Rabu, 31 Oktober 2018

Kertas Ujian MTK

"Pokoknya, kalau nilai matematikaku jelek, tanggung jawab kamu." Ucapnya ketika di perpustakaan saat itu.
"Loh? Kok gitu? Kamu yang ngerjain, kenapa aku yang tanggung jawab?" Balasku tidak terima. Tapi yang diprotes malah senyam-senyum seakan tidak mau tau. Kulemparkan lirikan tajamku padanya.
"Kalau begitu, nilai bhasa inggrisku, kamu yang tanggung jawab!" Aku balik menantang. Awalnya aku cuma menggertak saja, tapi ternyata dia malah menyanggupi.
"Setuju." Aku langsung lemas. Memikirkan matematikaku sendiri saja sudah kepayahan, bagaimana mungkin aku memikirkan untuk dia juga?
Tapi kesepakatan sudah terlanjur, dan aku terlalu malu jika harus membatalkannya sendiri.
---***---
Hari itu pas ujian akhir madrasah, dan bertepatan waktunya matematika. Sebelumnya, ia sudah kubikinkan rangkuman catatan rumus meskipun masih belum semuanya.
"Nanti habis ujian, tunggu di sini." Ucapnya sebelum masuk ke kelasnya. Karna itulah ketika semua anak sudah berhamburan keluar, aku menelisik mencari kepalanya. Lalu kulihat ia keluar dari kelas dan berjalan mendekatiku.
"Gimana?" Tanyaku tentang ujiannya.
Dia mengangkat jari jempolnya, dan tersenyum.
"Syukurlah, bisa semua?"
"Yang gak bisa kubuletin." Ujarnya seraya memberikanku kertas ujiannya sebelum kemudian berpamitan untuk kembali ke asrama duluan.
Namun, saat kulihat kertasnya, hampir semua nomor dia bulati! Hanya sekitar 10 nomor yang tidak ada coretannya. Aku langsung lunglai, seakan bebnku setelah akan semakin banyak.
Kemudian aku melihat tulisan di bagian kertas yang kosong. Tulisan yang memang sengaja ia berikan padaku, atau hanya dia tulis sembarang. Namun, hatiku berdesir ketika membacanya.


0 komentar:

Senin, 29 Oktober 2018

Persembahan Rasaku Untukmu


            “mbak nafa, ini dapat kiriman.” Kata Sarah, yang mengahdapngku di depan kamarnya saat aku  hendak ke kamar mandi.
           “kiriman? Dari siapa?” aku balik bertanya. Seingatku, aku tak pernah memesan barang online sebelumnya. Aku juga tak punya saudara jauh yang berinisiatif memberiku kejutan haidah tiba-tiba. Lalu, kiriman dari siapa?
            “kurang tau mbak. Tadi pak posnya bilang buat mbak Nafa gitu.” Sarah menyodorkan kotak sedang berbungkus warna coklat. Kulihat nama dan alamat penerimanya, memang benar namaku. Naflah Fakhirah. Alamatnyapun memang alamat asrama ini. Saat aku melihat nama pengirimnya, keningku mengkerut.
Imam mustofa? Siapa?
Aku memutar otakku mencari-cari file nama ‘Imam Mustofa’ yang mengirimku paketan ini. Tapi, nihil. Aku tak teringat siapapun. Malahan aku tak pernah merasa punya teman ataupun kenalan bernama imam mustofa. Ah, siapa pula orang ini.
            “bener buat mbak nafa kan?” Sarah mencoba memastikan.
            “iya sih…”
            “ya berarti emang buat mbak.”
            “gitu ya?”
            Meskipun nama disitu memang namaku, aku jadi ragu kalau paketan ini memang untukku.
            “ya udah deh. Makasih ya sarah…”
            “yuhu mbak.”
            Akhirnya kutaruh paketan itu di kamar sebelum aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Adzan maghrib berkumandang, sedangkan aku masih belum mandi karena baru selesai kuliah.
---***----
            Kulemparkan sajadahku sembarang ke atas kasur dan langsung merebahkan punggung di sampingnya. Subhanallah, rasanya seperti terlentang di atas sakura yang berguguran. Lelah karena sejak pagi hingga sore bak bola pimpong yang dilemparkan kesana kemari, akhirnya aku bisa menikmati nyamannya kasur lantai kesayanganku. Mataku terpejam, menikmati setiap titik tulangku yang mulai meluruskan diri mereka sendiri. Lalu aku teringat paketan ‘misterius’ tadi.
            Paketan itu masih berada di atas lemari, tempat dimana aku pertama menaruhnya tadi. Kubolak-balik kotak itu berharap bisa menerka-nerka apa isinya. Sembari duduk di samping pintu, kubuka setiap lapis kertas yang membungkusnya hingga akhirnya aku tau apa isinya.
            “buku?” aku bergumam sendiri, karena aku memang sendiri sekamar. Menurutku, ini lebih nyaman dengan suasana hatiku yang tak karu-karuan mendekati ujian akhir. Banyak yang bilang, suasana kamar itu tergantung suasana hati. Jadi saat sendiri sekamar, aku tak perlu sungkan jika harus membiarkan kamarku berantakkan.
            Surat dari Masa Lalu
            Itulah judul bukunya. Sebuah Novel, ditulis oleh Alfan Asyfi. Tunggu. Alfan Asyfi? Seakan aku pernah mendengar namanya. Tapi dimana?
            Kubuka bungkus novel yang masih baru itu. Dari sampulnya, novel ini diterbitkan oleh salah satu penerbit mayor di Yogyakarta. Wah, hebat sekali bisa tembus mayor. Aku saja masih bisa menembus penerbit indie saja. Diterbitin oleh penerbit mayor, adalah salah satu impian terbesarku. Aku ingin menjadi penulis yang tulisannnya bermanfaat dan dikenal dunia. Beruntung bisa best seller dan dijadikan film. Ah, kuharap ada malaikat yang lewat dan mengaminkannya. Semoga.
            Tiba-tiba, ada telpon masuk. Dari nomor yang tak ku kenal. Akhir-akhir ini, nomor ini memang sering menghubungiku, tapi tidak kurespon. Aku memang orang yang paling malas kalau disuruh balas nomor asing. Lha saat telphon dan kuangkat, malah tidak ada suara. Kan jadi malas.
            Daripada mengganggu terus-terusan, mending kubilang saja untuk tidak menghubungiku lagi. akhirnya kutekan tombol jawab.
            “Assalamualaikum. Maaf,”
            “Assalamualaikum.” Suara dari seberang sana membuatku batal untuk menyampaikan maksudku untuk berhenti menghubungiku. Suaranya berat, dengan sedikit getaran di sana. Entah getaran karena apa. Mungkin dia tengah sakit tenggorokan.
            “wa-walaikumsalam,” akhirnya aku menjawab.
            “Nafa?” suara itu tampak tak asing, seakan aku pernah mendengarnya.
            “iya benar. Ini siapa ya?”
            “paketannya udah sampe?”
            Kulihat kertas bungkus yang masih berserakan di lantai.
            “oh, ini yang ngirim paketan? Imam Mustofa?”
            Suara diseberang cekikikan. Lhah, bukannya dijawab kok malah tertawa? Aku jadi bingung.
            “iya, imam pilihan.” Jawabnya dengan senyum yang masih tersisa. Aku langsung memasang wajah datar. Orang ini siapa sih? Maunya apa coba?
            “maaf, bisa jawab to the point aja? kalau tidak, saya tutup.” tegasku.
            “kamu masih sama seperti dulu.” Ujarnya.
            Baiklah, aku mulai kehabisan kesabaran. Aku tidak suka meladeni orang asing yang ngajak ‘berantem’ gini.
            “maaf, saya…”
            “kamu tidak ingat aku?”
            “bisa langsung sebutkan nama?”
            “aku Alfan Naf,”
            Alfan. Alfan. Alfan. Siapa?
            “Maaf, Alfan yang mana ya?”
            “kita pernah seorganisasi di Lembaga Kader Dakwah dulu.”
            Lembaga Kader Dakwah? MA dulu? Aku mencoba mengingat-ngingat, hingga akhirnya menemukan satu nama.
            “Masyallah! kak Alfan?? Kak Alfan ketua LKD dulu?” seruku bangga karena berhasil mengingat. Biasanya aku adalah pelupa parah. Jadi saat mengingat sesuatu, merupakan sebuah pencapaian yang harus kubanggakan sendiri.
            “Alhamdulillah, masih ingat.” Jawab kak Alfan.
            “oalaah, kok gak bilang tho? Kan jadi gak enak. Maaf ya kak…”
            “ya ini kan udah bilang.”
            “ya lebih awal dong…”
            “emang kenapa kalau lebih awal? Biar lebih ramah gitu?”
            “ya mungkin. Hehehe”
            “janganlah, jangan ramah-ramah. Nanti yang nelpon terpikat semua.”
            “eiiih,  apaan coba! Oh iya, ini kak Alfan yang ngirim paketnya? Kok atas nama imam mustofa? Trus, ini bukunya kak Alfan yang nulis ya?” tanyaku penasaran.
            “jawabannya ada di buku.”
            “ha? Maksudnya?” kulihat buku yang saat ini berada digenggamanku.
            “ya udah, jawabannya tak tunggu seminggu lagi ya.”
            “jawaban apa?”
            “baik-baik di sana. Wassalamualaikum.”
            Lalu telphon dimatikan, sedangkan kepalaku penuh tanda tanya. Apa maksud dari kak Alfan? Dan apa hubungannya dengan buku yang dia kirim?
Tepat dihalaman pertama, kubaca tulisan persembahan yang sangat mengejutkanku.
            Tulisan ini kupersembahkan untukmu yang telah menjadi kisah sebelumnya dan kuharapkan menjadi kisah setelahnya, di hadapan-Nya. Naflah Fakhirah.
            What?!?! Apa ini maksudnya?? Buku ini dipersembahkan untukku? Kenapa? Kok bisa? kak Alfan? Aku benar-benar terkejut. Antara percaya dan tidak percaya, kak Alfan menulis buku untukku? Aku benar-benar tak habis pikir hingga kuselami setiap baris kata di depanku seketika. Hingga akhirnya aku faham, buku ini bercerita tentang perjalanan rasa kak Alfan, kepadaku. Perasaan yang menunggu jawabannya seminggu lagi.

 Malang, 291018


0 komentar:

Minggu, 28 Oktober 2018

LAST DAY


Hari itu, hari terakhir aku menghabiskan waktu di sekolah dengannya.
“LAST DAY”
Itulah nama acara kita hari itu. Acara yang memang dibuat untuk siswa-siswi kelas XII sebagai perpisahan. Ah, betapa benci aku dengan kata terakhir dan perpisahan. Aku masih ingat, ketika hari terakhir UNAS, aku dan dia bertemu di lorong sekolah. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang jika ingin bertemu salah satu memberi surat atau menitip salam terlebih dahulu. Tapi kali ini seakan kita tau kalau masing-masing dari kita harus bertemu terlebih dahulu sebelum pulang.
“jadi, ini hari terakhir?” tanyaku seraya menatapnya. Ia hanya balas menatapku tanpa mengatakan apapun. Sedetik, dua detik, tiga detik, ia tersenyum kecil lalu mengangguk. Sedangkan aku menunduk. Namun, karena tak mau tampak jelas jika aku sedih, akhirnya kuangkat wajahku dan tersenyum. Berusaha tersenyum lebih tepatnya.
“kamu, lancar?” tanyanya. Kuangkat kedua bahuku. Ia tersenyum. Lalu suasana hening kembali. Selama yang kuingat, baru kali itu aku dan dia tampak kikuk. Tak tau harus bicara apa. hanya terdiam, saling memandang sambil sesekali melihat hiruk pikuk teman-teman yang lain di sekitar kami. Tentu saja, ini adalah akhir dari perjuangan mereka di bangku SMA. Siapa yang tidak bahagia? Kecuali aku tentunya. Kebahagiaan karena telah menyelesaikan ujian, tidak lebih besar dari kesedihanku harus berpisah dengannya. Keheningan diantara kami pecah saat ada teman sekelasnya yang mulai menggodaku dan dia. Kami tertawa-tawa dan ikut membuat kebisingan. Ini hari terakhir, kenapa aku harus merusaknya dengan menunjukkan wajah tidak bahagia?
Sebelum pulang, ia memanggilku dan menghampiriku. Ia menimbang-nimbang dua kartu ujian di tangannya lalu memberikannya padaku. Aku terkekeh. Lalu kuberikan satu punyaku padanya. Sama seperti 3 tahun yang lalu, ketika aku juga mendapat kartu ujiannya di MTs.
Kembali ke acara Last Day.
Acara di dalam masih berlangsung, sedangkan aku memilih untuk melihat dari jendela. Yah, sebagai salah satu panitia aku memiliki beberapa tugas yang harus kuselesaikan dan kuawasi demi acara yang berjalan lancar. Ketika itu, dia menghampiriku. Berdiri di sampingku, tanpa mengatakan apapun. Beberapa saat, akhirnya kutolehkan kepalaku padanya seakan berkata, ‘baiklah, ada apa’.
            Ia mengeluarkan spidol dari saku celananya dan memberikan padaku. Kuangkat sebelah alisku.
            “kamu mau minta tanda tanganku?”
            “yaps!”
            Kulihat seragamnya masih bersih tanpa coretan sama sekali. Tapi dengan bodohnya aku masih bertanya, “dimana?”
            “di sini,” ia menunjuk sakunya yang tanpa bedge.
            “kenapa kok di saku? Istimewa ya? Dekat dengan hati?” ujarku berusaha menggoda.
            “iya,” jawabnya. Aku tertegun. Aku yang menggodanya, kenapa malah aku yang deg-degan? Secepat yang aku bisa, langsung kububuhkan tanda-tanganku disakunya.
            “kamu?”
            Kuberikan kerudung putih dengan pita pink di sekelilingnya pada Haidar. Kerudung yang baru saja kuambil dari asrama dengan lari-lari. Ini hari terakhir, aku juga harus bersiap-siap.
            Haidar mengambilnya. Namun bukannya menandatanganinya, ia malah membawa kabur kerudungku.
            “lhoh, kok dibawa kabur?? Tanda tangani!” ujarku dengan nada yang sedikit tinggi.
            “buat aku saja kerudungmu!”
            Yang benar saja! Masa ia mau pake kerudungku?!
            “kembaliin!” aku mencoba mengejar, tapi sungkan dengan teman-teman yang lain. Akhirnya aku memilih untuk membiarkannya. Haidar tersenyum penuh kemenangan.
---***---
            “ngapain?” tanya Haidar saat ia mendapatiku duduk di kursi kelas sebelah. Mungkin ia penasaran kenapa aku malah duduk di sini bukannya ikut acara.
            “gak ngapa-ngapain,” kututup diaryku yang tadi terbuka. Haidar melihatnya, lalu mengambil posisi di atas meja sampingku. Ia yang tinggi, membuatku tampak lebih kecil lagi. Biasanya, aku bakal langsung protes jika ia membuatku terlihat lebih pendek. Tapi tidak untuk saat ini. Aku lagi malas saja.
            Kami hanya terdiam tanpa berkata apapun, sedangkan pikiranku melayang entah kemana. Beberapa kali kulihat haidar melirikku, mungkin memastikan apakah aku sudah kembali pada diriku sendiri ataukah belum.
            “kamu kenapa?” tanyanya mencoba mengambil perhatianku.
            Jujur, saat itu aku benar-benar tidak tau apa yang sebenarnya kupikirkan. Kepalaku kacau. Karena sifatku yang memang terlalu pemikir, membuat masalah-masalah yang sebenarnya tidak terlalu penting ikut kalut di sana. Tentang apa yang akan kulakukan setelah kelulusan ini. Kuliah? Aku sudah hampir putus asa karena pendaftaran SNMPTN dan SP-PTAIN ku ditolak. Lalu kebimbangan apakah aku tetap di pesantren saja ataukah boyong? Dan lagi, perpisahan dengan Haidar. Aku masih belum yakin bisa berjalan sendiri tanpanya. Aku masih kejadian kemarin, saat ia ke Jakarta tanpa memberitahuku.
            “kamu dimana?” tanyaku. Padahal baru saja aku dapat kabar dari sahabatku kalau Haidar hari ini ke Jakarta untuk mengurusi regristasi penerimaannya di salah satu kampus negeri di Jakarta.
            Haidar diam. Tidak ada jawaban di sana.
            “kamu baik-baik aja kan?” Haidar malah balik bertanya.
            “kamu dimana?” kutanya lagi. Dalam hati, aku berharap kalau Haidar menjawabnya. Aku ingin dia bercerita yang sebenarnya padaku.
            “kamu gak papa?”
            “aku tau kamu dalam perjalanan ke Jakarta kan? kenapa gak bilang?”
            Ia diam lagi. Perasaanku sudah campur aduk. Kekhawatiranku semakin menjadi. Bagaimanakah dia? Apakah baik-baik saja? bagaimana jika terjadi apa-apa padanya?
            Tiba-tiba saja, aku terisak. Isakan yang langsung berusaha kusembunyikan.
            “aku gak mau seperti ini. Buat kamu khawatir.”
            Kembali pada Haidar dan aku yang berada di kelas.
            “yakin, gak mau cerita?” pancing Haidar.
            Aku menggeleng dan berkata, “aku harus berlatih untuk tidak bergantung padamu.”  Lalu tersenyum.
            Haidar membalas senyumku dengan ragu.
---***---
           Aku tengah berdiri di samping pintu ruang acara ketika kulihat semua panitia makan bersama seusai acara. Ah, masa-masa yang pasti kurindukan setelah ini. Melihat wajah tersenyum mereka membuatku ikut tersenyum. Kemudian aku melihat Haidar. Ada perasaan sedih yang menyusup diam-diam. Setelah ini, aku tak akan bisa melihatnya lagi. Kita tak bisa janji bertemu di perpustakaan dengan sesobek kertas lagi. Kita tak bisa berlomba-lomba berangkat pagi dengan manaruh bata di depan kelasnya lagi. Kita tak bisa bertukar karet gelang yang harus mengganti jika salah satu dari yang kita pakai putus. Kita tak bisa menyuruh yang lain untuk bertanggung jawab dalam mata pelajaran masing-masing lagi. Dia yang bertanggung jawab atas nilai bahasa inggrisku, aku yang bertanggung jawab atas nilai matematikanya. Kita juga tidak bisa tertawa bersama lagi. Kita tak bisa menyalahkan diri sendiri jika salah satu dari kita ada yang sakit. Aku juga tak bisa ia sembunyiin di balik tembok kelas lagi ketika ada guru yang lewat saat kelas sudah usai sedangkan ia masih ‘menyanderaku’ di sekolah. Ia juga tak bisa menggoda dan menjahiliku lagi. Tak bisa pula menitipkan sesobek kertas pada temanku yang berisikan ‘sandi’ yang sengaja ia buat khusus untukku katanya. Lalu berkata, ‘gak papa. Cuma seneng aja bisa liat kamu lagi’. Ah, aku bahkan tak bisa meyebutkannya satu persatu. Banyak kisah yang menjadi kenangan untuk diingat ketika bersamanya. Dan aku adalah orang yang paling sulit untuk melupakan kenangan.
            “Nafa! sini!” salah satu temanku memanggilku. Mengajakku makan.
            “iya, lanjutin aja!” balasku. Aku yang tak sadar jika Haidar sudah di depankupun membuat tertegun.
            “ayo ikut!” ajaknya.
            “gak usah. Makan aja dulu sana.”
            “ayo, kamu juga.”
            Aku tetap menolak. Seperti kehabisan kesabaran dan tak menerma penolakan, Haidar memegang lenganku, lebih tepatnya lengan bajuku dan menarikku. Mau tak mau akhirnya aku tergeret juga ke kerumuman. Teman-teman yang lain langsung memberikan space untukku dan Haidar. Karena tidak bernafsu makan, kujulurkan saja tanganku pura-pura mengambil nasi. Padahal aku tengah memperhatikan wajah-wajah yang setelah ini bakal jauh.
            Tiba-tiba, haidar menyenggol bahuku. Aku menoleh. Ia menjulurkan tangannya hendak menyuapiku. Aku langsung mundur.
            “kalau kamu gak makan, tanganku yang bakal datang.”
            Kupasang wajah cemberut padanya.
            “eh eh eh, kalian ini di tengah umum kok yaaa!” protes salah satu orang yang diikuti yang lain. Mendapati suasana yang tidak enak, ku serang ia dengan lirikan tajamku. Hebat sekali dia mengancamku dengan membuat orang lain salah paham. Jika kabar antara aku dan dia semakin parah, salahkan semuanya pada Haidar.
---***---

0 komentar:

Sabtu, 27 Oktober 2018

Dua Bulan Terakhirku di Malang (271018)

2 Bulan Terakhirku di Malang

Ah, pasti kau bertanya-tanya kan kenapa judulnya ekstrem banget? ^_^'
Enggak juga sih sebenernya, aku cuma ngadopsi dari film My Love from Another Star aja.
Selain itu, termasuk doa juga. Semoga ini adalah tahun terakhirku di Malang yang artinya kuliahku sudah selesai! Semoga. :)

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ngerasa kehilanga mood untuk menulis. Jujur kuakui, aku udah jarang sekali menulis, dan aku merindukannya. Seakan aku kehilangan diriku sendiri. :'(

Dulu, hampir gak pernah absen nulis di diary. Padahal masih pake bulpen. Sekarang, udah ada laptop malah manja diarynya gak pernah di isi. Maafin aku ya dry....

Makanya, ini blog daripada terabaikan juga, mending di isi dengan diary aja dah. Siapa tau aku bisa nemuin diriku lagi. Smoga.


0 komentar:

Selasa, 02 Oktober 2018

MA ato MTs?

"Jadi, kmarin ketemu sama pak Q dan pak A disuruh ngapain?" tanya pak M seraya menatap lurus mataku. Seperti tatapan cemburu seorang ayah ketika anaknya lebih akrab dengan ayah orang lain.

"Disuruh ngurusi buku puisi, sama manitiain acara di MA pak." jelasku.
"Selain itu? Gak disuruh hal lain?"

Disuruh apa? Batinku.
"Sama disuruh bina anak² yang suka nulis pak."
"Kalo disuruh ngisi kelas?"
"Masih belum pak. Saya gak dikasih tau kalau soal itu."
"Oh, ya udah." ucap pak M seakan terselip kelegaan di sana.

Kejadian hari ini mengingatkanku pada suatu perumpamaan. Ibarat yayasan adalah orang tuaku, sedangkan MA dan MTs adalah orang yang hendak memintaku. Seberapapun akrabku dengan MA, sedalam apapun aku ingin bersama dengan MA, bahkan MA adalah yang pertama memberiku amanah, jika MTs yang memintaku secara resmi ke yayasan, apalah daya MA yang hanya mengikatku tanpa pernyataan.
😔

Namun bagaimanapun, ini adalah pengabdian.
Bismillah... 🙏


0 komentar: