Persembahan Rasaku Untukmu
“mbak nafa, ini
dapat kiriman.” Kata Sarah, yang mengahdapngku di depan kamarnya saat aku hendak ke kamar mandi.
“kiriman? Dari
siapa?” aku balik bertanya. Seingatku, aku tak pernah memesan barang online
sebelumnya. Aku juga tak punya saudara jauh yang berinisiatif memberiku kejutan
haidah tiba-tiba. Lalu, kiriman dari siapa?
“kurang tau
mbak. Tadi pak posnya bilang buat mbak Nafa gitu.” Sarah menyodorkan kotak
sedang berbungkus warna coklat. Kulihat nama dan alamat penerimanya, memang
benar namaku. Naflah Fakhirah. Alamatnyapun memang alamat asrama ini. Saat aku
melihat nama pengirimnya, keningku mengkerut.
Imam mustofa? Siapa?
Aku memutar otakku mencari-cari file nama ‘Imam
Mustofa’ yang mengirimku paketan ini. Tapi, nihil. Aku tak teringat siapapun. Malahan
aku tak pernah merasa punya teman ataupun kenalan bernama imam mustofa. Ah,
siapa pula orang ini.
“bener buat
mbak nafa kan?” Sarah mencoba memastikan.
“iya sih…”
“ya berarti
emang buat mbak.”
“gitu ya?”
Meskipun nama
disitu memang namaku, aku jadi ragu kalau paketan ini memang untukku.
“ya udah
deh. Makasih ya sarah…”
“yuhu mbak.”
Akhirnya kutaruh
paketan itu di kamar sebelum aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air
wudhu. Adzan maghrib berkumandang, sedangkan aku masih belum mandi karena baru
selesai kuliah.
---***----
Kulemparkan
sajadahku sembarang ke atas kasur dan langsung merebahkan punggung di
sampingnya. Subhanallah, rasanya seperti terlentang di atas sakura yang
berguguran. Lelah karena sejak pagi hingga sore bak bola pimpong yang
dilemparkan kesana kemari, akhirnya aku bisa menikmati nyamannya kasur lantai
kesayanganku. Mataku terpejam, menikmati setiap titik tulangku yang mulai
meluruskan diri mereka sendiri. Lalu aku teringat paketan ‘misterius’ tadi.
Paketan itu
masih berada di atas lemari, tempat dimana aku pertama menaruhnya tadi.
Kubolak-balik kotak itu berharap bisa menerka-nerka apa isinya. Sembari duduk
di samping pintu, kubuka setiap lapis kertas yang membungkusnya hingga akhirnya
aku tau apa isinya.
“buku?” aku
bergumam sendiri, karena aku memang sendiri sekamar. Menurutku, ini lebih
nyaman dengan suasana hatiku yang tak karu-karuan mendekati ujian akhir. Banyak
yang bilang, suasana kamar itu tergantung suasana hati. Jadi saat sendiri
sekamar, aku tak perlu sungkan jika harus membiarkan kamarku
berantakkan.
Surat
dari Masa Lalu
Itulah judul
bukunya. Sebuah Novel, ditulis oleh Alfan Asyfi. Tunggu. Alfan Asyfi? Seakan aku
pernah mendengar namanya. Tapi dimana?
Kubuka bungkus
novel yang masih baru itu. Dari sampulnya, novel ini diterbitkan oleh salah
satu penerbit mayor di Yogyakarta. Wah, hebat sekali bisa tembus mayor. Aku saja
masih bisa menembus penerbit indie saja. Diterbitin oleh penerbit mayor, adalah
salah satu impian terbesarku. Aku ingin menjadi penulis yang tulisannnya
bermanfaat dan dikenal dunia. Beruntung bisa best seller dan dijadikan film.
Ah, kuharap ada malaikat yang lewat dan mengaminkannya. Semoga.
Tiba-tiba,
ada telpon masuk. Dari nomor yang tak ku kenal. Akhir-akhir ini, nomor ini
memang sering menghubungiku, tapi tidak kurespon. Aku memang orang yang paling
malas kalau disuruh balas nomor asing. Lha saat telphon dan kuangkat, malah
tidak ada suara. Kan jadi malas.
Daripada mengganggu
terus-terusan, mending kubilang saja untuk tidak menghubungiku lagi. akhirnya
kutekan tombol jawab.
“Assalamualaikum.
Maaf,”
“Assalamualaikum.”
Suara dari seberang sana membuatku batal untuk menyampaikan maksudku untuk
berhenti menghubungiku. Suaranya berat, dengan sedikit getaran di sana. Entah
getaran karena apa. Mungkin dia tengah sakit tenggorokan.
“wa-walaikumsalam,”
akhirnya aku menjawab.
“Nafa?”
suara itu tampak tak asing, seakan aku pernah mendengarnya.
“iya benar.
Ini siapa ya?”
“paketannya
udah sampe?”
Kulihat
kertas bungkus yang masih berserakan di lantai.
“oh, ini
yang ngirim paketan? Imam Mustofa?”
Suara
diseberang cekikikan. Lhah, bukannya dijawab kok malah tertawa? Aku jadi bingung.
“iya, imam
pilihan.” Jawabnya dengan senyum yang masih tersisa. Aku langsung memasang
wajah datar. Orang ini siapa sih? Maunya apa coba?
“maaf, bisa
jawab to the point aja? kalau tidak, saya tutup.” tegasku.
“kamu masih
sama seperti dulu.” Ujarnya.
Baiklah, aku
mulai kehabisan kesabaran. Aku tidak suka meladeni orang asing yang ngajak ‘berantem’
gini.
“maaf, saya…”
“kamu tidak
ingat aku?”
“bisa
langsung sebutkan nama?”
“aku Alfan
Naf,”
Alfan. Alfan.
Alfan. Siapa?
“Maaf, Alfan
yang mana ya?”
“kita pernah
seorganisasi di Lembaga Kader Dakwah dulu.”
Lembaga
Kader Dakwah? MA dulu? Aku mencoba mengingat-ngingat, hingga akhirnya menemukan
satu nama.
“Masyallah!
kak Alfan?? Kak Alfan ketua LKD dulu?” seruku bangga karena berhasil mengingat.
Biasanya aku adalah pelupa parah. Jadi saat mengingat sesuatu, merupakan sebuah
pencapaian yang harus kubanggakan sendiri.
“Alhamdulillah,
masih ingat.” Jawab kak Alfan.
“oalaah, kok
gak bilang tho? Kan jadi gak enak. Maaf ya kak…”
“ya ini kan
udah bilang.”
“ya lebih
awal dong…”
“emang
kenapa kalau lebih awal? Biar lebih ramah gitu?”
“ya mungkin.
Hehehe”
“janganlah,
jangan ramah-ramah. Nanti yang nelpon terpikat semua.”
“eiiih, apaan coba! Oh iya, ini kak Alfan yang ngirim
paketnya? Kok atas nama imam mustofa? Trus, ini bukunya kak Alfan yang nulis
ya?” tanyaku penasaran.
“jawabannya
ada di buku.”
“ha? Maksudnya?”
kulihat buku yang saat ini berada digenggamanku.
“ya udah,
jawabannya tak tunggu seminggu lagi ya.”
“jawaban
apa?”
“baik-baik
di sana. Wassalamualaikum.”
Lalu telphon
dimatikan, sedangkan kepalaku penuh tanda tanya. Apa maksud dari kak Alfan? Dan
apa hubungannya dengan buku yang dia kirim?
Tepat dihalaman pertama, kubaca tulisan
persembahan yang sangat mengejutkanku.
Tulisan ini
kupersembahkan untukmu yang telah menjadi kisah sebelumnya dan kuharapkan
menjadi kisah setelahnya, di hadapan-Nya. Naflah Fakhirah.
What?!?!
Apa ini maksudnya?? Buku ini dipersembahkan untukku? Kenapa? Kok bisa? kak
Alfan? Aku benar-benar terkejut. Antara percaya dan tidak percaya, kak Alfan
menulis buku untukku? Aku benar-benar tak habis pikir hingga kuselami setiap
baris kata di depanku seketika. Hingga akhirnya aku faham, buku ini bercerita
tentang perjalanan rasa kak Alfan, kepadaku. Perasaan yang menunggu jawabannya
seminggu lagi.
0 komentar: