Senin, 29 Oktober 2018

Persembahan Rasaku Untukmu


            “mbak nafa, ini dapat kiriman.” Kata Sarah, yang mengahdapngku di depan kamarnya saat aku  hendak ke kamar mandi.
           “kiriman? Dari siapa?” aku balik bertanya. Seingatku, aku tak pernah memesan barang online sebelumnya. Aku juga tak punya saudara jauh yang berinisiatif memberiku kejutan haidah tiba-tiba. Lalu, kiriman dari siapa?
            “kurang tau mbak. Tadi pak posnya bilang buat mbak Nafa gitu.” Sarah menyodorkan kotak sedang berbungkus warna coklat. Kulihat nama dan alamat penerimanya, memang benar namaku. Naflah Fakhirah. Alamatnyapun memang alamat asrama ini. Saat aku melihat nama pengirimnya, keningku mengkerut.
Imam mustofa? Siapa?
Aku memutar otakku mencari-cari file nama ‘Imam Mustofa’ yang mengirimku paketan ini. Tapi, nihil. Aku tak teringat siapapun. Malahan aku tak pernah merasa punya teman ataupun kenalan bernama imam mustofa. Ah, siapa pula orang ini.
            “bener buat mbak nafa kan?” Sarah mencoba memastikan.
            “iya sih…”
            “ya berarti emang buat mbak.”
            “gitu ya?”
            Meskipun nama disitu memang namaku, aku jadi ragu kalau paketan ini memang untukku.
            “ya udah deh. Makasih ya sarah…”
            “yuhu mbak.”
            Akhirnya kutaruh paketan itu di kamar sebelum aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Adzan maghrib berkumandang, sedangkan aku masih belum mandi karena baru selesai kuliah.
---***----
            Kulemparkan sajadahku sembarang ke atas kasur dan langsung merebahkan punggung di sampingnya. Subhanallah, rasanya seperti terlentang di atas sakura yang berguguran. Lelah karena sejak pagi hingga sore bak bola pimpong yang dilemparkan kesana kemari, akhirnya aku bisa menikmati nyamannya kasur lantai kesayanganku. Mataku terpejam, menikmati setiap titik tulangku yang mulai meluruskan diri mereka sendiri. Lalu aku teringat paketan ‘misterius’ tadi.
            Paketan itu masih berada di atas lemari, tempat dimana aku pertama menaruhnya tadi. Kubolak-balik kotak itu berharap bisa menerka-nerka apa isinya. Sembari duduk di samping pintu, kubuka setiap lapis kertas yang membungkusnya hingga akhirnya aku tau apa isinya.
            “buku?” aku bergumam sendiri, karena aku memang sendiri sekamar. Menurutku, ini lebih nyaman dengan suasana hatiku yang tak karu-karuan mendekati ujian akhir. Banyak yang bilang, suasana kamar itu tergantung suasana hati. Jadi saat sendiri sekamar, aku tak perlu sungkan jika harus membiarkan kamarku berantakkan.
            Surat dari Masa Lalu
            Itulah judul bukunya. Sebuah Novel, ditulis oleh Alfan Asyfi. Tunggu. Alfan Asyfi? Seakan aku pernah mendengar namanya. Tapi dimana?
            Kubuka bungkus novel yang masih baru itu. Dari sampulnya, novel ini diterbitkan oleh salah satu penerbit mayor di Yogyakarta. Wah, hebat sekali bisa tembus mayor. Aku saja masih bisa menembus penerbit indie saja. Diterbitin oleh penerbit mayor, adalah salah satu impian terbesarku. Aku ingin menjadi penulis yang tulisannnya bermanfaat dan dikenal dunia. Beruntung bisa best seller dan dijadikan film. Ah, kuharap ada malaikat yang lewat dan mengaminkannya. Semoga.
            Tiba-tiba, ada telpon masuk. Dari nomor yang tak ku kenal. Akhir-akhir ini, nomor ini memang sering menghubungiku, tapi tidak kurespon. Aku memang orang yang paling malas kalau disuruh balas nomor asing. Lha saat telphon dan kuangkat, malah tidak ada suara. Kan jadi malas.
            Daripada mengganggu terus-terusan, mending kubilang saja untuk tidak menghubungiku lagi. akhirnya kutekan tombol jawab.
            “Assalamualaikum. Maaf,”
            “Assalamualaikum.” Suara dari seberang sana membuatku batal untuk menyampaikan maksudku untuk berhenti menghubungiku. Suaranya berat, dengan sedikit getaran di sana. Entah getaran karena apa. Mungkin dia tengah sakit tenggorokan.
            “wa-walaikumsalam,” akhirnya aku menjawab.
            “Nafa?” suara itu tampak tak asing, seakan aku pernah mendengarnya.
            “iya benar. Ini siapa ya?”
            “paketannya udah sampe?”
            Kulihat kertas bungkus yang masih berserakan di lantai.
            “oh, ini yang ngirim paketan? Imam Mustofa?”
            Suara diseberang cekikikan. Lhah, bukannya dijawab kok malah tertawa? Aku jadi bingung.
            “iya, imam pilihan.” Jawabnya dengan senyum yang masih tersisa. Aku langsung memasang wajah datar. Orang ini siapa sih? Maunya apa coba?
            “maaf, bisa jawab to the point aja? kalau tidak, saya tutup.” tegasku.
            “kamu masih sama seperti dulu.” Ujarnya.
            Baiklah, aku mulai kehabisan kesabaran. Aku tidak suka meladeni orang asing yang ngajak ‘berantem’ gini.
            “maaf, saya…”
            “kamu tidak ingat aku?”
            “bisa langsung sebutkan nama?”
            “aku Alfan Naf,”
            Alfan. Alfan. Alfan. Siapa?
            “Maaf, Alfan yang mana ya?”
            “kita pernah seorganisasi di Lembaga Kader Dakwah dulu.”
            Lembaga Kader Dakwah? MA dulu? Aku mencoba mengingat-ngingat, hingga akhirnya menemukan satu nama.
            “Masyallah! kak Alfan?? Kak Alfan ketua LKD dulu?” seruku bangga karena berhasil mengingat. Biasanya aku adalah pelupa parah. Jadi saat mengingat sesuatu, merupakan sebuah pencapaian yang harus kubanggakan sendiri.
            “Alhamdulillah, masih ingat.” Jawab kak Alfan.
            “oalaah, kok gak bilang tho? Kan jadi gak enak. Maaf ya kak…”
            “ya ini kan udah bilang.”
            “ya lebih awal dong…”
            “emang kenapa kalau lebih awal? Biar lebih ramah gitu?”
            “ya mungkin. Hehehe”
            “janganlah, jangan ramah-ramah. Nanti yang nelpon terpikat semua.”
            “eiiih,  apaan coba! Oh iya, ini kak Alfan yang ngirim paketnya? Kok atas nama imam mustofa? Trus, ini bukunya kak Alfan yang nulis ya?” tanyaku penasaran.
            “jawabannya ada di buku.”
            “ha? Maksudnya?” kulihat buku yang saat ini berada digenggamanku.
            “ya udah, jawabannya tak tunggu seminggu lagi ya.”
            “jawaban apa?”
            “baik-baik di sana. Wassalamualaikum.”
            Lalu telphon dimatikan, sedangkan kepalaku penuh tanda tanya. Apa maksud dari kak Alfan? Dan apa hubungannya dengan buku yang dia kirim?
Tepat dihalaman pertama, kubaca tulisan persembahan yang sangat mengejutkanku.
            Tulisan ini kupersembahkan untukmu yang telah menjadi kisah sebelumnya dan kuharapkan menjadi kisah setelahnya, di hadapan-Nya. Naflah Fakhirah.
            What?!?! Apa ini maksudnya?? Buku ini dipersembahkan untukku? Kenapa? Kok bisa? kak Alfan? Aku benar-benar terkejut. Antara percaya dan tidak percaya, kak Alfan menulis buku untukku? Aku benar-benar tak habis pikir hingga kuselami setiap baris kata di depanku seketika. Hingga akhirnya aku faham, buku ini bercerita tentang perjalanan rasa kak Alfan, kepadaku. Perasaan yang menunggu jawabannya seminggu lagi.

 Malang, 291018


0 komentar: