Selasa, 27 Agustus 2019

Pada Kisah yang Pernah Part 2


  


          
“Jika kita menikah nanti, ayah ingin kamu di rumah saja. Tidak usah bekerja,” ucapnya sembari membenahkan letak pecinya yang tidak miring. Matanya bergerak ragu, hendak menatapku ataukah tidak. Bagiku hal itu terlihat lucu, namun apa yang baru saja ia katakan mengalahkan hasratku untuk tersenyum simpul.
            “kenapa?” aku meminta penjelasan. Ia terdiam, seakan apa yang baru saja ia katakan bukan murni keinginannya. Jika iya, tentu saja dia akan mudah membeberkan alasannya.
            “ayahku tidak ingin menantu yang bekerja.”
            “aku tidak menganggap mengajar itu sebagai pekerjaan. Bagiku pengabdian.” Aku meluruskan.
            “jadi kamu tidak mau berhenti?”
            Aku menggeleng, “aku akan berhenti jika yang kulakukan merugikan orang lain. Tapi jika yang kulakukan bermanfaat untuk orang lain, aku tidak punya alasan untuk berhenti.”
            “kamu tetap tidak mau berhenti meskipun nantinya aku, suamimu yang melarangmu?”
            “suami yang baik akan mendukung istrinya.”
            “dan istri yang baik akan menuruti suaminya.”
            Kami terdiam. Suasana membisu. Sepinya bahkan bisa membuatku mendengar dentingan jam dari arlojiku.
            “Mengajar adalah impianku sedari dulu. Ada rasa kepuasan tersendiri ketika membagikan apa yang kutahu kepada anak-anak. Aku merasa lebih berguna dibandingkan hanya diam saja di rumah. Sekalipun aku tidak bisa menghamba dengan sempurna, setidaknya aku bisa sedikit berkontribusi dalam semesta yang diciptakan Tuhan.”
“sekalipun orang tuaku ingin menantu yang diam di rumah, ngurusi rumah?”
“Kamu juga seorang guru, seharusnya kamu bisa mengerti perasaanku. Pengabdianku tidak bisa disangsikan. Kamu tau, aku bukan tipe wanita yang seperti itu.”
            “yah, karena kamu yang ‘bukan seperti itu’lah yang membuatku terpaku.”
            Hatiku berdesir. Ia tak lagi menunduk. Matanya menatap lurus padaku seakan mengisyaratkan kalau ia bersungguh-sungguh. Kurasakan wajahku mulai memanas. Jika saja ada cermin di sana, mungkin aku bisa melihat pipiku yang memerah. Tak bisa mengatasi tatapan tajamnya, aku langsung menunduk. Aku harus mengendalikan perasaanku. Aku dan dia belum pada posisi bisa saling menatap dengan bebas.
            “meskipun aku tak mengatakannya, aku tau kamu tau kalau aku berharap baik padamu. Keluargaku juga mendukungku bersamamu, kecuali ayahku. Aku berharap kisah ini bisa dilanjutkan pada jalan yang lebih hakiki. Dan aku percaya jika jalan itu adalah bersamamu. Tapi…”
            “Iya, aku tau. Tapi kau bilang, hasil istikhorohmu tidak tembus.”
            “sebenarnya ayahku yang melakukannya, bukan aku.”
            Aku tertegun. Apa yang baru saja ia katakan sungguh mengejutkanku. Terakhir kali ia bilang, ia yang melakukan istikhoroh dan Allah tidak memberikan jawaban. Kukira itu pertanda kalau ia tak benar-benar mengharapkanku. Tapi mengetahui kalau ternyata ayahnya yang memberatkan, ada berkas kecil yang mengintip dalam relungku membentuk harapan. Harapan bahwa selama ini ia tulus, padaku.
            “lalu bagaimana?” tanyanya.
            “apanya?”
            “kita. Aku ingin menghentikan pencarianku.” Matanya mengunciku, namun segera kutepis segala praduga yang bisa menggoyahkanku.
            “menikah tidak hanya tentang aku dan kamu, tapi tentang kedua keluarga. Bagaimanapun juga, ridho Allah ridho orang tua. Aku tidak mau kita tetap melanjutkan, tapi salah satu orang tua memberatkan. Mungkin karena itulah Allah tidak memberikan jawaban.”
            Kali ini, kami benar-benar saling menatap dengan nanar. Tidak ada yang berbicara kecuali hawa mendung yang semakin terasa.
            “percayalah, Allah telah menyiapkan jalan yang terbaik untuk ‘masing-masing’ kita,” ujarku dengan suara lirih. Aku khawatir jika mengucapkannya lebih keras, ia akan mengatahui bibirku yang bergetar menahan hatiku yang seakan diperas. Masih sakit, ketika akhirnya kami harus berpamitan kembali pada kisah yang baru saja dimulai.
           “jadi, kamu mau benar-benar pamit?” tanyanya.
Aku mengangguk. “tidak elok jika terus seperti ini.”
            Ia tertunduk. “baiklah. Aku mengerti.”
            “assalamualaikum ngge…”
            “waalaikumsalam, neng.”
Aku berdiri. Membalikkan badan dan berjalan menjauhi ia yang sepertinya menatap tengkukku dari belakang. Dalam hati aku berkali-kali berkata agar tak membalikkan langkahku kembali ketika ia memanggil, lagi.

0 komentar:

Minggu, 18 Agustus 2019

Pada Kisah yang Pernah Part 1




            “aku istikhoroh, dan Allah tidak memberikan jawaban apa-apa,” ucapnya dengan wajah sedikit tertunduk. Angin menerbangkan ujung jilbabku. Dinginnya tiba-tiba menembus hatiku. Sepertinya angin itu adalah pisau, karena ia seakan menyayat samar hatiku. Ada luka yang terbentuk dan sedikit perih yang terasa. Aku menarik napas dalam. Berusaha mengendalikan perasaanku, lalu tersenyum.
            “kenapa kamu tersenyum?” tanyanya seakan heran dengan tanggapanku.
            “aku bersyukur karena Allah memberikan tanda akan kelanjutan kita.”
            “tanda bagaimana?”
            “tidak ada jalan. Allah tidak mengizinkan aku berjalan bersamamu.”
            “kamu tidak ingin berjalan bersamaku? Mengarungi masa depan bersamaku?”
            Aku terkekeh. “tentu saja ingin. Siapa yang tidak ingin menjadi makmum lulusan pesantren sepertimu? Seorang pengajar dengan sifat penyayang, putra seorang kyai dan sering diberikan amanah untuk menggantikan ayahnya, seorang laki-laki yang sangat menghormati dan menyayangi ibunya, seorang pemimpin grup sholawat dengan suara yang bisa menghipnotis kaum hawa, seseorang yang bertanggung jawab dan bekerja keras serta bermimpi besar dengan usaha yang ditekuninya, seseorang yang dia layaknya kumpulan dari doa-doa yang kupanjatkan.”
            Dia tersipu. Wajahnya memerah. Kulit putihnya adalah kelemahannya. Dan senyumannya adalah kelemahanku. Hatiku berdesir, namun aku harus segera menetralisir.
            “kamu juga baik. Aku bisa melihatnya meskipun baru dua kali bertemu dengamu. Kamu ramah pada setiap orang yang kau temui. Kamu sosok penyayang dan pengertian. Kamu juga lulusan pesantren. Bahkan kamu juga selalu menjadi bintang kelas mulai sekolah dasar hingga Aliyah. Kuliahmupun juga di bidang yang menurutku ekstrim dan uji nyali. Kakekmu adalah teman berjuang ayahku, yang berarti darah kakekmu yang memiliki darah kyai salaf juga ada padamu. Kamu anak berbakti yang menyandarkan keputusan kepada ayah dan ibumu. Kamu muslimah yang baik dengan selalu menjaga diri dan pandanganmu. Aku saja kesulitan saat mencoba mendekatimu selama masa ta’aruf. Kamu juga menyayangi pengabdianmu dengan mengajar di sekolah pesantrenmu dulu. Kamu juga bermimpi besar dengan melakukan banyak hal yang orang lain belum tentu bisa. Kamu adalah calon tiang Negara yang patut diperjuangkan.”
Mendengarnya membeberkan sebanyak itu, membuat bibirku terkunci. Mataku bergetar karena tak tau harus berkata apa. Sepertinya sekarang ganti aku yang berada di posisinya. Akhirnya suasana hening. Aku dan dia saling terdiam dalam sepi, tanpa bisa menebak apa yang berada di pikiran masing-masing. Sesekali terdengar deruan angin yang ikut berbisik. Sayangnya ia tak sedang menyampaikan rindu yang biasanya kutitipkan padanya. Semoga ia juga tak membeberkan doa yang selalu kulangitkan setiap malam untuknya beberapa minggu terakhir ini.
“lalu bagaimana?” tanyanya memecah keheningan.
“apanya?”
“tentang kita,
“kesimpulannya sudah berada di awal percakapan kita,”
“orang tuamu sudah setuju dan keluarga kita sudah saling mendukung,” ucapnya.
“tapi Allah tidak. Aku memang milik orang tuaku. Tapi segala kehidupan di dunia ini milik Allah. Kamu pasti lebih tau.”
Matanya menatap ke bawah, lalu mengangkat suara. “yah, kamu benar. Dan karena itu aku mengatakan hasil istikhorohku padamu.”
“iya, aku mengerti.”
Suasana hening kembali. Aku dan dia saling tertunduk. Bagaimanapun juga, pertemuan ini akan menjadi akhir dari kisah yang pernah kuharapkan menjadi awal. Siapa yang tau takdir Tuhan? Aku hanya bisa memasrahkan pada-Nya.
“kamu orang baik, aku yakin dengan pasti.” Ia mengangkat wajah, lalu tersenyum.
“begitupula denganmu,” balasku seraya menarik dua ujung bibirku ke atas sejauh mungkin. Tapi sepertinya aku hanya bisa mengangkatnya sedikit.
“salamkan maafku untuk kedua orang tuamu. Aku menyesal telah mengecewakan mereka. Aku juga menyesal karena tak segera bertanya pada Tuhan setelah pertama kita dipertemukan. Aku menyesal telah membuatmu menunggu lama yang pada akhirnya mengecewakan. Maafkan aku.”
“Insyaallah akan kusampaikan. Mereka akan mengerti. Mereka tau kesibukanmu serta kabar duka tentang adikmu. Maaf dariku dan keluarga padamu dan keluarga di sana. Meskipun kita tidak disatukan dengan ikatan pernikahan, kita tetap disatukan dengan persaudaraan Islam.”
“kamu benar.”
“kamu orang baik, semoga mendapatkan yang terbaik.”
“begitupun denganmu.”
“aku pamit ngge. Assalamualaikum.” Salamku, menutup akhir dari pembicaraanku dengannya. Ah, ini pembicaraan terakhir yang akan kulakukan dengannya.
Kubalikkan badanku hendak mengambil langkah menjauhinya sebelum aku mendengar jawaban lirih, “waalaikumsalam, neng.”
Sayatan yang tadinya samar tiba-tiba semakin jelas dan membesar. Perihnya tak tertanggungkan. Genangan di mataku tidak bisa terbendung lagi. Mereka jatuh satu persatu membanjiri pipiku dan membasahi kerudungku. Angin berhembus kembali, namun ia tak mampu menyisihkan dukaku. Saat ini aku hanya ingin mengadu pada Allah, berserah lebih pada-Nya. Menguatkan diri dari cinta-Nya yang kali ini berbentuk ujian, lalu mencintai-Nya lagi dengan sejatuh-jatuhnya. Agar kelak ketika aku bertemu dengan ‘ia’ yang benar-benar digariskan untukku, ada Allah sebagai alasannya.

Pada kisah yang pernah.

0 komentar:

Minggu, 11 Agustus 2019

Setiap Pribadi Layak diperjuangkan




Pernah gak sih kalian berada pada posisi dimana kalian sangat menginginkan sesuatu, tapi  kalian tidak bisa mendapatkannya. Termasuk juga seseorang. Aku pernah, dan itu membuatku merasa seperti permen karet yang dibuang. Dimakan udah gak ada rasanya, dibuangpun juga mengganggu pemandangan. Belum lagi kalau keinjek atau kedudukan. Hhh. Pada intinya, aku merasa seperti keberadaanku sangat sia-sia dan tidak berguna. Kemudian aku mulai menjudge diriku sendiri dengan kalimat negatif yang semakin membuatku merasa seperti ‘sampah’. Berhari-hari aku hanya memikirkan betapa ‘sampah’nya diriku hingga aku merasa tidak punya hak untuk makan. Karena tidak makan itu lapar, dan rasa lapar lebih nyata daripada pemikiran absurdku, akhirnya aku mulai berpikir secara sadar (setelah makan). Hehehe. Aku mulai bertanya, “apa yang kulakukan pada diriku sendiri?” Jika saja dibuat judul, mungkin judulnya bakal begini, “diriku sendiri menyiksa diriku sendiri yang bukan diriku sendiri.” :D
Yah, aku sadar telah melakukan hal bodoh dengan menghakimi diriku sendiri karena harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku memborbardir pribadiku dengan prasangka-prasangka tak berdasar. Kemudian aku menemukan satu kalimat dalam kebangkitan setelah keterjatuhanku karena kegagalan,
Setiap pribadi layak diperjuangkan.
Benar bukan? Setiap orang punya hal yang menjadikan mereka istimewa. Entah itu tentang sopan santunnya, kepintarannya, kebaikannya, sikap bersahabatnya atau mungkin tentang kecantikannya. Secara tidak sadar, kita menjadikan semua itu sebagai barometer ‘kesuksesan’ dalam memenuhi ekspetasi society kita. Kita mulai membandingkan diri dengan orang lain yang kita anggap ‘lebih’. Padahal, bukankah setiap orang diciptakan berbeda?  Tidak semua aspek harus kita miliki hanya demi memenuhi ekspetasi orang lain. Dan ketika salah satu dari hal tersebut missing dari kita, hal itu membuat kita merasa ‘kerdil’. Lalu kita mulai memetakkan diri sebagai kategori ‘manusia gagal’.
Secara pribadi, sebagai kaum hawa yang rentan dengan lirikan orang lain, memang tidak mudah. Misalnya saja tersenyum. Sedikit senyum, dikira judes. Banyak senyum, katanya genit. Sedangkan tidak ada ukuran pasti seberapa senyum yang dibilang wajar itu. Kali aja ada neraca yang bisa mengukur kadar wajar dalam tersenyum, sini aku mau beli. Hehehe.
Menuruti kata orang, ya gak bakal ada habisnya. Karena itu, kita yang harus mengubah cara pandang kita terhadap diri kita sendiri. Berhenti berlomba-lomba memaksakan diri agar sama dengan orang lain hanya demi dianggap ‘setara’ atau ‘lebih’ dalam pandangan orang. Mulai berdamai dengan pribadi sendiri dan sesekali ajak berbincang. Kemudian bertanya, apakah hari ini kau lebih baik dari hari kemarin? Jika jawabannya iya, maka itulah kesuksesan yang sesungguhnya. Jika kita saja tak bisa memperjuangkan diri kita sendiri, bagaimana dengan orang lain?
Jadi, sahabat-sahabatku semua, mari berlomba memperbaiki diri. Percayalah jika setiap orang itu istimewa. Kalian itu istimewa dan kalian layak diperjuangkan. ^_^

Salam,
Siti Nur Jannah

0 komentar:

Rabu, 31 Juli 2019

Aku & Doa



            Aku pernah menghardik Tuhan, akan ketidaksesuaian nyata dengan doa yang kupanjatkan. Apa Dia tidak mendengar doaku? Atau Dia berusaha untuk mempermainkanku? Kata-Nya aku hanya musti berdoa pada-Nya, dan Dia akan mengabulkan segalanya. Apapun itu. Tapi saat apa yang terjadi tidak seperti keinginanku, apa Tuhan membohongiku?

            Seperti yang pernah terjadi.

            Aku berdoa karena seseorang. Kata-Nya, aku boleh meminta asalkan ia baik agamanya. Jadi aku meminta sedalam-dalamnya, semaksa-maksanya agar aku dijodohkan dengannya. Beberapa tanda sudah kusimpulkan. Mulai dari pertemuan yang tak sengaja dan tak terduga terduga (it's mean dipertemukan), tanggapan positif dari kedua keluarga, restu orang tua yang kontan (tidak sperti yang pernah-pernah datang sebelumnya), nasab yang jelas dan baik, apalagi agamanya yang tak diragukan lagi. Ditambah lagi hasil istikhoroh yang juga baik. Pokoknya dia itu bakal jadi imam yang ‘baik’lah. Yang paling terbaik bagiku saat itu. Seakan-akan jika bersamanya, aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia. Tak kurang-kurangnya aku mendesak Allah disepertiga malam, merayu-Nya melalui doa-doa bahkan dengan percaya dirinya kujadikan ia sebagai tulisan. Keyakinanku saat itu sudah 99%, didukung dengan tanda-tanda kalau aku dan dia hanya tinggal selangkah saja, yaitu khitbah. Namun kemudian, tiba-tiba saja Allah menghentikan langkahku. Pintu yang tadi terbuka lebar, tiba-tiba saja tertutup dengan keras. Siapa yang tidak terkejut? aku melirik sinis pada Allah dan bertanya “apa-apaan ini ya Allah!” Padahal Allah yang membuatku bertemu dengannya, menyelami sejenak harum cinta sebelum pernikahan dengan indahnya masa ta’aruf, menggetarkan hatiku tiap kali berdoa untuknya, lalu BLAK!! Allah menutup pintunya. Ada apa ini? apa aku sedang dipermainkan? Jangan ditanyakan betapa kecewanya diriku. Tentu saja kecewa sekali. Setelah menghardik Tuhan, aku mulai menyalahkan diriku sendiri. Begitulah. Saat ada sesuatu yang salah, aku seringkali menyalahkan diriku sendiri. Namanya juga kaget. Kaget itu hanya awalnya saja, kemudian juga (berusaha) normal lagi. Seperti hantu yang tiba-tiba saja muncul. Kaget kan? tapi kalau lama-lama dilihat juga bakal tenang sendiri. Right? Mungkin begitulah yang kurasakan.

            Sekarang, dengan pikiran jernihku akhirnya aku mulai menelisik setiap doa-doa yang kupanjatkan pada-Nya. Apa aku salah doa hingga Allah memberiku takdir ‘kegagalan’ dengan tidak berjodoh dengannya? Pikirankupun akhirnya terbuka, layaknya spongebob yang menemukan I-MA-JI-NA-SI nya.

            Aku ingat doaku. Jika menikah nantinya, aku ingin sekali bisa istiqomah sholat jamaah. Entah itu wajib atau sunnah. Menghabiskan subuh dengan tadarrus al-Qur’an, lalu bekerja bersama, pulang ketika anak-anak pulang sekolah, kemudian mengantarkan anak-anak mengaji dan diniyah, tadarrus dan belajar bersama selepas maghrib hingga isya, lalu menghabiskan waktu berdua setelah anak-anak tidur. Lalu aku teringat dia yang memiliki bisnis yang mengharuskannya untuk sering ke luar kota. Jika aku bersamanya, bukankah rencanaku itu hanyalah sekedar rencana? Mungkin saja bisa, tapi tak bisa istiqomah. Belum lagi waktu liburan, adalah moment paling menjanjikan untuk bisnisnya. Lalu bagaimana dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak? Kemudian aku selalu berharap bersama sesorang yang bisa menjaga sholatnya. Sedangkan bisnisnya mengharuskan ia untuk ‘menerobos’ waktu sholat dan menggantinya dengan jamak qoshor. Memang diperbolehkan, tapi bukankah lebih utama sholat pada waktunya? Setelah itu, aku juga berharap pada seseorang yang memiliki perasaan yang sama tentang pendidikan terutama pengabdian ke romo kyai. Sedangkan ia, sepertinya lebih fokus pada bisnisnya daripada mengajarnya. Jika seperti itu, bukankah rasa cintaku pada pengabdian tak akan bisa dimengerti sepenuhnya? Ya bukannya aku berburuk sangka, tapi siapa yang tau? Dan lagi tipeku yang pencemburu dan khawatiran, tentu saja sangat ironis sekali dengan dia yang harus berinteraksi dengan banyak orang (pasti banyak perempuan-perempuan yang lebih dariku) dan menyusuri jalan hingga berhari-hari. Bagaimana mungkin aku tak banyak khawatir setiap harinya?

Lalu aku sadar. Allah tidak sedang mempermainkanku. Dia hanya mengabulkan doaku. Ia menutup pintuku dan dia karena Allah tau apa yang kuharapkan tak akan bisa kucapai jika bersamanya. Allah juga sedang menjaga hatiku dari rasa cemburu dan khawatir yang akan sering kurasakan jika bersamanya. Dan lagi, Allah benar-benar mencarikanku imam. Maksudnya imam secara dhohir dan batin. Bukan yang dhohir saja, bukan pula yang batin saja. Lalu kenapa Allah menjatuhkanku dengan mempertemukanku dengannya? Karena Allah hanya ingin tau seberapa besar aku mencintai-Nya. Seberapa besar keyakinanku pada-Nya. Mungkin kemarin aku terpuruk, tapi aku bersyukur karena Allah mengizinkanku untuk kembali menyadari bahwa setiap takdir yang ia berikan ada alasannya, yaitu doa.

Yah, Allah memang sedang mengabulkan doaku.

Jika doaku bukan dia, apakah kamu?



Bersama doa, 31 Juli 2019


0 komentar:

Rabu, 24 Juli 2019

Menulis. Impian. Butuh


            Menulis.
            Entah masih se-istimewa apakah menulis bagiku saat ini. Aku masih menulis, hanya saja kepercayaan diriku mulai memudar. Tiba-tiba saja aku terlalu berhati-hati saat ingin menulis hingga akhirnya jari-jariku cuma berhenti di atas laptop dan tak jadi menulis. Aku ragu. Aku mulai ragu pada diriku sendiri. Aku mulai ragu kalau aku memang benar-benat suka menulis. Apa sebenarnya aku hanya pura-pura suka menulis? Atau aku menulis hanya untuk berpura-pura? Entahlah. Kadangkala aku tak memahami diriku sendiri, tapi masih saja meminta pemahaman dari orang lain.
            Impian.
            Aku mulai lupa rasanya bermimpi tinggi. Aku mulai melupakan ambisi untuk meraih setiap mimpi itu dengan tanganku sendiri. Bukan karena tak mau, tapi langkahku mulai melemah. Langkahku juga tak berjangka lebih lebar dari sebelumnya, malah cenderung mengecil. Bisa jadi aku malah tak melangkah sama sekali. Tapi bukan berarti aku tak pernah bermimpi untuk bermimpi. Aku masih bermimpi. Hanya saja mimpi itu masih mimpi.
            Butuh.
            Butuh? Apa aku menulis kata butuh? Aku juga tak tau kenapa aku menulis kata butuh. Aku menulisnya tanpa sadar. Apakah itu berarti aku sedang berkecipung dengan kata ‘butuh’? Bisa iya bisa tidak. Aku memang butuh. Butuh semangat baru, butuh motivasi baru, butuh alasan untuk tetap menulis impianku. Aku butuh seseorang yang bisa mendukung setiap impianku, bersama. Sepertinya kalimat yang terakhir adalah yang paling tegas diantara semua kalimat yang kutulis sebelumnya.

Yah, begitulah.

0 komentar:

Jumat, 12 Juli 2019

Pakaian


            

Pakaian.
            Pakaian berasal dari kata dasar pakai, yang artinya mengenakan. Sedangkan menurut KBBI, (sebentar tak carikan di google dulu), pakaian berarti barang apa yang dipakai seperti baju, celana dan sebagainya. Ooh, ternyata begitu ya artinya. Aku juga baru tau lho. Biasanya kita cuma bilang, ‘mau beli baju’ dan itu menyangkut semua jenis pakaian. Entah itu atasan, busana, gamis dan sebagainya. Tapi sebenarnya bukan itu sih inti yang ingin tak sampai-in. terlanjur bahas, ya udahlah. Kan sayang kalau misalnya harus dihapus setelah nulis kan? kalian bisa skip kok kalau males bacanya. Hehehe
            Baiklah. terserah saja mau bilang 'baju' atau 'pakaian', biar gak ribet. (Nyengir kuda).
            Oke, bicara tentang baju nih, pasti langsung kebayang toko yang terpajang baju dengan berbagai macam gaya dan mereknya, iya gak? Entah itu atasan, bawahan, rok, celana, gamis, busana, terusan, daster, baju koko, sarung daaaan lain sebagainya. Sama, aku juga. Hahaha. Apalagi jaman sekarang, model baju dari A-Z ada semua. Kalau misalnya ada huruf lagi setelah Z, pasti udah diterabas semua tuh. :D
            Memang tidak bisa dipungkiri, baju yang kita akan akan mempengaruhi cara pandang seseorang. Misalnya ada yang memakai baju polisi, ‘ah, itu pasti pak polisi’. Ada yang memakai baju dokter, ‘waah, ada pak dokter’. Ada yang berhijab, ‘pasti muslimah ini’. Baju yang kita pakai, secara tidak langsung menunjukkan identitas diri kita. Tapi coba kita telisik lagi. Saat ini, banyak sekali yang (maaf) misalnya memakai hijab atau gamis hanya karena mengikuti tren bukan karena kewajiban seorang muslimah menutup aurat. Ada model gini, langsung ganti. Keluar model baru lagi, langsung sikat. Namun semoga saja itu adalah langkah pertama saudara-saudara muslimah kita untuk menuju jalan yang lebih baik. Dan semoga kita juga. Amiin.
            Balik lagi.
Cenderungnya masyarakat kita yang hanya menilai seseorang dari pakaian yang terlihat oleh mata saja membuat miris. Bukankah sejatinya pakaian seorang muslim dan muslimah adalah Akhlakul Karimah? Anggapan inilah yang akhirnya menjadikan banyak orang lebih memilih untuk selalu mengenakan pakaian yang bagus dibandingkan berusaha memperbaiki akhlak. L Pakaian yang bagus memang baik, tapi pakaian yang disunnahkan nabi adalah pakaian yang bersih. Pakaian bersih, tidak harus baru dan bling-bling. Sedangkan akhlak, adalah pakaian yang wajib digunakan muslim dan muslimah. Jadi yuk sahabat-sahabat semua, jangan hanya pakainnya saja yang update, tapi akhlak juga harus di upgrade. Kita sama-sama belajar dan berusaha untuk menjadi muslimah yang lebih baik. Saling mengingatkan dalam kebaikan. Mungkin tidak bisa langsung baik, tapi insyaallah berangsur-angsur bisa menjadi lebih baik. ^_^

Salam,
Siti Nur Jannah

0 komentar:

Rabu, 19 Juni 2019

Definisi Cantik dan Tampan



Bicara tentang cantik dan tampan, sepertinya adalah topik yang cukup menarik. Jadi, bagaimana kalau kita membicarakannya berdasarkan definisi secara ‘real’ terlebih dahulu?
            Let’s talk!
            Menurut KBBI, cantik adalah elok; molek (tentang wajah, muka perempuan) sedangkan tampan adalah elok dan gagah (tentang perawakan dan wajah, khusus untuk laki-laki). Berdasarkan definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan kalau kata ‘cantik’ dan ‘tampan’ hanyalah apa yang terlihat dari paras saja. Hal itulah yang akhirnya membuat para wanita berlomba-lomba untuk perawatan, membeli skin care, make up dan lain sebagainya. Bahkan para priapun juga tak mau ketinggalan dengan melakukan perawatan. Betulkah?
            Tak ada yang salah sebenarnya. Setiap wanita pasti ingin terlihat cantik, begitupun setiap pria ingin terlihat tampan. Tapi yang menjadi masalah adalah cara kita mendefinisikan kata ‘cantik’ dan ‘tampan’ yang terlalu sempit sampe rasanya kejepit. Lhah, kok bisa?
            Coba deh, kita bicara jujur-jujuran aja. Kalau misalnya ada cewek, kulitnya putih, hidungnya mancung, bibirnya tipis, tubuhnya aduhai, rambutnya tergerai, cantik gak? Yakin deh semuanya bakal bilang ‘CANTIK’ berjamaah. Tapi ternyata gak bisa ngaji, gak pernah sholat, bicaranya sinis, akhlaknya tidak baik, masih cantik?? Aku tak tau pasti sih, tapi sepertinya kaum adam masih banyak yang jawab ‘masih cantik’. Betul apa betul? (Hahaha)
            Sekarang, yuk kita intip definisi cantik dan tampan dari sisi lain.
            Wah, bicara tentang cantik, bagi wanita adalah hal yang paling sensitif sekali nih. Ada yang pernah bilang, katanya jika seorang wanita dibilang ‘cantik’, maka kata itu akan lebih diingat daripada dibilang baik. Jika dipikir-pikir, benar juga sih. Secara pribadi, aku masih ingat siapa yang pernah bilang kalau aku ‘cantik’. Bukan, bukan karena apa, tapi karena yang bilang itu adalah kedua orang tuaku! Masa iya tidak ingat? Hahaha. Kembali ke pembahasan.
            Menurut pepak bahasa jawa yang masih kuingat, cantik itu yang mlakune kaya macan luwe, alise nanggal sepisan, drijine mucuk eri, awake koyok biola, mripate ndamar kanginan, untune miji timun, trus tambahan ini aku nanya ‘mbah google’ tentang perumpamaan jawa dalam mendefinisikan cantik yaitu idepe tumenga ing tawang, pipine nduren sajuring, uwange nyangkal putung, lambene nggula satemlik dan lain sebagainya. Jika dibayangkan, aku juga bertanya-tanya nih dimana ada perempuan seperti itu? Apakah ia layaknya nawang wulan, bidadari yang turun dari kahyangan? Hehehe
Sedangkan berdasarkan islam, perempuan cantik itu adalah perempuan yang taat pada Allah, menjaga kemaluannya, taat pada suaminya, menutup aurat, berakhlak mulia dan tidak menyerupai orang kafir. Lalu, yang manakah definisi cantik sebenarnya? Menurutku, semua definisi cantik adalah benar. Selain cantik dalam pandangan, seorang wanita juga harus cantik dalam kebatinan. Tapi sayangnya, kebanyakan masyarakat kita hanya memusatkan cantik pada wajah saja. Padahal yang paling sejati dari cantik itu adalah tentang batin, atau bahasa kerennya inner beauty.
Beralih pada kata tampan sekarang. Nah, sejujurnya aku tak terlalu mengerti definisi tampan itu seperti apa. Jadi aku bakalan bicara sedikit aja nih. Apakah yang seperti bintang hollywood? Bollywood? Atau Korea? Tentang definisi tampan ini, aku hanya mau share tampan ala Rasulullah aja. Dilansir dari beberapa sumber, tips tampan ala Rasulullah itu ada beberapa, diantaranya membersihkan diri, memakai pakaian yang layak (bukan yang sobek-sobek gak jelas), makan dan minum secukupnya dan rutin berolahraga. Untuk definisi tampannya, mungkin kalian bisa menuliskannya di komentar. Hehehe. Karena secara pribadi, aku tak bisa mendefiniskan ketampanan seseorang. Mau tampannya kayak Zayn Malik, Shah Rukh Khan atau Joongkok BTS pun kalau sholatnya bolong-bolong, tidak bisa menjaga perempuan yang ada di sampingnya, perilakunya tidak baik, ucapannya menyakitkan hati, buat apa? Yang penting baik menurut keluarga dan Allah, insyaallah akan baik untuk selanjutnya. Lhoh, kok jadi ngelantur? Hahaha
Kembali lagi.
Sebenarnya definisi cantik dan tampan itu relatif. Tergantung dari sisi mana seseorang melihatnya. Mau itu dari wajah ataukah perilaku, setiap orang punya porsi sendiri dalam memasukkan orang lain dalam kategori cantik dan tampan. Misalnya nih, ada teman yang bilang, kalau ‘orang itu’ tampan pake’ banget. Tapi kalau menurut kita biasa saja, masa iya mau dituntut dengan undang-undang pencemaran nama baik? Gak mungkin kan?
Jadi untuk para sahabatku, yuk menjabarkan cantik dan dan tampan lebih luas lagi. Jangan hanya mempersempit kata cantik pada wajah saja. Yang akhirnya membuat kita sibuk mempercantik diri hingga lupa untuk mempercantik hati. Eh, ada nih make up yang tidak ada tandingannya dibandingkan merk make up paling terkenal di dunia ini. Percaya deh. Yaitu,
Memakai bedak dengan air wudhu
Pewarna pipi dengan rasa malu
Pemerah bibir dengan kejujuran
Eye shadow dengan menundukkan pandangan
Parfum dengan menutup aurat
Pakaiannya dengan akhlakul karimah
Jika kita, khususnya sahabat-sahabat muslimah menggunakan make up tersebut, tak hanya makhluk di dunia, tapi stempel cantik akan langsung disematkan oleh Allah. Insyaallah. 


Salam,
Siti Nur Jannah

0 komentar:

Jumat, 24 Mei 2019

Hari Pertama


            Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Tapi berbeda dengan hari pertamaku sebelumnya, karena hari ini adalah hari pertamaku masuk di sekolah yang baru. Madrasah Tsanawiyah. Kata yang masih asing di telingaku setelah sebelumnya hanya mengerti tentang Sekolah Dasar. Beberapa hari yang lalu, aku telah melewati seleksi tes penerimaan di sekolah ini. Berdasarkan hasil tes yang kurang lebih kulakukan dua kali, kata mbak-mbak yang mengantarkan, aku masuk di kelas unggulan. Aku yang masih terngiang-ngiang bayangan ayah dan ibu di rumahpun tak tau menahu tentang pembagian kelas atau apapun yang lainnya. Pokoknya, aku tau letak ruang kelasku. Aku tak mau kesasar di hari pertama masuk sekolah.
            Aku memasuki ruang kelas yang terdapat tulisan kelas VII-Ugl di jendela. Sudah ada beberapa anak di sana, tapi aku tak berani menyapa. Aku hanya mencari tempat duduk yang terpisah dari gerumbulan di sana dan menaruh tasku. Kusandarkan punggungku pada kursi dan melabuhkan pikiranku pada ayah dan ibu yang berada di rumah. Aku teringat kejadian minggu kemarin saat ayah dan ibu mengantarkanku untuk berangkat ke pondok. Kali pertama aku jauh dari orang tua, dan harus bisa mengatasi urusanku sendiri. Meskipun mbak-mbak kamar dan asrama saling berlomba untuk membuatku kerasan, tapi tetap saja aku merindukan pelukan hangat ibu dan ayah tiap kali aku berangkat ke sekolah.
            Satu  persatu teman sekelasku  memasuki kelas. Semua wajahnya asing. Ada beberapa yang pernah kulihat dan dikenalkan mbak-mbak ketika di asrama. Kalau tidak salah namanya Rima. Ia yang paling kuingat karena memiliki paras yang cantik dan berkacamata. Selain itu, aku tak tau. Jam sudah menunjukkan pukul 07.05 WIB. Bel masuk seharusnya sudah berbunyi. Tapi aku tak mendengarnya. Entah karena memang tidak berbunyi, ataukah aku yang terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Ketika itulah ia datang.
            Ia berjalan dengan penuh percaya diri di depan semua anak kelas. Wajahnya lurus, tapi matanya tertunduk ke bawah seperti sedang mencari sesuatu. Aku hanya melihatnya sekilas saat ia mengambil tempat duduk di belakang dua anak lelaki barisan paling kiri. Kemudian beberapa perempuan yang mungkin lebih mudah berbaur, langsung mendekatinya dan mengajak kenalan. Aku hanya berpaling acuh. Aku tak pandai memulai percakapan.
---***---
            “kamu gak mau nanya?” suara lelaki di sampingku membuatku menatap bingung. Ia melihatku, seakan menunggu jawaban. Tapi aku masih ragu apakah memang aku yang ia ajak bicara?
            Berdasarkan permintaan guru gegografi, kamu diminta untuk mengatur tempat duduk membentuk lingkaran. Aku hanya mengatur tempat duduk sekenanya dan tidak tau kalau ternyata lelaki itu yang berada di sampingku. Namanya Haidar. Aku ingat, karena hanya ada 3 laki-laki di kelasku.
            Haidar masih menunggu jawaban.
            “nanya apa?” tanyaku dengan suara lirih. Aku tipe orang yang sulit untuk berinteraksi dengan orang lain, apalagi lawan jenis.
            “ya nanya apa aja,” balasnya dengan nada yang bersemangat.
            Aku memutar otakku mencari-cari pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran geografi. Tapi sungguh, nama pelajarannya saja aku baru tau. Aku tak bisa memikirkan apapun. Rasanya pelipisku sakit karena memikirkan pertanyaan itu.
            “kamu ngapain?” tanyanya dengan kening berkerut.
            “ny-nyari pertanyaan?”
            Dia langsung tertawa. Tawa yang semakin membuatku bingung memikirkan alasan ia tertawa. Kenapa ia tertawa?
            “kamu tau nggak?”
            Aku menggeleng. Dia tertawa lagi, membuatku semakin bingung. Bahkan teman-teman yang lain melihat ke arah kami. Membuatku malu sendiri karena menjadi pusat perhatian. Jika saja aku bisa melihat diriku sendiri saat itu, mungkin wajahku sudah semerah apel. Menghindari hal itu, aku memilih untuk mengabaikannya saja. Aku tak tau harus menanggapi bagaimana.
            Beberapa saat kemudian, ia memberi isyarat untuk mendekat padanya. Ia berbisik padaku.
            “coba tanya, kenapa bulan mengelilingi bumi?”
            Aku menoleh padanya. “kamu saja yang tanya.”
            “jangan, kamu saja,” suruhnya.
            “a-aku…”
            “takut?”
            Aku tersenyum kuda dan mengangguk.
            “makanya kamu yang nanya. Kan udah tak cariin pertanyaan. Kamu gak usah mikir lagi. Tinggal ngomong.”
            Baiklah. Di satu sisi, aku benar-benar tak ingin angkat suara yang nantinya akan membuat berpasang-pasang mata mengarah padaku. Tapi di sisi lain, aku merasa tak enak karena Haidar sudah ‘susah payah’ mencarikanku pertanyaan –yang entah kenapa tidak mau ia tanyakan sendiri-. Haidar menatapku seakan permintaannya adalah sesuatu yang tidak bisa kutolak.
            Akhirnya dengan mengumpukan keberanian segunung, aku mengangkat tanganku dan bertanya. Sebisa mungkin kuhindari kontak mata dengan teman-teman yang lain untuk mengurangi kegugupanku. Meskipun begitu, aku bisa mendengar suaraku yang bergetar. Aku melontarkan pertanyaan yang dikatakan haidar tadi dan disambut positif oleh sang guru. Sebagai bentuk apresiasi, sang guru meminta tepuk tangan yang membuat jantungku berdetak sangat kencang antara bahagia dan merasa diharga. Aku menoleh ke arah Haidar yang tersenyum penuh arti. Aku merasa berterima kasih padanya atas apa yang telah ia lakukan. Mungkin ini terlalu men-drama-tisir, tapi apa yang ia lakukan mampu menumbuhkan sedikit rasa percaya diriku dan melatihku untuk berbicara dengan orang lain. Aku tak terlalu mengenal Haidar selain ia selalu dikelilingi oleh teman-teman perempuan yang lain selagi aku duduk di kursi sembari menulis. Tapi aku hanya tau, ia orang baik. Interaksi yang kulakukan dengannya hari ini, hanyalah pembuka dari interaksi-interaksi lain yang kulakukan dengannya. Saat itu aku tak menyadari, jika ada berpasang-pasang mata yang menatap sinis pada interaksi yang kulakukan dengan Haidar.


~240519

0 komentar:

Minggu, 19 Mei 2019

Tentang Rokok


Aku tak tau sejak kapan aku membenci rokok.  Yang jelas aku tak terbiasa dengan asap rokok. Jika terkena asap rokok sedikit saja, aku langsung tak bisa bernafas. Kemudian batuk-batuk, kemudian muntah-muntah. Begitulah. Seperti hari ini.
Seperti biasa, selepas tarawih ibu mewajibkan semua keluarga di rumah harus mengaji terlebih dahulu, termasuk aku dan adik-adik. Ayah juga. Tapi hari ini, ayah dan adik diizinkan untuk pulang dulu karena mau ada keperluan ke rumah nenek. Jadinya tinggal aku, adikku yang perempuan dan ibuk. Jangan tanya kenapa hanya keluarga kami saja, karena setiap ramdhan tahun-tahun terakhir ini memang hanya kami. Entah kalau tahun depan ketambahan satu orang anggota lagi. Kalian tau maksudku kan?
Kembali pada tadarrus selepas tarawih.
Sedikit berbeda dengan biasanya, di halaman musholla ada bapak-bapak jagongan sembari menikmati suguhan dari orang, lengkap dengan rokoknya masing-masing. Aku yang masih melanjutkan mengajiku sendiri sembari menunggu adek, tiba-tiba kesulitan bernafas. Adek langsung berhenti dan menutup hidung. Begitupun denganku. Ibu yang terkadang masih toleran juga mulai tampak terganggu. Mau bilang ini gimana, gak bilang ini kami tersiksa. Di tengah pergejolakan, aku langsung mulai batuk-batuk hingga air mataku keluar. Kemudian aku mulai mual-mual. Ibu dan adek menyuruhku ke kamar mandi untuk menghirup udara segar karena asap sudah memenuhi musholla. Namun belum lama setelah itu, aku langsung mual-mual. Kukira saja hanya mual-mual tanpa harus mengeluarkan cairan, tapi ternyata mual itu berlanjut ke tahap selanjutnya, yakni muntah. Dengan sigap aku langsung berlari ke kamar mandi melewati bapak-bapak tadi dan muntah di sana. Bahkan aku tak sadar jika al-Quranku masih di tangan. Semoga saja Tuhan men-toleran kecerobohanku. Samar-samar aku mendengar bapak-bapak bertanya aku kenapa pada ibu dan adek yang mengikutiku di belakang.
nopoo?
niku, ngapunten sakderenge. Kenek asap rokok.”
Setelah aku kembali dari kamar mandi, aku melihat bapak-bapak sudah mematikan semua rokok mereka dan asapnya sudah berkurang. Di satu sisi, aku merasa tak enak karena seakan menghentikan mereka melakukan hal yang mereka gemari. Sedangkan di sisi lain aku kagum, karena mereka masih menghargai. Dan di sisi lain lagi, entah kenapa aku jadi sungkan sendiri.
Begitulah. Aku tak membenci orang yang merokok, tapi aku sangat tidak suka dengan rokok. Ketika sekolah dulu, aku mungkin hanya tak suka karena bau asapnya. Tapi semenjak kuliah, aku sekilas mempelajari bahan-bahan kimia yang terdapat dalam rokok dan efeknya terhadap perokok aktif maupun pasif.  Sehingga ke-enggananku pada rokok semakin tinggi.
“lalu bagaimana jika suamimu nanti perokok?”
Ada yang pernah bertanya. Aku selalu berharap kalau suamiku nanti bukanlah seorang perokok. Jikapun ia perokok, aku akan menggunakan segala cara agar ia meminimalisir aktivitas merokoknya hingga bisa berhenti total. Bukannya aku tak mau, tapi aku khawatir pada anak-anakku kelak. Daripada efek positif, rokok lebih banyak memberikan efek negatif. Lalu ibu berkata,
“jika istrinya sampe kayak gini kalau kena asap rokok, ya masa suaminya gak bakal berhenti?”
Kemudian aku tertawa.


~snj, 1900519

0 komentar:

Jumat, 26 April 2019

26 April 2019 ~ Apa Kabar Hati?




Hai hati, bagaimana kabarmu hari ini?
Bicara tentang hati, aku juga tak terlalu mengerti. Aku pernah mencintai dengan sangat, seakan tidak ada yang selain dia. Aku juga pernah memperjuangkan dengan sangat agar kelak waktu yang kuhabiskan ketika tua nanti adalah bersama dia. Pada intinya, aku pernah menjadikan seseorang sebagai pusat duniaku. Tanpanya, duniaku tak akan lagi berputar. Yah, itu dulu sebelum aku memutuskan untuk mengakhiri perasaanku sendiri.
Bagaimana kabarku sekarang?
Jujur kuakui, layaknya singgahsana yang tadinya ada seseorang bertahta lalu tiba-tiba menghilang, bukankah terasa kosong? apalagi jika kau sendiri yang mengusirnya pergi. Jika sebelumnya jariku dengan mudah membahasakan rasa, aku jadi kesulitan merangkai kata. Namun, bukan berarti keputusanku untuk melepasnya adalah sebuah penyesalan. Sungguh tidak. Justru aku berterimakasih dengan kehadiran dan keabsenannya membuatku belajar banyak hal.
Terkadang, ada saja angin yang membawa kabar tentangnya. Aku juga penasaran sebenarnya. Ingin bertanya, tapi memulai pembicaraan adalah hal yang kurang bijak jika ingin mengikhlaskan. Berharap berjumpa, juga hal yang terbesit dalam benak untuk sekedar melepas rindu yang masih tersisa. Sekalipun aku dalam usaha untuk melepaskan, tidak serta merta ia terhapus sekaligus layaknya flashdisk yang diformat bukan? Dan yang bisa kulakukan adalah menahan dan bertahan sembari sesekali berbisik dan bertanya apakah ia masih mengingatku ataukah tidak. Wajar bukan?
Aku hanya berharap, apapun yang akan datang nantinya adalah yang terbaik dan diridhoi Tuhan. Aku dan dia adalah kisah yang pernah dijadikan kita. Hanya karena tak lagi ‘kita’, bukan berarti harapan baik tersisihkan begitu saja. Terimakasih untuk setiap kisah yang mengajarkan kehidupan, mendekatkan pada Tuhan.


~snj

0 komentar:

Senin, 22 April 2019

Izinkan Aku Mencintaimu




“Assalamualaikum. Mau minta izin, bolehkah aku menyukaimu?”
Sebuah pesan masuk dari messenger-ku. Keningku berkerut bertanya-tanya siapa. Biasanya kebanyakan mereka yang mengirim pesan padaku mengucapkan salam terlebih dahulu yang belum tentu kubalas. Tergantung apakah aku mengenalnya ataukah tidak. Karena sebagian besar dari mereka pasti ujung-ujungnya minta nomor WA atau ingin mengenal lebih jauh. Lebih parah, ada yang terang-terangan bilang ingin berniat serius. Ah, bosan sekali aku menanggapi. Selain itu, aku heran saja bagaimana bisa seseorang menyukai orang lain lewat medsos? Maksudku, media sosial adalah dunia maya. Kita tak bisa menyimpulkan karakter seseorang dari sekedar postingan atau foto yang mereka unggah bukan? Bagaimanapun juga, aku tak terlalu suka hubungan yang dimulai dari dunia maya. Makanya itu, aku selalu menyeleksi ketat siapa yang hendak kubalas. Salah satunya, stalking dulu siapa yang mengirim pesan. Sebelum membalas, kusentuh icon profil dan melihat sekilas tentang si pengirim pesan. Aku tak mencari terlalu jauh, aku hanya melihat kalau ia santri di pondokku dahulu. Berada di almamater yang sama, bukankah  tak baik jika bersikap cuek dan dingin?
            “Waalaikumsalam. Silahkan, itu hak anda.”
            Lalu kububuhi emoticon tangan meminta maaf. Sudah ramah kan? Bukannya aku tak mau membuka ruang komunikasi dengan orang lain atau apa, tapi aku tengah menjaga jarak sekaligus hatiku agar tak lagi jatuh pada rasa yang tidak semestinya. Aku ingin jika jatuh cinta, hanyalah kepada ‘dia’ yang mengucapkan janji suci di depan ayah.
            Beberapa saat, balasan muncul.
            “terimakasih”
                Aku hanya melihatnya lalu menutup gawaiku. Kurebahkan punggungku di kasur sembari menatap langit-langit kamar. Satu persatu berbagai tanggung jawab yang belum kuselesaikan memenuhi kepalaku. Belum lagi masalah-masalah yang sudah atau masih dalam tahap penyelesaian. Berada di tahun akhir kuliah, adalah masa terberat yang pernah kualami. Tak cukup dengan tekanan selama penelitian ketika di kampus, TPQ yang aku diamanahi untuk mengelola, siswa-siswa les yang aku dipercayai untuk membantu belajar, topik pembicaraan orang tua yang sudah mengarah pada pernikahan, dan lain sebagainya. Aku benar-benar bingung.
            Aku menutup mata, menikmati kepalaku yang cenat-cenut entah kenapa. Hingga akhirnya aku terlelap. Namun masalah-masalah itu malah ikut masuk dalam mimpiku. Yah, alam bawah sadarku membawanya serta. Ingin sekali aku berteriak,
            “pergilah, aku ingin istirahat sejenak”
Tapi mereka enggan meninggalkan.
---***---
            neng, gimana kabarnya?”
            Sebuah pesan whatsapp masuk, dari seseorang yang aku pernah menjadikannya istimewa. Sekarang? aku berharap tidak lagi.
            “alhamduliah baik,”
            Balasku lalu beralih pada tumpukan jurnal yang harus kupelajari. Penelitianku di lab tadi gagal. Aku harus mencari alasan dan mencari solusi darinya dengan menyusuri setiap kata pada jurnal yang sudah diverifikasi oleh dunia. Dan yah, tentu saja semua teksnya berbahasa inggris. Semoga kalian mengerti betapa kerasnya usaha yang diperukan untuk memahami teks berbahasa inggris.
            “kangen,” balasnya kemudian. Aku menarik napas panjang. Dalam hati aku merintih, kumohon jangan lagi. Aku sudah bersyukur ia tak lagi menghubungiku beberapa minggu terakhir ini setelah kutodong dengan keseriusannya kembali padaku. Dan ketika ia masih ngalor-ngidul gak jelas, aku sudah memutuskan untuk tak lagi percaya. Tapi masalahnya hatiku tak bisa menyerah dengan mudah. Pintu hatiku selalu terketuk tiap kali ia datang. Lalu meninggalkan kekosongan saat pergi. Sedangkan ia tak pernah benar-benar memutuskan akan tinggal atau pergi dengan tegas. Ia datang lalu kembali dengan seenaknya sendiri. Logikaku menolak, lalu mengusirnya pergi. Tapi bukankah kita harus menjaga hubungan baik dengan saudara sesama kita?
            “iya,” jawabku sesingkat mungkin.
            “aku masih belum berani ke orang tuamu.”
            Yang benar saja? Dia kira orang tuaku singa kelaparan yang akan menerkam jika ada yang mendekat? Sungguh, aku tak suka dengan sifat mudah menyerahnya sebelum berusaha. Tak hanya soal ini. Lalu sifat plin-plannya yang sulit sekali memberi keputusan. Tapi jangan bertanya kenapa hatiku tertaut padanya, karena yah, cinta memang buta. Dulu, aku memang pernah mencintai dengan buta. Tapi umurku beertambah, dan aku tak mencari cinta yang buta, tapi cinta yang berkah.
            “ya udah,”
            Selesai. Aku tak mau lagi terperangkap dalam labirin yang tidak ada ujungnya. Aku menuntut penyelesaian, ia selalu berputar-putar. Dan ini bukan kisah yang bisa diperjuangkan oleh satu orang. Jadi, aku menyerah. Aku masih punya hal-hal lain yang harus kuselesaikan sendiri, dan bisa kuselesaikan sendiri.
---***---
Jangan bilang cinta kepadaku, tapi bilanglah pada orang tuaku lalu bertanyalah pada Allah.
            Aku menulis snapgram dan membagikannya. Beberapa saat kemudian ada yang membalas.
            “terlalu jauuuuuh”
            Dari orang yang kemarin minta izin menyukaiku. Keningku berkerut. Apa maksudnya ia membalas seperti itu? Satu perasaan yang kurasakan saat itu, ia meremehkan tulisanku. Dan aku paling sensitive jika ada orang yang menyentuh ranah tulisanku. Entah kenapa rasanya ia tak begitu menghargai tulisanku. Tak hanya hari ini, hari-hari selanjutnya ia juga membalas snapgramku dengan mengomentari pemikiranku yang terlalu jauh. Sebanyak ia membalas, sebanyak itupula kuabaikan. Bukankah yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan? Oke fix, aku tak bisa dekat dengan orang yang tak menghargai tulisan dan pemikiran-pemikiranku. Apalagi ketika kulihat, ternyata ia adalah salah satu teman’nya’. Itu sudah cukup untuk menambah kecanggungan jika salah satu diantara mereka bercerita tentangku. Bukannya aku bermain ramal-meramal, aku hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nantinya. Dan setiap keputusanku, akan berpengaruh pada apa yang terjadi selanjutnya. Jadi aku memutuskan untuk mengabaikannya, mengabaikan semuanya.
            Saat ini aku sudah memutuskan untuk menjaga hatiku lebih ketat lagi. Memasang perisaiku lebih tebal lagi. Memantaskan diri untuk lebih baik lagi. Karena aku percaya, jika seseorang itu adalah yang akan menyempurnakan sebagian imanku, maka dinding setebal apapun akan runtuh. Parit sejauh apapun akan terlewati dengan mudah. Ayah dan ibu juga menerima dengan bahagia ketika ia datang menawarkan cinta dengan cara yang seharusnya. Cara yang diridhoi oleh-Nya. Siapapun itu, aku masih menantinya. ^_^

0 komentar:

Minggu, 14 April 2019

Aku Ingin Menulis Lagi


Aku ingin menulis lagi. Melihat jajaran naskah yang tercecer di laptopku, membuatku sedih sekaligus marah pada diriku sendiri. Aku ingin menyelesaikannya, namun entah kenapa tiap kali ingin menulis, jari-jariku langsung stagnan, males digerakin. Nyebelin banget kan? padahal sebelumnya dipikiran udah terbayang tuh gimana kronologi-kronologinya. Trus terkadang dialognyapun udah tergambar. Tapi pas ngadep laptop, byaar!!! Buyar semua.
Berdasarkan penelitian dan prasangka yang tak berdasar alias ngarang, ada beberapa alasan yang membuatku sulit untuk menulis lagi. Pertama, motivasi. Yah, aku seakan kehilangan motivasiku. Dulu, sehari gak nulis itu rasanya seperti dosa besar banget! Meskipun nulisnya manual pake tangan, ngabisin berlembar-lembar kertas dan pena. Sekarang? boro-boro dah. Masih untung-untungan cuit-cuit di twitter dan status WA.
Kedua, pengaruh milenial. Adanya gadget dan mudahnya menjelajahi dunia lewat internet, membuatku sering lalai. Buka sosmed, udah deh nelusurinya sampe berjam-jam. Yang awalnya tadi udah niat banget nulis nih, jadi kalah sama malesnya.
Ketiga, urusan rumah tangga. Eits! Maksudnya bukan rumah tangga yang itu. Wong kepala rumah tangga-ku aja belum punya. Hahaha. Percayalah, berada di rumah membuatmu dua kali lebih sibuk dibandingkan dengan kuliah dan tugas-tugasnya. Apalagi kalau kamu adalah anak pertama yang memiliki adik-adik yang masih kecil. Wah, siap-siap dah! Selain pekerjaan rumah yang skalanya lebih besar dibandingkan di kos, seperti nyapu, masak, nyuci, ngepel dan banyak lainnya, ada orang selain dirimu yang harus diurusi. Adik-adik, ayah dan ibu. Jadi pas nulis dikit, adik ngganggu. Nulis dikit, ayah manggil-manggil minta pijit. Nulis dikit, gentian yang lain. Kalau misal masang tanda kalau ‘lagi nulis, gak bisa diganggu’, besoknya langsung disindir karena gak keluar kamar seharian. Hhh.
Keempat, karena tidak ada objek tulisanku. Jujur saja kuakui, aku tak bisa menulis tanpa alasan. Jadi harus ada alasan yang membuatku merangkai kata sehingga menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dan yang paling dibutuhkan dalam menulis itu adalah ‘ke-baper-an’ tingkat dewa. Seiring bertambahnya usia, rasionalitasku semakin bertambah. Jadi tingkat kebaperanku juga semakin menurun seiring dengan menurunnya alasan menulisku. Yah, kalian tau sendirilah kalau pengarang itu metafora-nya harus meluap-luap. Nah, herannya diriku pada diriku yang sudah –mungkin- dewasa ini, masalah-masalah entah itu kehidupan atau asmara, jadinya dianggap biasa saja. Semacam, ‘ya udahlah, gak papa’. ‘ya udahlah, mau gimana’. ‘ya gak papa’. Jadi gak bisa se-alay dulu gitu. Hahaha. Entahlah, ini sebenarnya positif atau negatif. Dan lagi jika ingin menulis perihal cinta, sepertinya aku tak lagi mahir. Aku ingin sekali menulis tentang cinta, tapi aku tak sedang jatuh cinta. Aku ingin menulis tentang patah hati, tapi aku tak sedang patah hati. Rasanya aku sudah lupa bagaimana cara mencintai dengan buta. Karena sekarang aku hanya mempercayai cinta yang berkah.
Itulah beberapa dugaan kenapa aku jadi jarang sekali nulis. Mau nulis diary tiap hari seperti dulu, kok kayak alay gitu ya. Hahaha. Bahkan terkadang, aku sampai lupa impianku yang ingin merubah dunia dengan tulisanku. (Miris). I wanna change this world with my word.
Bagaimanapun nantinya, hari ini aku masih belum menyerah dan tak akan pernah menyerah. Aku hanya berserah pada-Nya dan menjalani apapun yang digariskan untukku. Harapanku nantinya, semoga kelak ada seseorang yang akan mendekatkanku pada mimpiku kembali sekaligus semakin mendekatkanku pada Tuhan.
Jika itu kamu, kapan nih dateng?
Eak! Eak! Eak!

~snj
Ahad, 14 April 2019


0 komentar: