Tahun 2013
Rasa ini berawal dari persahabatan. Aku tak pernah menyangka jika
rasa ini ternyata tumbuh melebihi kasih seorang sahabat. Seperti pohon yang tak
bisa menolak angin yang menerpanya, begitulah rasa itu hadir tanpa bisa kuhalau.
Haidar. Dia tak setampan Kim Soo Hyun, tak sepintar Habibie dan tak sekaya Chairul Tanjung. Namun entah
kenapa sekecap katanya seakan air yang dapat menyisihkan egoku dan mendorong rasa
rendah diriku. Setiap ucapnya seakan bara yang menyulut semangat mimpiku. Yah,
dia adalah orang yang membuat mimpiku semakin dekat. Kukira dia hanya akan
menjadi sahabatku hingga aku tak mampu lagi mengangkat tubuhku sendiri. Tapi
ternyata hatiku menolaknya. Ia memunculkan rasa yang tak seharusnya kupunya. Cinta?
Rasanya tak pantas rasaku ini disebut ‘cinta’, yang bahkan tak ku tau pasti
maknanya.
“kamu istimewa.” Ucapnya saat itu. Aku memiringkan
kepalaku tak mengerti, atau lebih tepatnya pura-pura tak mengerti. Padahal aku
bisa merasakan ada yang menggedor-gedor keras dari balik dadaku. Dan tak bisa
dipungkiri kalau wajahku mulai memanas. Haidar hanya menatapku lekat sebelum
kemudian tersenyum simpul. Senyuman yang tak pernah bisa kuartikan. Istimewa? Aku
bertanya-tanya apakah ‘istimewa’ bisa dimasukkan kategori ‘cinta’?
Aku tak tau kapan rasa ini berawal sebagaimana aku tak tau kapan
berakhir. Tiba-tiba saja rasa ini ada, meskipun kutau
kalau dia pernah
bercerita tentang seorang gadis yang berhasil malabuhkan cintanya. Gadis yang
saat ini jauh darinya, namun tetap menunggu kedatangannya.
“Namanya Faizah.” Haidar menyebutkan nama ‘kekasih’nya
itu seraya tersipu. Aku bahkan bisa melihat matanya yang tertunduk malu. Seseorang yang jauh lebih baik
dariku yang tak mempunyai apapun untuk dibanggakan kecuali rasa yang tak bisa
kuungkapkan. Bagaimana tidak, gadis yang selalu ia jaga dihatinya adalah seorang
gadis cantik, baik hati dan pintar. Bagaimana mungkin bisa disandingkan dengan
diriku yang hanya bisa mengeluhkan kehidupanku padanya? Cemburu? Apakah aku punya hak untuk cemburu? Terkadang,
pernah terbesit dihatiku berharap mereka tak lagi menjalin hubungan. Namun,
segera saja kuhilangkan pikiran jahat itu. Sungguh, aku merasa menjadi orang
yang paling jahat dengan memiliki rasa ini pada sahabatku sendiri.
“Haidar pernah bercerita padaku kalau ia menyayangi seorang
gadis di sekolahnya. Namanya Nafa.” ujar Faizah dari balik telephon genggamku,
saat itu. Deg. Aku terkejut. Nafa? itu aku. Yah, Haidar memang mengenalkanku pada
Faizah dengan nama Naflah, sedangkan nama panggilanku di sekolah Nafa. Naflah
Fakhirah.
“eh, Nafa… itu namaku.” Ungkapku pelan pada Faizah,
khawatir menyakiti Faizah. Tapi kenapa diam-diam hatiku bahagia mendengar kalau
Haidar ternyata menyayangiku? Meskipun aku sadar kalau sayang yang dimaksudkan
Haidar adalah sayang selayaknnya kakak pada adiknya. Awalnya aku ‘iya iya’ saja
saat Haidar mengatakannya padaku kalau ia menyayangiku lewat tulisan. Aku tak
pernah mempermasalahkannya. Tapi saat aku pikir-pikir lagi, apakah ada rasa
sayang kakak adik jika usia kita tak jauh beda?
v
Tahun 2014
Aku memiringkan kepalaku saat melihat Haidar, mengangkat dua telunjuknya di sebelah kepalanya.
“kamu ngapain?” tanyaku tak
mengerti.
“Radar.” Jawabnya seraya tersenyum
dan menurunkan tangannya ke bawah. Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Masih
tak mengerti. Yah haidar memang sering melakukan hal-hal yang membutuhkan beberapa
waktu untuk kufahami. Bahkan tak jarang aku tak bisa memahaminya.
“ke perpus aja yuk. Di sini ramai.”
Tawar Haidar seraya mengedarkan pandangannya menyisir sekeliling halaman
sekolah. Yah, saat ini memang jam istirahat, tentu saja sekolah ramai. Aku
hanya mengangguk pelan dan mengikuti Haidar yang berjalan menuju perpustakaan
sekolah, tempat kita sering menghabiskan waktu kosong dan istirahat ketika
sekolah.
Aku menatap Haidar yang berjalan di
depanku dengan tatapan sayu. Tanpa sadar, persahabatan ini sudah berlangsung
selama lima tahun. Dan setengah tahun terakhir ini, Haidar tak pernah bercerita
tentang Faizah. Cerita yang selalu membuatku memelintir hatiku tiap kali
mendengarnya. Akupun tak pernah bertanya tentang Faizah, karena aku takut air
mataku akan mengalir tanpa kusadari lagi. Dan aku bukan orang yang pandai menghentikan
air mataku. Kukira perasaan ini bisa berkurang seiring berjalannya waktu, tapi
ternyata waktu menghianatiku. Perasaanku menjadi lebih dalam, dan tak jarang
aku buta dengan perasaanku sendiri. Aku sering melupakan kenyataan kalau ada
Faizah disisi Haidar.
‘kamu selalu menyiratkan semua yang kamu rasakan dari matamu’. Itulah
yang ia katakan saat aku bertanya kenapa ia seakan bisa membaca pikiranku. Jika
mataku bisa menceritakan semuanya, bagaimana mungkin aku bisa menyembunyikan perasaanku?
Perlahan perhatian yang selalu ia tampakkan semakin berkurang, dan persahabatan
kami semakin berjarak. Sepertinya ia menyadari perasaanku. Dan aku menyalahkan
diriku sendiri karena memiliki perasaan yang tak seharusnya ada ini. Tapi
semakin aku memikirkannya, ternyata aku yang mencoba untuk menjauhinya. Atau
mungkin lebih tepatnya aku tak siap melihat Haidar memalingkan wajahnya dariku.
Biarlah.
Biarlah rasa ini bermuara pada garis yang ditetapkan Sang Maha Cinta. Dan
biarkan setiap tangis yang kulelehkan di setiap sujudku menjadi saksi kalau aku
pernah menjadikannya pemilik singgahsana hati ini.
Ternyata dia cuma pelangi. Yang sejenak hadir
memberikan warna dalam lembaran kisah sederhanaku. Yang datang setelah hujan
mengguyur jiwa dan mendung melingkupi kehampaan. Setelah tawa tak lagi
terharap, ia memudar bahkan sebelum jariku tuntas membahasakannya.
Ternyata dia cuma pelangi. Yang menggerakkan
goresanku menguraikan abjadnya. Merebahkan fikirku menelisik makna
kehadirannya. Namun, saat kaki menjejak hamparan warna harapan, ternyata
iramanya menjatuhkanku melewati parit ingatan.
Saat pertanyaan 'kenapa' yang tak pernah
terlontar tak pernah mendengar jawaban 'karena', bahkan bibirpun seakan bisu
dan telinga seakan tuli, hanya dugaan yang menemaniku dalam perlakuan yang
berbeda darinya.
Ternyata dia cuma pelangi, bukan matahari yang
seakan pernah mengisyaratkanku sebagai rembulan.
Kamu, terimakasih untuk semua ingatan, dan maaf
untuk sebuah rasa yang sederhana dengan kisah yang tak sederhana.
0 komentar: