Mukenah Baru untuk Khaura
"khaura, pulang liburan hari raya nanti ibu belikan mukenah baru ya.” Ujar seorang wanita yang masih bisa dikatakan muda meskipun umurnya sudah berkepala empat. Seorang gadis berkerudung yang tengah mencium telapak tangan ibunya itupun menengadahkan wajahnya dan tersenyum manis. Sang ibu yang melihat paras anak gadisnya itu sedikit tersentak karena ia baru menyadari kalau anak gadis yang tidak tumbuh dalam pelukannya ini, kini menjadi gadis yang cantik dan tegar. Yah, saat ia bercerai dengan suami pertamanya, khaura masih berada dalam kandungannya. Ia tak pernah menyangka keluarganya akan berakhir seperti ini. Semua ini berawal ketika adik sepupunya sendir menjebak suaminya hingga ia memutuskan untuk menjauh dari kehidupan mereka daripada harus menyaksikan kebodohan suaminya yang menurut saja saat adik sepupunya meminta untuk dijadikan istri kedua. Ia merasa cinta yang telah mereka bina selama ini telah dihianati. Mungkin ia masih bisa bertahan jika harus hidup bersama suaminya hanya dengan memakan nasi dan kerupuk. Tapi jika dimadu, sungguh ia lebih memilih untuk diceraikan sekalipun ia masih sangat mencintai suaminya. Saat itulah Khaura lahir tanpa seorang ayah, berbeda dari kakaknya yang lahir dengan kemewahan dan kasih sayang. Bahkan pada saat Khaura lahirpun, mantan suaminya tak mengintip Khaura sama sekali. Entah karena malu atau mungkin karena istri barunya. Ia tak peduli. Yang jelas, kelahiran Khaura adalah kelahiran yang dikelilingi dengan air mata. Hingga beberapa bulan kemudian ada seorang lelaki yang meminangnya.
“Meyda, aku berkata pada keluargaku kalau kamu seorang gadis, bukan janda” ujar calon suaminya. Ia tau, isyarat itu adalah menyuruhnya untuk tidak membawa Khaura ke rumah keluarga mereka. Entah ada setan apa yang merasukinya hingga ia menurut saja saat orang tuanya menyuruh Meyda menitipkan Khaura pada ibunya. Bahkan saat itu umur Khaura belum genap 2 tahun dan ia masih belum mendengar Khaura kecil memanggilnya ibu.
“ibu, mukenah Khaura masih bagus. Khaura tidak butuh mukenah baru. Uangnya dibuat biaya sekolah adik-adik Khaura saja.” suara Khaura membangunkan lamunannya. Segera ia mengembalikan kesadarannya dan menggelengkan kepalanya cepat. Ia melirik suami keduanya itu dengan tatapan nanar. Seorang yang sudah menemani tidurnya selama lebih 20 tahun itu hanya membalasnya datar seolah tak peduli. Namun, ia tau suaminya itu sangat menyayangi Khaura meskipun Khaura bukan anak kandungnya. Bahkan melebihi kasih sayangnya kepada 4 anak kandungnya sendiri. Tapi kenapa ia serasa berat untuk mengatakan keputusan yang telah diambil suaminya untuk Khaura? Seakan menyadari kalau air mata istrinya akan segera jatuh, Abdul menyentuh bahu Khaura dan mengatakan kalau ia dan istrinya harus segera pulang karena malam segera menjelang. Bahkan mataharipun tampak berpamitan dibalik gunung yang dekat dengan pondok pesantren tempat Khaura menuntut ilmu selama ini.
“kakak, Khaura mau maen sama adek Hakim. Adek Hakim jangan dibawa” rengek Khaura kecil saat Meyda mengatakan kalau ia harus kembali ke rumah suaminya.
“Khaura! Dia itu ibumu! Bukan kakakmu. Panggil dia ibu.” Seorang perempuan tua muncul dari arah dapur dengan wajah yang merah. Ia menatap Meyda yang menggendong Hakim dipelukannya.
“ini semua gara-gara kamu! Khaura ini anakmu. Bagaimana mungkin kamu menyuruhnya memanggilmu ‘kakak’ hanya karena kamu khawatir keluarga suami barumu marah saat mereka tau kamu sudah mempunyai dua anak sebelum menikah dengannya.”
Khaura yang tak mengerti apa yang dikatakan perempuan yang ia panggil ibu itupun melanjutkan permintaannya pada ‘kakak’nya.
“kakak, Khaura selalu sendirian di sini. Ibu setiap pagi selalu ke pasar. Setiap pulang sekolah, rumah selalu sepi. Kakak-kakak Khaura gak pernah ada di rumah. Biasanya Khaura hanya lihat mobil dan sepeda yang berlalu lalang di depan rumah. Kadang, Khaura melihat Abi yang kata ibu dia suami kakak dan Ayah Khaura. Tapi pas Khaura ke rumah Abi minta uang jajan, ada nenek sihir jahat yang selalu memarahi Khaura dan melarang Khaura ke rumahnya. Meskipun rumahnya bagus, Khaura gak mau datang ke sana lagi. Jadi, Khaura selalu menunggu kakak dan Abi datang kesini mengunjungi Khaura. Tapi kakak dan Abi gak pernah datang.” Meyda yang sedari tadi terpaku mendengar cerita Khaura, hanya bisa terduduk lemas dengan beribu-ribu sembilu yang menyayat hatinya. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas apapun yang telah dialami Khaura. Kewajiban sebagai seorang ibu yang seharusnya merawat anaknya hingga tumbuh dewasa, ia tak pernah melakukannya pada Khaura. Khaura tumbuh dalam buaian ibunya, bukan dirinya.
Khaura memanyunkan bibir kecilnya dan menggembungkan pipi tembemnya, marah. Dalam hati, ia sungguh membenci Abi dan nenek sihir itu. Tiba-tiba Khaura berlari kecil menuju kamarnya dan kembali dengan balon yang berisi air.
“kakak, kalau kakak mau membawa adek Hakim, Khaura maen sama balon ini. Lihat kak, balonnya sebesar adek Hakim. Jadi kalau Khaura menggendong balon berisi air ini, Khaura kayak gendong adek Hakim. Kalau kakak mau bawa adek Hakim, gak papa kok. Nanti Khaura maen sama adek yang ini.” Urai Khaura sembari menimang-nimang balon airnya. Sontak, Meyda langsung mendekap Khaura kecil dengan air mata yang meleleh di pipinya. Sedangkan hakim memainkan rambut lurus Khaura dengan senyum lebarnya yang dibalas dengan ancaman Khaura akan menggelitik adik kecilnya itu kalau tidak segera melepaskan tarikannya.
“Tuhanku, semua salah hamba-Mu ini tak bisa menjaga amanah yang kau titipkan. Bagaimana mungkin hamba tega membuat Khaura, anak hamba melewati jalan yang sesulit ini. Sungguh hamba masih belum pantas menjadi ibu yang baik. Tuhanku, hamba mohon. Jangan pernah biarkan Khaura menjadi ibu seperti hamba. Berikanlah ia kebahagiaan bersama anak cucunya. Cukuplah luka masa kecil yang disebabkan oleh hamba menjadi saksi kalau ia pantas menerima kebahagiaan melebihi yang lain. Hamba mohon Tuhanku...”
Suara kokokan ayam sudah mulai bersahutan memecah fajar. Meyda yang masih berdialog dengan Tuhannyapun tak menyadari kalau suaminya tengah mengintipnya dari balik pintu musholla di rumahnya. Diam-diam ia mengamini doa istrinya itu sembari meyakinkan dirinya kalau keputusan yang ia ambil untuk Khaura tidak salah.
“ibu, bagaimana mungkin ibu melakukan ini pada Khaura?” pekik Khaura beberapa saat setelah ia tiba di rumah. Ia sungguh tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana tidak saat baru turun dari becak, ia melihat rumahnya ramai dengan orang berpakaian rapi selayaknya menghadiri pesta. Dan tiba-tiba saja banyak orang yang menyambutnya dan memberikan selamat atas pernikahan yang akan segera ia langsungkan. Ia sungguh tak bisa memikirkan apapun. Menikah? Siapa yang akan menikah? Bahkan calon suaminya saja ia tak mengetahuinya, bagaimana mungkin ia langsung melakukan akad nikah? Ia tau, berdasarkan kitab kuning yang ia pelajari, orang tua punya hak penuh untuk menikahkan anak gadisnya meskipun tanpa persetujuan anaknya. Tapi, apakah harus seperti ini? Dan kenapa harus dia? Apakah ini yang ibunya maksud akan membelikannya mukenah baru? Mahar pernikahannya.
“sudah Khaura, kamu nurut saja sama ibu dan ayah.” Jawab Meyda berusaha tegas.
“nurut seperti apa yang ibu harapkan lagi? Saat Ayah menyuruh Khaura untuk tinggal di pesantren saat Khaura mendapat beasiswa di sekolah seni, Khaura menuruti ayah meskipun ayah bukan ayah kandung Khaura. Saat Khaura ingin pergi berkumpul dengan teman-teman, Khaura menurut saat ternyata ayah membuntuti Khaura dari belakang. Kata ayah, gak seharusnya perempuan itu keluar rumah apalagi anak pondok. Jangankan keluar rumah, bahkan duduk di teras rumahpun Khaura tidak berani. Khaura selalu menuruti ibu dan ayah, tapi kenapa harus pernikahan Khaura juga?! Ini menyangkut masa depan Khaura ibu... kenapa Ibu tak membiarkan kali ini saja Khaura menentukan pilihan Khaura. Kenapa Khaura tidak bisa memilih, ibu?” Khaura mengusap air mata yang kini membanjiri pipinya. Ia duduk di bibir kasurnya dengan hati yang berkecamuk. Sedangkan Meyda berusaha sekuat mungkin untuk menahan air matanya.
“Khaura masih pengen sekolah bu... Khaura masih belum ingin menikah.” Lanjut Khaura dibalik isaknya.
“Khaura, ibu tau kamu sangat berprestasi di sekolah. Semangat kamu memang tinggi. Tapi kalau kamu terus sekolah siapa yang mau membiayai kamu? Adik-adikmu udah besar. Giliran adik-adikmu nak...” Meyda mencoba memberikan pengertian meskipun ada kesan egois dalam alsannya. Memutus harapan anaknya hanya karena biaya, itu adalah sikap yang sangat egois bagi orang tua. Tapi apa yang bisa ia lakukan saat suaminyalah yang mengambil keputusan itu? Seandainya saja ia masih bersama suami pertamanya, pasti Khaura bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi, sekarang jalan cerita sudah berbeda. Dan tak sepatutnya ia membandingkan mantan suaminya dengan suaminya yang sekarang.
“Abi... Abi bisa.....”
“Abi? Abi siapa yang kamu maksud Khaura!” pekik Meyda saat mendengar Khaura menggumamkan kata ‘Abi’. Entahlah, setiap kali ia mendengar kata Abi, dadanya langsung bergemuruh. Kepalanya mendidih hingga mau pecah. Ia masih ingat jelas bagaimana mantan suaminya yang Khaura panggil dengan sebutan Abi itu meninggalkannya saat Khaura masih dalam kandungan. Rasa sakit yang ia rasakan bukan karena ia ditinggalkan, tapi lebih karena mantan suaminya tak memperdulikan bayi yang dikandungnya.
“Abi...”
“apa Abi yang kamu maksud adalah Abi yang tak mengahampiri persalinan ibu saat kamu lahir? Apakah Abi yang kamu maksud adalah Abi yang bahkan tak pernah membelikanmu sesobek pakaianpun? Dan kamu mau meminta biaya darinya?! Ingatlah Khaura. Siapa yang selama ini memperhatikanmu? Ayahmu, bukan Abimu. Siapa yang selama ini membiayai pesantren kamu? Ayahmu, bukan Abimu. Kalau kamu gak nurut Ayah sama ibumu ini, kamu mau nurut sama siapa? Kamu mau ibumu ini mati berdiri disini!!” hardikan terakhir Meyda langsung membuat Khaura terdiam. Meyda juga terkejut bagaimana bisa ia mengucapkan hal seperti itu pada anaknya. Tapi, ini demi anak gadisnya. Ia tak mau anak gadisnya mengalami hal seperti dirinya. Karena ia tau, pemuda yang akan menikah dengan anaknya adalah pemuda yang baik. Meskipun ia bisa dikatakan jauh dari tampan dan kaya, namun ia yakin pemuda itu akan memberikan kebahagiaan pada gadisnya ini.
“baiklah, Khaura akan menuruti ibu. Tapi, jika suatu hari nanti terjadi sesuatu pada Khaura, Khaura akan menyalahkan ibu.” Pasrah Khaura seraya membenamkan wajah cantiknya di bawah bantal.
Meyda mendekati Khaura dan mengusap punggung anaknya. Ibu janji, tidak akan ada hal buruk yang terjadi padamu sayang. Maafkan ibu tidak bisa menjadi ibu yang baik untukmu. Semoga hidupmu lebih baik dari ibu nak.
Terkadang, mata yang tak buta seakan menolak nyata yang tersimpan dibaliknya. Karena ego yang sudah meraja, kasih akan sebuah pengharapan menjadi bara yang hancurkan angan. Yah, tak selamanya yang terbaik terurai dengan jelas di muka. Tak jarang doa dalam setiap hembusan seorang mujtahidah rumah tangga menjadi tiang penompa kebahagiaan. Terimakasih, Ibu.
*cerpen ini telah diterbitkan dalam Antologi Cerpen bertemakan Sehangat Kasih Ibu oleh Penerbit Bintang Pelangi
0 komentar: