Minggu, 28 Oktober 2018

LAST DAY


Hari itu, hari terakhir aku menghabiskan waktu di sekolah dengannya.
“LAST DAY”
Itulah nama acara kita hari itu. Acara yang memang dibuat untuk siswa-siswi kelas XII sebagai perpisahan. Ah, betapa benci aku dengan kata terakhir dan perpisahan. Aku masih ingat, ketika hari terakhir UNAS, aku dan dia bertemu di lorong sekolah. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang jika ingin bertemu salah satu memberi surat atau menitip salam terlebih dahulu. Tapi kali ini seakan kita tau kalau masing-masing dari kita harus bertemu terlebih dahulu sebelum pulang.
“jadi, ini hari terakhir?” tanyaku seraya menatapnya. Ia hanya balas menatapku tanpa mengatakan apapun. Sedetik, dua detik, tiga detik, ia tersenyum kecil lalu mengangguk. Sedangkan aku menunduk. Namun, karena tak mau tampak jelas jika aku sedih, akhirnya kuangkat wajahku dan tersenyum. Berusaha tersenyum lebih tepatnya.
“kamu, lancar?” tanyanya. Kuangkat kedua bahuku. Ia tersenyum. Lalu suasana hening kembali. Selama yang kuingat, baru kali itu aku dan dia tampak kikuk. Tak tau harus bicara apa. hanya terdiam, saling memandang sambil sesekali melihat hiruk pikuk teman-teman yang lain di sekitar kami. Tentu saja, ini adalah akhir dari perjuangan mereka di bangku SMA. Siapa yang tidak bahagia? Kecuali aku tentunya. Kebahagiaan karena telah menyelesaikan ujian, tidak lebih besar dari kesedihanku harus berpisah dengannya. Keheningan diantara kami pecah saat ada teman sekelasnya yang mulai menggodaku dan dia. Kami tertawa-tawa dan ikut membuat kebisingan. Ini hari terakhir, kenapa aku harus merusaknya dengan menunjukkan wajah tidak bahagia?
Sebelum pulang, ia memanggilku dan menghampiriku. Ia menimbang-nimbang dua kartu ujian di tangannya lalu memberikannya padaku. Aku terkekeh. Lalu kuberikan satu punyaku padanya. Sama seperti 3 tahun yang lalu, ketika aku juga mendapat kartu ujiannya di MTs.
Kembali ke acara Last Day.
Acara di dalam masih berlangsung, sedangkan aku memilih untuk melihat dari jendela. Yah, sebagai salah satu panitia aku memiliki beberapa tugas yang harus kuselesaikan dan kuawasi demi acara yang berjalan lancar. Ketika itu, dia menghampiriku. Berdiri di sampingku, tanpa mengatakan apapun. Beberapa saat, akhirnya kutolehkan kepalaku padanya seakan berkata, ‘baiklah, ada apa’.
            Ia mengeluarkan spidol dari saku celananya dan memberikan padaku. Kuangkat sebelah alisku.
            “kamu mau minta tanda tanganku?”
            “yaps!”
            Kulihat seragamnya masih bersih tanpa coretan sama sekali. Tapi dengan bodohnya aku masih bertanya, “dimana?”
            “di sini,” ia menunjuk sakunya yang tanpa bedge.
            “kenapa kok di saku? Istimewa ya? Dekat dengan hati?” ujarku berusaha menggoda.
            “iya,” jawabnya. Aku tertegun. Aku yang menggodanya, kenapa malah aku yang deg-degan? Secepat yang aku bisa, langsung kububuhkan tanda-tanganku disakunya.
            “kamu?”
            Kuberikan kerudung putih dengan pita pink di sekelilingnya pada Haidar. Kerudung yang baru saja kuambil dari asrama dengan lari-lari. Ini hari terakhir, aku juga harus bersiap-siap.
            Haidar mengambilnya. Namun bukannya menandatanganinya, ia malah membawa kabur kerudungku.
            “lhoh, kok dibawa kabur?? Tanda tangani!” ujarku dengan nada yang sedikit tinggi.
            “buat aku saja kerudungmu!”
            Yang benar saja! Masa ia mau pake kerudungku?!
            “kembaliin!” aku mencoba mengejar, tapi sungkan dengan teman-teman yang lain. Akhirnya aku memilih untuk membiarkannya. Haidar tersenyum penuh kemenangan.
---***---
            “ngapain?” tanya Haidar saat ia mendapatiku duduk di kursi kelas sebelah. Mungkin ia penasaran kenapa aku malah duduk di sini bukannya ikut acara.
            “gak ngapa-ngapain,” kututup diaryku yang tadi terbuka. Haidar melihatnya, lalu mengambil posisi di atas meja sampingku. Ia yang tinggi, membuatku tampak lebih kecil lagi. Biasanya, aku bakal langsung protes jika ia membuatku terlihat lebih pendek. Tapi tidak untuk saat ini. Aku lagi malas saja.
            Kami hanya terdiam tanpa berkata apapun, sedangkan pikiranku melayang entah kemana. Beberapa kali kulihat haidar melirikku, mungkin memastikan apakah aku sudah kembali pada diriku sendiri ataukah belum.
            “kamu kenapa?” tanyanya mencoba mengambil perhatianku.
            Jujur, saat itu aku benar-benar tidak tau apa yang sebenarnya kupikirkan. Kepalaku kacau. Karena sifatku yang memang terlalu pemikir, membuat masalah-masalah yang sebenarnya tidak terlalu penting ikut kalut di sana. Tentang apa yang akan kulakukan setelah kelulusan ini. Kuliah? Aku sudah hampir putus asa karena pendaftaran SNMPTN dan SP-PTAIN ku ditolak. Lalu kebimbangan apakah aku tetap di pesantren saja ataukah boyong? Dan lagi, perpisahan dengan Haidar. Aku masih belum yakin bisa berjalan sendiri tanpanya. Aku masih kejadian kemarin, saat ia ke Jakarta tanpa memberitahuku.
            “kamu dimana?” tanyaku. Padahal baru saja aku dapat kabar dari sahabatku kalau Haidar hari ini ke Jakarta untuk mengurusi regristasi penerimaannya di salah satu kampus negeri di Jakarta.
            Haidar diam. Tidak ada jawaban di sana.
            “kamu baik-baik aja kan?” Haidar malah balik bertanya.
            “kamu dimana?” kutanya lagi. Dalam hati, aku berharap kalau Haidar menjawabnya. Aku ingin dia bercerita yang sebenarnya padaku.
            “kamu gak papa?”
            “aku tau kamu dalam perjalanan ke Jakarta kan? kenapa gak bilang?”
            Ia diam lagi. Perasaanku sudah campur aduk. Kekhawatiranku semakin menjadi. Bagaimanakah dia? Apakah baik-baik saja? bagaimana jika terjadi apa-apa padanya?
            Tiba-tiba saja, aku terisak. Isakan yang langsung berusaha kusembunyikan.
            “aku gak mau seperti ini. Buat kamu khawatir.”
            Kembali pada Haidar dan aku yang berada di kelas.
            “yakin, gak mau cerita?” pancing Haidar.
            Aku menggeleng dan berkata, “aku harus berlatih untuk tidak bergantung padamu.”  Lalu tersenyum.
            Haidar membalas senyumku dengan ragu.
---***---
           Aku tengah berdiri di samping pintu ruang acara ketika kulihat semua panitia makan bersama seusai acara. Ah, masa-masa yang pasti kurindukan setelah ini. Melihat wajah tersenyum mereka membuatku ikut tersenyum. Kemudian aku melihat Haidar. Ada perasaan sedih yang menyusup diam-diam. Setelah ini, aku tak akan bisa melihatnya lagi. Kita tak bisa janji bertemu di perpustakaan dengan sesobek kertas lagi. Kita tak bisa berlomba-lomba berangkat pagi dengan manaruh bata di depan kelasnya lagi. Kita tak bisa bertukar karet gelang yang harus mengganti jika salah satu dari yang kita pakai putus. Kita tak bisa menyuruh yang lain untuk bertanggung jawab dalam mata pelajaran masing-masing lagi. Dia yang bertanggung jawab atas nilai bahasa inggrisku, aku yang bertanggung jawab atas nilai matematikanya. Kita juga tidak bisa tertawa bersama lagi. Kita tak bisa menyalahkan diri sendiri jika salah satu dari kita ada yang sakit. Aku juga tak bisa ia sembunyiin di balik tembok kelas lagi ketika ada guru yang lewat saat kelas sudah usai sedangkan ia masih ‘menyanderaku’ di sekolah. Ia juga tak bisa menggoda dan menjahiliku lagi. Tak bisa pula menitipkan sesobek kertas pada temanku yang berisikan ‘sandi’ yang sengaja ia buat khusus untukku katanya. Lalu berkata, ‘gak papa. Cuma seneng aja bisa liat kamu lagi’. Ah, aku bahkan tak bisa meyebutkannya satu persatu. Banyak kisah yang menjadi kenangan untuk diingat ketika bersamanya. Dan aku adalah orang yang paling sulit untuk melupakan kenangan.
            “Nafa! sini!” salah satu temanku memanggilku. Mengajakku makan.
            “iya, lanjutin aja!” balasku. Aku yang tak sadar jika Haidar sudah di depankupun membuat tertegun.
            “ayo ikut!” ajaknya.
            “gak usah. Makan aja dulu sana.”
            “ayo, kamu juga.”
            Aku tetap menolak. Seperti kehabisan kesabaran dan tak menerma penolakan, Haidar memegang lenganku, lebih tepatnya lengan bajuku dan menarikku. Mau tak mau akhirnya aku tergeret juga ke kerumuman. Teman-teman yang lain langsung memberikan space untukku dan Haidar. Karena tidak bernafsu makan, kujulurkan saja tanganku pura-pura mengambil nasi. Padahal aku tengah memperhatikan wajah-wajah yang setelah ini bakal jauh.
            Tiba-tiba, haidar menyenggol bahuku. Aku menoleh. Ia menjulurkan tangannya hendak menyuapiku. Aku langsung mundur.
            “kalau kamu gak makan, tanganku yang bakal datang.”
            Kupasang wajah cemberut padanya.
            “eh eh eh, kalian ini di tengah umum kok yaaa!” protes salah satu orang yang diikuti yang lain. Mendapati suasana yang tidak enak, ku serang ia dengan lirikan tajamku. Hebat sekali dia mengancamku dengan membuat orang lain salah paham. Jika kabar antara aku dan dia semakin parah, salahkan semuanya pada Haidar.
---***---

0 komentar: