Kamukah Jodohku?
Saat itu,
kak Alfan menghampiriku yang tengah duduk di bangku taman kampus dengan
tumpukan kertas penuh coretan.
“ngapain?”
“makan.” Jawabku
asal. Udah tau habis revisian, masih nanya juga!
Yah. Pendaftaran
sempro minggu depan, dan konsulku masih belum selesai. Belum berkas-berkas lain
yang harus kupersiapkan. Aku khawatir gak nutut. Dan juga, aku bingung mau
belajar apa. Kata temen yang satu, pelajari dari A-Z. Sedangkan teman yang lain
berkata gak usah belajar, karena pertanyaan yang diajukan ketika ujian itu
sering meleset dari yang kita pelajari. Ah, aku jadi rancu dan akhirnya malah
berkencan dengan laptop. Bukan proposal, tapi curahan-curahan yang kubimbangkan. Apapun.
“gimana
kabarnya?” tanya kak Alfan.
“gak baik.
Pusing mikirin sempro.”
“bukan
kabarmu, tapi hubunganmu.”
Hubunganku?
Kak Alfan
memasang ekspresi seakan berkata, ‘kamu tau yang ku maksud.’ Dan ternyata aku
memang langsung mengerti. Raut wajahku yang lungset
tiba-tiba saja menjadi cerah lagi ketika mengerti siapa yang dimaksud kak Alfan.
Siapa lagi? Fatih.
Aku langsung
teringat kejadian kemarin.
“kemarin ada
kejadian lucu kak. Aku kan sempat cemburu gitu pas kedapetan di grup, namanya
disandingkan dengan nama orang lain. Aku kenal pula orangnya. Temen-temen juga
nanggepi. Awalnya sih pura-pura cuek, eh gak taunya malah kepikiran terus. Jadi
aku nulis gini kak, Baiklah. Aku akan
mundur. Perlahan. Diam-diam. Tanpa terdengar. Kakak tau gak trus dia gimana?”
“ya gak
taulah, wong belum kamu kasih tau.”
“dia bales! Dianya
bilang, aku baper gara-gara chat di grup ya? Ya baperlah. Banget malahan! Hahaha
Dia bilang kalau anak-anak itu emang ngawur, gak usah didengerin. Katanya, aku
gak usah ngeharapin dia. Bukan karena ada perempuan lain, tapi dia masih belum
berani dan masih takut. Jadi dia nyuruh aku buat fokus kuliah dulu, dan menggapai
apa yang aku harapin.” Cerocosku sedikit menggebu-nggebu.
“ya bener
itu.”
Mendapat tanggapan
positif, mataku langsung berbinar.
“tau gak
kak, apa yang dimaksud dari balesannya?”
“dia gak ada
hubungan sama cewek itu, masih belum berani ke rumah dan nyuruh kamu fokus
kuliah.”
“bukan itu
aja kaaak!!”
Kak Alfan
mengangkat satu alisnya. “emang apa lagi?”
Ah, cowok
memang sering mengartikan sesuatu dari yang terlihat saja. Aku berdehem,
bersiap-siap memberi penjelasan.
“kenapa dia
balas statusku yang ingin menyerah itu, karena ia tak ingin aku menyerah yang
artinya ia memikirkanku! Kok dia tau kalau kata-kata itu untuk dia padahal aku
tak menyebutkan objek apapun, berarti ada ikatan antara kita.” Aku tersenyum
malu sendiri. “ia memberikan penegasan lebih kalau ia tidak bersama perempuan
lain, yang bisa berarti….”
“Cuma kamu
aja gitu?” kak Alfan menimpali.
Aku mengangguk
dengan tersipu.
Aku mungkin bisa mentolerir kesalahan lain,
tapi kalau sudah menyangkut perempuan lain, siap-siap pergi deh!
“dia
menyuruhku untuk fokus kuliah dulu, karena tidak ingin kosentrasiku terganggu
disamping ia mempersiapkan diri di sana.”
“jangan
bilang kalau kamu berpikir ia mempersiapkan diri untukmu?”
“bingo! Aku memang berpikir seperti itu.
hehehe. Temenku bilang, ia berusaha menjelaskan dengan cara sehalus mungkin
agar aku tidak merasa tersakiti. Sepertinya ia tipe seseorang yang tidak bisa
mengatakan apa yang ingin ia katakan. Pernah pas ia telphon dan kutanya ada apa?
eh jawabannya malah kepencet. Masa iya, kepencet sampe dua kali? Dan lagi, gak
mungkin kan kepencet seendiri kalau ia gak kepoin kontakku? Bilang aja klo
pengen denger suaraku. Hehehe. Pernah juga dia chat, pas aku sumpek. Ya jadinya
rebut deh. Sebenernya rindu, tapi malah ngajak berantem! Hahaha ” Lucu juga
kalau inget-inget kejadian yang telah lalu.
Kak Alfan
menghela nafas dalam dan menyandarkan punggungnya pada kursi. Entah apa arti
dari sikapnya, karena aku masih senyum-senyum sendiri mengingat Fatih dan
balasan yang ia kirimkan kemarin. Hanya beberapa kalimat, tapi menyembunyikan
banyak makna! Ia seakan menjawab semua keraguanku sebelumnya. Seenggaknya itu
yang kutangkap dari pemahamanku.
“kamu yakin
sama dia?” kak Alfan menarik suara.
“eh?” Yakin?
Aku tidak akan pernah yakin kalau ia tidak memberiku sikap-sikap yang membuatku
menjadi yakin.
“kalau
misalnya nanti kamu gak sama dia?”
“kok gitu
kak, ngomongnya….”
“kan aku
bilang misalnya.”
Jujur,
pertanyaan kak Alfan membuat goresan samar di hatiku. Ada perih di sana. tapi
bukankah tidak dewasa jika menghindari pertanyaan?
“kalau
memang nantinya dia yang duluan, aku gak bakal dateng. Kalau aku yang nikah
duluan, aku juga tidak mau ia datang. Karena bagaimanapun keadaannya, aku yang
bakalan nangis.”
“itu karena
kamu berharap terlalu banyak.”
“aku
bertahan sejauh ini dan dia bertahan sejauh ini juga. Bahkan tanpa pertemuan,
tanpa perjanjian. Bukankah itu cukup menjadi alasan harapan itu ada kak?”
“kamu tau,
kalau cinta gak harus memiliki?”
“itu bulshit kak! Cinta harus memiliki. Kalau
ada yang bilang kalau ia bahagia asal orang yang ia cintai bahagia meskipun
bersama orang lain. itu berarti bukan benar-benar cinta. Kalau cinta ya
diperjuangkan.”
“Fatih
seperti itu. Ia rela orang lain mendekatimu daripada kamu menunggunya yang
belum pasti.”
Deg! Aku langsung
tertegun mendengar perkataan kak Alfan. Aku ingin marah, tapi apa yang
dikatakan kak Alfan tidak sepenuhnya salah. Dan juga, aku sendiri yang
memberikan pernyataan seperti itu. Apa iya Fatih sebenarnya tidak mengharapkanku?
Apa ia tidak memperjuangkanku?
Aku kesal. Kenapa
kak Alfan selalu saja membuatku meragukannya.
“kemaren
ayah sama ibu ngomongin kamu.” Alih kak Alfan.
“Ngomongin apa?”
“kamu ingat
pak Abdul, ketua Qiroati kabupaten?”
Aku mengangguk.
“anaknya
yang kuliah di Al-Azhar, kemarin lulus.”
Aku menenglengkan
kepalaku, bingung. Lalu apa hubungannya denganku?
“ayah dan
pak Abdul pernah bilang, tentang kamu sama anaknya.”
Aku langsung
menahan nafas. Aku tau maksud dari perkataan kak Alfan. Perjodohan! Please ya,
ini bukan jaman Siti Nurbaya lagiiiiiii!!!
“aku gak
kenal kak…. Belum pernah ketemu juga. Siapa yang tau kalau ternyata masnya
punya seseorang disana?” seperti aku yang
saat ini juga mempunyai seseorang di hatiku. “bilang sama ayah, gak usah
terlalu berharap. ” Dan aku akan berdoa
kalau masnya sudah punya perempuan di sana.
“kamu juga
berharap sama dia.”
Jika saja
bisa, ingin rasanya ku banting laptopku di depan kak Alfan sekarang juga. Aku kesal,
kenapa ia juga selalu membalik pertanyaanku?!??!?
“kamu ingat
cerita ibu? Ibu dulu juga pernah punya seseorang. Tapi akhirnya, ibu bersama
dengan ayah yang ibu juga tidak pernah mengenal ayah sebelumnya. Dan sekarang,
apa ibu tidak bahagia?”
Yah. Ibu dulu
pulang dari pondok langsung dinikahkan. Ibu bahkan tidak tau ayah. Dan jujur,
keluarga kami baik-baik saja. Bahkan jika aku boleh bilang, kami mungkin salah
satu keluarga yang bahagia.
“tapi kak…”
“ini untuk
menyadarkanmu dek. Kamu pernah bilang kan sama ibu, kalau kamu bisa menerima
orang lain asalkan agamanya lebih baik dari dia kan?”
Itu duluuuu,
ketika aku tak pernah mendengar kabarnya. Saat ini, yang terbaik dimataku hanya
dia.
“umurnya tak
terpaut jauh darimu, lulusan Al-Azhar. Sekedar info aja, untuk masuk Al-Azhar
saja harus punya hafalan Al-Quran, kamu bisa ngasumsiin kalau lulus berarti
gimana.”
Aku pernah
dengar setahun kalau tidak dua tahun yang lalu, pak Abdul bilang kalau anaknya
sudah selesai 10 juz. Entah kenapa beliau menginformasikan itu padaku.
“pak Abdul bukan
orang biasa, kamu tau itu.”
Tentu saja. Setiap
kali ada acara khotaman Qiroati, ayahku yang rutin mendokumentasikan acaranya. Sekali
aku pernah ke sana, mengantarkan ayah memberikan kaset sekalian keluar bareng. Ada
gedung TPQ di samping rumahnya dan tropi penghargaan yang berjajar di estalase
ruang tamu. Seringkali TPQ besutan pak Abdul memperoleh juara tingkat kabupaten
sampai nasional. Beliau juga pemimpin cabang qiroati. Ada kharisma di wajah
beliau. Jika ayahnya saja seperti itu, bukankah anaknya tidak jauh beda? Dan lagi,
bukankah pak Abdul terlalu tinggi? Jika anaknya memang sehebat itu, bukankah
lebih baik jika bersama dengan yang lebih dariku? Aku bahkan tidak memiliki
kelebihan apapun. Hanya seorang gadis yang suka menulis dan terlalu mengedepankan
perasaannya daripada akalnya. Terkadang aku ingin bertanya pada Fatih, apa yang
membuat ia tetap bertahan? Dan aku tidak pernah mendapatkan jawaban.
Namun kembali pada rasaku. Kepada siapa saat
ini hatiku tertuju. Aku masih belum pernah membayangkan jika nanti tidak
bersama Fatih.
“ayah juga
berbicara tentang Fatih.”
“lalu?”
“Ayah khawatir
kamu dibawa ke sana. Ayah gak ingin kamu jauh-jauh.”
“anak pak
Abdul juga sama. Aku juga bakalan dibawa.” Belaku. Bukankah anak pertama memang
kebanyakan dibawa suaminya? Kalian boleh mengatakanku egois, keras kepala,
ataupun yang lainnya. Tapi bukankah aku berhak untuk menegaskan rasaku?
“Fatih gak
kalah hebat sama anaknya pak Abdul. Dia…. (biarkan tentang ini, kusimpan
sendiri)”
Kubeberkan semua
hal yang membuat Fatih lebih dari orang lain. Apa saja yang membuatku tetap
bertahan, apa yang membuatku kagum, tersipu bahkan marah juga. Aku menceritakannya
untuk membuat kak Alfan mengerti. Untung-untung kak Alfan juga mau merayu ayah
untuk tidak menindaklanjuti percakapannya dengan pak Abdul.
“kamu tau
dek?”
“apa?”
“sekeras
apapun kepalamu, kamu tetep akan nurut sama ayah dan ibu.”
Entah kenapa
perkataan kak Alfan sangat menyakitkan, tapi benar. Kelemahanku, orang tuaku. Harapan
mereka, adalah harapan yang harus kujaga.
“mulai saat
ini, berhenti menjaga jarak dengan orang lain. Berhenti menutup hatimu pada
setiap orang yang ingin mendekatimu. Kamu boleh melakukannya, jika Fatih memang
benar-benar serius padamu. Ia saja masih ragu, kenapa kamu harus yakin? Berhenti
melangkahi Tuhan.”
Aku tertunduk.
Hatiku bergemuruh. Bimbang. Seandainya saja aku bisa bercerita pada Fatih,
namun aku tidak dalam posisi bisa menceritakan apapun pada Fatih. Aku tidak
dalam posisi bisa mengeluhkan masalahku pada Fatih dengan bebas.
Aku menatap
langit yang mendung pertanda akan hujan, atau mungkin juga tidak, dan berbisik, "Kamukah jodohku?"
SNJ,110218
0 komentar: