Kamis, 29 September 2016

๐Ÿ’Œ


Aku bukanlah perempuan hebat
Kujadikan laut sebagai harapanku
Kujadikan mentari sebagai pelukanku
Dan kujadikan merpati sebagai sayapku

Aku bukanlah perempuan pemberani
Yang menantang langit di atas gunung
Yang menantang karang di dasar laut
Dan menantang hujan di bawah terik

Aku bukanlah perempuan kuat
Kupinjam kelam untuk sembunyikan deraiku
Kupinjam laut tuk jabarkan rinduku
Dan kupinjam angin tuk bisikkan namamu

Kamu...
Aku adalah perempuan yang hanya bisa menggoreskan tinta di atas lembaran
Aku adalah perempuan yang hanya bisa membahasakan kalbu
Dan aku adalah perempuan yang hanya bisa menunggumu menjemputku

Untukmu...
Masihkah doa kau salurkan untukku?

An290916

###



Gak serius gitu bacanya. Emang udah tugasnya orang yang suka nulis buat emosional dan jadiin orang emosional.๐Ÿ˜„๐Ÿ˜


0 komentar:

Selasa, 27 September 2016

Terimakasih, 'musuh hatiku' ๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜˜

Hidup itu, mengalirlah seperti air.

Pernah gak denger quote gitu? Kata mereka, hidup itu harus kayak air. Gak peduli sebesar dan sebanyak apapun batu yang menghalanginya, ia tetap berjalan. Dia pasti menemukan jalan untuk bisa lolos dan sampe ke muara.

Hidup itu jangan kayak air. Gak punya pendirian.

Kata mereka, air itu gak punya pegangan. Di taruh di mangkok, dia ngikuti bentuknya mangkok. Di taruh di gelas, dia ngikuti bentuknya gelas.

Hidup itu seharusnya kayak bunglon.

Kata mereka, bunglon itu adalah hewan yang paling pintar beradaptasi. Dia bisa membaur dengan sekelilingnya dengan mengubah warnanya. Tak peduli bagaimanapun lingkungannya.

Hidup itu jangan kayak bunglon. Dia itu pengecut.

Kata mereka, bunglon itu pengecut. Dia bersembunyi di balik topeng warna untuk melindungi dirinya. Dia bahkan jarang menampakkan dirinya sendiri.

Nah, lhoh. Yang bener yang mana ini?๐Ÿ˜
Temen temen, kakak kakak, adik adik, bapak bapak, ibuk ibuk, kakek kakek, nenek nenek, buyut buyut... (Lhah, kok jadi kayak absen 7 turunan ya? ๐Ÿ˜„).
Di kehidupan itu gak ada yang namanya 100% salah, 100% bener. Emang UAS? Klo gak sesuai teori, berarti salah dan alamat dapet D. Kalau pas pake banget sama teori, dapet A+++++๐Ÿ˜„ Saja sst, jangan bilang bilang bu/pak dosen ya. Gak lucu kan kalo ada berita mahasiswi dapet nilai E sempurna pada ujiannya karna nyindir dosen?๐Ÿ˜ฐ

Misalnya nih ada guru yang ngasih tugas gambar ulat di atas daun. Trus ada satu anak yg kertasnya masih kosong. Padahal anak anak yg lain udah ada yang ngumpulin, ada yang mewarnai ulatnya dengan warna biru. Bagi si guru, salah gak tuh anak gak menggambar? Dapet nilai gak?
Tapi klo si anak jawab, "daunnya di makan ulat bu, jadi daunnya habis. Trus ulatnya berubah jadi kepompong kemudian jadi kupu kupu. Ya udah deh kupu kupunya terbang."๐Ÿ‘ฆ
Salah gak tuh anak?

Nah, hidup itu gitu. Salah bener cuma tergantung perspektif. Toh setiap orang pasti punya alasan kenapa dia bilang salah, kenapa dia bilang bener. Seperti halnya api gak akan muncul kalau gak ada pemicunya kan?๐Ÿ”ฅUntuk kebakaran, api itu sebabnya. Tapi untuk api, pemicu adalah penyebabnya. Dan untuk pemicu, yang menyalahkan pemicunyalah sebabnya. So, ini hanya permainan tentang sudut pandang kok...

Kayak si atom atom gas tuh.(ceileh... Sok sokan anak kimia... ๐Ÿ˜๐Ÿ˜…). Gas itu unsur paling bebas dibanding unsur yg lain. Udah bergerak bebas, semaunya sendiri, tapi manfaatnya gak kalah sama unsur padat dan cair. Jadi, klo misalnya si gas gas ini ditaruh di kotak, mereka gak akan pernah bisa diam. Geraaaaak terus, lari lariii terus. Tapi saat ada satu gas yang menabrak dinding kiri kotak, pasti ada satu gas juga yang menabrak dinding kanan kotak. Mereka melakukan untuk menyeimbangkan sistem. Kalo gak seimbang, bisa bisa meledak tuh kotak! ๐Ÿ’ฅ๐ŸŒŸ๐Ÿƒ

Begitupun kita. Saat kita melakukan sesuatu, pas ada aja tuh golongan kiri sama golongan kanan. Ada yang Cinta, pasti ada yang benci. Ada yang perhatian, pasti ada yang ngabaiin. Ada yang dekat, pasti ada jauh. Ada yang datang, pasti ada yang hilang. Semua itu ya untuk menyeimbangkan kehidupan kita...
Pernah bayangin gak klo di dunia ini hujannya bareng-bareng?๐Ÿ’ง๐Ÿ’ฆBisa bisa kita buka jamaah renang aja. Iya gak?๐Ÿ˜‚

Udahlah. Acuhin aja golongan kiri yang bisanya cuma ngelirik sambil bisik bisik. Anggap aja mereka bagian penyeimbang hidup kita(aku juga dalam perjuangan pengacuhan ini... ๐Ÿ™†๐Ÿ’ช).

Nah, gimana kalo sekarang kita taruh kedua tangan di atas perut, trus membungkuk dan bilang bareng bareng
"๊ฐ์‚ฌํ•ฉ๋‹ˆ๋‹ค (kamsahamnida~syukron~sie sie~arigato~trimakasih~matursuwun) udah nyeimbangin hidupku." trus tersenyum manis deh. Yang tersenyum, siap siap obat serangga. Ntar semutnya nyerang semua.(eak. Kok jadi ngegombal yak.๐Ÿ˜…)

An270916

0 komentar:

Minggu, 25 September 2016

Ikhlas (Di-Me) lepas (oleh) kamu

Ingatan itu memang masih ada
Kelebatan rasapun masih mengintip dibalik tirai kalbu
Hilang? Tidak. Ia hanya pernah tertutupi
Lambaian tanganmu pun masih tersambut
Ah, apakah kamu memanggilku?
Sejenak, rasa mengalahkan pantangan

Mungkin 'yang ingin kujaga' menampakkan cemburunya
Entahlah. Ia selalu tampak sedih saat perhatian ini teralihkan
Lembaran bisikankupun terkadang terabaikan
Empedu rasanya terkalahkan paitnya terlupakan
Perlu gelombang waktu yang besar untuk meredakan amarahnya
Ah, karna itulah aku berdiam di bawah temaram
Selangkah, dua langkah dan tiga langkah
Muara-Nya seakan membuka mataku
Untukku, untukmu, Dia sudah menyiapkan semuanya

karna itulah ikhlasku melepaskanmu
dan ikhlasku dilepas olehmu

percayakan Tuhan dengan janji dan rahasia-Nya

An230916

0 komentar:

Selasa, 13 September 2016

Kisah Layangku

Si A: Lihatlah layang-layang itu
Ia tertepa angin kalut
Ia tertabrak merpati cemberut
Ia tertutup gelapnya kabut
Bahkan senyumnya carut marut
Bukankah seharusnya kau tawari ia es serut?
Biar hatinya tak lagi mengkerut

Si B : Lihatlah layang-layang itu
Angin menyapanya dalam sendu
Merpati menghampirinya tuk berguru
Kabutpun membandingkannya dengan harapanmu
Bahkan senyumnyapun tak pernah berlalu
Bukankah seharusnya kau dekatkan dirimu?
Biar hatimu tak membiru

Layang-layang: Lihatlah mereka yang melihatku
Tatap mereka beradu tak tentu
Bahkan bertanyapun tak berlaku
Padahal kebenaranku hanya aku yang tau
Terimakasih angin, karna menjaga imbangku
Terimakasih merpati, karna menawarkan senyum untukku
Terimakasih kabut, karna menghalangi tangisku
Dan terimakasih kamu yang memegang taliku, karna masih mempertahankanku

Caramu menjagaku, WOW banget! 😊

#hastag, kamu.😄

0 komentar:

Rabu, 07 September 2016

Harapanmu, Pilihanku

“kamu itu maunya gimana sih nak…” tanya ibu sembari duduk di bibir ranjangku. Aku yang masih menyembunyikan air mataku di balik bantalpun tak berani menatap ibu. Pikiranku masih melayang disaat aku melihat pengumuman seleksi ujian mandiri tulisku di salah satu Universitas Negeri yang kupilih.

Maaf. Anda tidak diterima dalam seleksi ujian.

Dan itu bukan pertama kalinya aku mendapati tulisan itu saat aku memasukkan PIN dan password ujianku. SNMPTN, SPAN-PTAIN, dan SBMPTN, semua menyatakan kalau aku gagal dalam seleksi ujianku. Dan tadi pagi, harapan terakhirku untuk memasuki Universitas Negeri yang kupilih hancur sudah dengan tulisan merah yang tertera disana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku tidak diridhoi Tuhan untuk kuliah tahun ini? Setelah tak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibu saat aku tertidur kemarin malam, aku jadi ragu untuk melanjutkan studiku ke jenjang perkuliahan. Jujur, keluarga kami bukan keluarga yang tak pernah kekurangan uang. Bahkan tak jarang ayah harus meminjam uang dari paman-pamanku untuk membiayai sekolahku dan kedua adikku. Ayah dan ibu memang menanggapi baik saat aku berkata ingin kuliah, meskipun sebenarnya mereka berpikir keras agar bisa membayar biaya pendaftaran kuliahku nantinya. Mungkin Tuhan tengah merencanakan sesuatu. Tapi bagaimanapun juga, dinyatakan gagal dalam seluruh jalur seleksi yang kulakukan, tentu saja membuatku frustasi dan meragukan diriku sendiri.

“nak… masih tinggal satu pengumuman lagi kan?” rayu ibu. Yah, memang tinggal satu pengumuman lagi. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Tapi bukan disana aku ingin mendalami mata pelajaran yang kusukai. Kimia.

Tahun depan, mungkin aku akan mencobanya kembali. Disaat ayah dan ibu sudah mempunyai persiapan untuk biaya studi lanjutku. Mungkin saat itu Tuhan akan lebih meridhoi dan memperlancar jalanku. Aku meyakini itu.

###

“sekarang pengumuman seleksi mandiri tulis UIN kan?” tanya Haidar, sahabatku, dari seberang sana. Aku mengiyakan pertanyaan haidar dengan lemah. Yah, aku sudah tak penasaran dengan hasil ujian masuk universitasku lagi. Aku sudah memutuskan untuk melakukannya lagi tahun depan. Dan untuk mengisi kekosonganku setahun ini, aku akan belajar di pondok pesantren salaffiyah dan melanjutkan hafalan Al-Qur’anku yang sempat terhenti sembari menyiapkan ujian masuk universitas yang kuinginkan. Mungkin saja hafalanku bisa memberikan nilai plus saat aku kuliah nantinya. Barokah Al-Qur’an? Siapa yang tahu. Aku tak benar-benar melepas impianku untuk masuk kuliah, aku hanya menundanya. Itu saja.

“nomor ujian kamu berapa?” suara haidar memecah lamunanku.

“nomor ujian? Buat apa?” aku memaksakan suaraku untuk keluar. Meskipun aku sudah memantapkan pilihanku, tapi sejujurnya masih terselip kekecewaan luar biasa di benakku. Keinginanku untuk kuliah tahun ini, masih belum surut.

“sebutin aja nomor ujian kamu. Sini aku lihatin.” Yah, karena di rumahku tidak ada jaringan internet, haidarlah yang selalu memantau perkembangan seleksi PTNku. Bahkan dia juga yang mendaftarkan dan melihat hasil ujianku. Haidar memang sahabat yang paling berperan dalam kehidupanku. Kadar kepercayaan yang kuberikan padanya jauh lebih besar dibandingkan teman-temanku yang lain. Bisa dibilang, dia istimewa?? Atau mungkin lebih.

“kartu ujianku sudah aku buang haidar... Gak usah diliat. Lagian gak bakalan masuk juga. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak kuliah tahun ini.” jawabku setengah hati. Aku hanya tidak mau dia kecewa dengan keputusanku. Diam-diam aku iri dengan haidar yang sudah dinyatakan diterima di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“gak kuliah kenapa?” aku mendengar suara Haidar yang menyembunyikan kekecewaannya. “ayolaaah… kasih tau nomor ujian kamu. Prodi yang kamu pilih kimia kan?” lanjutnya.

“udaah. Gak papa haidar… biar tahun ini ayah sama ibu fokus pada adik-adik dulu. Adik-adik juga butuh biaya banyak. Aku bisa tahun depan. Lagian setahun nanti aku juga gak diam di rumah saja kok. Aku melanjutkan hafalanku di pesantren salaf. Tahun depan aku susul kamu.” Jawabku pura-pura tegar. Padahal mataku mulai kabur. Ada genangan yang memenuhinya.

Ayo Nafa… kamu bisa. Kamu harus yakin dengan pilihamu sendiri. Ayah dan ibu sudah mendukungmu kan? jadi, apa lagi yang membuatmu goyah? Yakinku pada diriku sendiri. Tapi entah kenapa air mataku mengalir semakin deras saat haidar menerima keputusanku dengan berat.

"Baiklah kalau itu memang benar-benar keputusanmu. Tapi aku meragukannya." Aku dapat mendengar helaan nafas kecewa haidar.

“yang aku ingat nomor ujianku belakangnya 144.” Ucapku sebelum mengakhiri telephonku dan haidar.

###

“kamu di rumah kan?” tanya haidar dari balik telephon.

“iya. Di dalam kamar.” Jawabku seraya merebahkan punggungku di atas kasur.

“tapi kenapa ini rumah sepi banget ya? Ada orangnya gak sih? Assalamualaikum…” rancau Haidar yang membuatku mengerutkan keningku.

“Assalamualaikum…” ucap Haidar. Tapi tunggu, kenapa aku juga mendengar suara orang mengucap salam seraya mengetuk pintu rumahku? Tak mau penasaran, akupun mengangkat tubuhku ke ruang tamu dan mengintip siapa yang berada di balik pintu. Seketika aku terkejut saat mengetahui siapa yang berada dibalik pintu dengan telephon yang masih berada di telinganya. Haidar.

“ka… kamu, ngapain? Ada apa?” tanyaku terbata setelah aku membuka pintu. Seperti biasa haidar memamerkan senyumnya seakan dia tak bersalah sedikitpun. Seakan tiba-tiba muncul dirumahku tak cukup membuat jantungku hampir copot. Aku bahkan lupa tak menjawab salamnya.

“boleh aku masuk dulu?” Haidar membangunkan keterkejutanku dan membuatku salah tingkah. Bagaimanapun juga, belum ada seorang laki-lakipun yang pernah datang ke rumahku. Sendirian? Dia sungguh berani di saat kedua orang tuaku ada di rumah. Tapi aku bertanya-tanya, apa yang membuatnya nekad datang ke rumahku di saat aku dan dia masih berstatus santri di pesantren yang sama.

“ini pengumumannya, dan ini persyaratannya.” Haidar memberikan dua lembar kertas kepadaku. Aku menerimanya dengan ragu, tak mengerti.

“yang kimia. Nomor ketiga.” Pandu haidar. Aku membelalakkan mataku saat mendapati namaku ada disana. NAFLAH FAKHIRAH. Kenapa namaku ada disana? Aku melihat kertas yang diberikan haidar lagi.

PENGUMUMAN PESERTA LOLOS SELEKSI UJIAN MASUK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Aku melemparkan pandanganku pada Haidar.

“aku tunggu keputusanmu sekarang. Daftar ulang terakhir besok, kalau kamu masih bingung, aku bisa nganterin kamu. Dari sekian banyak pendaftar, cuma 13 orang yang diterima. Bayangkan orang ke 14 yang seharusnya masuk jika kamu tidak ada.”

“ada apa ini?” tanya ayah yang keluar dari ruang tengah dan diikuti ibu. Haidar mencium punggung tangan ayah dan ibu seraya tersenyum sopan.

“ini pak, mau nganterin ini.” haidar menunjuk kertas yang berada di tanganku. Segera aku memberikan kertas itu pada ayah dan ibu yang duduk disampingku.

“itu pengumuman penerimaan mahasiswa baru di UIN Malang. Dan Alhamdulillah Nafa keterima di jurusan kimia.” Jelas haidar, singkat. Penjelasan yang langsung membesarkan harapanku untuk kuliah. Aku menunggu tanggapan ayah, karena bagaimanapun juga ayah memiliki peran terbesar dalam mengambil keputusan bagiku.

“lhooh, gimana ya. Nafa mau mondok di pesantren salaffiyah. Mau ngelanjutin hafalan Al-Qur’annya.” Jawaban ayah membuat harapanku seketika menciut.

Haidar tampak mengambil nafas panjang dan memamerkan senyumnya lagi. “kan bisa sambil kuliah pak. UIN Malang juga universitas yang bagus pak. Nafa beruntung bisa keterima disana.”

“Nafa. Ayo ikut ibu.” Ibu memegang lenganku, meninggalkan haidar dan ayah yang tampak serius membicarakanku, kuliahku. Aku tau haidar tengah merayu ayah. Karena ayah yang memiliki keinginan yang lebih besar agar aku melanjutkan hafalanku saja. Selama ini Haidar belum pernah gagal merayuku jika ada yang ia inginkan. Dan semoga hal itu berlaku untuk ayah juga.

“bagaimana Nafa?” tanya ibu saat kami sudah sampai di dapur.

Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku sungguh bingung. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan.

“ibu tau Nafa khawatir biaya kan? gak usah khawatir. Yang penting Nafa gimana? Kuliah?” tanya ibu sembari memegang pipiku. Aku merasakan air hangat mengalir dipipiku dan jatuh ditangan ibu. “turuti kata hati Nafa.”

“Nafa… pengen kuliah bu…” ungkapku diringi dengan isakku.

###

Selamat, sudah menjadi mahasiswa.^_^

Kubaca SMS dari haidar dengan kebahagiaan yang tidak bisa terkatakan. Haidar. Sahabat yang tak bisa kubahasakan dengan kata-kata lagi. Sahabat yang sudah mengenalkanku dengan kehidupan, mengajarkanku cara untuk bangkit dari keterpurukan, memunculkan senyumku kembali di setiap tangis yang kuuraikan padanya, mendukung setiap pilihan yang terbaik untukku, dan sahabat yang membuat mimpiku semakin dekat. Sahabat yang tanpa kusadar sudah menumbuhkan benih-benih kasih sayang yang tak seharusnya keselipkan dalam persahabatan kita. Sahabat yang setiap pilihannya, seakan menjadi keputusan yang tak bisa kutolak.

PROFIL PENULIS

Penulis yang memiliki nama lengkap Siti Nur Jannah ini adalah mahasiswa jurusan kimia di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Sejak 13 Agustus 1996, ia dibesarkan dalam keluarga sederhana di Pasuruan, Jawa Timur. Ia juga alumni Pondok Pesantren Ngalah di Pasuruan. Penulis juga merupakan santri di MHB Darul Hikmah Malang. Penulis bisa dihubungi di akun FB: An Na (Siti Nur Jannah) atau e-mail: anna.naflah@gmail.com

0 komentar:

Tolak Ukur??

N. I. L. A. I
A. N. G. K. A
H. U. R. U. F

Seringkali, ah tidak, bahkan setiap kali kepandaian seseorang ditentukan oleh seberapa besar angka yang diperoleh, seberapa banyak huruf pertama yang diperoleh. Nilai itu ada, angka itu ada, huruf itu ada, karna ada tolak ukur yang bisa menjadikannya ada. 

Namun, bagaimana dengan kesabaran? Kerja keras? Usaha? Keikhlasan? Dan rasa cinta mungkin...
Apa ada tolak ukur kesabaran? Misalnya. Pada kadar sekian, si A dapat dikategorikan sebagai orang yang sabar. Jika seseorang mencucurkan keringat sejuta tetes per menit, maka si B dapat dikatakan bekerja keras. Ato mungkin kalo seseorang mampu memberikan apapun yang diminta pacarnya kayak kantong doraemon, berarti si C cintanya dalem. Emang gitu? 😄😄😄

Wahai kalian yang masih merumitkan tolak ukur, tidak ada ukuran yang bisa menghentikan kalian. Tolak ukur hanya untuk mereka yang membatasi kebahagiaan mereka, bukan kalian!! So, lepas semua tolak ukur... Kalian adalah kalian sendiri. Yang bisa memberikan ukuran, hanya kalian dan Tuhan yang kalian percayai.^_^

Sekarang, pejamkan mata kalian, tarik kedua ujung bibir ke atas dan teriakkan dalam hati "Aku sudah melakukan yang terbaik".😊💪

0 komentar:

Selasa, 06 September 2016

Aku dan Headline Koran

Brakk!!!
Koran news yang beberapa detik lalu berada ditanganku, kini mendarat dengan cukup keras di atas meja di depanku. Ayah yang sedari tadi sepertinya tengah asyik membaca koran sport kesukaannya, tiba-tiba tersentak dan langsung  mengintipku sejenak dari balik korannya sebelum kemudian beralih pada korannya lagi.

“ada apa?” Tanya ayah seraya memebenahkan letak kacamatanya.
Aku mendengus kesal seraya menyandarkan punggungku pada kursi.

“aku tak mengerti ayah. Kenapa sepertinya koran ini tidak pernah kehabisan stok berita tentang korupsi” keluhku. Tidak ketinggalan kuberikan cibiran terbaikku saat melihat foto orang-orang yang terpampang di sana, untuk meyakinkan ayah kalau aku serius. Aku benar-benar muak melihat mereka. Entah yang kini sudah terbongkar ataupun yang masih tersembunyi.

Ayah menurunkan korannya, melipatnya sembarang, kemudian menaruhnya di meja. Tepat di atas koran yang kubanting tadi.
“nafa, sepertinya kamu kurang adil sayang…” ucap ayah yang langsung membuatku menautkan kedua alisku, tak mengerti dengan apa yang ayah maksudkan.
“seharusnya bukan koran ini saja yang mendapat protes dari kamu. Bukankah hampir setiap media massa di Indonesia baik elektronik maupun elektronik memang tidak pernah berhenti membahas hal yang satu itu?” timpal ayah sambil mengangkat satu alisnya. “namun, coba deh kamu pikirin. Ini yang salah sebenarnya media massanya atau orangnya ya??” lanjut ayah dan tersenyum jahil.

Merasa apa yang dikatakan ayah memang benar, bibirkupun terkunci. Aku langsung mati kutu. “po… pok.. pokoknya sebagai anak dari anggota Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia tercintaku ini, aku akan marah kalau ayah tidak cepat-cepat memberantas para-para tikus berdasi itu!” hardikku seakan orang orasi.

Ayah mengangkat jari jempolnya ke atas. “siap komandan! Ayah berjanji.”

Aku hanya bisa tersenyum geli melihat ayah sekaligus lega mendengar janji ayah. Karena ayah adalah orang yang tidak pernah berbohong dan tidak pernah mengingkari janjinya.
“ayah memang lelaki terhebat!” kuacungkan dua jempolku pada ayah.

“kalau dibandingkan Fatih, lebih hebat siapa?” tanggap ayah yang membuatku langsung tersipu.

###

“lempar melewati gerbang itu naf.” Perintah fatih yang duduk di atas sepedanya sedang aku harus berusaha agar Koran yang berada ditanganku ini bisa melewati gerbang yang tingginya dua kali tinggiku. Jika saja orang yang tengah menatapku itu bukan orang yang selama ini memenuhi pikiranku, aku pasti akan menipuk kepalanya dengan koran yang kupegang ini. Aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya saat gulungan Koran yang kulemparkan gagal. Lagi. Ah, seharusnya aku menolak saat fatih menawariku untuk berangkat bersamanya. Tapi entah ada angin apa sehingga bibirku ini tidak bisa berkata tidak dan sebagai gantinya aku mengangguk dan berkata iya sebagai pertanda kalau aku tidak menolak ajakannya.

“lebih tinggi lagi naf!” perintah fatih untuk ke seribu kalinya. Enak sekali dia ngomong tanpa melihat betapa sulitnya aku untuk melakukan apa yang disuruhnya. Apa dia kira aku ini atlet melompat, dengan entengnya dia bilang ‘lebih tinggi’, ‘hampir saja’, ‘coba sekali lagi’. Lemparan ke-tak terhinggaku ini gagal untuk kesekian kalinya. Aku mendengus kesal dengan nafas yang terengah-engah.

“ok. Aku menyerah” keluhku seraya membungkuk memijat lututku.

“tidak ada kata menyerah. Kamu hanya melakukannya dengan cara yang sama sekalipun kamu tau cara itu selalu gagal. Yang perlu kamu lakukan jika kamu gagal adalah melakukannya dengan cara yang berbeda. Kamu itu tidak akan berakhir hanya karena kamu gagal, api akan berakhir kalau kamu berhenti” aku tertegun mendengar paparannya hingga kau tak menyadari kalau ternyata dia sudah berdiri tepat di belakangku. Nafasku kontan saja langsung tercekat. Berada di boncengannya saja sudah membuatku deg-degkan apalagi berada sedekat ini dengannya. Aku mengambil Koran yang terjatuh disamping kakiku secepat yang aku bisa dan langsung melemparkannya pada fatih agar aku tidak perlu melompat-lompat lagi. Agar aku tidak perlu berdiri sedekat ini dengannya.

Tanpa pernah aku duga, tiba-tiba fatih menyergap tanganku. Aku hendak melepaskan diri tapi fatih menggenggam tanganku erat sekali sehingga aku tak punya kekuatan lagi untuk mengambil alih tanganku.

Fatih menatapku tepat di mataku. Membuatku seakan terkunci tidak bisa bergerak barang sedikitpun. Sesaat aku berpikir, mungkin saja waktu telah berhenti. Namun ternyata jantungku yang memompa lebih cepat dari biasanya.

“Nafa, kenapa kamu memilihku?”
Aku menelan paksa ludahku mendengar pertanyaan Fatih. Kenapa? Apakah perasaan itu harus punya alasan? Aku bahkan tak tau awal perasaan ini tumbuh. Sejak pertemuan kami di perpustakaan sekolah, aku dan Fatih sering berbagi pendapat. Dan saat aku tau dia menjadi loper koran untuk membayar sekolahnya, rasa kagumku padanya semakin besar. Entah sejak pertemuan kami di perpustakaan ataukah sejak aku tau ia adalah pemuda yang hebat, aku tak tau. Yang aku tau, perasaan ini ada.

Fatih memamerkan senyumannya. Senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya. Fatih melepaskan tanganku, mengambil gulungan Koran yang terjatuh tadi dan memutar tubuhku menghadap gerbang itu lagi.

“baiklah. Kamu sudah menceritakannya dari matamu.” Putus Fatih dan mengangguk-anggukkan kepalanya seakan aku sudah menjawab pertanyaannya. Aku hanya terpaku seperti patung hidup.

“pegang ujung Koran ini. Arahkan dia vertikal ke atas membentuk sudut 30 derajat. Berikan tumpuanmu pada ujung Koran bagian bawah ini, lalu lemparkan. Mengerti?” aku mengangguk mengerti meskipun masih terbesit pertanyaan di hatiku. Apakah Fatih punya indra ke-enam?

“kalau begitu, ayo kita lakukan bersama.” Intruksi fatih saat Koran itu siap meluncur dari tanganku, atau mungkin tangannya. Tanganku dan dia.

Sekali lempar dan….. yap. Koran itu melewati gerbang itu dengan mulus. Aku berseru girang.

###

“aku tak tau kalau ternyata kamu dan ayah sudah saling mengenal.” Ujarku dari boncengan fatih dan dengan setumpuk Koran dipangkuanku.

“sepertinya ayahku menyukaimu.” Lanjutku saat mengingat betapa ayah tadi sangat menyambutnya ketika ia mampir ke rumah.

“yah, aku tau. Ayahmu adalah orang yang hebat.” Jawab fatih dari balik kemudinya.

Sejak pagi itu, aku sering berangkat bersama dengan fatih. Menunggunya di depan rumah, kemudian bersama mengantarkan Koran ke para pelanggannya. Dan sekarang, aku sudah cukup ahli dalam melempar Koran. Hampir setiap lemparanku tak pernah gagal.

Aku mendengus kesal saat mataku menangkap berita yang menjadi headline Koran hari ini.

“lagi-lagi korupsi. Sepertinya aku perlu menjadwal media di Indonesia agar tidak hanya korupsi yang mereka jadikan sebagai berita utama mereka”

Fatih menghentikan sepedanya, mengambil Koran yang ada dipangkuanku dan melemparkan Koran itu melewati gerbang rumah pelanggan fatih dengan mulus tanpa perlu turun atau melompat. Aku iri dengannya.

“kenapa?” Tanya fatih seraya mengayuh sepedanya lagi.

“aku kesal fat. Apa masih belum cukup Indonesia sudah menjadi Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia? Mengingat kalau Indonesia adalah Negara yang kaya akan alamnya, itu sungguh prestasi yang sangat membanggakan.” Cibirku.

“gimana kalau aku berharap Indonesia menjadi Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia.” Sahut fatih. Kontan aku langsung membelalakkan mataku.

“kamu mau membunuh Negara kita? Kalau memang itu misimu, aku berdoa dengan sangat semoga harapanmu tidak terkabul.” Apa-apaan dengan menjadi Negara yang terkenal karena kasus korupsi terbesar di dunia.

Fatih tersenyum. Aku yakin karena aku bisa melihatnya dari sini.

“itu memang prestasi yang sangat mengagumkan naf. Bagaimanapun ada sisi lain yang harus kamu perhatikan di sana. Selayaknya koin, dia mempunyai dua sisi yang memiliki artian yang berbeda. Coba deh kamu renungin lagi apa yang tersembunyi di balik nama Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia?”

“mmm, Negara kita….. bobrok?”

“hush! Hati-hati dengan ucapanmu nafa. Ucapan itu adalah doa.” Tegur fatih yang membuatku menyesal telah berkomentar seperti itu.

“lha terus apa?? Jangan membuatku tambah emosi donk kamu itu fat…” keluhku karena fatih memang telah menguras emosiku.

“baiklah, aku akan menjawabnya asalkan kamu berhenti untuk tidak sabaran.”

“fatih!” umpatku seraya menarik kerah bajunya.

“whoah, kamu mau membunuhku ya?” sergah fatih dengan nafas yang sedikit teredak karena tarikanku tadi.

“kalau kamu tidak segera menjawabnya, maka jawabanku adalah iya.”

“ok ok.” Fatih menarik nafasnya setelah ia berhasil melemparkan Koran melewati gerbang pelanggannya dan mengayuh sepedanya lagi.

“saat kita kecil dulu, kita disebut pemain kelereng yang hebat apabila mendapatkan kelereng yang paling banyak. Iya kan?” aku hanya menganggukkan kepalaku mengerti sekalipun aku tau dia tidak melihatku.

“nah, sama saja dengan Negara kita. Semakin tinggi prestasi kita yang kamu bilang memalukan itu, itu menunjukkan semakin hebatnya Negara kita dalam menemukan kasus korupsi yang selama ini masih belum terungkap kan? Dan semakin banyak para koruptor yang tertangkap, aku yakin para pejabat lain yang ingin melakukan korupsi masih pikir-pikir terlebih dahulu kalau mereka tidak ingin berakhir seperti para pendahulu mereka. Saat ini, maraknya kasus korupsi karena kurang ketatnya penjagaan pemerintah terdahulu. Sebenarnya kita hanya membutuhkan pejabat yang Amanah Naf. Amanah terhadap tugas dan kewajiban mereka. Dan jika sudah seperti itu maka Indonesia……”

“Indonesia bersih.” Lanjutku saat aku bisa menangkap maksud perkataan fatih. Aku menatap tengkuk fatih seakan tidak menduga kalau paras yang berada dibalik tengkuk itu masih kalah jauh dibandingkan kekagumanku pada setiap apa yang dikatakan fatih. Dan entah kenapa, aku seakan tak ingin jauh darinya.

“kamu memang cerdas naf.” Puji fatih yang mau tak mau langsung membuat pipiku memerah.

"Biarkan saja saat ini Indonesia jatuh. Karna suatu saat nanti, aku yakin Indonesia akan menunjukkan singa asia nya kembali. " lanjut Fatih dengan yakin.

Aku mengamini harapannya dalam hati. Saat mataku jatuh pada headline Koran yang ada dipangkuanku, aku tak bisa memendam apa yang pertama kali terbesit di hatiku.

“aku sangat membencimu!” seruku. Dan tiba-tiba fatih mengerem sepedanya mendadak hingga membuatku terjungkal ke depan menabrak punggung fatih.

“ada apa?” Tanyaku masih mengatur nafasku yang tersenggal karena terkejut.

“bukan apa-apa. Hanya saja---kamu membenciku?”

Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Fatih. “aku? Hahaha… ya enggaklah. Gak akan pernah.”

###

“apapun yang kamu lihat nanti, aku tidak akan melarangmu untuk kecawa ataupun marah.” Ujar Fatih saat kami memasuki sebuah rumah besar dengan halaman yang luas. Aku tak mengerti apa yang dimaksudkan Fatih. Atau lebih tepatnya aku tak menghiaraukan apa yang dibicarakan olehnya. Aku sudah tertegun sekaligus mengagumi bangunan yang ada di depanku kini. Fatih bilang kalau ia harus mengambil buku yang ketinggalan di rumahnya. Tapi kenapa Fatih malah masuk ke rumah ini? Apa mungkin ini rumah atasan Fatih?

Fatih membuka pintu rumah itu tanpa mengetuk selayaknya rumah sendiri. Aku hendak menegurnya kalau itu tidak sopan, jika saja aku tidak mendengar subuah suara dari balik pintunya.

“Fatih! Sudah berapa kali ayah bilang jangan lanjutkan pekerjaan rendah yang tak perlu kamu lakukan itu!” suara yang diucapkan dengan nada tinggi itu membuatku terhenti di samping pintu. Urung untuk masuk mengikuti Fatih.

“Fatih! Dengarkan ayah! Apapun yang ayah lakukan hanya untuk kebahagiaan kamu dan ibumu. Tidak ada yang lain. Ayah sangat menyayangi kalian.”

“sayang ayah hanyalah bungkus dari Nafsu serakah ayah. Ayah tidak perlu membawa-bawa kami sebagai alasan. Terang saja ibu lebih memilih pergi daripada bersama ayah. Dan sebentar lagi aku pasti juga akan menyusul ibu. Terima kasih ayah sudah membiayai hidupku dengan uang yang ayah agung-agungkan itu. Setelah uangku terkumpul, aku janji akan mengembalikan semua kertas yang ayah anggap uang dari jerih payah ayah itu. Dan jangan merendahkan pekerjaanku yang jauh lebih baik dari pekerjaan ayah.” Seru Fatih sebelum ia muncul dihadapanku dengan raut wajah yang tampak merah padam. Begitupun ayahnya. Dengan membawa buku ditangan kirinya, tangan kanannya tiba-tiba menarik pergelangan tanganku dan membawaku menjauh dari rumah itu.

“dasar kamu anak tak tau diuntung!” teriak ayah Fatih sebelum terdengar bunyi BRAK dari pintu yang sepertinya mendapat tendangan yang cukup keras.

Aku menyentakkan tanganku dari genggaman Fatih dengan geram. Mungkin aku bisa mentolerir kalau ternyata Fatih bukan anak dari orang yang tak punya seperti yang aku duga sebelumnya sehingga dia harus membantu orang tuanya dengan menjadi seorang loper koran. Namun, yang mengusik pikiranku adalah….

“bagaimana mungkin kamu bisa seperti itu pada ayahmu Fatih?” tanyaku dengan mata yang tergenang air mata. Entah kenapa hatiku perih. Sosok Fatih yang kukenal, apakah memang seperti ini?

Fatih menundukkan kepalanya menyapukan pandangannya padaku.
“ini tak seperti yang kamu lihat dengan mata telanjang. Tapi Nafa, bukankah aku sudah pernah bilang aku tak akan pernah melarangmu untuk kecewa ataupun marah?”

Bagaimana mungkin aku tak marah? Bagaimana mungkin aku tak kecewa? Aku tak bisa berteriak padanya. Hanya air mata yang meluapkan segalanya.

###

Aku membelalakkan  mataku ketika melihat headline koran hari ini. Wajah dikoran ini, sepertinya aku pernah menemuinya. Wajah dikoran ini, tidak salah lagi. Ini ayah Fatih! Dan aku melihat ayahku di sampingnya. Saat aku melihat judul dari headline yang memuat foto ayah Fatih.

KORUPSI TERUNGKAP, KPK LANGSUNG TANGGAP

Dan penyelidik kasus ini, ayahku.

2 komentar:

Senin, 05 September 2016

Aku Pembuat Bom??

Kimia?
Hal pertama yang terlintas ketika mendengar kata kimia, pasti satu hal. Apa?? BOM! 🔥💥🌟💫🌟💢
Iya gak?? 😄

Sebenernya kimia gak se-ekstrim itu kok.... (Meskipun awalnya aku juga pernah berpikir gitu sih.😂). Aku juga gak tau kenapa aku berguling-guling di sekitar hal paling imut yg bahkan tak bisa diliat mata telanjang (apa disuruh pake baju ya matanya?😄). Siapakah dia? Yaps. Mr Atom tercinta...
Ssst. Jangan bilang siapa-siapa ya klo perhatianku ke Mr atom lebih besar daripada ke dia.😯 Dia siapa?? Ya dia pokoknya. Meskipun gak tau siapa, ya pokoknya dia.😄

Eh, sebenernya tubuh kita itu pusat reaksi kimia lho...
Semua jenis reaksi di tubuh kita lengkap deh. Mau reaksi apa?? Pembakaran? Pembentukan? Pemecahan?? Sampe reaksi cinta pun Mr atom ikut andil lho...  Kurang apa tuh Mr Atom.😘
Makanya diperhatikan dikit tuh. Biar gak cemburu buta... Ntar klo ngambek, Mr Atom bisa balas dendam lho. Gimana klo pas pembentukan DNA, Mr atom ngilang satu? Waaah, bisa kacau nanti.😁

Pernah denger. Katanya sesuatu yg besar itu berasal dari sesuatu yg kecil. Iya ta? Aku cuma denger denger sih... 😮

Nah, kimia itu ke poin Mr atom sampe akar akarnya deh. Bahkan Mr atom maunya pasangan sama siapa, kita yang cari tau juga. Mr atom geraknya gimana, juga kita kepoin. Karna saat Mr atom kehilangan elektronnya, dia akan jadi Mr Radikal yang bakal berbahaya banget buat tubuh kita. Zat yg seharusnya dibuang, bakal ditahan sama si radikal. Ngeri kan?? 😱

Sebenernya atom atom gak ada yang bahayain kok...
Yang bahaya itu klo kelebihan. Tuhan udah bilang kan dalam Firman-Nya, klo sesuatu yang berlebihan itu gak baik?
Misalnya nih, zat besi. Bahasa kerennya Ferron (Fe).✌
Zat besi emang berguna buat tulang kita, pake banget malahan. Tapi dengan kadar yang secukupnya. Klo kelebihan, seperti penderita Thalesmia? Si zat besi bisa ngerusak kinerja organ lain lho...

Tuh kan. Kimia gak hanya tentang bom.😄
Kimia itu tentang kita dan alam. Kata pak dosen, kimia itu the central of life. (Ceileh pake bahsa inggris😂). Kan the mother of science itu, Matematika. Pengembangannya matematika itu, fisika. Pengembangannya fisika, itu kimia. Pengembangannya kimia, itu biologi. Dan pengembangannya biologi, itu kehidupan.
Nah kan, kimia di tengah-tengah... 😂

Untuk para kimiawan dan calon kimiawan yang terkadang udah pengen nyerah, dan milih nikah aja(termasuk saya... 😅 cuma kadang lho.😜), yuk kita kepoin Mr paling imut di dunia ini. Dia mengajarkan kita banyak hal tentang kehidupan lho...

Oh iya, kimiawan itu bukan yang selalu keluar masuk lab dengan jas yang sok keren aja lho. Siapapun kalian, kalian adalah kimiawan sejati. Setiap hari, kalian udah ngelakuin reaksi kimia di dalam tubuh kalian. Hanya saja gak sadar... Itu aja kok.

Yuk kenali Mr Atom, kenali diri kita.😊

#kitabukanpembuatBom

0 komentar:

Minggu, 04 September 2016

Adaku tak Berarti

Aku terbangunkan desah angin

Belaian lembutnya bak sentuhan ibu

Terik surya menyapaku lagi

Namun sang merpati mengepakkan sayapnya pergi

Sedang aku masih terpatri di sini

Menatap kejamnya fatamorgana duniawi

Lihatlah bangunan angkuh itu!

Tingginya seakan melahap langit

Keberadaannya tlah menyita kuasaku

Ch, seakan ia lebih berharga dariku

Lihatlah antrian mobil bermerek itu!

Kilaunya hendak saingkan purnama

Suara klaksonnya bak terompet tahun baru

Kepulan asap knalpotnya kalahkan persahabatan atom oksida

Ah, seakan bumi tak akan runtuh saja karena mereka

Dan hanya akulah yang bisa menyelesaikannya

Lihatlah aku!

Aku yang berdiri tegap pertahankan singgahsanaku

Meski makanpun aku terseok

Meski langkahpun tak dapat menjangkau dahaga

Dan meski kepulan asap mengepung gerakku

Aku tetap bertahan

Umur tlah menggerogoti tubuhku

Tapi aku harus bertahan

Kutanggung tugasku karena pinta Tuhan

“nyalakan apinya, dan segera bakar mereka”

Suara manusia itu beriring dengan rasa panas tubuhku

Ranting-rantingku mulai menggeliat ketakutan

Daun-daunku berteriak pilu

Warna mereka pucat karna racun manusia

Dan aku, hanya bisa menitikkan air mata

Sesal karena adaku tak sungguh diharapkan

Sesal karena adaku tak sungguh berarti

*Puisi ini telah diterbitkan dalam 'Antologi Puisi' bertemakan 'Hutan' oleh 'Penerbit Genom'

0 komentar:

Goresan Cintaku

Keluh tak lagi terpapar
Hiraukan lelah sudah rutinan
sedang Alas harapan selalu terbentang
Untuk darah yang bernafas samar
Laraskan kehadiran dengan tawa
Awan… janjikah menaunginya?

Masa tak bisa tertata
Arah waktu tak bisa terdiam
Rengkuhan kasih kan terlampau ingatan
Kau yang simpanku dalam dekapan
Hendakkah pisahkan zaman?
Urus langkah saja ku tak kuasa
Melodi suaramu arahkan angan
Alunan tawamu damaikan rasa
Hidup tanpamu, sanggupkah?

Ingkarkan duka dalam tatap
Belai jemarimu selalu teringat
Untuk engkau yang sembunyikan air mata
Kilau deraimu masih terlihat
Usut bibirmupun tertangkap sangat

Tinggal hati yang kan dekatkan
Elok kasihmu dibalik tamparan
Risaumu dibalik kebebasan
Ceraikanlah sedih dalam sukma
Inilah rangkaian yang tercipta
Nuansakan nurani yang terdalam
Tuk sang pemilik surga di bawah telapak kakinya
Akan kutitipkan cinta ini pada goresan

Malang, 26 Januari 2016

*puisi ini telah diterbitkan dalam 'Antologi Puisi' bertemakan 'Ibu' oleh Writing is Amazing Publisher

0 komentar:

Penanti yang Tak Sadar

“Kenangan-kenangan itu selalu hadir. Hadir dalam ingatan yang tak pernah kuundang. Seandainya saja bisa, ingin rasanya kusisihkan ingatan ini bersama dengan angin. Namun, semakin aku bergerak untuk menjauh, semakin cepat pula kenangan itu menjajari langkahku. Apakah aku harus menyalahkanmu yang memberikan kenangan ini ataukah aku harus menyalahkan diriku yang tak bisa melupakannya?”
“Nafa, ke kantin yuk!” teriak suara dari belakangku. Aku yang masih menulis keterangan dosen di papan tulispun hanya menganggapnya angin lalu.
“Nafa.” suara yang tidak asing itu memanggilku lagi. Seperti biasa, aku tak menghiraukannya dan berkonsentrasi pada tulisanku kembali.
“Nafa, ada yang nyariin kamu.” Ujar suara itu seraya mengetuk pundakku dari belakang. Kontan aku langsung menolehkan kepalaku, karena Naila, temanku, berkata kalau sekarang ia ingin mengambil novel yang ia pinjamkan padaku. Tapi, bukannya mendapati Naila, aku malah merasakan ada benda runcing tumpul yang seakan berjalan di pipi kananku membentuk garis lurus panjang berwarna hitam disusul dengan suara tawa yang sepertinya bisa didengar seluruh kampus.
“Fatih! Kamu apa-apaan sih!” teriakku marah. Bukan karena ia berhasil membuat coretan dipipiku, tapi karena alasan lain. “berhenti bersikap seperti itu!” lanjutku. Fatih menghentikan tawanya dan menatap lurus padaku.
“kenapa? Karena apa yang aku lakukan mengingatkanmu pada ‘dia’?”
Dia. Yah, dia yang dimaksud Fatih adalah Haidar. Sahabat sekaligus seseorang yang selalu memenuhi pikiranku hingga sekarang.
“sekarang dia dimana? Di Bandung ya? Kuliah kan?” tanya fatih seraya memutar-mutar pena dijarinya. Aku menatap fatih tajam dengan pikiran yang secara otomatis berjalan ke masa dimana saat aku dan Haidar menghabiskan waktu bersama. Dan setiap kali ingatanku itu muncul dalam kepalaku, saraf motorikku langsung mengirimkan implus yang membuat hatiku langsung berkecamuk. Antara marah, terluka, rindu yang selama ini kupendam dan rasa yang tak pernah bisa kuungkapkan. Khawatir kalau amarahku keluar tanpa kendali, aku segera memasukkan bukuku ke dalam tas dan beranjak dari tempat dudukku meninggalkan fatih yang menatapku penuh selidik.

“Naf, ini dari Fatih! Aku balik duluan ya.” Ucap Risma buru-buru seraya menyodorkan lipatan kertas kecil di atas bangkuku dan berjalan cepat meninggalkan kelas.
Aku membuka kertas yang diberikan Risma padaku.
ISTIRAHAT. PERPUSTAKAAN.
Aku tercekat melihat tulisan yang kini tertangkap oleh retinaku. Kata-kata ini, sobekan kertas seperti ini, sering aku dapatkan saat aku bersama Haidar. Aku tak pernah melewatkan sekecil apapun ingatan yang aku rangkai bersamanya di perpustakaan. Namun, hanya ada satu kejadian yang terekam dengan jelas di kepalaku.
29 Desember 2013
“apa sih tujuan kamu nulis?” tanya haidar yang duduk bersila disamping bangku perpustakaan, di depanku. Aku yang tengah mengerjakan tugas Fisika yang akan dikumpulkan setelah jam istirahat usaipun langsung menghentikan coretan tintaku dan mengalihkan pandanganku pada haidar. Aku terkejut. Tak biasanya haidar menanyakan hal seperti itu padaku.
Haidar menatapku tanpa bergeming seakan menunggu jawabanku. Saat haidar seperti ini, aku tau ia tengah serius. Akhirnya akupun meletakkan penaku dan memberikan seluruh perhatianku padanya.
“entahlah. Pada awalnya aku hanya suka menulis. Saat menulis, aku bisa membahasakan perasaanku dengan bebas karena aku tak pandai mengungkapkan perasaanku lewat ucapan. Tapi semakin lama, aku tak ingin hanya menulis untuk diriku sendiri. Aku ingin tulisanku dibaca oleh orang lain. Membuat orang lain tersenyum karena tulisanku, membuat orang lain berubah menjadi lebih baik karena tulisanku, dan membuat orang lain termotiasi karena tulisanku. I want change this world with my word.” Ujarku panjang lebar. Entahlah, jika menyangkut tentang tulisan, aku adalah orang yang paling sensitif.
Aku melihat Haidar yang tersenyum seraya menganggukkan kepalanya mengerti.
“hari ibu kemarin, kamu ngasih apa sama ibu?” tanya haidar merubah alur pembicaraan. Dan seperti biasa, aku adalah orang yang mudah teralihkan. Karena itulah haidar sering memarahiku, dan bahkan tak jarang menjahiliku.
“eh, cuma puisi gitu. Gak bisa ngasih apa-apa sama ibu.” Jawabku dengan menundukkan pandanganku. Yah, untuk seseorang yang sudah mengandungku, merawatku sedari kecil, selalu ada kapanpun dan dalam keadaan apapun diriku, sebuah puisi tak berarti apapun. Mungkin seperti satu butir pasir dalam seluruh samudera.
“Lhoh! Nafa!! nama kamu ada di sini!!” pekik Lia yang sedari tadi memang duduk diseberang bangkuku dan haidar. Kontan saja aku menolehkan kepalaku pada Lia dan menatapnya tak mengerti. Seakan membaca keraguanku, Lia langsung berjalan ke arahku dengan membawa selembar koran ditangannya.
“tuh, liat.” Lia menggelar korannya di depanku dan menunjuk kalimat yang tertulis di bawah kolom Cerpen.
NAFLAH FAKHIRAH (Siswa kelas XII IPA MA Darut Taqwa sekaligus santri di Pondok Pesantren Ngalah Purwosari)
Masih belum percaya dengan apa yang tertulis disana, aku membaca cerpen yang dimuat disana. Awalnya aku masih ragu dengan cerpennya karena aku tak pernah merasa mengirim cerpen ke media manapun. Bahkan aku juga tak pernah membiarkan sembarang orang membaca tulisanku kecuali…..
Aku menatap haidar yang tampak memarahi Lia. “kok kamu kasih tau sih. Mau aku buat kejutan.”
“ka…kamu…” ucapku terbata karena tak terasa air mataku sudah memenuhi kelopakku dan kata-kataku tercekat di tenggorokanku. Haidar balik menatapku dan melembutkan pandangannya.
“a…aku…”banyak yang ingin aku katakan padanya. Tapi entah kenapa tiba-tiba suaraku tidak mau keluar. Cuma air mata yang mengalir deras membasahi pipiku. Tak bisa berkata apapun, aku menenggelamkan kepalaku di atas Koran yang memuat cerpenku. Aku merasakan Lia mendekapku dari belakang dan menenangkanku.
“kado buat ibu, bisa ditambah lagi kan?” ujar haidar sedangkan aku masih belum bisa menghentikan air mataku.
“kamu, lanjutkan. Jangan pernah berhenti menulis.” Ucapnya kemudian. Aku mengangkat kepalaku dengan isak yang masih tersisa dan menganggukkan kepalaku dengan cepat.
Tentu saja. Tentu saja aku tak akan pernah berhenti menulis. Terimakasih selalu ada untukku, terimakasih karena selalu mendukungku. Terimakasih, karenamu aku lebih percaya dengan mimpiku.
Tes tes tes. Aku tersadar dari lamunanku saat merasakan air hangat dari mataku yang membasahi kertas dari Fatih. Haidar, aku merindukanmu. Aku segera menghapus air mataku saat mendengar getaran di sakuku. Satu pesan dari Fatih.
Kalau kamu nangis, datang ke perpustakaan.

“apa kamu kira kamu merindukannya?” tanya Fatih saat aku baru saja duduk di depannya, di perpustakaan.
“saat hati sesak seakan tak bisa bernafas, bukankah itu yang namanya rindu? Saat sekelebat wajah hanya bisa menari dibalik mata dan serasa ada beribu jarum yang menusuk jantung, bukankah itu rindu? Saat pandangan ingin mengejarnya meskipun tirai waktu menghalanginya, bukankah itu rindu?” Dulu saat ingin bertemu, cukup menunggu bel istirahat dan bel pulang sekolah. . Tapi sekarang bahkan mengucap hai saja rasanya berat.
“bukan. Kamu hanya merindukan saat-saat yang kamu habiskan bersamanya, kenangan yang kalian buat bersama, bukan dia.” Timpal Fatih yang terang saja berlawanan dengan nuraniku.
“kenapa kamu berkata seperti itu?”
“selama ini, kamu selalu menangis saat mengingat kenangan tentangnya. Kamu sedih karena kamu takut kenangan itu hanya kamu yang mengingatnya. Kamu selalu menampakkan senyum palsumu hanya karena ia yang dulu selalu ada buat kamu sekarang jauh darimu. Kamu selalu khawatir kalau dia akan melupakanmu saat kalian jauh. Kamu mengkhawatirkan sesuatu yang bahkan tak pernah ia rasakan sedikitpun.”
“tapi saat itu matanya…..”
“saat kapan? Kamu selalu memutar memory yang sama berulang kali tanpa mengingat kapan saat itu terjadi. Cinta itu bukan yang satu menanti dengan sabar dan yang satu gak sadar-sadar Naf. Sampai kapan kamu mau diperbudak oleh ingatanmu sendiri? Kamu selalu mempercayai apa yang ingin kamu percayai tanpa memperhatikan kenyataan yang terjadi. Jika dia mencintaimu, dia tidak akan membiarkanmu terombang-ambing seperti ini. Membuatmu kehilangan senyummu disaat ada orang lain yang bahagia dengan melihat senyummu. Cinta itu hanya bisa dibuktikan dengan dua hal, meng-HALAL-kan atau meng-IKHLAS-kan. Manakah yang ia lakukan untukmu?”
Aku terkejut sekaligus tak bisa menjawab Fatih. Tidak ada satupun yang Haidar lakukan dalam pilihan yang disebutkan Fatih. Akhirnya aku hanya terdiam.
“Sekarang kamu hanya punya dua pilihan. Membuka halaman selanjutnya ataukah menutup bukunya.” Tegas Fatih.

Rasa ini berawal dari persahabatan. Rasa yang aku tak tau kapan ia berawal sebagaimana aku tak tau kapan akan berakhir.

*cerpen ini telah diterbitkan dalam Antologi Cerpen bertemakan Rahasia Hati oleh Kekata Publisher

0 komentar:

Mukenah Baru untuk Khaura

"khaura, pulang liburan hari raya nanti ibu belikan mukenah baru ya.” Ujar seorang wanita yang masih bisa dikatakan muda meskipun umurnya sudah berkepala empat. Seorang gadis berkerudung yang tengah mencium telapak tangan ibunya itupun menengadahkan wajahnya dan tersenyum manis. Sang ibu yang melihat paras anak gadisnya itu sedikit tersentak karena ia baru menyadari kalau anak gadis yang tidak tumbuh dalam pelukannya ini, kini menjadi gadis yang cantik dan tegar. Yah, saat ia bercerai dengan suami pertamanya, khaura masih berada dalam kandungannya. Ia tak pernah menyangka keluarganya akan berakhir seperti ini. Semua ini berawal ketika adik sepupunya sendir menjebak suaminya hingga ia memutuskan untuk menjauh dari kehidupan mereka daripada harus menyaksikan kebodohan suaminya yang menurut saja saat adik sepupunya meminta untuk dijadikan istri kedua. Ia merasa cinta yang telah mereka bina selama ini telah dihianati. Mungkin ia masih bisa bertahan jika harus hidup bersama suaminya hanya dengan memakan nasi dan kerupuk. Tapi jika dimadu, sungguh ia lebih memilih untuk diceraikan sekalipun ia masih sangat mencintai suaminya. Saat itulah Khaura lahir tanpa seorang ayah, berbeda dari kakaknya yang lahir dengan kemewahan dan kasih sayang. Bahkan pada saat Khaura lahirpun, mantan suaminya tak mengintip Khaura sama sekali. Entah karena malu atau mungkin karena istri barunya. Ia tak peduli. Yang jelas, kelahiran Khaura adalah kelahiran yang dikelilingi dengan air mata. Hingga beberapa bulan kemudian ada seorang lelaki yang meminangnya.
“Meyda, aku berkata pada keluargaku kalau kamu seorang gadis, bukan janda” ujar calon suaminya. Ia tau, isyarat itu adalah menyuruhnya untuk tidak membawa Khaura ke rumah keluarga mereka. Entah ada setan apa yang merasukinya hingga ia menurut saja saat orang tuanya menyuruh Meyda  menitipkan Khaura pada ibunya. Bahkan saat itu umur Khaura belum genap 2 tahun dan ia masih belum mendengar Khaura kecil memanggilnya ibu.
“ibu, mukenah Khaura masih bagus. Khaura tidak butuh mukenah baru. Uangnya dibuat biaya sekolah adik-adik Khaura saja.” suara Khaura membangunkan lamunannya. Segera ia mengembalikan kesadarannya dan menggelengkan kepalanya cepat. Ia melirik suami keduanya itu dengan tatapan nanar. Seorang yang sudah menemani tidurnya selama lebih 20 tahun itu hanya membalasnya datar seolah tak peduli. Namun, ia tau suaminya itu sangat menyayangi Khaura meskipun Khaura bukan anak kandungnya. Bahkan melebihi kasih sayangnya kepada 4 anak kandungnya sendiri. Tapi kenapa ia serasa berat untuk mengatakan keputusan yang telah diambil suaminya untuk Khaura? Seakan menyadari kalau air mata istrinya akan segera jatuh, Abdul menyentuh bahu Khaura dan mengatakan kalau ia dan istrinya harus segera pulang karena malam segera menjelang. Bahkan mataharipun tampak berpamitan dibalik gunung yang dekat dengan pondok pesantren tempat Khaura menuntut ilmu selama ini.

“kakak, Khaura mau maen sama adek Hakim. Adek Hakim jangan dibawa” rengek Khaura kecil saat Meyda mengatakan kalau ia harus kembali ke rumah suaminya.
“Khaura! Dia itu ibumu! Bukan kakakmu. Panggil dia ibu.” Seorang perempuan tua muncul dari arah dapur dengan wajah yang merah. Ia menatap Meyda yang menggendong Hakim dipelukannya.
“ini semua gara-gara kamu! Khaura ini anakmu. Bagaimana mungkin kamu menyuruhnya memanggilmu ‘kakak’ hanya karena kamu khawatir keluarga suami barumu marah saat mereka tau kamu sudah mempunyai dua anak sebelum menikah dengannya.”
Khaura yang tak mengerti apa yang dikatakan perempuan yang ia panggil ibu itupun melanjutkan permintaannya pada ‘kakak’nya.
“kakak, Khaura selalu sendirian di sini. Ibu setiap pagi selalu ke pasar. Setiap pulang sekolah, rumah selalu sepi. Kakak-kakak Khaura gak pernah ada di rumah. Biasanya Khaura hanya lihat mobil dan sepeda yang berlalu lalang di depan rumah. Kadang, Khaura melihat Abi yang kata ibu dia suami kakak dan Ayah Khaura. Tapi pas Khaura ke rumah Abi minta uang jajan, ada nenek sihir jahat yang selalu memarahi Khaura dan melarang Khaura ke rumahnya. Meskipun rumahnya bagus, Khaura gak mau datang ke sana lagi. Jadi, Khaura selalu menunggu kakak dan Abi datang kesini mengunjungi Khaura. Tapi kakak dan Abi gak pernah datang.” Meyda yang sedari tadi terpaku mendengar cerita Khaura, hanya bisa terduduk lemas dengan beribu-ribu sembilu yang menyayat hatinya. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas apapun yang telah dialami Khaura. Kewajiban sebagai seorang ibu yang seharusnya merawat anaknya hingga tumbuh dewasa, ia tak pernah melakukannya pada Khaura. Khaura tumbuh dalam buaian ibunya, bukan dirinya.
Khaura memanyunkan bibir kecilnya dan menggembungkan pipi tembemnya, marah. Dalam hati, ia sungguh membenci Abi dan nenek sihir itu. Tiba-tiba Khaura berlari kecil menuju kamarnya dan kembali dengan balon yang berisi air.
“kakak, kalau kakak mau membawa adek Hakim, Khaura maen sama balon ini. Lihat kak, balonnya sebesar adek Hakim. Jadi kalau Khaura menggendong balon berisi air ini, Khaura kayak gendong adek Hakim. Kalau kakak mau bawa adek Hakim, gak papa kok. Nanti Khaura maen sama adek yang ini.” Urai Khaura sembari menimang-nimang balon airnya. Sontak, Meyda langsung mendekap Khaura kecil dengan air mata yang meleleh di pipinya. Sedangkan hakim memainkan rambut lurus Khaura dengan senyum lebarnya yang dibalas dengan ancaman Khaura akan menggelitik adik kecilnya itu kalau tidak segera melepaskan tarikannya.
“Tuhanku, semua salah hamba-Mu ini tak bisa menjaga amanah yang kau titipkan. Bagaimana mungkin hamba tega membuat Khaura, anak hamba melewati jalan yang sesulit ini. Sungguh hamba masih belum pantas menjadi ibu yang baik. Tuhanku, hamba mohon. Jangan pernah biarkan Khaura menjadi ibu seperti hamba. Berikanlah ia kebahagiaan bersama anak cucunya. Cukuplah luka masa kecil yang disebabkan oleh hamba menjadi saksi kalau ia pantas menerima kebahagiaan melebihi yang lain. Hamba mohon Tuhanku...”
Suara kokokan ayam sudah mulai bersahutan memecah fajar. Meyda yang masih berdialog dengan Tuhannyapun tak menyadari kalau suaminya tengah mengintipnya dari balik pintu musholla di rumahnya. Diam-diam ia mengamini doa istrinya itu sembari meyakinkan dirinya kalau keputusan yang ia ambil untuk Khaura tidak salah.

“ibu, bagaimana mungkin ibu melakukan ini pada Khaura?” pekik Khaura beberapa saat setelah ia tiba di rumah. Ia sungguh tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana tidak saat baru turun dari becak, ia melihat rumahnya ramai dengan orang berpakaian rapi selayaknya menghadiri pesta. Dan tiba-tiba saja banyak orang yang menyambutnya dan memberikan selamat atas pernikahan yang akan segera ia langsungkan. Ia sungguh tak bisa memikirkan apapun. Menikah? Siapa yang akan menikah? Bahkan calon suaminya saja ia tak mengetahuinya, bagaimana mungkin ia langsung melakukan akad nikah? Ia tau, berdasarkan kitab kuning yang ia pelajari, orang tua punya hak penuh untuk menikahkan anak gadisnya meskipun tanpa persetujuan anaknya. Tapi, apakah harus seperti ini? Dan kenapa harus dia? Apakah ini yang ibunya maksud akan membelikannya mukenah baru? Mahar pernikahannya.
“sudah Khaura, kamu nurut saja sama ibu dan ayah.” Jawab Meyda berusaha tegas.
“nurut seperti apa yang ibu harapkan lagi? Saat Ayah menyuruh Khaura untuk tinggal di pesantren saat Khaura mendapat beasiswa di sekolah seni, Khaura menuruti ayah meskipun ayah bukan ayah kandung Khaura. Saat Khaura ingin pergi berkumpul dengan teman-teman, Khaura menurut saat ternyata ayah membuntuti Khaura dari belakang. Kata ayah, gak seharusnya perempuan itu keluar rumah apalagi anak pondok. Jangankan keluar rumah, bahkan duduk di teras rumahpun Khaura tidak berani. Khaura selalu menuruti ibu dan ayah, tapi kenapa harus pernikahan Khaura juga?! Ini menyangkut masa depan Khaura ibu... kenapa Ibu tak membiarkan kali ini saja Khaura menentukan pilihan Khaura. Kenapa Khaura tidak bisa memilih, ibu?” Khaura mengusap air mata yang kini membanjiri pipinya. Ia duduk di bibir kasurnya dengan hati yang berkecamuk. Sedangkan Meyda berusaha sekuat mungkin untuk menahan air matanya.
“Khaura masih pengen sekolah bu...  Khaura masih belum ingin menikah.” Lanjut Khaura dibalik isaknya.
“Khaura, ibu tau kamu sangat berprestasi di sekolah. Semangat kamu memang tinggi. Tapi kalau kamu terus sekolah siapa yang mau membiayai kamu? Adik-adikmu udah besar. Giliran adik-adikmu nak...” Meyda mencoba memberikan pengertian meskipun ada kesan egois dalam alsannya. Memutus harapan anaknya hanya karena biaya, itu adalah sikap yang sangat egois bagi orang tua. Tapi apa yang bisa ia lakukan saat suaminyalah yang mengambil keputusan itu? Seandainya saja ia masih bersama suami pertamanya, pasti Khaura bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi, sekarang jalan cerita sudah berbeda. Dan tak sepatutnya ia membandingkan mantan suaminya dengan suaminya yang sekarang.
“Abi... Abi bisa.....”
“Abi? Abi siapa yang kamu maksud Khaura!” pekik Meyda saat mendengar Khaura menggumamkan kata ‘Abi’. Entahlah, setiap kali ia mendengar kata Abi, dadanya langsung bergemuruh. Kepalanya mendidih hingga mau pecah. Ia masih ingat jelas bagaimana mantan suaminya yang Khaura panggil dengan sebutan Abi itu meninggalkannya saat Khaura masih dalam kandungan. Rasa sakit yang ia rasakan bukan karena ia ditinggalkan, tapi lebih karena mantan suaminya tak memperdulikan bayi yang dikandungnya.
“Abi...”
“apa Abi yang kamu maksud adalah Abi yang tak mengahampiri persalinan ibu saat kamu lahir?  Apakah Abi yang kamu maksud adalah Abi yang bahkan tak pernah membelikanmu sesobek pakaianpun? Dan kamu mau meminta biaya darinya?! Ingatlah Khaura. Siapa yang selama ini memperhatikanmu? Ayahmu, bukan Abimu. Siapa yang selama ini membiayai pesantren kamu? Ayahmu, bukan Abimu. Kalau kamu gak nurut Ayah sama ibumu ini, kamu mau nurut sama siapa? Kamu mau ibumu ini mati berdiri disini!!” hardikan terakhir Meyda langsung membuat Khaura terdiam. Meyda juga terkejut bagaimana bisa ia mengucapkan hal seperti itu pada anaknya. Tapi, ini demi anak gadisnya. Ia tak mau anak gadisnya mengalami hal seperti dirinya. Karena ia tau, pemuda yang akan menikah dengan anaknya adalah pemuda yang baik. Meskipun ia bisa dikatakan jauh dari tampan dan kaya, namun ia yakin pemuda itu akan memberikan kebahagiaan pada gadisnya ini.
“baiklah, Khaura akan menuruti ibu. Tapi, jika suatu hari nanti terjadi sesuatu pada Khaura, Khaura akan menyalahkan ibu.” Pasrah Khaura seraya membenamkan wajah cantiknya di bawah bantal.
Meyda mendekati Khaura dan mengusap punggung anaknya. Ibu janji, tidak akan ada hal buruk yang terjadi padamu sayang. Maafkan ibu tidak bisa menjadi ibu yang baik untukmu. Semoga hidupmu lebih baik dari ibu nak.

Terkadang, mata yang tak buta seakan menolak nyata yang tersimpan dibaliknya. Karena ego yang sudah meraja, kasih akan sebuah pengharapan menjadi bara yang hancurkan angan. Yah, tak selamanya yang terbaik terurai dengan jelas di muka. Tak jarang doa dalam setiap hembusan seorang mujtahidah rumah tangga menjadi tiang penompa kebahagiaan. Terimakasih, Ibu.

*cerpen ini telah diterbitkan dalam Antologi Cerpen bertemakan Sehangat Kasih Ibu oleh Penerbit Bintang Pelangi

0 komentar:

Cinta Yang Mengajarkanku


“aku gak mau pacaran.” jawabku pada seorang lelaki yang kini berdiri di depanku. Lelaki yang selama ini berhasil mengisi kekosongan hatiku. Lelaki yang membuatku tak bisa berhenti hadir dalam pikiranku. Seharusnya aku bahagia saat ternyata ia memiliki rasa yang sama padaku. Tapi entah kenapa aku masih tak mau menjalin sebuah hubungan yang lebih dari teman. Bagaimanapun juga aku dan dia masih duduk di semester pertama SMA. Menurutku, kita masih seumur jagung untuk dapat mengerti arti rasa yang sesungguhnya. Apalagi kita juga berstatus santri di pondok pesantren yang sama.
“kamu mengerti kan awal tujuan kita kesini? Kita berniat untuk mencari ilmu bukan untuk pacaran. Aku gak mau mengecewakan orang tuaku yang susah payah membiayai sekolahku. Aku takut mereka kecewa saat ternyata anak yang mereka kira tengah belajar malah pacaran. Aku juga takut pada larangan kyai yang melarang santrinya pacaran.” Jelasku pada Fatih, yang masih membisu. Aku bahkan tak tau ia tengah menatapku atau tidak karena aku tak berani sedikitpun meliriknya. Jujur, baru saat ini aku berbicara berduaan dengan seorang laki-laki. Kikuk? Jangan tanyakan lagi. Aku bahkan bisa mendengar degup jantungku.
“apa aku pernah mengajakmu pacaran?” pertanyaan fatih membuatku mengangkat kepalaku, menatapnya. Mata kami bertemu. Secepat aku mengedipkan mataku, secepat itu pula aku mengalihkan pandanganku. Entahlah, aku tak berani menatap mata tajamnya. Mata yang menyembunyikan kharisma di sana.
Oh, benar. Fatih memang tak pernah mengajakku pacaran. Ia hanya berkata kalau ia sering memperhatikanku semenjak kita sering bertemu di rapat bulanan organisasi sekolah. Kebetulan saat itu Fatih adalah ketua OSIS sedangkan aku ketua Pramuka. Jadi kita sering berinteraksi membahas perkembangan organisasi kedepannya. Dari situlah kekagumanku pada fatih mulai tumbuh. Dari caranya berbicara, caranya mengorganisir anak buahnya, hingga sopan santunnya pada para guru membuat ia menjadi orang pertama yang ingin kutemui saat aku berangkat sekolah. Karena aku dan fatih berada di kelas yang berbeda, jadi aku hanya bisa berharap pada jam istirahat dan pulang sekolah. Hanya dengan menatapnya dari atas tangga saja, aku sudah merasa lebih dari cukup.
“eh … bukannya ta-tadi kamu bi-bilang kalau kamu me-menyukaiku?” jawabku terbata-bata.
Fatih menarik dua ujung bibirnya ke atas.
“yah. Aku memang berkata kalau aku menyukaimu. Tapi aku tak pernah mengajakmu pacaran.”
Aku mengernyitkan dahiku kaku. “tapi kata teman-teman jika ada orang yang bilang kalau ia menyukai kita, itu artinya dia mengajak kita pacaran.”
Fatih tersenyum lebih lebar dari senyuman pertamanya tadi. Bahkan aku bisa melihat deretan gigirnya yang mengintip dari bibirnya. Apa ia tengah menertawakanku? Apa ada yang salah denganku?
“inilah yang membuat rasa tertarikku padamu semakin besar.”

“Nafa! Nafa!” teriak suara yang sudah tak asing ditelingaku. Risa. Aku yang masih mencoba menghafal nadzam Imrithi yang harus kuselesaikan minggu inipun tak menghiraukan Risa. Ujian pondok dua minggu lagi. Dan aku harus menyelesaikan hafalanku ini jika aku ingin naik ke kelas selanjutnya.
“Nafa! berita hot!!” Risa yang tiba-tiba berdiri didepankupun mau tak mau mengharuskanku menutup nadzamku dan mengalihkan perhatianku padanya. Aku tak mau mendengarnya merengek-rengek dan berpikir aku mengacuhkannya.
“ada apa?” tanyaku sedikit terganggu. Cepat katakan sbelum aku akan benar-benar tak mengacuhkanmu. Lanjutku dalam hati. Yah, Risa memang tak kenal waktu jika ada yang ingin ia ceritakan padaku.
“Fatih Naf! Fatih!”
“apa? fatih?? Kenapa??” tanyaku antusias saat nama Fatih disebut. Yah, tanpa kusadar hubungan aneh yang kujalani dengan fatih sudah berjalan selama dua tahun. Sejak kejadia saat itu, aku dan fatih memutuskan untuk tidak pacaran dan tetap fokus pada sekolah dan pondok masing-masing.
“aku mengatakan kalau aku menyukaimu, bukan untuk mengajakmu pacaran. Karena bagiku, pacaran bukanlah jalan satu-satunya untuk menyalurkan sebuah rasa. Bukan cinta yang mendorong untuk berpacaran, tapi nafsu. Jadi aku tak mau nafsu mengalahkan rasaku padamu. Mengetahui kalau kamu memilki rasa yang sama saja, sudah cukup bagiku. Meskipun begitu, bukan berarti aku hanya mempermainkanmu. Jika sudah waktunya nanti, aku akan membuktikan seberapa besar cinta yang selama ini kutumbuhkan dan kau pupuk tanpa kamu sadar.”
Pipiku langsung bersemu merah tiap kali mengingat perkataan Fatih. Mengingat bagaimana hubungan yang kita jalani saat ini, aku jadi tersenyum sendiri. Kita memang tidak pacaran, tapi tidak juga hanya sebatas teman. Kita tak pernah nge-date selayaknya orang pacaran, tapi sebagai gantinya saling berkirim surat. Meskipun isinya hanya sebatas menanyakan kabar dan saling memberikan motivasi belajar. Namun, hal itu tak mengurangi rasaku pada Fatih. Malah rasa ini semakin dalam hingga aku tak dapat lagi membahasakannya.
“Fatih sudah hafal nadzam alfiyah Naf! Kamu tau kan, seberapa banyak nadzam alfiyah itu? 1002 nadzam. Padahal nadzam itu seharusnya kita hafalkan saat kita hampir lulus nanti. Dan Fatih sudah lebih dulu menguasainya disbanding kakak kelas yang berada jauh diatasnya. Waah… kamu beruntung Naf!” cerita Risa antusia. Cerita yang membuatku tak henti-hentinya bersyukur dalam hati.
Fatih memang pemuda yang hebat.

“eh, tunggu.” Cegah fatih, saat aku ingin melangkahkan kakiku melewati pintu ruang rapat. Aku menghentikan langkahku dan membalikkan badanku dengan canggung. Aku sangat mengenal suara Fatih. Meskipun biasanya aku lebih sering mendengar suaranya dari tulisan tangannya.
“ini.” fatih menyodorkan sebuah buku kecil dengan sampul kain batik. Aku menerima buku itu seraya mengernyitkan keningku.
“apa ini?” tanyaku tak mengerti.
“sukses ya.” Seru fatih seraya tersenyum dan langsung berlalu dari hadapanku. Penasaran, akupun membuka buku saku kecil yang diberikan fatih. Aku terkejut saat melihat buku apa yang diberikan fatih. Atau lebih tepatnya bukan buku yang ia berikan tapi sebuah kitab nadzaman. Kitab yang telah ia hafal lebih dulu sebelum aku.
Aku hendak berterimakasih padanya. Tapi fatih telah hilang dari pandanganku. Hanya desiran angin yang menyampaikan kebahagiaan yang kini aku rasakan. Kebahagiaan karena aku tak memilih orang yang salah. Bersamanya, aku bisa menjadi lebih baik.

“jika akhirnya seperti ini, tak seharusnya kamu memulainya.” seruku pada fatih yang baru keluar dari kelasnya. Aku melirik seorang gadis yang menghindari tatapanku dan diam-diam mencuri pandang pada fatih dengan khawatir. Seakan aku adalah penyihir yang berhasil memergoki mereka berdua.
Fatih menatapku datar. “ada apa?”
“apakah begini tampang orang yang pura-pura tidak tau?” aku menyilangkan kedua lenganku.
“aku benar-benar tidak tau. Ada apa?”
Ada apa dia bilang! Saat aku melihatnya berduaan dengan seorang gadis di kelasnya, dia hanya bilang ada apa? apakah ia menganggapku gadis bodoh yang tak bisa mengerti suasana apa yang barusan terjadi antara dia dan gadis itu!
“setelah dua tahun ini, apakah kamu sudah bosan denganku?”
“apa maksudmu nafa?”
“dia,” aku menunjuk gadis yang duduk didalam kelas Fatih, “dia yang namanya salsabila kan? Seorang gadis yang pernah kamu ajak ke rumahmu.” Fatih tampak terkejut saat aku membuka keburukannya. Keburukan yang tak kan pernah bisa kumaafkan.
“iya. Lalu kenapa?”
“kenapa!! Kamu tanya kenapa?? Bukannya meminta maaf tapi kamu menanyakan kenapa?! Melihatmu seperti ini, kamu sungguh keterlaluan Fatih. Apa gunanya dulu kamu mengucapkan kata-kata manis jika pada akhirnya kamu memaksaku meminum empedu seperti ini. Selama ini, aku selalu mempercayaimu. Aku selalu sabar menunggu bukti cinta yang kamu janjikan. Awalnya aku tak percaya saat temanmu, Haris, berkata padaku kalau kamu membawa seorang gadis ke rumahmu. Bahkan ia bilang kalau kalian sering keluar bersama tiap kali liburan pesantren. Aku tetap menutupi cacat janjimu yang akan menjaga perasaanku dimanapun kamu berada. Tapi saat aku melihatmu berdua dengannya dengan mata kepalaku sendiri seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa meredakan amarahku lagi?” Tak terasa ada air yang menggenang di pelupuk mataku dan mengalir membasahi pipiku. Aku sungguh tak menyangka jika fatih akan menghianatiku seperti ini.
“bagaimanapun juga, aku mau putus.” Ujarku seraya mengusap air mataku.
“putus?” fatih mengangkat sebelah alisnya. Aku melemparkan lirikan tertajamku pada fatih dan mengangguk cepat.
“Nafa, apa kamu tau arti kata putus? Kata putus hanya ada dalam kamus pacaran. Dan, apakah kita pernah pacaran?”
Aku membelalakkan mataku mendengar pernyataan fatih. Ada gemuruh di dadaku. “jadi selama ini kamu menganggapku apa? hanya mainan? Atau pengisi waktu luangmu? Jika seperti itu, terimakasih sudah menjadikanku boneka hidup yang selalu menuruti permintaanmu. Aku rasa semuanya sudah jelas. Tak ada lagi yang harus dibicarakan. Assalamualaikum.” Sergahku dan melangkahkan kakiku meninggalkan fatih yang masih terpaku ditempatnya berdiri. Aku sudah tak bisa menyembunyikan air mataku lagi. Ia langsung mengalir deras saat aku duduk di ruang kelasku.

“ciye… kak Nafa hebat. Setelah selesai hafalan nadzam imrithi dan alfiyah, kak nafa lanjut hafalan Al-Qur’an. Salut deh.” Ujar Anisa, adik kelasku. “kasih tau tipsnya donk kak…” pinta Anisa memelas. Aku tersenyum simpul menanggapinya.
“kamu harus jatuh cinta dulu.” Jawabku.
“yaaah, masa iya harus jatuh cinta dulu.” Rengek Anisa yang langsung berlari karena mendengar jawaban tidak masuk akalku.
Setelah perseteruan antara aku dan fatih dua tahun lalu, aku tak pernah lagi bertegur sapa dengannya. Bukannya masih marah atau apa. Tapi aku terlalu malu untuk mengetahui kesalahpahamanku padanya dan salsabila. Ternyata saat itu Haris sengaja membohongiku agar aku dan Fatih bertengkar. Fatih selalu berkata kalau akulah motivasi belajarnya. Karena akulah Fatih berusaha untuk selalu melakukan usaha terbaiknya hingga pada akhirnya ia mengalahkan Haris yang selalu menjadi yang terbaik di kelasnya. Haris tidak suka ada seseorang yang mengalahkannya, sehingga ia memicu amarahku dengan cerita yang tak pernah terjadi. Dan saat aku tak sengaja memergokinya dengan salsabila dulu, mereka hanya belajar. Fatih hanya berusaha menjelaskan pelajaan yang tidak salsabila mengerti. Kebetulan saja waktunya sangat bertepatan sekali.
Berhari-berhari aku menangisi kesalahanku. Aku tak bisa membayangkan betapa kecewanya fatih padaku. Kepercayaan yang selalu ia jaga, langsung kuhancurkan tanpa ampun. Ingin rasanya aku kembali padanya seperti dulu, tapi diri ini sudah terlanjur cacat di depannya. Rasanya aku sudah tak pantas lagi bersanding dengannya. Sejak saat itulah aku berusaha semaksimal mungkin memperbaiki diriku. Biarlah. Biarlah kisah ini berjalan sebagaimana mestinya. Jika ia memang tulang rusukku, dia pasti akan kembali padaku. Dan jika tidak, mungkin dia bukanlah yang terbaik yang disiapkan Tuhan untukku. Aku harus mengambil semua resiko dari semua keputusan yang aku ambil. Jika aku tak mau terbakar, tak seharusnya aku bermain api.
Cinta. Banyak hal yang kudapatkan dari kata ‘cinta’ yang selalu diagungkan diseluruh dunia ini. Cinta mengajariku arti dari kebahagiaan, cinta mengajariku arti rasa kesedihan, dan cinta mengajariku cara untuk bangkit dari keterpurukan. Karena cinta jugalah aku bisa ada di dunia ini. Namun sejatinya, cinta yang hakiki hanyalah cinta kepada Sang Maha Cinta. Cinta yang akan membalasku dengan cinta yang berkali-kali lipat dari cinta siapapun di dunia ini. Cinta yang akan mendekatkanku pada sang pemilik rusuk ini.

#cerpen ini telah diterbitkan dalam buku antologi cerpen 'Keajaiban Cinta' oleh Vendha Media

3 komentar:

Kalungan Rindu Ayah


“Anna, tolong pijitin kepala ayah ya. Ayah capek.” Pinta ayah sesaat setelah ia keluar dari ruang kerjanya. Ruang kerja ayah bukanlah ruang kerja yang dipenuhi dengan tumpukan berkas-berkas penting ataupun buku-buku yang membahas tentang omset atau penjualan. Tapi ruang kerja ayahku hanyalah ruang kerja kecil yang berisi dengan seperangkat komputer sederhana dengan tumpukan lempengan VCD player di sekitarnya. Bahkan ayah tak mempunyai kursi goyang seperti kantor selayaknya. Ayah hanya memilih lantai berkarpet sebagai alasnya mengadu nasib di depan komputer.
“kalau ngantuk, biar bisa langsung tidur.” Begitulah ujarnya. Yah, ayahku bukanlah pegawai negeri sipil ataupun pengusaha sukses yang berinvestasi dimana-mana. Ayah adalah seorang dokumenter yang menjual jasanya pada siapapun yang memintanya. Ayah adalah tukang shooting lokal yang melayani shooting kemanten, khitan, acara maulud dan acara-acara semacamnya. Atau lebih kerennya ayahku adalah cameraman acara pribadi. Karena pekerjaan ayah bukanlah pekerjaan yang bisa mendapatkan gaji bulanan, ayah harus berusaha keras agar kebutuhan keluarga kami tetap terpenuhi meskipun terkadang ayah tidak mendapat job selama lebih sebulan. Biaya kuliahku, biaya sekolah kedua adikku dan kebutuhan rumah bukanlah sesuatu yang dapat ditunda dengan mudah.
“Anna, pijitin ayah ya…” pinta ayah lagi. Aku yang masih berkonsentrasi pada laporan pratikum kimia yang kutulispun tak mendengarkan ucapan ayah. Laporanku harus selesai besok pagi. Dan jika aku tak menyelesaikannya, aku tak diizinkan untuk masuk laboratorium untuk mengikuti pratikum selanjutnya. Dan aku tak mau itu terjadi.
“Anna…” panggil ayah dengan nada memelas. Terpaksa aku menghentikan tulisanku dan menatap ayah dengan kening berkerut.
“ada apa sih ayah!” jawabku dengan sedikit nada tinggi.
“tolong pijitin kepala ayah nak… ayah capek seharian duduk di depan computer.”
“Anna masih ngerjain laporan ayah… besok laporan Anna dikupulkan.” Sengkalku berharap ayah membatalkan permintaannya.
“sebentar aja… sebentar.” Bela ayah. Aku menekan kedua gigiku di balik bibirku. Aku hafal ayah. Sebentarnya ayah, berarti aku harus memijatnya hingga ayah tertidur. Dan saat dipijat, ayah bukannya segera tidur tapi selalu saja protes jika pijatanku kurang keras atau tak terasa di dahinya. Padahal aku selalu mengerahkan semua tenagaku saat memijat ayah. Bisa dibilang memijat ayah adalah olahragaku.
“ayah capek Anna…” lanjut ayah. Seakan aku gak lelah juga seharian harus kuliah dan keluar masuk lab. Dan malamnya aku harus berkutat dengan laporan yang diharuskan ditulis menggunakan tangan.
“kapan lagi Anna pijitin ayah kalau gak pas pulang gini…” Yah, karena jarak dari rumah ke kampus membutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan, jadi aku memilih untuk tinggal di daerah sekitar kampus dan pulang jika ada hal yang mengharuskanku pulang ke rumah. Meskipun begitu, ayah tak bisa menggunkan itu sebagai alasan. Aku melirik laporanku dan ayahku bergantian dengan wajah tertekuk.
“ayo Anna…” pinta ayah untuk keseribu kalinya.
“pijitin aja Anna.. ayahmu kalau tidur juga cepat kok.” Sahut ibu yang berjalan dari dapur dengan sekeranjang daun singkong dan duduk di depan televisi.
Aaah. Aku benar-benar tak bisa bilang tidak pada mereka. Sebenarnya laporanku hampir selesai, tinggal sedikit lagi. Jika dilanjutkan nanti malam juga bisa selesai. Tapi aku tak berniat begadang lagi nanti malam. Aku ingin tidur lebih awal.
Akhirnya, akupun melemparkan penaku dan berjalan mendekati ayah yang berbaring di atas kasur.
“nah, gitu donk nak…” kata ayah saat aku mulai meletakkan jari tanganku di atas dahinya dan mulai memijatnya. Aku menekan-nekan dahi ayah dengan wajah yang tertekuk. Antara mengeluarkan tenaga dan terpaksa, mereka bercampur membuat wajahku benar-bennar mengkerut.
“mijitin ayah kok sambil cemberut gitu.” Sindir ibu dengan tangan yang memotong daun singkong menjadi kecil-kecil. Aku semakin mengerucutkan bibirku dan melihat tumpukan kertas laporanku yang masih berserakan. Sedang ayah tak kunjung juga memejamkan matanya. Ayah malah melihat sinetron India yang diputar di salah satu stasiun televisi Indonesia. Dan aku juga hafal betul, ayah tidak akan mudah tertidur jika acara yang diputar di televisi adalah acara favoritnya.
“Ayah! Buruan tidur gih!” pintaku yang lebih mirip dengan perintah pada ayah.
“bentar Anna… bentar.”
“kalau ayah gak tidur-tidur, Anna balik ke kamar lagi. Laporan Anna belum selesai.” Ancamku. Aku tak tau kenapa kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutku. Sebagai seorang anak, tak seharusnya aku menaikkan nada bicaraku pada ayah. Tapi entah kenapa kata itu keluar tanpa kusadari.
“sedikit lagi Anna… sedikit lagi. Ayah capek nak…” rengek ayah lagi. Untuk kesekian kalinya aku mengalah. Tapi tetap saja ayah tak kunjung terjatuh dalam mimpinya. Dia malah mengoceh gak jelas karena emosi yang terluapkan dari sinetron yang ia lihat. Merasa dibodohi, akupun menghentikan pijatanku dan langsung berjalan ke dalam kamar tanpa sepatah katapun.
“lhoh, Anna. Belum selesai.” Panggil ayah seraya melambaikan tangannya. Cukup, aku tak peduli lagi. Aku harus segera menyelesaikan laporanku, dan besok aku harus berangkat dua jam lebih awal ke kampus jika aku tak ingin terlambat. Karena perjalanan di bus tidak bisa dipastikan, sepertinya aku harus berangkat sekitar tiga jam lebih awal. Jika saja ayah mau mengantarku dengan motor besok, aku pasti tidak perlu seribet ini. Tapi lagi-lagi ayah menggunakan ‘capek’ sebagai alasannya.
“lhah iya. Ayah sama anak kok ribut terus.” Sela ibu yang kutanggapi dengan menutup pintu kamar dari dalam. Aku butuh ketenangan untuk menyelesaikan laporanku.

“andai saja Anna balik kemaren, Anna pasti tidak sendirian.” Cerocosku sembari memasukkan buku-bukuku ke dalam tas.
“lha kenapa gak balik kemaren aja?” tanya ibu yang memasuki kamarku dengan keresek hitam besar.
“Ayah bilang mau nganterin Anna balik ke Malang hari ini. Jadi Anna gak terburu-buru dan bisa nyantai. Tapi ternyata tiba-tiba saja ayah membatalknnya. Ayah bohongin Anna lagi.” umpatku. Kutarik resleting tasku dengan paksa hingga mengeluarkan bunyi Brtrtrtr dengan keras.
“tanya lagi sama ayahmu. Kali aja berubah pikiran. Ayah memang habis begadang tadi malam Anna… VCD kemanten di Sukerjo kemaren sudah ditagih sama orangnya. Sedangkan proses editing belum selesai. Kalau saja ayah punya teman yang bantu, pasti bisa cepet selesai, bisa cepet dapat uang juga. Lha ini ayahmu kerja sendiri. Ibu cuma bisa bantu copy saja. Ibu gak bisa kalau disuruh editing-editing gitu.” Saran ibu seraya mengambil pakaian adikku yang berserakan di lantai. Yah, adikku sudah berangkat ke sekolah beberapa saat yang lalu diantar ayah. Namun, sudah lebih dari 15 menit ayah tak kunjung kembali ke rumah. Ku kira jarak antara sekolah adik dan rumah tak sampai menghabiskan waktu sebanyak itu jika naik sepeda motor.
Aku melirik jam di atas dinding. Jarumnya menunjukkan pukul 06.30 WIB. Pratikumku dimulai pada pukul 9 tepat, dan tidak ada toleransi keterlambatan. Andai saja rumahku berada di pinggir jalan raya, pasti bisa dengan mudah aku mencari bus jurusan Malang. Namun rumahku berada di tengah-tengah gunung arjuna yang membutuhkan waktu sepuluh hingga limabelas menit untuk bisa mengintip jalan raya.
“ayah kemana sih! Tau gini aku gak nurutin ayah!” seruku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Anna, ayo.” Sebuah suara berat dari balik pintu kamarku mencegah air mataku untuk keluar. Aku lirik ayah dengan tatapan marah. Sedangkan ayah hanya terdiam seakan tak tau apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi amarahku.

“Anna gak papa balik sendiri ayah.” Tolakku halus dan berusaha mengambil kresek hitam besar yang berisi bawaan dari ibu di tangan ayah. Bus yang kutunggu sudah datang. Aku hanya perlu mengambil kresek itu, mencium punggung tangan ayah dan segera naik. Tapi bukannya menyuruhku segera naik, ayah malah mendorongku halus dari belakang untuk menaiki bus terlebih dahulu sedangkan ayah mengikuti di belakang. Aku hanya menuruti ayah dengan pikiran yang bertanya-tanya karena pintu bus akan segera ditutup.
“duduk di situ Anna.” Pinta ayah saat melihat dua kursi kosong di dekat pintu.
“haaah, leganya.” Ayah menyandarkan punggungnya pada kursi penumpang. Sedangkan aku masih mengerutkan keningku. Penasaran kenapa ayah malah ikut naik bus bersamaku.
“kenapa ayah ikut naik bus?”
“ayah gak bisa nganterin Anna naik motor. Tapi ayah bisanya nganterin Anna naik bus. Nanti ayah anterin sampe depan kampus juga gak papa. Ayah gak kuat kalau naik motor. Ayah ngantuk. Nanti khawatirnya ada apa-apa. Jam berapa Anna masuk?”
“Jam 9.” Jawabku singkat. Ayah melihat jam di handphone lamanya. Handphone yang hanya bisa di buat telphon dan SMS. Padahal beberapa bulan kemaren ayah langsung membelikanku handphone android saat aku berkata kalau aku butuh handphone yang bisa dibuat internetan untuk kuliahku.
“sekarang jam 7. Kira-kira nyampe kan? Anna gak telat kan?” tanya ayah. Aku hanya mengangguk lemah. Masih terkejut dengan jawaban ayah.
“perjalanannya lama ayah… ayah nganterin Anna sampe terminal saja. Gak perlu sampe depan kampus.” Saranku pada ayah. Karena setelah naik bus dan berhenti di terminal, aku harus naik mikrolet sekitar setengah jam untuk sampai di depan kampus. Itupun kalau gak macet.
“gak papa. Ayah pengen nganterin Anna. Sekalian nostalgia. Sudah lama ayah tidak naik bus.” Ayah menarik kedua ujung bibirnya yang membuat hatiku serasa miris.
“koran koran. Kecelakaan maut dua bus menewaskan sepuluh orang  dan lima lainnya luka-luka. koran koran buk.. paak.” Suara loper koran di dalam bus membangunkan ayah yang hampir terjatuh dlam mimpinya. Ayah membuka matanya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling bus seakan mencari sesuatu.
“Mas Yahya, Assalamualaikum.” Panggil sebuah suara yang sepertinya akrab dengan ayah. Ayah menolehkan kepalanya dan tersenyum lebar saat melihat si pemilik suara yang berjalan ke arahnya. Penasaran, aku yang segaja disuruh ayah untuk duduk di dekat jendela sedangkan ayah di dekat jalan yang memisahkan antara kursi dan kursi lainnya pun mendongakkan kepalaku. Aku terkejut saat melihat siapa yang menyapa ayah itu. Yah, yang menyapa ayah dengan akrab itu adalah loper koran yang tadi menjajakan korannya.
“waalaikumsalam. Gimana kabarnya?” ayah menepuk punggung loper koran itu bersahabat.
“yaah, tetap gini mas yahya. Gak kayak sampeyan yang udah sukses. Gak perlu naik turun bus kayak dulu lagi.” jawab loper koran itu dengan malu-malu.
“alhamdulillah. Ikhtiar terus saja dan jangan lupain ibadahnya. Gusti Allah pasti ngasih jalan. Gak mungkin Gusti Allah nelantarin hamba-Nya, iya tho?” nasihat ayah yang mendapat anggukan cepat dari pak loper koran.
“ada berita apa sekarang?” tanya ayah seraya melirik tumpukan koran yang dibawa teman lamanya itu.
“kecelakaan mas. Sepuluh orang tewas, yang lain luka-luka.”
Ayah mengambil salah satu koran dan membacanya sekilas dengan penasaran. “aku satu ya.” Ucap ayah seraya menyodorkan uang 10.000 rupiah pada temannya.
“kembaliannya mas.” Teman ayah memberikan beberapa uang ribuan pada ayah, namun ayah menolaknya pelan.
“bawa saja. Buat jajan anak kamu.”
“terimakasih mas. Trimaksih. Doain laris mas. Sekarang jualan koran sulit mas. Handphone sudah canggih-canggih semua. Ini aja baru laku satu ini mas.” Teman ayah menatap ayah dengan wajah yang sumringah sekaligus sedih bersamaan.
“udah tho… jangan ngeluh terus. Banyakin ibadah sholat dhuha sama baca surat Al-Waqiah. Insyaallah, rezekimu bakal lancar.”
“mau sholat dhuha mas. Sholat fardhu aja kadang lupa-lupa ingat.” Teman ayah menggaruk-nggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“nah, itu.”
“iya mas… makasih mas. Mari. Assalamualaikum.”
Ayah menghela nafas panjang setelah menjawab salam dan menjabat tangan temannya itu dengan erat seakan memberi kekuatan. Aku melihat tatapan ayah yang tertunduk ke bawah.
“dia teman ayah. Ayah dulu pernah jadi loper koran, pedagang asongan sebelum ayah jadi tukang shooting. Ayah juga naik turun bus juga. Jadi ayah banyak yang kenal dengan pedagang asongan sekitar Malang-Surabaya-Pasuruan. Sudah ya, ayah mau istirahat bentar. Nanti kalau sudah sampai, ayah dibangunin ya.” Pesan ayah dan mulai memejamkan matanya kembali. Tak perlu butuh waktu lama, ayah sudah terjatuh dalam dunia bawah sadarnya. Sedangkan aku masih menatap ayah dengan hati yang teriris. Yah, aku melupakan satu fakta bahwa ayah pernah banting tulang sebagai loper koran dan pedagang asongan untuk menghidupi keluarga kami. Aku jadi teringat cerita ibu saat itu.
“Anna dulu masih enak. Meskipun ayah Cuma seorang loper koran, tapi ayah selalu nemenin Anna sejak kecil. Semenjak ayah jadi tukang shooting, penghasilan ayah memang jauh lebih tinggi dari loper koran. Tapi ayah jarang sekali berada di rumah. Pagi siang malaam di rumah orang kalau ada shooting kemanten. Belum lagi kalau si pengantin ngadain pertunjukkan wayang yang bisa saja sampai subuh. Sampai rumah udah lelah, trus harus edting video sendiri. Kasihan adik-adiknya Anna. Waktu dengan ayahnya menjadi kurang.” Cerita ibu saat aku membantu memasak di dapur.
“tapi enak adik-adik pengen apa-apa sekarang dituruti. Kalau Anna dulu minta mainan seharga 15.000 saja, bukannya dibelikan malah Anna mendapat cubitan di paha Anna. Sampai biru lagi.” ingatku saat dulu aku pernah meminta dibelikan mainan pada ayah. Itulah kali kedua ayah mencubitku. Dan pertama kalinya adalah ketika aku di ajak ke Mall, dan aku gak mau pulang padahal jam sudah malam. Yah maklum, untuk seorang anak kecil yang tak pernah pergi ke tempat seperti itu, bukankah hal yang wajar. Iya kan?
“lha saat itu ayah sedang kerja. Ayah dan ibu juga Cuma pegang uang 10.000. lha apa yang mau dibuat beli?Anna juga ngrengek terus gak mau dialihin. Jadi ya terpaksa ayah nyubit Anna.” Jelas ibu sembari memotong tempe menajadi bagian yang lebih kecil.
“hehehe… Anna kan gak tau kalau saat itu ayah sama ibu gak punya uang.” Aku memamerkan deretan gigiku yang tidak rata seperti deretan gigi ayah.
“dulu pas Anna masih kecil dan ayah sama ibu masih numpang tinggal di rumah nenek, Anna gak pernah telat minum susu. Ayah selalu nyisihin uang hasil loper korannya untuk membelikan susu untuk Anna. Bahkan uang susu untuk Anna lebih banyak daripada uang untuk makan ayah sama ibu. Pokoknya kebutuhan Anna yang terpenting. Ayah sama ibu bisa nyusul belakangan.” Cerita ibu. Aku mengupas bawang merah ditanganku dengan mata yang perih. Bukan, bukan perih karena reaksi bawang putih. Tapi perih karena hatiku yang seakan teriris.
Aku memandangi ayah yang tengan tertidur di sampingku dengan kepala yang terkatuk-katuk. Mata merah yang berada dibalik kelopak mata yang tertutup itu menyembunyikan kelelahan yang tak bisa terkatakan. Kasih sayang yang tersirat di dalamnya tak bisa tersalurkan lewat suara. Hanya uraian isyarat sayang yang tersampaikan bagi siapapun yang bisa membacanya. Selama sembilan belas tahun kebersamaanku dengan ayah, ternyata aku hanya bisa melihat topeng ketegaran yang ayah pasang di rautnya. Aku tak bisa membaca arti sebenarnya dibalik topeng yang ayah kenakan. Aku hanya egois dengan memaksakan semua kemauanku agar selalu dituruti olehnya. Bahkan aku tak melirik sedikitpun kemauan yang berusaha ayah sampaikan padaku lewat tatapan teduhnya. Dan ketika ayah hanya memintaku untuk ‘memijatnya’, aku malah mengeluarkan tandukku seakan ingin menyerangnya. Padahal sudah berapa banyak permintaan yang telah aku ajukan padanya? berapa banyak keringat dan air mata yang kukeluarkan dari ayah untuk memnuhi segala kebutuhanku? Seberapa banyak usaha yang ayah kerahkan hingga aku bisa kuliah di salah satu Universitas Negeri terkenal di Indonesia ini meskipun ayah dan ibu hanyalah lulusan Sekolah Menengah Pertama? Aku merasa menjadi anak paling bodoh karena tak segera menyadari kasih sayang ayah dan ibu yang selalu tersirat dibalik emosi mereka. Aku seringkali mendewakan keegoisanku di atas kasih yang kusalurkan untuk ayah dan ibu lewat prestasi-prestasi yang berusaha kuraih untuk membuat mereka tersenyum.
Tanpa sadar ada air hangat yang menetes dari sudut mataku membasahi pipiku. Kusandarkan kepalaku di bahu ayah dan mendekap satu tangannya dengan erat. Kupejamkan mataku saat ayah terbangun. Berusaha menyembunyikan air mataku.
“lhoh, sudah sampai Anna? Apa ayah sudah lama tertidur?” tanya ayah dengan mata yang masih merah. Entah karena baru bangun ataukah karena begadang, yang jelas mata merah itu akulah yang menyebabkannya. Mata merah yang dipaksakan ayah untuk bekerja keras agar kuliahku dan sekolah adik-adik tetap lancar.
Aku menggelengkan kepalaku lemah dan tersenyum pada ayah sebelum kemudian mendekap lengannya lebih erat lagi.
Ayah, kalungan rindumu, maaf karena terlambat menyadarinya.

#cerpen ini telah diterbitkan oleh IDM Publishing

0 komentar: