dapati diriku yang berbeda, karena aku tak mau mengulang kebodohanku kembali. Aku harus belajar bukan?

Tapi ternyata menjalani kisah ketika angka depan umurku 1 dan 2 berbeda. Dulu, asalkan dengan kamu, sudah tidak ada yang aku pikirkan lagi. Namun sekarang, menjalani hubungan yang entah  aku tak tau apa namanya ini sangat menguras pikiranku. Rasanya ada perang besar di hatiku. Di satu sisi, aku bahagia. Tapi di sisi yang lain ada yang berbisik kalau ini tidak seharusnya aku lakukan. Aku bahagia, tapi Tuhan tidak suka. Allah tidak ridho. Itulah yang membuat diriku kadang tidak seperti di dunia, tapi dunia serasa menumpuk di pikiranku.

Itu juga alasan kenapa aku selalu memaksakan kepastian padamu. Tapi ternyata, kamupun tak bisa memastikanku. Seandainya kau tau, kalau aku lebih sering menyalahkan diriku sendiri daripada mencari pembenaran dari apa yang kulakukan.

Beriring dengan waktu, aku merasakan pengabaian. Seakan tentang ‘rasa ini’ hanya aku yang peduli. Lalu, tiba-tiba aku merasa menjadi parasit dalam kehidupanmu. Aku merasa menjadi duri yang datang kembali. Dan aku menyalahkan diriku lagi.

Mungkin kau telah memiliki pilihan lain, hanya saja kedatanganku membuatmu ragu. Hingga akhirnya kau bingung, dan aku membuatmu khawatir kembali. Karena itulah, aku memilih pergi. Bukan karna rasaku sudah hilang atau kau sudah tak berarti lagi, sungguh bukan. Tapi karena aku tak mau menjadi duri yang menghalangi jalanmu. Aku tak mau menjadi batu sandungan ketika kamu melangkah.

Izinkan aku pergi, dan kembali pada Tuhan. Maafkan jika selama ini, kehadiranku telah menjarakkanmu dengan Tuhan. Maafkan, jika waktumu tersita karena kedatanganku. Akan kupatahkan hatiku sendiri, lalu berserah pada-Nya. Ku ikhlaskan dirimu, seseorang yang telah lama bersemayam di hatiku. Tak perlu lagi kau khawatirkan diriku. Melangkahlah lebih jauh, aku tak akan menghambatmu lagi. Pergilah dengan pilihanmu yang lain, aku tak akan menarikmu lagi. Harapanku sudah kutitipkan pada Tuhan. Saat ini, akan kusembuhkan hatiku bersama Tuhan hingga nanti Dia akan memberiku penyembuhan dengan perantara seseorang yang halal. Meskipun masih terbesit seorang penyembuh itu adalah kamu, namun aku akan menghapusnya seiring waktu. Semoga.

Dan, aku mendoakanmu. Kamu orang baik, dan kamu berhak dapat yang lebih baik.  Doakan yang terbaik untukku, untuk ‘kita’.

Bismillah. Aku mengikhlaskanmu. ^_^



0 komentar: