Senin, 29 Februari 2016

29 Februari 2016

Saat ini, air mataku mengalir kembali...
Alasannya??
entahlah. Aku hanya ingin marah karena ada suatu hal yang membuatku marah. Tapi aku tak tau harus marah pada siapa? Aku bukan orang yang ahli melampiaskan amarahku pada si obyek. Dan pada akhirnya, aku hanya bisa menangis dan menyalahkan diriku sendiri.
Di saat air mataku menetes, tiba-tiba saja aku teringat dia. Aku masih ingat betapa sering ia yang menghalau air mataku untuk tidak keluar. Aku bersandar dalam samar kepadanya. Tapi sekarang, aku bahkan tak berani bercerita tentang resah yang kurasakan. Bukannya aku tak mau, malah aku sangat ingin bersandar kepadanya. Tapi naluri ini menolak. Aku tak ingin ia menganggapku tak bisa melakukan apapun sendiri. Aku tak ingin ia menganggapku lemah. Seberapapun aku terpuruk, sekuat mungkin aku tak menggantungkan senyumku padanya. Meskipun sebenarnya aku selalu memeras hatiku tiap kali mengingatnya.
Yah, aku rindu menangis didepanmu lagi. Aku rindu bersandar padamu lagi.

0 komentar:

Jumat, 26 Februari 2016

26 Februari 2016

Marah?
Aku bahkan tak pernah benar-benar tau bagaimana cara untuk marah. Saat hatiku tiba-tiba saja merasa tersakiti oleh mereka, aku hanya diam. Mencoba sebisa mungkin tak terlihat. Nyanyi-nyanyi sendiri sambil dengerin musik, nulis-nulis gini, dan jika marahku sudah tak terbendung lagi, aku mulai ngoceh dengan bahasa Korea. Seenggaknya mereka gak tau apa yang tengah aku ucapkan -sebenarnya aku juga gak terlalu tau. Kebanyakan juga lagu korea yang aku ocehin-. Dan jika marahku sudah mencapai puncaknya, air mataku yang menjadi saksinya.

Kata mereka, "saat hatimu tak mampu berkata, rasa sakit yang kau rasakan akan menjelaskannya".

Dan selama ini, rautku hanya menjelaskan kebahagiaan pada mereka. Sedang rasaku yang sebenarnya, hanya rasa sakitku yang menunjukkan kejujuran padaku.

0 komentar:

26 Februari 2016

Kata mereka, aku adalah orang paling ekspresif yang pernah mereka temui. Aku bisa mengungkapkan semua yang kurasakan tanpa terhalang apapun. Bahkan banyak orang yang bertanya, kenapa aku tak pernah terlihat sedih ataupun marah? Mendengar pertanyaan seperti itu, tentu saja aku hanya tersenyum. Mereka bahkan tak pernah tau seberapa banyak luka dan air mata yang kusembunyikan.
Aku tak pernah menyangkal kalau aku bisa saja menunjukkan apapun yang kurasakan dengan rautku. Namun, ada satu hal yang tak pernah mereka tau. Sebanyak aku tertawa, sebanyak itu pula air mata yang kukeluarkan.

Terkadang, hanya 'sandaran' samar yang kuinginkan...

0 komentar:

Minggu, 21 Februari 2016

21 Februari 2016

Harapan?
Bahkan aku takut untuk sekedar berharap. Aku takut semua yang ia lakukan, hanya aku yang memaknakannya berbeda. Isyarat, tatapan, perlakuan... aku takut ia menjadi berbeda jika ia tau aku mengartikan semua perlakuannya dengan berbeda.
Sekedar untuk berharap berdiri disampinya saja aku tak berani. Ia begitu tinggi hingga ujung jarikupun tak mampu menyentuhnya. Dengan segala kehebatan yang ia miliki, aku seakan hanya setara dengan pasir di pantai.
Selain rasa yang tak seharusnya ada dalam persahabatan ini, dan tak dapat kuungkapkan, apalagi yang bisa kubanggakan untuknya?
Lalu, masih pantaskah aku berharap?
Seharusnya dalam diamku ini, aku harus mundur secara teratur. Tapi entah kenapa aku tak bisa memundurkan langkahku disaat majupun tak kulakukan. Aku hanya terpatung disini, berharap ia akan menjemputku meskipun aku tak yakin ia akan datang ataukah tidak.
Rasa ini, tak seharusnya aku memunculkannya sedari awal.
Maaf, sudah egois mengharapkanmu sebanyak ini...
Maaf, sudah egois menyayangimu sedalam ini...

0 komentar:

Jumat, 19 Februari 2016

19 Februari 2016

Baper?
Aku bahkan dulu gak tau apa arti kata baper itu. Yaaah, bukannya kuper ato apa siiih... tapi ya gitu deh. Sering banget temen2 marah karena ketidaktahuanku tentang suatu hal yang baru... hahaha

Dan sekarang, sepertinya aku udah akrab banget sama kata baper...
Ato lebih tepatnya aku udah kayak saudara sama si baper. Hahaha

Banyak orang yang berpikiran kalo baper itu gak baik. Tapi kenapa aku berpikiran berbeda ya? Karena baper, aku bisa menggerakkan jari-jariku. Meskipun aku harus memeras hatiku tiap kali menulis. Seenggaknya aku bisa memanfaatkan sisi positif dari ke-baper-anku. Iya kan?

0 komentar:

FLOW

Selamat Datang di MA DARUL HUDA
Begitulah yang tertulis di atas gapura yang saat ini berdiri kokoh di hadapanku. Yah, dua tahun yang lalu, gerbang ini menjadi saksi bagaimana aku setiap pagi harus lari-lari saat mendengar kesiswaan menghitung satu sampai sepuluh sebelum gerbang tertutup dan memberikan hukuman bagi siapapun yang terlambat memasukinya. Setiap rumput yang tumbuh disekitar gerbang, seakan berbisik membicarakan tawa yang dulu sering aku pamerkan dihadapan mereka.
“Nafa, ayo masuk. Mumpung belum bel istirahat.” Ajak Naila, teman sekamarku di asrama sekaligus teman seperjuanganku dari Mts hingga kuliah saat ini. Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan ajakan Naila. Aku melihat Naila yang sudah berjalan memasuki halaman sekolah sedangkan aku masih terpaku di tempatku berdiri. Entahlah, rasanya berat untukku memasuki gerbang sekolahku ini. Banyak kenangan yang sebenarnya ingin kutinggalkan disini, malah melekat semaki erat di nuraniku seakan perangko yang tak mau terpisah dari amplopnya. Kesedihan, kebahagiaan, persaingan, kecemburuan, penghianatan dan cinta. Disinilah aku mulai mengenali mereka. Dan disini pula aku memulai kisahku dan dia. Haidar.
Yah, Haidar berada di posisi pertama untuk orang-orang yang tak pernah bisa kulupakan. Berawal dari persahabatan, hubungan yang kita jalani tak bisa dibilang sederhana selayaknya teman. Seenggaknya itu komentar yang selalu kudengar dari teman-teman yang lain. Dan aku tidak bisa memungkiri kalau rasa sayangku padanya yang mulanya sebatas sahabat ternyata tumbuh melebihi yang tak kuduga.
Masa-masa sekolah adalah masa yang paling ingin kuulangi jika aku diberikan mesin untuk bisa melewati lorong waktu. Tapi aku tau itu hanyalah hayalan saja. Dulu untuk bertemu dan saling berbagi cerita dengan Haidar, aku hanya membutuhkan sesobek kertas dan menunggu bel istirahat atau bel pulang sekolah. Sekarang, semenjak aku dan Haidar memutuskan untuk masuk kuliah di kampus yang berbeda propinsi, jangankan berbagai cerita, mengucapkan kata ‘hai’ saja rasanya berat sekali. Entahlah, tiba-tiba saja semuanya serasa berbeda. Seakan ada tembok besar berduri yang menghalangi kita. Jika dulu kita saling menjaga kesehatan masing-masing, sekarang bagaimana kabarnya saja aku tak tau. Bahka untuk menanyakannyapun aku harus memikirkannya seribu kali. Rindu? Jangan ditanyakan lagi. Aku sudah tak bisa menghitung air mata yang kejatuhkan setiap kali aku teringat tentangnya. Banyak hal yang sebenarnya ingin kutanyakan padanya. Dulu, kenapa ia sangat baik padaku, kenapa ia begitu perhatian kepadaku, kenapa ia selalu ada untukku, kenapa ia sering kali menghalauku untuk menangis. Dan sekarang, kenapa ia berubah, kenapa ia tak pernah menghubungiku, dan bahkan ia memperlakukanku seakan orang asing. Apakah aku melakukan suatu hal yang membuatnya marah, ataukah aku melakukan sesuatu yang membuatnya jengah, atau mungkin karena rasaku padanya yang tak seharusnya ada dalam persahabatan kita. Aku bahkan tak tau apapun dan hanya bisa menduga-duganya. Dan mungkin semua ini memang salahku. Salahku karena tak mengawali untuk menyapanya terlebih dahulu, salahku tak menghubunginya, salahku tak langsung mengatakan apa yang ingin kukatakan dan salahku karena memiliki rasa yang membuat hubungan kita menjadi berbeda.
Tiba-tiba saja aku merasa ada yang mengetuk bahuku dari belakang. Aku menolehkan kepalaku mencari tahu siapa pemilik tangan itu. Tapi, aku malah merasakan ada benda tumpul yang menggores pipiku membentuk garis lurus berwarna hitam. Kontan aku langsung memutar tubuhku dan langsung terkejut saat mengetahui siapa yang kini berada di depanku.
“Haidar?!” ucapku terkejut sekaligus marah seraya menggosok-gosok goresan pena yang dibuat Haidar dipipiku.  Seperti biasa, Haidar tertawa lepas seakan sebuah kebahagiaan membuatku marah. Tapi entah kenapa tawa itu seakan menularkan virusnya padaku sehingga membuatku tersenyum. Tawa yang kurindukan.
“tersenyum!” pekik Haidar seraya menunjukkan jari telunjuknya padaku. Aku memandangnya tak mengerti.
“kamu ngapain sih? Gak jelas banget.” Tanyaku tak mengerti.
Haidar menghentikan tawanya. “entahlah. Cuma seneng aja liat senyum kamu. Lagi.” ujar Haidar sembari berjalan melewatiku.
Deg! Sontak jantungku serasa berhenti. Apa-apaan ini? pertemuan pertama kita setelah perpisahan panjang, ia langsung berhasil membuatku kikuk. Insiden pena dan kata yang barusan ia ucapkan, adalah suatu hal yang pernah ia lakukan padaku dulu. Kenapa ia melakukan hal seperti itu lagi?
“hei!” panggil Haidar. Yah, Haidar memang tak pernah memanggil namaku secara langsung. Entahlah, aku juga gak tau apa alasannya. Kalau gak gitu, ia memanggilku…
“Manyun!” panggil Haidar lagi dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya. Aku membalikkan badanku dan melemparkan lirikan tajamku padanya. MANYUN. Begitulah biasanya Haidar memanggilku. Dari sekian banyak nama sebutan, kenapa harus ‘manyun’? Itulah salah satu hal yang membuatku teringat dia tiapkali aku mendengar kata ‘manyun’. Bahkan terkadang rasanya aneh saat aku menulis kata manyun dalam karanganku. Dan sebagai balasannya aku memanggilnya dengan sebutan KOKOK. Menurutku sebutan ‘kokok’ juga tidak terlalu buruk. Iya kan?
Aku membalikkan tubuhku dan untuk kesekian kalinya aku melemparkan lirikan tajamku padanya. “apa?” timpalku.
“kamu gak mau masuk?” tanyanya.
“kemana?”
“gerbang kenangan kita?”
Gubrak! Sepertinya Haidar berhasil merobohkan dinding pendirianku. Meskipun begitu aku tetap saja mengikutinya dari belakang dengan hati yang berdesir.
“bukankah aku sudah pernah bilang. Jangan berjalan di belakangku, karena aku tak bisa membimbingmu. Jangan berjalan di depanku, karena aku tak bisa mengikutimu. Tapi berjalanlah disampingku karena kita sama.” Ujarnya sambil tersenyum dan menghentikan langkahnya menungguku. Aku tertegun sejenak sebelum kemudian menjajari langkahnya dengan canggung. Aku tak bisa berkata apapun, bahkan aku tak tau apa yang seharusnya aku lakukan. Sebenarnya aku ingin berteriak dengan keras-keras, apa yang sebenernya tengah ia lakukan? Kenapa ia memperlakukanku seperti ini?
“P.E.R.P.U.S.T.A.K.A.A.N” ejanya saat tanpa sadar ternyata kita sudah berada di depan perpustakaan. “tempat yang paling banyak menyimpan kenangan kita.” Gumamnya. Aku hanya mengangguk mengiyakan sembari melihat ke dalam peerpustakaan. Tak banyak yang berubah disana.
Haidar menunjukkan jari telunjuknya pada bangku perpustakaan yang terletak di pojok ruangan disamping rak Koran dan majalah. “tempat duduk kamu biasanya. Di sana juga tempat kamu menangis saat cerpen kamu pertama kali dimuat di Koran.”
Yah, aku ingat saat itu. Saat tiba-tiba saja secara ajaib namaku ada di kolom cerpen salah satu Koran di wilayahku. Dan pesulap yang berada di balik itu semua adalah Haidar.
“ah, aku ingat.” Sela Haidar dan langsung berjalan cepat menuju deretan ruang kelas XII atau lebih tepatnya, ke depan ruang kelasnya. Aku mengalihkan perhatianku dari perpustakaan dan mengikuti ke arah Haidar pergi. Aku melihat Haidar menaruh bata di depan kelasnya dan tersenyum bangga ketika aku datang.
“aku menang. Orang pertama yang menaruh bata di depan kelasku tiap pagi, akan jadi pemenang. Karena dulu selalu kamu yang berangkat lebih pagi, aku jadi kalah. Seandainya saja aku bisa bangun lebih pagi, aku pasti bisa mengalahkamu.” Keluh Haidar. Sedangkan aku hanya menatapnya heran dengan perasaan yang campur aduk.
“oh iya. Ini yang sudah aku siapin dari tadi.” Haidar berjalan mendekatiku dan mengambil sesuatu dari sakunya. “tangan kamu.” Pintanya.
“kenapa?” tanyaku khawatir. Bukannya apa, aku hanya takut Haidar akan menjahiliku lagi. Haidar menengadahkan satu tangannya dan menggerakkan jarinya. Akhirnya aku menjulurkan tanganku dengan ragu.
Haidar mengeluarkan sepasang karet hijau dan merah kemudian membuat simpul darinya. “ini adalah ikatanku.” Ucapnya seraya memasangkan simpul karet itu di pergelangan tanganku. Aku menatap Haidar tanpa berkedip. Rasanya jantungku seakan berhenti berdetak. Darahku mengalir lebih cepat dari bisanya hingga pembuluh darahku seakan memberontak karena darahku yang saling berdesakan. Aku sudah tak peduli seberapa merah wajahku saat ini. Aku hanya tak mengerti kenapa ia memperlakukanku seperti ini. Sedari tadi, ia seakan memutar memory yang pernah kita lakukan bersama. Hal sederhana yang menjadi ingatan yang tak bisa tersamarkan begitu saja.
“ke…kena..pa? a…pa a…da a…la…san dari se…mua ini?” tanyaku terbata karena tanpa kusadar ternyata air mataku mengalir membasahi pipiku. Haidar menundukkan pandangannya agar bisa menatapku. Sedangkan aku harus mendongakkan kepalaku agar bisa melihat matanya karena ia lebih tinggi dariku. Haidar memamerkan senyum manisnya padaku.
“NAFA!!” teriak sebuah suara yang saking kerasnya aku langsung terkejut dan menolehkan kepalaku pada sumber suara.
“dicariin dari tadi ternyata kamu malah di sini. Kamu ngapain sih disini?” tanya Naila berjalan mendekatiku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku seakan menyadarkan diriku sendiri.
Tett tett tett
Aku mendengar suara bel istirahat berbunyi.
“tuh kan. Bel istirahat udah bunyi. Kamu sih tadi tiba-tiba ngilang pas aku ke ruang guru minta legalisir. Eh, kamu dengan indahnya malah jalan-jalan keliling sekolah sendiri. Ayo buruan. Nanti barengan sama siswa istirahat, malu.” Keluh Naila seraya menarik tanganku. Sepertinya ia khawatir aku akan hilang lagi.
“maaf.” Ucapku dan tersenyum kuda seraya mengikuti Naila. Aku menolehkan kepalaku ke belakang dan mendapati bayangan Haidar yang kini berubah menjadi debu-debu yang diterbangkan angin.

0 komentar:

Namamu

Alur masih bersembunyi dibalik asa
Hilir bayangnya menyusup dalam sukma
Melodi rasapun tlah melompati pagar kasih
oh angin... Antarkan bisikku padanya
karna Dia yang bertahtakan hatiku tak lagi dimata

Kenang bagaikan nafas gelisah
Hilangnya sang waktu tlah runtuhkan ikatan
Apakah rasa tak lagi didekap?
Bilakah kumbang lekatkan pada bunga lain,
Izinkah nurani ini merelakannya?
Bahkan perih tak mau lagi berpindah
Urung sudah niat mendambakan belaiannya
karna Laraskan dunia tak harus untukku saja

Kamu yang hadir dalam ingatan
Intiplah rindu yang kuselipkan
Rengkuhlah rasa yang kudiamkan
Ombak memang sisihkan langkah
namun, Mampukah ia lenyapkan kisah?

Pare, 17 Januari 2016 pukul 13.47 WIB

*puisi ini telah diterbitkan dalam 'Antologi Puisi' oleh Penerbit Legion dan Sajak Sajak Anak Bangsa

0 komentar:

6 Januari 2016

Tahun 2013
Rasa ini berawal dari persahabatan. Aku tak pernah menyangka jika rasa ini ternyata tumbuh melebihi kasih seorang sahabat. Seperti pohon yang tak bisa menolak angin yang menerpanya, begitulah rasa itu hadir tanpa bisa kuhalau. Haidar. Dia tak setampan Kim Soo Hyun, tak sepintar Habibie dan tak sekaya Chairul Tanjung. Namun entah kenapa sekecap katanya seakan air yang dapat menyisihkan egoku dan mendorong rasa rendah diriku. Setiap ucapnya seakan bara yang menyulut semangat mimpiku.   Yah, dia adalah orang yang membuat mimpiku semakin dekat. Kukira dia hanya akan menjadi sahabatku hingga aku tak mampu lagi mengangkat tubuhku sendiri. Tapi ternyata hatiku menolaknya. Ia memunculkan rasa yang tak seharusnya kupunya. Cinta? Rasanya tak pantas rasaku ini disebut ‘cinta’, yang bahkan tak ku tau pasti maknanya.
“kamu istimewa.” Ucapnya saat itu. Aku memiringkan kepalaku tak mengerti, atau lebih tepatnya pura-pura tak mengerti. Padahal aku bisa merasakan ada yang menggedor-gedor keras dari balik dadaku. Dan tak bisa dipungkiri kalau wajahku mulai memanas. Haidar hanya menatapku lekat sebelum kemudian tersenyum simpul. Senyuman yang tak pernah bisa kuartikan. Istimewa? Aku bertanya-tanya apakah ‘istimewa’ bisa dimasukkan kategori ‘cinta’?
Aku tak tau kapan rasa ini berawal sebagaimana aku tak tau kapan berakhir. Tiba-tiba saja rasa ini ada, meskipun kutau kalau dia pernah bercerita tentang seorang gadis yang berhasil malabuhkan cintanya. Gadis yang saat ini jauh darinya, namun tetap menunggu kedatangannya.
“Namanya Faizah.” Haidar menyebutkan nama ‘kekasih’nya itu seraya tersipu. Aku bahkan bisa melihat matanya yang tertunduk malu. Seseorang yang jauh lebih baik dariku yang tak mempunyai apapun untuk dibanggakan kecuali rasa yang tak bisa kuungkapkan. Bagaimana tidak, gadis yang selalu ia jaga dihatinya adalah seorang gadis cantik, baik hati dan pintar. Bagaimana mungkin bisa disandingkan dengan diriku yang hanya bisa mengeluhkan kehidupanku padanya? Cemburu? Apakah aku punya hak untuk cemburu? Terkadang, pernah terbesit dihatiku berharap mereka tak lagi menjalin hubungan. Namun, segera saja kuhilangkan pikiran jahat itu. Sungguh, aku merasa menjadi orang yang paling jahat dengan memiliki rasa ini pada sahabatku sendiri.
“Haidar pernah bercerita padaku kalau ia menyayangi seorang gadis di sekolahnya. Namanya Nafa.” ujar Faizah dari balik telephon genggamku, saat itu. Deg. Aku terkejut. Nafa? itu aku. Yah, Haidar memang mengenalkanku pada Faizah dengan nama Naflah, sedangkan nama panggilanku di sekolah Nafa. Naflah Fakhirah.
“eh, Nafa… itu namaku.” Ungkapku pelan pada Faizah, khawatir menyakiti Faizah. Tapi kenapa diam-diam hatiku bahagia mendengar kalau Haidar ternyata menyayangiku? Meskipun aku sadar kalau sayang yang dimaksudkan Haidar adalah sayang selayaknnya kakak pada adiknya. Awalnya aku ‘iya iya’ saja saat Haidar mengatakannya padaku kalau ia menyayangiku lewat tulisan. Aku tak pernah mempermasalahkannya. Tapi saat aku pikir-pikir lagi, apakah ada rasa sayang kakak adik jika usia kita tak jauh beda?
v  
            Tahun 2014
            Aku memiringkan kepalaku saat melihat Haidar, mengangkat dua telunjuknya  di sebelah kepalanya.
            “kamu ngapain?” tanyaku tak mengerti.
            “Radar.” Jawabnya seraya tersenyum dan menurunkan tangannya ke bawah. Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Masih tak mengerti. Yah haidar memang sering melakukan hal-hal yang membutuhkan beberapa waktu untuk kufahami. Bahkan tak jarang aku tak bisa memahaminya.
            “ke perpus aja yuk. Di sini ramai.” Tawar Haidar seraya mengedarkan pandangannya menyisir sekeliling halaman sekolah. Yah, saat ini memang jam istirahat, tentu saja sekolah ramai. Aku hanya mengangguk pelan dan mengikuti Haidar yang berjalan menuju perpustakaan sekolah, tempat kita sering menghabiskan waktu kosong dan istirahat ketika sekolah.
            Aku menatap Haidar yang berjalan di depanku dengan tatapan sayu. Tanpa sadar, persahabatan ini sudah berlangsung selama lima tahun. Dan setengah tahun terakhir ini, Haidar tak pernah bercerita tentang Faizah. Cerita yang selalu membuatku memelintir hatiku tiap kali mendengarnya. Akupun tak pernah bertanya tentang Faizah, karena aku takut air mataku akan mengalir tanpa kusadari lagi. Dan aku bukan orang yang pandai menghentikan air mataku. Kukira perasaan ini bisa berkurang seiring berjalannya waktu, tapi ternyata waktu menghianatiku. Perasaanku menjadi lebih dalam, dan tak jarang aku buta dengan perasaanku sendiri. Aku sering melupakan kenyataan kalau ada Faizah disisi Haidar.
‘kamu selalu menyiratkan semua yang kamu rasakan dari matamu’. Itulah yang ia katakan saat aku bertanya kenapa ia seakan bisa membaca pikiranku. Jika mataku bisa menceritakan semuanya, bagaimana mungkin aku bisa menyembunyikan perasaanku? Perlahan perhatian yang selalu ia tampakkan semakin berkurang, dan persahabatan kami semakin berjarak. Sepertinya ia menyadari perasaanku. Dan aku menyalahkan diriku sendiri karena memiliki perasaan yang tak seharusnya ada ini. Tapi semakin aku memikirkannya, ternyata aku yang mencoba untuk menjauhinya. Atau mungkin lebih tepatnya aku tak siap melihat Haidar memalingkan wajahnya dariku.
Biarlah. Biarlah rasa ini bermuara pada garis yang ditetapkan Sang Maha Cinta. Dan biarkan setiap tangis yang kulelehkan di setiap sujudku menjadi saksi kalau aku pernah menjadikannya pemilik singgahsana hati ini.

Ternyata dia cuma pelangi. Yang sejenak hadir memberikan warna dalam lembaran kisah sederhanaku. Yang datang setelah hujan mengguyur jiwa dan mendung melingkupi kehampaan. Setelah tawa tak lagi terharap, ia memudar bahkan sebelum jariku tuntas membahasakannya.
Ternyata dia cuma pelangi. Yang menggerakkan goresanku menguraikan abjadnya. Merebahkan fikirku menelisik makna kehadirannya. Namun, saat kaki menjejak hamparan warna harapan, ternyata iramanya menjatuhkanku melewati parit ingatan.
Saat pertanyaan 'kenapa' yang tak pernah terlontar tak pernah mendengar jawaban 'karena', bahkan bibirpun seakan bisu dan telinga seakan tuli, hanya dugaan yang menemaniku dalam perlakuan yang berbeda darinya.
Ternyata dia cuma pelangi, bukan matahari yang seakan pernah mengisyaratkanku sebagai rembulan.
Kamu, terimakasih untuk semua ingatan, dan maaf untuk sebuah rasa yang sederhana dengan kisah yang tak sederhana.

0 komentar: