Jumat, 19 Februari 2016

6 Januari 2016

Tahun 2013
Rasa ini berawal dari persahabatan. Aku tak pernah menyangka jika rasa ini ternyata tumbuh melebihi kasih seorang sahabat. Seperti pohon yang tak bisa menolak angin yang menerpanya, begitulah rasa itu hadir tanpa bisa kuhalau. Haidar. Dia tak setampan Kim Soo Hyun, tak sepintar Habibie dan tak sekaya Chairul Tanjung. Namun entah kenapa sekecap katanya seakan air yang dapat menyisihkan egoku dan mendorong rasa rendah diriku. Setiap ucapnya seakan bara yang menyulut semangat mimpiku.   Yah, dia adalah orang yang membuat mimpiku semakin dekat. Kukira dia hanya akan menjadi sahabatku hingga aku tak mampu lagi mengangkat tubuhku sendiri. Tapi ternyata hatiku menolaknya. Ia memunculkan rasa yang tak seharusnya kupunya. Cinta? Rasanya tak pantas rasaku ini disebut ‘cinta’, yang bahkan tak ku tau pasti maknanya.
“kamu istimewa.” Ucapnya saat itu. Aku memiringkan kepalaku tak mengerti, atau lebih tepatnya pura-pura tak mengerti. Padahal aku bisa merasakan ada yang menggedor-gedor keras dari balik dadaku. Dan tak bisa dipungkiri kalau wajahku mulai memanas. Haidar hanya menatapku lekat sebelum kemudian tersenyum simpul. Senyuman yang tak pernah bisa kuartikan. Istimewa? Aku bertanya-tanya apakah ‘istimewa’ bisa dimasukkan kategori ‘cinta’?
Aku tak tau kapan rasa ini berawal sebagaimana aku tak tau kapan berakhir. Tiba-tiba saja rasa ini ada, meskipun kutau kalau dia pernah bercerita tentang seorang gadis yang berhasil malabuhkan cintanya. Gadis yang saat ini jauh darinya, namun tetap menunggu kedatangannya.
“Namanya Faizah.” Haidar menyebutkan nama ‘kekasih’nya itu seraya tersipu. Aku bahkan bisa melihat matanya yang tertunduk malu. Seseorang yang jauh lebih baik dariku yang tak mempunyai apapun untuk dibanggakan kecuali rasa yang tak bisa kuungkapkan. Bagaimana tidak, gadis yang selalu ia jaga dihatinya adalah seorang gadis cantik, baik hati dan pintar. Bagaimana mungkin bisa disandingkan dengan diriku yang hanya bisa mengeluhkan kehidupanku padanya? Cemburu? Apakah aku punya hak untuk cemburu? Terkadang, pernah terbesit dihatiku berharap mereka tak lagi menjalin hubungan. Namun, segera saja kuhilangkan pikiran jahat itu. Sungguh, aku merasa menjadi orang yang paling jahat dengan memiliki rasa ini pada sahabatku sendiri.
“Haidar pernah bercerita padaku kalau ia menyayangi seorang gadis di sekolahnya. Namanya Nafa.” ujar Faizah dari balik telephon genggamku, saat itu. Deg. Aku terkejut. Nafa? itu aku. Yah, Haidar memang mengenalkanku pada Faizah dengan nama Naflah, sedangkan nama panggilanku di sekolah Nafa. Naflah Fakhirah.
“eh, Nafa… itu namaku.” Ungkapku pelan pada Faizah, khawatir menyakiti Faizah. Tapi kenapa diam-diam hatiku bahagia mendengar kalau Haidar ternyata menyayangiku? Meskipun aku sadar kalau sayang yang dimaksudkan Haidar adalah sayang selayaknnya kakak pada adiknya. Awalnya aku ‘iya iya’ saja saat Haidar mengatakannya padaku kalau ia menyayangiku lewat tulisan. Aku tak pernah mempermasalahkannya. Tapi saat aku pikir-pikir lagi, apakah ada rasa sayang kakak adik jika usia kita tak jauh beda?
v  
            Tahun 2014
            Aku memiringkan kepalaku saat melihat Haidar, mengangkat dua telunjuknya  di sebelah kepalanya.
            “kamu ngapain?” tanyaku tak mengerti.
            “Radar.” Jawabnya seraya tersenyum dan menurunkan tangannya ke bawah. Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Masih tak mengerti. Yah haidar memang sering melakukan hal-hal yang membutuhkan beberapa waktu untuk kufahami. Bahkan tak jarang aku tak bisa memahaminya.
            “ke perpus aja yuk. Di sini ramai.” Tawar Haidar seraya mengedarkan pandangannya menyisir sekeliling halaman sekolah. Yah, saat ini memang jam istirahat, tentu saja sekolah ramai. Aku hanya mengangguk pelan dan mengikuti Haidar yang berjalan menuju perpustakaan sekolah, tempat kita sering menghabiskan waktu kosong dan istirahat ketika sekolah.
            Aku menatap Haidar yang berjalan di depanku dengan tatapan sayu. Tanpa sadar, persahabatan ini sudah berlangsung selama lima tahun. Dan setengah tahun terakhir ini, Haidar tak pernah bercerita tentang Faizah. Cerita yang selalu membuatku memelintir hatiku tiap kali mendengarnya. Akupun tak pernah bertanya tentang Faizah, karena aku takut air mataku akan mengalir tanpa kusadari lagi. Dan aku bukan orang yang pandai menghentikan air mataku. Kukira perasaan ini bisa berkurang seiring berjalannya waktu, tapi ternyata waktu menghianatiku. Perasaanku menjadi lebih dalam, dan tak jarang aku buta dengan perasaanku sendiri. Aku sering melupakan kenyataan kalau ada Faizah disisi Haidar.
‘kamu selalu menyiratkan semua yang kamu rasakan dari matamu’. Itulah yang ia katakan saat aku bertanya kenapa ia seakan bisa membaca pikiranku. Jika mataku bisa menceritakan semuanya, bagaimana mungkin aku bisa menyembunyikan perasaanku? Perlahan perhatian yang selalu ia tampakkan semakin berkurang, dan persahabatan kami semakin berjarak. Sepertinya ia menyadari perasaanku. Dan aku menyalahkan diriku sendiri karena memiliki perasaan yang tak seharusnya ada ini. Tapi semakin aku memikirkannya, ternyata aku yang mencoba untuk menjauhinya. Atau mungkin lebih tepatnya aku tak siap melihat Haidar memalingkan wajahnya dariku.
Biarlah. Biarlah rasa ini bermuara pada garis yang ditetapkan Sang Maha Cinta. Dan biarkan setiap tangis yang kulelehkan di setiap sujudku menjadi saksi kalau aku pernah menjadikannya pemilik singgahsana hati ini.

Ternyata dia cuma pelangi. Yang sejenak hadir memberikan warna dalam lembaran kisah sederhanaku. Yang datang setelah hujan mengguyur jiwa dan mendung melingkupi kehampaan. Setelah tawa tak lagi terharap, ia memudar bahkan sebelum jariku tuntas membahasakannya.
Ternyata dia cuma pelangi. Yang menggerakkan goresanku menguraikan abjadnya. Merebahkan fikirku menelisik makna kehadirannya. Namun, saat kaki menjejak hamparan warna harapan, ternyata iramanya menjatuhkanku melewati parit ingatan.
Saat pertanyaan 'kenapa' yang tak pernah terlontar tak pernah mendengar jawaban 'karena', bahkan bibirpun seakan bisu dan telinga seakan tuli, hanya dugaan yang menemaniku dalam perlakuan yang berbeda darinya.
Ternyata dia cuma pelangi, bukan matahari yang seakan pernah mengisyaratkanku sebagai rembulan.
Kamu, terimakasih untuk semua ingatan, dan maaf untuk sebuah rasa yang sederhana dengan kisah yang tak sederhana.

0 komentar: