Jumat, 19 Februari 2016

FLOW

Selamat Datang di MA DARUL HUDA
Begitulah yang tertulis di atas gapura yang saat ini berdiri kokoh di hadapanku. Yah, dua tahun yang lalu, gerbang ini menjadi saksi bagaimana aku setiap pagi harus lari-lari saat mendengar kesiswaan menghitung satu sampai sepuluh sebelum gerbang tertutup dan memberikan hukuman bagi siapapun yang terlambat memasukinya. Setiap rumput yang tumbuh disekitar gerbang, seakan berbisik membicarakan tawa yang dulu sering aku pamerkan dihadapan mereka.
“Nafa, ayo masuk. Mumpung belum bel istirahat.” Ajak Naila, teman sekamarku di asrama sekaligus teman seperjuanganku dari Mts hingga kuliah saat ini. Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan ajakan Naila. Aku melihat Naila yang sudah berjalan memasuki halaman sekolah sedangkan aku masih terpaku di tempatku berdiri. Entahlah, rasanya berat untukku memasuki gerbang sekolahku ini. Banyak kenangan yang sebenarnya ingin kutinggalkan disini, malah melekat semaki erat di nuraniku seakan perangko yang tak mau terpisah dari amplopnya. Kesedihan, kebahagiaan, persaingan, kecemburuan, penghianatan dan cinta. Disinilah aku mulai mengenali mereka. Dan disini pula aku memulai kisahku dan dia. Haidar.
Yah, Haidar berada di posisi pertama untuk orang-orang yang tak pernah bisa kulupakan. Berawal dari persahabatan, hubungan yang kita jalani tak bisa dibilang sederhana selayaknya teman. Seenggaknya itu komentar yang selalu kudengar dari teman-teman yang lain. Dan aku tidak bisa memungkiri kalau rasa sayangku padanya yang mulanya sebatas sahabat ternyata tumbuh melebihi yang tak kuduga.
Masa-masa sekolah adalah masa yang paling ingin kuulangi jika aku diberikan mesin untuk bisa melewati lorong waktu. Tapi aku tau itu hanyalah hayalan saja. Dulu untuk bertemu dan saling berbagi cerita dengan Haidar, aku hanya membutuhkan sesobek kertas dan menunggu bel istirahat atau bel pulang sekolah. Sekarang, semenjak aku dan Haidar memutuskan untuk masuk kuliah di kampus yang berbeda propinsi, jangankan berbagai cerita, mengucapkan kata ‘hai’ saja rasanya berat sekali. Entahlah, tiba-tiba saja semuanya serasa berbeda. Seakan ada tembok besar berduri yang menghalangi kita. Jika dulu kita saling menjaga kesehatan masing-masing, sekarang bagaimana kabarnya saja aku tak tau. Bahka untuk menanyakannyapun aku harus memikirkannya seribu kali. Rindu? Jangan ditanyakan lagi. Aku sudah tak bisa menghitung air mata yang kejatuhkan setiap kali aku teringat tentangnya. Banyak hal yang sebenarnya ingin kutanyakan padanya. Dulu, kenapa ia sangat baik padaku, kenapa ia begitu perhatian kepadaku, kenapa ia selalu ada untukku, kenapa ia sering kali menghalauku untuk menangis. Dan sekarang, kenapa ia berubah, kenapa ia tak pernah menghubungiku, dan bahkan ia memperlakukanku seakan orang asing. Apakah aku melakukan suatu hal yang membuatnya marah, ataukah aku melakukan sesuatu yang membuatnya jengah, atau mungkin karena rasaku padanya yang tak seharusnya ada dalam persahabatan kita. Aku bahkan tak tau apapun dan hanya bisa menduga-duganya. Dan mungkin semua ini memang salahku. Salahku karena tak mengawali untuk menyapanya terlebih dahulu, salahku tak menghubunginya, salahku tak langsung mengatakan apa yang ingin kukatakan dan salahku karena memiliki rasa yang membuat hubungan kita menjadi berbeda.
Tiba-tiba saja aku merasa ada yang mengetuk bahuku dari belakang. Aku menolehkan kepalaku mencari tahu siapa pemilik tangan itu. Tapi, aku malah merasakan ada benda tumpul yang menggores pipiku membentuk garis lurus berwarna hitam. Kontan aku langsung memutar tubuhku dan langsung terkejut saat mengetahui siapa yang kini berada di depanku.
“Haidar?!” ucapku terkejut sekaligus marah seraya menggosok-gosok goresan pena yang dibuat Haidar dipipiku.  Seperti biasa, Haidar tertawa lepas seakan sebuah kebahagiaan membuatku marah. Tapi entah kenapa tawa itu seakan menularkan virusnya padaku sehingga membuatku tersenyum. Tawa yang kurindukan.
“tersenyum!” pekik Haidar seraya menunjukkan jari telunjuknya padaku. Aku memandangnya tak mengerti.
“kamu ngapain sih? Gak jelas banget.” Tanyaku tak mengerti.
Haidar menghentikan tawanya. “entahlah. Cuma seneng aja liat senyum kamu. Lagi.” ujar Haidar sembari berjalan melewatiku.
Deg! Sontak jantungku serasa berhenti. Apa-apaan ini? pertemuan pertama kita setelah perpisahan panjang, ia langsung berhasil membuatku kikuk. Insiden pena dan kata yang barusan ia ucapkan, adalah suatu hal yang pernah ia lakukan padaku dulu. Kenapa ia melakukan hal seperti itu lagi?
“hei!” panggil Haidar. Yah, Haidar memang tak pernah memanggil namaku secara langsung. Entahlah, aku juga gak tau apa alasannya. Kalau gak gitu, ia memanggilku…
“Manyun!” panggil Haidar lagi dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya. Aku membalikkan badanku dan melemparkan lirikan tajamku padanya. MANYUN. Begitulah biasanya Haidar memanggilku. Dari sekian banyak nama sebutan, kenapa harus ‘manyun’? Itulah salah satu hal yang membuatku teringat dia tiapkali aku mendengar kata ‘manyun’. Bahkan terkadang rasanya aneh saat aku menulis kata manyun dalam karanganku. Dan sebagai balasannya aku memanggilnya dengan sebutan KOKOK. Menurutku sebutan ‘kokok’ juga tidak terlalu buruk. Iya kan?
Aku membalikkan tubuhku dan untuk kesekian kalinya aku melemparkan lirikan tajamku padanya. “apa?” timpalku.
“kamu gak mau masuk?” tanyanya.
“kemana?”
“gerbang kenangan kita?”
Gubrak! Sepertinya Haidar berhasil merobohkan dinding pendirianku. Meskipun begitu aku tetap saja mengikutinya dari belakang dengan hati yang berdesir.
“bukankah aku sudah pernah bilang. Jangan berjalan di belakangku, karena aku tak bisa membimbingmu. Jangan berjalan di depanku, karena aku tak bisa mengikutimu. Tapi berjalanlah disampingku karena kita sama.” Ujarnya sambil tersenyum dan menghentikan langkahnya menungguku. Aku tertegun sejenak sebelum kemudian menjajari langkahnya dengan canggung. Aku tak bisa berkata apapun, bahkan aku tak tau apa yang seharusnya aku lakukan. Sebenarnya aku ingin berteriak dengan keras-keras, apa yang sebenernya tengah ia lakukan? Kenapa ia memperlakukanku seperti ini?
“P.E.R.P.U.S.T.A.K.A.A.N” ejanya saat tanpa sadar ternyata kita sudah berada di depan perpustakaan. “tempat yang paling banyak menyimpan kenangan kita.” Gumamnya. Aku hanya mengangguk mengiyakan sembari melihat ke dalam peerpustakaan. Tak banyak yang berubah disana.
Haidar menunjukkan jari telunjuknya pada bangku perpustakaan yang terletak di pojok ruangan disamping rak Koran dan majalah. “tempat duduk kamu biasanya. Di sana juga tempat kamu menangis saat cerpen kamu pertama kali dimuat di Koran.”
Yah, aku ingat saat itu. Saat tiba-tiba saja secara ajaib namaku ada di kolom cerpen salah satu Koran di wilayahku. Dan pesulap yang berada di balik itu semua adalah Haidar.
“ah, aku ingat.” Sela Haidar dan langsung berjalan cepat menuju deretan ruang kelas XII atau lebih tepatnya, ke depan ruang kelasnya. Aku mengalihkan perhatianku dari perpustakaan dan mengikuti ke arah Haidar pergi. Aku melihat Haidar menaruh bata di depan kelasnya dan tersenyum bangga ketika aku datang.
“aku menang. Orang pertama yang menaruh bata di depan kelasku tiap pagi, akan jadi pemenang. Karena dulu selalu kamu yang berangkat lebih pagi, aku jadi kalah. Seandainya saja aku bisa bangun lebih pagi, aku pasti bisa mengalahkamu.” Keluh Haidar. Sedangkan aku hanya menatapnya heran dengan perasaan yang campur aduk.
“oh iya. Ini yang sudah aku siapin dari tadi.” Haidar berjalan mendekatiku dan mengambil sesuatu dari sakunya. “tangan kamu.” Pintanya.
“kenapa?” tanyaku khawatir. Bukannya apa, aku hanya takut Haidar akan menjahiliku lagi. Haidar menengadahkan satu tangannya dan menggerakkan jarinya. Akhirnya aku menjulurkan tanganku dengan ragu.
Haidar mengeluarkan sepasang karet hijau dan merah kemudian membuat simpul darinya. “ini adalah ikatanku.” Ucapnya seraya memasangkan simpul karet itu di pergelangan tanganku. Aku menatap Haidar tanpa berkedip. Rasanya jantungku seakan berhenti berdetak. Darahku mengalir lebih cepat dari bisanya hingga pembuluh darahku seakan memberontak karena darahku yang saling berdesakan. Aku sudah tak peduli seberapa merah wajahku saat ini. Aku hanya tak mengerti kenapa ia memperlakukanku seperti ini. Sedari tadi, ia seakan memutar memory yang pernah kita lakukan bersama. Hal sederhana yang menjadi ingatan yang tak bisa tersamarkan begitu saja.
“ke…kena..pa? a…pa a…da a…la…san dari se…mua ini?” tanyaku terbata karena tanpa kusadar ternyata air mataku mengalir membasahi pipiku. Haidar menundukkan pandangannya agar bisa menatapku. Sedangkan aku harus mendongakkan kepalaku agar bisa melihat matanya karena ia lebih tinggi dariku. Haidar memamerkan senyum manisnya padaku.
“NAFA!!” teriak sebuah suara yang saking kerasnya aku langsung terkejut dan menolehkan kepalaku pada sumber suara.
“dicariin dari tadi ternyata kamu malah di sini. Kamu ngapain sih disini?” tanya Naila berjalan mendekatiku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku seakan menyadarkan diriku sendiri.
Tett tett tett
Aku mendengar suara bel istirahat berbunyi.
“tuh kan. Bel istirahat udah bunyi. Kamu sih tadi tiba-tiba ngilang pas aku ke ruang guru minta legalisir. Eh, kamu dengan indahnya malah jalan-jalan keliling sekolah sendiri. Ayo buruan. Nanti barengan sama siswa istirahat, malu.” Keluh Naila seraya menarik tanganku. Sepertinya ia khawatir aku akan hilang lagi.
“maaf.” Ucapku dan tersenyum kuda seraya mengikuti Naila. Aku menolehkan kepalaku ke belakang dan mendapati bayangan Haidar yang kini berubah menjadi debu-debu yang diterbangkan angin.

0 komentar: