LAST DAY
Hari itu, hari terakhir aku menghabiskan
waktu di sekolah dengannya.
“LAST
DAY”
Itulah nama acara kita hari itu. Acara yang
memang dibuat untuk siswa-siswi kelas XII sebagai perpisahan. Ah, betapa benci
aku dengan kata terakhir dan perpisahan. Aku masih ingat, ketika hari terakhir
UNAS, aku dan dia bertemu di lorong sekolah. Tidak seperti sebelum-sebelumnya,
yang jika ingin bertemu salah satu memberi surat atau menitip salam terlebih
dahulu. Tapi kali ini seakan kita tau kalau masing-masing dari kita harus
bertemu terlebih dahulu sebelum pulang.
“jadi, ini hari terakhir?” tanyaku seraya
menatapnya. Ia hanya balas menatapku tanpa mengatakan apapun. Sedetik, dua
detik, tiga detik, ia tersenyum kecil lalu mengangguk. Sedangkan aku menunduk.
Namun, karena tak mau tampak jelas jika aku sedih, akhirnya kuangkat wajahku
dan tersenyum. Berusaha tersenyum lebih tepatnya.
“kamu, lancar?” tanyanya. Kuangkat kedua
bahuku. Ia tersenyum. Lalu suasana hening kembali. Selama yang kuingat, baru
kali itu aku dan dia tampak kikuk. Tak tau harus bicara apa. hanya terdiam,
saling memandang sambil sesekali melihat hiruk pikuk teman-teman yang lain di
sekitar kami. Tentu saja, ini adalah akhir dari perjuangan mereka di bangku
SMA. Siapa yang tidak bahagia? Kecuali aku tentunya. Kebahagiaan karena telah
menyelesaikan ujian, tidak lebih besar dari kesedihanku harus berpisah
dengannya. Keheningan diantara kami pecah saat ada teman sekelasnya yang mulai
menggodaku dan dia. Kami tertawa-tawa dan ikut membuat kebisingan. Ini hari
terakhir, kenapa aku harus merusaknya dengan menunjukkan wajah tidak bahagia?
Sebelum pulang, ia memanggilku dan
menghampiriku. Ia menimbang-nimbang dua kartu ujian di tangannya lalu
memberikannya padaku. Aku terkekeh. Lalu kuberikan satu punyaku padanya. Sama seperti
3 tahun yang lalu, ketika aku juga mendapat kartu ujiannya di MTs.
Kembali ke acara Last Day.
Acara di dalam masih berlangsung, sedangkan
aku memilih untuk melihat dari jendela. Yah, sebagai salah satu panitia aku
memiliki beberapa tugas yang harus kuselesaikan dan kuawasi demi acara yang
berjalan lancar. Ketika itu, dia menghampiriku. Berdiri di sampingku, tanpa
mengatakan apapun. Beberapa saat, akhirnya kutolehkan kepalaku padanya seakan
berkata, ‘baiklah, ada apa’.
Ia
mengeluarkan spidol dari saku celananya dan memberikan padaku. Kuangkat sebelah
alisku.
“kamu mau
minta tanda tanganku?”
“yaps!”
Kulihat
seragamnya masih bersih tanpa coretan sama sekali. Tapi dengan bodohnya aku
masih bertanya, “dimana?”
“di sini,”
ia menunjuk sakunya yang tanpa bedge.
“kenapa kok
di saku? Istimewa ya? Dekat dengan hati?” ujarku berusaha menggoda.
“iya,”
jawabnya. Aku tertegun. Aku yang menggodanya, kenapa malah aku yang deg-degan?
Secepat yang aku bisa, langsung kububuhkan tanda-tanganku disakunya.
“kamu?”
Kuberikan kerudung
putih dengan pita pink di sekelilingnya pada Haidar. Kerudung yang baru saja
kuambil dari asrama dengan lari-lari. Ini hari terakhir, aku juga harus
bersiap-siap.
Haidar mengambilnya.
Namun bukannya menandatanganinya, ia malah membawa kabur kerudungku.
“lhoh, kok
dibawa kabur?? Tanda tangani!” ujarku dengan nada yang sedikit tinggi.
“buat aku
saja kerudungmu!”
Yang benar
saja! Masa ia mau pake kerudungku?!
“kembaliin!”
aku mencoba mengejar, tapi sungkan dengan teman-teman yang lain.
Akhirnya aku memilih untuk membiarkannya. Haidar tersenyum penuh kemenangan.
---***---
“ngapain?”
tanya Haidar saat ia mendapatiku duduk di kursi kelas sebelah. Mungkin ia
penasaran kenapa aku malah duduk di sini bukannya ikut acara.
“gak
ngapa-ngapain,” kututup diaryku yang tadi terbuka. Haidar melihatnya, lalu
mengambil posisi di atas meja sampingku. Ia yang tinggi, membuatku tampak lebih
kecil lagi. Biasanya, aku bakal langsung protes jika ia membuatku terlihat
lebih pendek. Tapi tidak untuk saat ini. Aku lagi malas saja.
Kami hanya
terdiam tanpa berkata apapun, sedangkan pikiranku melayang entah kemana. Beberapa
kali kulihat haidar melirikku, mungkin memastikan apakah aku sudah kembali pada
diriku sendiri ataukah belum.
“kamu
kenapa?” tanyanya mencoba mengambil perhatianku.
Jujur, saat
itu aku benar-benar tidak tau apa yang sebenarnya kupikirkan. Kepalaku kacau. Karena
sifatku yang memang terlalu pemikir, membuat masalah-masalah yang sebenarnya
tidak terlalu penting ikut kalut di sana. Tentang apa yang akan kulakukan
setelah kelulusan ini. Kuliah? Aku sudah hampir putus asa karena pendaftaran
SNMPTN dan SP-PTAIN ku ditolak. Lalu kebimbangan apakah aku tetap di pesantren
saja ataukah boyong? Dan lagi, perpisahan dengan Haidar. Aku masih belum
yakin bisa berjalan sendiri tanpanya. Aku masih kejadian kemarin, saat ia ke
Jakarta tanpa memberitahuku.
“kamu
dimana?” tanyaku. Padahal baru saja aku dapat kabar dari sahabatku kalau Haidar
hari ini ke Jakarta untuk mengurusi regristasi penerimaannya di salah satu
kampus negeri di Jakarta.
Haidar diam.
Tidak ada jawaban di sana.
“kamu
baik-baik aja kan?” Haidar malah balik bertanya.
“kamu
dimana?” kutanya lagi. Dalam hati, aku berharap kalau Haidar menjawabnya. Aku ingin
dia bercerita yang sebenarnya padaku.
“kamu gak
papa?”
“aku tau
kamu dalam perjalanan ke Jakarta kan? kenapa gak bilang?”
Ia diam
lagi. Perasaanku sudah campur aduk. Kekhawatiranku semakin menjadi. Bagaimanakah
dia? Apakah baik-baik saja? bagaimana jika terjadi apa-apa padanya?
Tiba-tiba
saja, aku terisak. Isakan yang langsung berusaha kusembunyikan.
“aku gak
mau seperti ini. Buat kamu khawatir.”
Kembali
pada Haidar dan aku yang berada di kelas.
“yakin, gak
mau cerita?” pancing Haidar.
Aku menggeleng
dan berkata, “aku harus berlatih untuk tidak bergantung padamu.” Lalu tersenyum.
Haidar membalas
senyumku dengan ragu.
---***---
Aku tengah
berdiri di samping pintu ruang acara ketika kulihat semua panitia makan bersama
seusai acara. Ah, masa-masa yang pasti kurindukan setelah ini. Melihat wajah
tersenyum mereka membuatku ikut tersenyum. Kemudian aku melihat Haidar. Ada
perasaan sedih yang menyusup diam-diam. Setelah ini, aku tak akan bisa
melihatnya lagi. Kita tak bisa janji bertemu di perpustakaan dengan sesobek
kertas lagi. Kita tak bisa berlomba-lomba berangkat pagi dengan manaruh bata di
depan kelasnya lagi. Kita tak bisa bertukar karet gelang yang harus mengganti
jika salah satu dari yang kita pakai putus. Kita tak bisa menyuruh yang lain
untuk bertanggung jawab dalam mata pelajaran masing-masing lagi. Dia yang
bertanggung jawab atas nilai bahasa inggrisku, aku yang bertanggung jawab atas
nilai matematikanya. Kita juga tidak bisa tertawa bersama lagi. Kita tak bisa
menyalahkan diri sendiri jika salah satu dari kita ada yang sakit. Aku juga tak
bisa ia sembunyiin di balik tembok kelas lagi ketika ada guru yang lewat saat
kelas sudah usai sedangkan ia masih ‘menyanderaku’ di sekolah. Ia juga
tak bisa menggoda dan menjahiliku lagi. Tak bisa pula menitipkan sesobek kertas
pada temanku yang berisikan ‘sandi’ yang sengaja ia buat khusus untukku
katanya. Lalu berkata, ‘gak papa. Cuma seneng aja bisa liat kamu lagi’.
Ah, aku bahkan tak bisa meyebutkannya satu persatu. Banyak kisah yang menjadi
kenangan untuk diingat ketika bersamanya. Dan aku adalah orang yang paling
sulit untuk melupakan kenangan.
“Nafa! sini!”
salah satu temanku memanggilku. Mengajakku makan.
“iya,
lanjutin aja!” balasku. Aku yang tak sadar jika Haidar sudah di depankupun
membuat tertegun.
“ayo ikut!”
ajaknya.
“gak usah. Makan
aja dulu sana.”
“ayo, kamu
juga.”
Aku tetap
menolak. Seperti kehabisan kesabaran dan tak menerma penolakan, Haidar memegang
lenganku, lebih tepatnya lengan bajuku dan menarikku. Mau tak mau akhirnya aku
tergeret juga ke kerumuman. Teman-teman yang lain langsung memberikan space
untukku dan Haidar. Karena tidak bernafsu makan, kujulurkan saja tanganku
pura-pura mengambil nasi. Padahal aku tengah memperhatikan wajah-wajah yang
setelah ini bakal jauh.
Tiba-tiba,
haidar menyenggol bahuku. Aku menoleh. Ia menjulurkan tangannya hendak
menyuapiku. Aku langsung mundur.
“kalau kamu
gak makan, tanganku yang bakal datang.”
Kupasang
wajah cemberut padanya.
“eh eh eh,
kalian ini di tengah umum kok yaaa!” protes salah satu orang yang diikuti yang
lain. Mendapati suasana yang tidak enak, ku serang ia dengan lirikan tajamku. Hebat
sekali dia mengancamku dengan membuat orang lain salah paham. Jika kabar
antara aku dan dia semakin parah, salahkan semuanya pada Haidar.
---***---
0 komentar: