Minggu, 11 Februari 2018

Kamukah Jodohku?


            Hasil gambar untuk perjodohan
Saat itu, kak Alfan menghampiriku yang tengah duduk di bangku taman kampus dengan tumpukan kertas penuh coretan.
            “ngapain?”
            “makan.” Jawabku asal. Udah tau habis revisian, masih nanya juga!
            Yah. Pendaftaran sempro minggu depan, dan konsulku masih belum selesai. Belum berkas-berkas lain yang harus kupersiapkan. Aku khawatir gak nutut. Dan juga, aku bingung mau belajar apa. Kata temen yang satu, pelajari dari A-Z. Sedangkan teman yang lain berkata gak usah belajar, karena pertanyaan yang diajukan ketika ujian itu sering meleset dari yang kita pelajari. Ah, aku jadi rancu dan akhirnya malah berkencan dengan laptop. Bukan proposal, tapi  curahan-curahan yang kubimbangkan. Apapun.
            “gimana kabarnya?” tanya kak Alfan.
            “gak baik. Pusing mikirin sempro.”
            “bukan kabarmu, tapi hubunganmu.”
            Hubunganku?
            Kak Alfan memasang ekspresi seakan berkata, ‘kamu tau yang ku maksud.’ Dan ternyata aku memang langsung mengerti. Raut wajahku yang lungset tiba-tiba saja menjadi cerah lagi ketika mengerti siapa yang dimaksud kak Alfan. Siapa lagi? Fatih.
            Aku langsung teringat kejadian kemarin.
            “kemarin ada kejadian lucu kak. Aku kan sempat cemburu gitu pas kedapetan di grup, namanya disandingkan dengan nama orang lain. Aku kenal pula orangnya. Temen-temen juga nanggepi. Awalnya sih pura-pura cuek, eh gak taunya malah kepikiran terus. Jadi aku nulis gini kak, Baiklah. Aku akan mundur. Perlahan. Diam-diam. Tanpa terdengar. Kakak tau gak trus dia gimana?”
            “ya gak taulah, wong belum kamu kasih tau.”
            “dia bales! Dianya bilang, aku baper gara-gara chat di grup ya? Ya baperlah. Banget malahan! Hahaha Dia bilang kalau anak-anak itu emang ngawur, gak usah didengerin. Katanya, aku gak usah ngeharapin dia. Bukan karena ada perempuan lain, tapi dia masih belum berani dan masih takut. Jadi dia nyuruh aku buat fokus kuliah dulu, dan menggapai apa yang aku harapin.” Cerocosku sedikit menggebu-nggebu.
            “ya bener itu.”
            Mendapat tanggapan positif, mataku langsung berbinar.
            “tau gak kak, apa yang dimaksud dari balesannya?”
            “dia gak ada hubungan sama cewek itu, masih belum berani ke rumah dan nyuruh kamu fokus kuliah.”
            “bukan itu aja kaaak!!”
            Kak Alfan mengangkat satu alisnya. “emang apa lagi?”
            Ah, cowok memang sering mengartikan sesuatu dari yang terlihat saja. Aku berdehem, bersiap-siap memberi penjelasan.
            “kenapa dia balas statusku yang ingin menyerah itu, karena ia tak ingin aku menyerah yang artinya ia memikirkanku! Kok dia tau kalau kata-kata itu untuk dia padahal aku tak menyebutkan objek apapun, berarti ada ikatan antara kita.” Aku tersenyum malu sendiri. “ia memberikan penegasan lebih kalau ia tidak bersama perempuan lain, yang bisa berarti….”
            “Cuma kamu aja gitu?” kak Alfan menimpali.
            Aku mengangguk dengan tersipu.
Aku mungkin bisa mentolerir kesalahan lain, tapi kalau sudah menyangkut perempuan lain, siap-siap pergi deh!
            “dia menyuruhku untuk fokus kuliah dulu, karena tidak ingin kosentrasiku terganggu disamping ia mempersiapkan diri di sana.”
            “jangan bilang kalau kamu berpikir ia mempersiapkan diri untukmu?”
            bingo! Aku memang berpikir seperti itu. hehehe. Temenku bilang, ia berusaha menjelaskan dengan cara sehalus mungkin agar aku tidak merasa tersakiti. Sepertinya ia tipe seseorang yang tidak bisa mengatakan apa yang ingin ia katakan. Pernah pas ia telphon dan kutanya ada apa? eh jawabannya malah kepencet. Masa iya, kepencet sampe dua kali? Dan lagi, gak mungkin kan kepencet seendiri kalau ia gak kepoin kontakku? Bilang aja klo pengen denger suaraku. Hehehe. Pernah juga dia chat, pas aku sumpek. Ya jadinya rebut deh. Sebenernya rindu, tapi malah ngajak berantem! Hahaha ” Lucu juga kalau inget-inget kejadian yang telah lalu.
            Kak Alfan menghela nafas dalam dan menyandarkan punggungnya pada kursi. Entah apa arti dari sikapnya, karena aku masih senyum-senyum sendiri mengingat Fatih dan balasan yang ia kirimkan kemarin. Hanya beberapa kalimat, tapi menyembunyikan banyak makna! Ia seakan menjawab semua keraguanku sebelumnya. Seenggaknya itu yang kutangkap dari pemahamanku.
            “kamu yakin sama dia?” kak Alfan menarik suara.
            “eh?” Yakin? Aku tidak akan pernah yakin kalau ia tidak memberiku sikap-sikap yang membuatku menjadi yakin.
            “kalau misalnya nanti kamu gak sama dia?”
            “kok gitu kak, ngomongnya….”
            “kan aku bilang misalnya.”
            Jujur, pertanyaan kak Alfan membuat goresan samar di hatiku. Ada perih di sana. tapi bukankah tidak dewasa jika menghindari pertanyaan?
            “kalau memang nantinya dia yang duluan, aku gak bakal dateng. Kalau aku yang nikah duluan, aku juga tidak mau ia datang. Karena bagaimanapun keadaannya, aku yang bakalan nangis.”
            “itu karena kamu berharap terlalu banyak.”
            “aku bertahan sejauh ini dan dia bertahan sejauh ini juga. Bahkan tanpa pertemuan, tanpa perjanjian. Bukankah itu cukup menjadi alasan harapan itu ada kak?”
            “kamu tau, kalau cinta gak harus memiliki?”
            “itu bulshit kak! Cinta harus memiliki. Kalau ada yang bilang kalau ia bahagia asal orang yang ia cintai bahagia meskipun bersama orang lain. itu berarti bukan benar-benar cinta. Kalau cinta ya diperjuangkan.”
            “Fatih seperti itu. Ia rela orang lain mendekatimu daripada kamu menunggunya yang belum pasti.”
            Deg! Aku langsung tertegun mendengar perkataan kak Alfan. Aku ingin marah, tapi apa yang dikatakan kak Alfan tidak sepenuhnya salah. Dan juga, aku sendiri yang memberikan pernyataan seperti itu. Apa iya Fatih sebenarnya tidak mengharapkanku? Apa ia tidak memperjuangkanku?
            Aku kesal. Kenapa kak Alfan selalu saja membuatku meragukannya.
            “kemaren ayah sama ibu ngomongin kamu.” Alih kak Alfan.
            “Ngomongin apa?”
            “kamu ingat pak Abdul, ketua Qiroati kabupaten?”
            Aku mengangguk.
            “anaknya yang kuliah di Al-Azhar, kemarin lulus.”
            Aku menenglengkan kepalaku, bingung. Lalu apa hubungannya denganku?
            “ayah dan pak Abdul pernah bilang, tentang kamu sama anaknya.”
            Aku langsung menahan nafas. Aku tau maksud dari perkataan kak Alfan. Perjodohan! Please ya, ini bukan jaman Siti Nurbaya lagiiiiiii!!!
            “aku gak kenal kak…. Belum pernah ketemu juga. Siapa yang tau kalau ternyata masnya punya seseorang disana?” seperti aku yang saat ini juga mempunyai seseorang di hatiku. “bilang sama ayah, gak usah terlalu berharap. ” Dan aku akan berdoa kalau masnya sudah punya perempuan di sana.
            “kamu juga berharap sama dia.”
            Jika saja bisa, ingin rasanya ku banting laptopku di depan kak Alfan sekarang juga. Aku kesal, kenapa ia juga selalu membalik pertanyaanku?!??!?
            “kamu ingat cerita ibu? Ibu dulu juga pernah punya seseorang. Tapi akhirnya, ibu bersama dengan ayah yang ibu juga tidak pernah mengenal ayah sebelumnya. Dan sekarang, apa ibu tidak bahagia?”
            Yah. Ibu dulu pulang dari pondok langsung dinikahkan. Ibu bahkan tidak tau ayah. Dan jujur, keluarga kami baik-baik saja. Bahkan jika aku boleh bilang, kami mungkin salah satu keluarga yang bahagia.
            “tapi kak…”
            “ini untuk menyadarkanmu dek. Kamu pernah bilang kan sama ibu, kalau kamu bisa menerima orang lain asalkan agamanya lebih baik dari dia kan?”
            Itu duluuuu, ketika aku tak pernah mendengar kabarnya. Saat ini, yang terbaik dimataku hanya dia.
            “umurnya tak terpaut jauh darimu, lulusan Al-Azhar. Sekedar info aja, untuk masuk Al-Azhar saja harus punya hafalan Al-Quran, kamu bisa ngasumsiin kalau lulus berarti gimana.”
            Aku pernah dengar setahun kalau tidak dua tahun yang lalu, pak Abdul bilang kalau anaknya sudah selesai 10 juz. Entah kenapa beliau menginformasikan itu padaku.
            “pak Abdul bukan orang biasa, kamu tau itu.”
            Tentu saja. Setiap kali ada acara khotaman Qiroati, ayahku yang rutin mendokumentasikan acaranya. Sekali aku pernah ke sana, mengantarkan ayah memberikan kaset sekalian keluar bareng. Ada gedung TPQ di samping rumahnya dan tropi penghargaan yang berjajar di estalase ruang tamu. Seringkali TPQ besutan pak Abdul memperoleh juara tingkat kabupaten sampai nasional. Beliau juga pemimpin cabang qiroati. Ada kharisma di wajah beliau. Jika ayahnya saja seperti itu, bukankah anaknya tidak jauh beda? Dan lagi, bukankah pak Abdul terlalu tinggi? Jika anaknya memang sehebat itu, bukankah lebih baik jika bersama dengan yang lebih dariku? Aku bahkan tidak memiliki kelebihan apapun. Hanya seorang gadis yang suka menulis dan terlalu mengedepankan perasaannya daripada akalnya. Terkadang aku ingin bertanya pada Fatih, apa yang membuat ia tetap bertahan? Dan aku tidak pernah mendapatkan jawaban.
Namun kembali pada rasaku. Kepada siapa saat ini hatiku tertuju. Aku masih belum pernah membayangkan jika nanti tidak bersama Fatih.
            “ayah juga berbicara tentang Fatih.”
            “lalu?”
            “Ayah khawatir kamu dibawa ke sana. Ayah gak ingin kamu jauh-jauh.”
            “anak pak Abdul juga sama. Aku juga bakalan dibawa.” Belaku. Bukankah anak pertama memang kebanyakan dibawa suaminya? Kalian boleh mengatakanku egois, keras kepala, ataupun yang lainnya. Tapi bukankah aku berhak untuk menegaskan rasaku?
            “Fatih gak kalah hebat sama anaknya pak Abdul. Dia…. (biarkan tentang ini, kusimpan sendiri)”
            Kubeberkan semua hal yang membuat Fatih lebih dari orang lain. Apa saja yang membuatku tetap bertahan, apa yang membuatku kagum, tersipu bahkan marah juga. Aku menceritakannya untuk membuat kak Alfan mengerti. Untung-untung kak Alfan juga mau merayu ayah untuk tidak menindaklanjuti percakapannya dengan pak Abdul.
            “kamu tau dek?”
            “apa?”
            “sekeras apapun kepalamu, kamu tetep akan nurut sama ayah dan ibu.”
            Entah kenapa perkataan kak Alfan sangat menyakitkan, tapi benar. Kelemahanku, orang tuaku. Harapan mereka, adalah harapan yang harus kujaga.
            “mulai saat ini, berhenti menjaga jarak dengan orang lain. Berhenti menutup hatimu pada setiap orang yang ingin mendekatimu. Kamu boleh melakukannya, jika Fatih memang benar-benar serius padamu. Ia saja masih ragu, kenapa kamu harus yakin? Berhenti melangkahi Tuhan.”
            Aku tertunduk. Hatiku bergemuruh. Bimbang. Seandainya saja aku bisa bercerita pada Fatih, namun aku tidak dalam posisi bisa menceritakan apapun pada Fatih. Aku tidak dalam posisi bisa mengeluhkan masalahku pada Fatih dengan bebas.
            Aku menatap langit yang mendung pertanda akan hujan, atau mungkin juga tidak, dan berbisik, "Kamukah jodohku?"


SNJ,110218

0 komentar: