Minggu, 27 November 2016

Istiqomah Mencintai "mu"



Ini tentang kisah kita. Kisah antara aku dan ‘kamu’ yang sengaja dipertemukan. Apakah kamu ingat pertemuan pertama kita? sebenarnya aku juga tidak terlalu mengingatnya. Tapi kurasa kita sudah dipertemukan sebelum aku menghela nafas peertamaku di dunia ini. Rasanya aku sudah bertemu denganmu saat aku masih berupa janin di perut ibuku… ^_^

Kisah kita berjalan biasa saja tanpa ada yang istimewa hingga pada akhirnya ada magnet yang sangat kuat yang menarikku padamu.
Jika pasangan lain sering berkata “kalau cinta itu tak beralasan”, tapi bagiku mencintaimu adalah alasan terkuatku. Harus ada alasan untuk cinta yang terasakan, iya kan? karena alasan itulah yang akan membuat kita tetap bertahan. Dan aku memiliki seribu alasan untuk mencintaimu. Ah, tidak. Aku memiliki lebih dari seribu alasan untuk mencintaimu. Tapi hanya satu alasan besar yang membuatku tetap bertahan meskipun terkadang ada air mata yang mengiringi perjalanan kita. Dan alasan itu karenamu membuatku merasa lebih dekat dengan-Nya.

Yah. Aku tau tidak semua hubungan berjalan dengan lancar. Begitupun dengan kisah kita.

Kata mereka, ‘cemburu adalah tanda cinta’. Tapi kamu adalah tipe paling pencemburu yang pernah aku temui. Kamu selalu marah setiap kali aku memperhatikan hal lain. Bahkan sehari tak kusapa, kesalmupun tak bisa kuhindari. Seperti tali kekang kuda nih ya, baru kulonggarkan sedikit saja kamu udah lari. Hhh, dan untuk meredakan kemarahanmu itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tak bisakah kamu kurangi sedikit saja kadar cemburumu?

Kamu tau, pasangan lain tak ingin yang lainnya melupakannya meskipun mereka berjauhan. Sedangkan kamu malah membuatku melupakanmu saat aku baru selangkah saja menjauh darimu. Kamu tau berapa waktu yang kuperlukan untuk mendekatimu kembali? Bahkan saat kita dekat lagipun terkadang marahmu masih tersisa.

Namun…

Aku sadar. Sifat pecemburumu itu adalah untuk kebaikanku. Kamu cemburu saat aku teralihkan oleh hal lain selain kamu adalah caramu menunjukkan padaku betapa kamu mencintaiku. Caramu membuatku melupakanku saat aku selangkah lebih jauh darimu adalah untuk meberitahuku kalau kamu sangat merindukanku.Yah, kamu memang saksi yang paling banyak melihatku menangis di hadapan Tuhan. Kamu adalah penguat saat aku mulai goyah. Kamu adalah cahaya saat jalanku mulai gelap. Dan kamulah yang membuatku lebih dekat dengan-Nya.

Tidak hanya terucap dibibirku, maukah kamu tersimpan di hatiku?
Al-Qur’anku.


Dari yang mencintaimu,


An

0 komentar:

Kamis, 24 November 2016

"Amankan" Bumbu Masak Sendiri

Yang biasanya suka masak, angkat tangan! (Nyembunyiin tangan dibelakang punggung sambil pura-pura gak dengar.😅)

Nah, ini ada info baru buat yang hobi masak..

Buat yang lebih suka bikin bumbu sendiri, kita bisa buat bumbu awet tanpa bahan pengawet. Mau kepoin caranya? Yuk, capcus aja.

Lemak, bisa digunakan sebagai bahan pengawet lho... Itu jadi alasan knapa pas ibu-ibu pengen bumbunya awet, digoreng dulu. Nah, disini ada alternatif lain pengawetan bumbu tanpa minyak goreng.

Sebenernya, bahan-bahan yg kita buat menjadi bumbu itu mengandung minyak. Misalnya, kunyit, bawang merah, bawang putih, cabai dsb. Jadi kita hanya perlu mengeluarkan minyak yang terkandung dalam bahan bahan bumbu tersebut. Caranya, panasin aja bumbunya dengan api yang kecil. Pemanasan ini bisa untuk menguapkan kandungan air dalam bumbu. Jadi, mikroorganisme tidak dapat tumbuh dalam bumbu yang kita buat. Selain itu, pemanasan ini untuk memecah ikatan antara lemak dengan protein sehingga lemak dapat keluar dari bahan-bahan tersebut dan (insyaallah) dapat mengawetkan bumbu kita.

Selamat bereksperimen...
Smoga bermanfaat...
Insyaallah.

Oh iya, laboratorium terkeren kita itu Dapur. Hahaha

Ilmu by bu Akyunul Jannah, MP

0 komentar:

Love Chemist

Tidak ada bahan yang berbahaya, tapi apapun yang digunakan secara berlebihan pasti berbahaya.

Pernah dengar kalam Tuhan,

وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al A`raaf : 31)

Nah, begitupun dengan senyawa kimia. Sebenarnya tubuh kita adalah pusat dari semua reaksi kimia. Reaksi apapun ada di dalam tubuh kita. Senyawa apapun pasti bisa ditemukan di dalam tubuh kita. Bayangkan seberapa sibuknya tubuh kita mengatur semua senyawa kimia yang masuk dalam tubuh dan menjadikan kita dapat bernafas, bergerak, melihat dan lain sebagainya. Eh, jangan salah. Ingat, oksigen juga bahan kimia lho....

Jadi, klo anak kimia tidak pernah berfikir 'subhanallah', berarti ada yang salah dengan pikirannya. Ups!  Maaf kasar... Hehehe

Dan buat temen-temen, yuk sisihin pemikiran kalau anak kimia itu cuma bisa buat bom aja. Kita bukan pembuat bom kok... Klo disuruh bikin, bisa aja sih. Tapi bom Cinta. Lhoh! Ngelantur. Hahaha

Disini, saya hanya mencoba untuk membagi ilmu yang saya dapat di perjalanan studi saya. Smoga bermanfaat ya....

0 komentar:

Selasa, 22 November 2016

Teruntuk Kamu, yang Langsung Berubah kalau Udah Laper

Teruntuk yang langsung berubah 180 derajat kalau udah lapar… hehehe

Ini tentang sebuah ikatan tanpa darah. Ini tentang cerita perjalanan yang pernah dan akan terlangkahi bersama. Ini tentang perjuangan menggapai impian yang sama…
Aku tak tau kalau ternyata persahabatan itu benar-benar ada. Dan saat ini, kurasa memberikan dia stempel sahabat yang baik adalah sebuah keharusan.
Tunggu deh. Kok jadi puitis gini sih? Ganti pake bahasa biasanya aja ya… ntar yang pengen disampekan malah gak tersampekan. Iya gak?

Nah. Ini tentang seorang teman yang awalnya hanya dipertemukan dalam satu mabna di kampus. Jangankan menyapa, namanya saja aku gak tau. Paling-paling kalau gak sengaja ketemu, cuma ngelirik aja… hahaha. Bukannya sombong atau yang lainnya, tapi saat itu aku baru pertama kali menginjak bumi UIN. Dan gak mungkin kan aku bisa menghafal satu persatu 3000 an mahasantri? Jangankan mahasantri, orang temen kimia seangkatan aja aku gak hafal namanya… hahaha Maklumi aja, aku paling lemah kalau disuruh nginget nama… kecuali namanya. (lhoh!)
Mungkin Tuhan sudah menggariskan kita untuk bertemu lagi setelah keluar dari ma’had UIN. (ceileh, bahasanya…) Jadi aku melihatnya lagi di MHB Darul Hikmah dan entah secara kebetulan atau apa, pengasuh ma’hadku menjadikan kita partner ‘muroja’ah’ tiap pagi dan malam. Dan mungkin karena itulah kita lebih banyak berbagi.
Hidup di kota yang penuh dengan gemerlap menyilaukan, memaksa kita untuk membentengi diri agar tidak sampai ‘diciptakan oleh lingkungan’. Dan mendapatkan seorang teman yang memiliki prinsip yang sama seperti itu seakan mencari zabra di kandang kuda! (lhah, kok gak nyambung?). Dan anggap saja nemuin ‘zebra’ itu adalah suatu keberuntungan. (Ssst. Jangan bilang-bilang… nanti dia ke-PD-an. Hahaha)

“wes, ancen konco adem panas”
Itu yang pernah dia katakan dan langsung kusetujui. Yaps, hidup memang harus kayak jungkat-jungkit. Bisa jadi kita berada di atas atau di bawah, tapi sengaknya kita masih punya titik tumpu yang tidak menutup kemungkinan akan menjadikan kita berada pada keseimbangan. Seandainya aku dan dia ada di permainan jungkat-jungkit nih, saat salah satu dari kita berada terlalu ke bawah, maka yang lain akan menambahkan ‘beban’nya agar bisa mengangkat yang lain. Dan begitupun yang berada di bawah, akan meringankan tubuhnya agar bisa naik ke atas hingga kita selalu berada pada posisi yang selalu sejajar.
Bukan menggunakan prinsip memberi dan menerima, tapi prinsip berbagi.
Berbagi tawa, berbagi air mata, berbagi cerita, berbagi rezeki, berbagi keringat, tapi tidak berbagi hati lhoh ya… hahaha

“Teman serasa sodara”

Yah, kadang aku jadi kakak dia jadi adik.. tapi lebih sering aku yang jadi adik, dia yang jadi kakak. Hehehe

Teruntuk sahabatku, saudaraku yang langsung berubah kalau udah laper…(jangan penasaran gimana perubahannya. Sumpah horror banget!).  Trimaksih buat semuanya ya.
Trimakasih udah mau berbagi denganku, trimaksih udah mau menjadi teman berjuang (semoga bisa ‘wisuda’ bareng ya… apa sekalian nikahnya juga? Ups!) trimakasih mau nemenin begadang pas aku ‘kencan’ sama laporan meskipun sambil merem, trimakasih udah selalu sabar pas yang disemakin merem-merem, trimaksih udah membuatku menemukan ketulusan, terimakasih udah menjadi pendengar yang baik meskipun gak jarang aku ngomong ngelantur, trimakasih mau menahan malu kalau aku udah mulai gila, trimakasih udah memamiku meskipun terkadang yang ingin dipahami ‘aneh’, dan trimakasih udah bisa menjad teman sekaligus saudara tanpa ikatan darah…


Teruntuk saudaraku yang langsung berubah kalau udah laper, “kene ancen konco adem panas”. Hahaha

0 komentar:

Rabu, 16 November 2016

Mereka membutuhkanmu

Hal yang paling menyenangkan saat mencari adalah rasa yakin akan dipertemukan.

Hari itu adalah hari dimana batu sandungan mulai menghalangi langkah tersarukku. Tapi aku juga bersyukur, karena batu yang menyandungku itu (dengan ditemani Tuhan) mampu kukumpulkan untuk membangun jembatanku. Semoga.

Yah. Saat mendapat telphon kalau nengku ‘kritis’, aku tak bisa menulis laporan dengan tenang. Seandainya saja aku punya baling-baling bambu seperti di salah satu kartun favoritku dulu, atau mungkin sajadah terbang seperti dalam salah satu dongeng kesukaanku, tentu saja aku akan langsung pulang. Tapi aku harus ingat, dunia ini tak seperti di dalam cerita.

Mungkin Tuhan mendengar desiran hatiku, hingga pada akhirnya ada seorang sahabat yang –kuminta- menawarkan kebaikannya untuk menjadi baling-baling bambu dan sajadah terbangku. Hingga pada akhirnya aku berhasil duduk di samping nengku yang bahkan salah mengenaliku. Tubuh kurusnya tinggal tulang dan kulit, mata kuningnya yang terkadang kehilangan warna hitamnya, jarum-jarum dan kabel yang memenuhi kedua tangannya, dan bahkan ada penjepit jemuran yang sengaja dijepitkan di ujung jarinya. Penjepit itu terhubung dengan layar komputer yang bertuliskan angka yang tidak pasti. Kadang naik, dan tak jarang juga turun. Nengku yang wajah cantiknya terbalut hijab, kini terlihat 3 kali lebih tua dari ibuku.

“neng pundi?” itulah pertanyaan yang slalu kudengar.
“ayo wangsol. Kulo wangsol teng griyane neng…” dan kalimat itu juga tidak asing diceritakan oleh ibuku. Yah, nengku adalah adik ibuku.

Aku menghela nafas panjang saat melihat neng menarik manja baju ibuku agar membawanya pulang ke rumah. Aku teringat ke-empat anak-anaknya yang selalu mengharapkan kehadiran neng. Anak pertama dan keduanya berada di penjara suci yang pernah menjadi penjaraku, satu anak perempuannya yang di rumah, dan satu anak terakhirnya yang seakan menjadi anak adik terakhirku. Ah, tidak. Aku masih punya satu adik lagi yang tidak sedarah denganku. Kalian boleh menyebut rumahku adalah tempat berkumpulnya kaum muda dan anak-anak. Karena tak jarang anak-anak dari adik-adiknya ibu dan ayah memilih bermain di rumah saat liburan. Haruskah aku buatkan taman bermain juga?

Kembali ke nengku.
Dua hari saja aku tidak berkomunikasi dengan ibu, rasanya seperti memikul batu bara di bahuku. Karena bagaimanapun juga, aku selalu menceritakan hal sekecil apapun pada ibu. Termasuk soal cinta. Teringat anak-anak neng di pondok yang tidak bertemu ibunya sebulan lebih, tentu saja membuatku memelintir hatiku. Apalagi mereka juga tidak diberitau tentang keadaan ibunya. Jika aku menjadi mereka, tentu saja aku akan marah.

Aku memang bukan orang yang pandai mengatasi masalah mengunakan pikiranku, tapi aku percaya dengan hatiku. Meskipun suami nengku melarang untuk memberitahu anak-anaknya tentang ibunya, aku dengan ke-keraskepalaanku mendatangi pondok mereka dengan bekal kepercayaan. Mereka butuh ibu mereka. Dan keyakinanku pada hatiku semakin kuat saat mereka menangis tersedu-sedu di bahuku. Padahal aku belum mengatakan apapun tentang ibu mereka.

“lhoh, kok nangis? Kenapa ini? masalah kamar?” tanyaku. Dia mengeleng.
“masalah sekolah?” dia juga menggeleng.
“kangen ibu?” dia mengangguk cepat diiringi isak yang semakin keras. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membiarkannya menangis dibahuku dan mengusap kepalanya pelan. Tak terasa ada genangan di sudut mataku yang langsung kuhapus sebelum ada yang melihatnya. Untuk menghibur orang yang menangis, aku tak boleh menunjukkan air mataku.

Mereka butuh ibu mereka. Mereka harus tau keadaan ibu mereka.

“izin aja ya… besok dijemput pakdhe sama budhe di sini.” Ucap ayahku yang mendapat anggukan dari mereka. Keputusan ayah itu membuatku langsung melangkah menuju kantor pengurus dan memintakan izin mereka keluar pondok.

Yah. Aku hanya dapat berdoa untuknya. Meskipun orang berbaju putih yang selalu mendatanginya itu mengatakan kesembuhannya hanya 25%, dan taruhan kehidupannya 50:50, aku tak ingin mempercayainya. Bukan dia yang bisa menentukan kehidupan seseorang. Bukan dia yang berhak mengklaim berapa banyak waktu yang tersisa untuk nengku menghirup udara di dunia. Tapi Dia. Yah, Dia yang telah menggariskan perjalanan kita, Dia yang sudah menggambarkan seberapa panjang dan seberapa banyak liku yang akan kita tempuh dalam dunia ini.


Kalian tau apa yang paling kejam di dunia ini?? waktu.

An161116

Khususon neng umi, alfatihah.

0 komentar:

Senin, 07 November 2016

Kelabu

Karna mata itu tidak mencoba melihatmu
Biarkan saja pelangi bibirnya berguru angin lalu
Tinggalkan saja tutur pisaunya yang meratakan sembilu
Dan gerai saja ucapnya yang melawan serdadu asamu

Karna telinga itu tak mencoba mendengarmu
Redam saja letihmu dengan rangkaian senyummu
Usap saja jerihmu dengan senandung lagu
Dan lepas saja kesalmu dengan menutup matamu

Karna hati itu tak mencoba merasakanmu
Sapalah ia dengan mengetuk pintu harapanmu
Ajaklah ia mengintip semerbak jingga harapanmu
Dan berikan ia harapan merekah dengan simpul kasihmu

Karna ia belum tau,
Kamu tak harus berguru pada kelabu.

An071116

0 komentar: